Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Teja menyedot kreteknya lagi. Dalam-dalam moncong bibirnya itu, hingga tirus kempis kurus. Angin sebentar datang menyambut, membuyarkan seluncuran asap dari bibir tebalnya. Daun-daun tembakau yang terbakar di ujung kretek, menyusul mengeretap bagai hujan di atap asbes warung.
Saya mengasongkan segelas kopi hitam. Bubuknya masih berpusing berkitaran di permukaan. Biasanya, Teja bakal menyeruput isi gelas itu setelah bubuk-bubuknya mengendap. Mungkin ketika hampir dingin. Agak tak biasa saya melayani Teja di warung sore hari. Saya seret saja kursi plastik dan duduk di hadapan Teja. Toples dan dua botol kecap tampak menyekat kami.
“Abah, hari ini saya berhenti,” katanya, tiba-tiba. Suaranya berat. Di keningnya tampak bulir keringat. Cahaya neon jatuh dan tiarap di situ.
“Gak dinas lagi?” balas saya.
“Begitulah.”
Abu kretek gugur di atas asbak. Jemarinya memilin ujung kretek, kemudian ia cecap kembali. Tampak kretek itu tak lagi berumur panjang. Jaraknya hanya dua senti dari jari yang menjepitnya.
“Mas Teja masih muda,” kata saya.
“Justru itu, Bah,” balasnya, kedua bola matanya menyasar botol kecap.
Saya kibaskan tangan perlahan di atas botol. Sisa-sisa kecap berlumuran. Dua ekor lalat terbang tak tentu arah. Angin terasa saling susup dari celah-celah ram kawat di balik spanduk ‘Warung Mie Rebus Abah’, sementara deru mesin motor di luar mampir dengan segan lalu menghilang.
“Saya masih bisa cari pekerjaan lain. Mumpung masih muda, Bah,” kata Teja melanjutkan. Sayang pembicaraan kami terpotong. Seseorang baru saja masuk ke warung. Ia memesan sebungkus mie rebus, “Tak usah pakai telor, Bah.” Saya hanya mengiyakan sambil beringsut ke dapur setelah memberi isyarat lambaian tangan pada Teja. Si pemesan mie, pemuda yang yang mengontrak tak jauh dari warung, bercakap-cakap dengan Teja. Si pemuda terdengar mengambil tempat berdekatan dengan Teja. Mereka tampaknya saling mengenal walau hanya selewat. Si pemuda hendak berangkat kerja, dan penasaran mengapa Teja tak bekerja, katanya. Teja menjawab cuti. Nada bicaranya lempang. Tapi si pemuda terus bicara.
Dari dapur saya menjumput kertas menuangkan mie, membungkus dan memasukkannya ke dalam kantung kresek. Saya tahu mie belum masak betul. Saya hanya ingin pemuda itu cepat menghilang. Sekembalinya saya, si pemuda tampak heran. Ia menyerahkan uang, pamit dan berlalu. Barang yang sudah dibeli tak dapat ditukar. Saya menutup pintu warung. Mendaratkan pantat di bangku plastik, dan mendapatkan wajah Teja bertanya-tanya.
“Memang harus dibicarakan berdua saja, ya, mas Teja?” kata saya kemudian. Teja menggeser pantat, kaki-kaki bangku berderit. Kerut wajahnya mengingatkan saya sama orang yang ikut kuis di tv, serius tapi juga was-was. Di warung sempit sekarang cuma ada saya dan Teja, serta dengung lalat-lalat lapar yang sesekali ditimpali raungan motor dari luar warung. Saya menyulut kretek. Asap meluncur. Teja menoleh kanan-kiri seperti seorang buron.
“Saya gak mau bunuh orang, Bah. Sebejat apa pun itu orang. Memang, selama ini saya coba tegar. Tapi batin saya menangis!”
Teja mengusap dadanya. Sekilas saja ia menatap. Saya maunya diam.
“Akhirnya, saya tahu malam itu senapan saya yang berisi peluru, Bah.”
“Apa mas Teja gak ngecek dulu?” sela saya. Saya kaget, tapi entah mengapa perasaan itu ditimpali otot-otot badan dengan isyarat untuk menguap. Teja menyedot lagi kreteknya. Kali ini begitu dalam, pipinya sampai tirus, dan kretek itu berakhir di asbak dengan tak tentu wujud. Lalu bagai cerobong lokomotif, mulutnya mengepul.
“Kami gak pernah dibolehkan menengok selongsong, seperti yang sudah-sudah. Kami berlima cuma diberi senapan. Memang, sorenya saya punya firasat yang aneh. Saya ingat Handoko, sahabat saya waktu kecil. Sudah sepuluh tahun kami gak bertemu. Tapi kami masih saling berbalas pesan di facebook. Itu pun sudah lama sekali. Gak ada status di dinding facebooknya sejak tiga tahun yang lalu. Pesan terakhir yang saya kirimkan, saya minta nomor telepon dan di mana dia tinggal. Saya tunggu bertahun-tahun tak ada balasan.”
Teja mengeluarkan seluler, menunjukkan foto Handoko ke hadapan saya. Sesosok gempal, tegap, dengan pakaian safari dan topi khas tukang pancing ikan. Sementara mulutnya menyeringai, pancaran mata dalam foto tersebut tak bikin saya bersedih. Saya menahan kuap.
“Foto profilnya saya simpan buat kenang-kenangan,” kata Teja. Saya mengangguk. Tapi saya belum tahu alasan Teja berhenti bekerja.
“Kemarin, saya menembak sahabat saya sendiri, Bah.”
Tengkuk leher saya sedikit merinding. Mulut saya membentuk huruf ‘O’ lalu mengatup. Saya menyebut nama Tuhan pelan sekali. Teja meringis, matanya berkaca-kaca. Hidung yang semula menghembuskan asap kini sedu-sedan. Tangannya menyeka kedua matanya yang kian memerah, basah.
“Saya bisa merasakannya, Bah. Senapan saya gak kosong. Saya merasakan guncangan. Saya pikir yang saya tembak memang seorang bandar kelas kakap. Tapi, setelah saya telusuri, dia itu cuma orang yang bernasib nahas. Dan saya akhiri hidupnya. Dia itu Handoko, Bah, sahabat saya sendiri!”
“Bagaimana mas Teja bisa tahu?”
“Setelah kelima senapan meletus, beberapa saat kemudian, komandan kami memerintahkan penutup mata kami berlima untuk dibuka. Saya melihat lelaki mengenakan jas putih seperti dokter beserta seorang petugas lapas berjalan menghampiri. Mereka membuka kain penutup kepala berwarna hitam dari kepala orang itu. Mereka tampak mengecek denyut nadinya. Tubuh yang jaraknya beberapa meter di depan kami mengenakan gamis abu-abu. Dan tak berapa lama kemudian, petugas lapas mengacungkan jempol pada seseorang yang ada di belakang kami, yakni komandan kami. Lalu mereka berbalik, disusul empat orang sigap membawa tandu menghampiri tubuh yang terkulai. Saya lihat darah segar meluber di bagian dadanya. Saya bisa melihat wajahnya, walau cahaya lampu meredup. Dia itu, Bah, dia itu Handoko! Dan dia terpejam! Saya terpana... Saya kaget... Kaki saya, kaki saya mendadak lemas... Tapi komandan kami yang berada di belakang menepuk bahu saya, ‘Tak apa-apa, dik. Tak apa-apa,’ katanya. Mbuh! Saya gak ngerti apa maksudnya. Memangnya apa? Tapi dia tersenyum. Sungguh saat itu saya ingin pulang ke rumah, saya ingin membuang laras senjata itu tapi tangan saya begitu erat menggenggamnya. Saya menangis!”
Kedua matanya menatap asbak setelah melepaskan pandangannya dari saya. Seiring kedua lengannya jatuh di atas paha, kami sama-sama menghembuskan nafas kali ini. Hanya saja, mulut saya bergeming. Tak ada suara yang mengetuk di ujung tenggorokan. Sedari tadi pun, saya cuma melipat tangan, sesekali menyedot kretek, menghembuskan, mendengar, tapi tak bisa berpikir. Saya juga bertanya-tanya, apa Teja memang pembunuh atau cuma seseorang yang sedang berdinas? Saya tak mendapati jawaban. Saya jadi kesal sama diri saya sendiri. Sudah bangkotan tapi berpikirnya lamban sekali.
“Saya mau memberi tahu ayah Handoko sayalah yang menembak anaknya. Doakan saya supaya lancar, ya, Bah,” kata Teja kemudian.
“Kapan mas Teja mau pergi?” tanya saya.
“Secepatnya, setelah urusan administrasi di kantor selesai.”
“Komandan kasih izin undur diri?”
“Tidak. Saya punya ikatan dinas. Saya mau mangkir terus-menerus biar benar-benar dikeluarkan.”
Oh. Saya mengangguk lah. Kretek sudah setengah jalan. Asap tak lagi meluncur dari mulut. Wadah buduk itu kian menghitam dan berarang, guguran abu lantak. Motor melintas, suaranya menghilang di kejauhan. Angin dari celah-celah ram kawat menyapa kami malas sekali. Ingatan saya berlarian dan susut. Ingatan saya tenggelam dan terbang. Ingatan saya, terhempas, dan, Ah! Anak saya juga ditembak orang! Saya ini, saya ini, ya saya ini, orang tua yang anaknya pernah kena tembak! Terus mau dilupakan? Ya, iya! Sekaligus dianggap lalu oleh sampean ini! Bisa-bisanya sampean nangis? Penembak sampean ini, sampean algojo! Mau saya kasih nama pembunuh, seperti orang yang nembak anak saya, 18 tahun lalu? O, kambing!
Teja mengangkat buritnya. Deru motornya meninggalkan warung sampai lenyap ditelan kesunyian. Kesunyian abadi di dada saya.