Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan belum turun, tapi awan di atas kepala Reyhan menggantung berat seperti perasaan yang tak bisa ia kenali, apalagi sampaikan.
Ia berdiri di pinggir jalan, tepat di bawah rimbun pohon trembesi yang daunnya bergetar halus diterpa angin sore. Di kejauhan, suara kendaraan dan peluit satpam kantor masih terdengar samar, seolah dunia tetap berjalan seperti biasa—kecuali untuknya.
Dina berdiri di depannya, tubuh mungilnya tegar namun matanya memerah.
“Aku capek, Rey,” katanya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi mobil melintas.
“Hubungan kita cuma kaya satu arah. Cuma aku yang mencintai sendirian. Aku bahkan ngga tahu kalau aku ini bener-bener berharga untuk kamu atau engga.”
Reyhan tidak membalas. Rahangnya mengeras. Matanya menatap titik di belakang Dina, bukan karena dia tidak ingin menatap wajah itu, tapi karena ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Ia ingin menyangkal ucapan itu. Tapi seperti ada kabut tebal di antara dirinya dan kata-kata. Ia tak tahu bagaimana menjangkaunya, apalagi menyampaikannya pada orang lain.
Dina tertawa hambar. “Kamu selalu diem. Selalu dingin. Aku perlu tahu kalau aku berarti buat kamu. Tapi kamu... kayak batu.”
Angin menerbangkan sehelai rambut Dina ke wajahnya. Reyhan ingin mengangkat tangan, membetulkannya, mengatakan sesuatu yang bisa memperbaiki momen itu, tapi tubuhnya tetap diam. Hatinya seperti mesin rusak yang tidak tahu cara mengirim sinyal ke otak. Ia hanya bisa merasakan tekanan di dada. Sesak tanpa bentuk.
"Sekarang aja kamu ngga bisa ngomong apa-apa 'kan?" Dina tersenyum silu. Ia menghela napas panjang, terdiam sebentar sebelum akhirnya bicara dengan rasa berat. “Aku capek...! Kita udahin aja sampe di sini... sebelum aku bener-bener jadi gila... karena kamu...."
Dina membalikkan badan dan berjalan menjauh. Suara langkah kakinya di trotoar bercampur dengan deru motor dan hiruk pikuk kota yang tak peduli, ada hati seseorang yang sedang ditinggalkan.
Reyhan berdiri sendiri. Tidak menangis. Tidak marah. Tidak mengatakan "jangan pergi" atau "aku cinta kamu". Hanya diam, seperti patung batu di bawah langit kelabu.
Di kepalanya, pertanyaan berulang: Kenapa ia tak bisa menyangkalnya? Kenapa ia tak bisa benar-benar merasakannya?
Bukankah ini situasi yang menyedihkan?
Ia menatap langit yang akhirnya melepaskan gerimis. Bahkan langit lebih jujur daripada dirinya.
Lelaki itu berbalik, bermaksud untuk pergi. Tapi matanya tak sengaja bertemu tatapan dengan rekan kerjanya yang berdiri di seberang jalan tak jauh dari tempatnya berdiri. Sepertinya terlambat pulang kantor. Tangan kanan Restu terangkat ke atas, menyapa dengan canggung.
Mungkin adegan menyedihkan yang baru saja terjadi pada Reyhan dan perempuan yang kini bisa disebut sebagai mantan kekasihnya itu tak sengaja turut disaksikan olehnya.
*****
Alexithymia, kondisi ketika seseorang kesulitan mengenali, merasakan, dan mengungkapkan emosinya. Beberapa faktor bisa menjadi penyebab dari masalah psikologis tersebut. Termasuk di dalamnya karena sebuah trauma masa lalu.
Restu menyodorkan kaleng minuman pada Reyhan yang duduk di kursi taman dekat kantor mereka. Lelaki itu turut duduk di sebelah, menjaga jarak nyaman. Ia membuka kaleng minuman miliknya sendiri dan meneguk duluan, sementara Reyhan masih diam menggenggam kaleng minuman itu dengan kedua tangannya.
Restu menoleh, "Putus?" ia bertanya blak-blakan.
Berbanding terbalik dengan sifat Reyhan yang flat, Restu justru begitu luwes dan fleksibel. Tak suka basa-basi.
Reyhan tak menjawab. Tapi itu sudah serupa jawaban. Mengundang dehaman yang cukup keras dari mulut Restu.
"Kenapa katanya?"
"Dia bilang saya kaya batu," seru Reyhan datar tapi tajam.
Restu langsung tersedak oleh minuman di mulut yang belum sampai sepenuhnya ke tenggorokan. Jawaban itu membuatnya langsung menoleh pada Reyhan dengan mata yang membulat.
Namun berikutnya ia menekan bibir dan berpaling. Rasanya dirinya bisa mengerti mengapa orang seperti ini bisa diputuskan oleh kekasihnya. Rasanya ia justru malah bersimpati dengan mantan pacarnya itu. Bertahan dengan batu yang tak memiliki hasrat dan gairah saja sudah sebuah keajaiban.
"Astagfirulloh hal'adzim," Restu sampai harus nyebut dalam hati. Sadar sudah mengatai temannya sendiri. Pun bersyukur, karena pikirannya tak sampai bablas keluar hingga bisa didengar oleh Reyhan yang mungkin bisa menjadi tak nyaman bila mendengarnya. Meskipun gesturnya yang mengusap dada tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
"Ketawain aja lah...." serunya, bermaksud menghibur. Meski Reyhan tak pernah benar-benar menunjukan raut kesedihan di wajahnya.
Bagaimanapun, di mata Restu, kawan di sebelahnya ini adalah pria baik yang bertanggung jawab. Setidaknya itu yang dilihatnya selama 4.5 tahun mereka menjadi rekan kerja.
"atau ngga tangisin sebentar, terus lupain, hmp?!" lanjutnya lagi.
Reyhan menoleh, "Kamu tahu caranya?"
"Hah?!"
Menangis... Melupakan... Ia ingin diajarkan.
Karena dirinya sudah tak lagi bisa menangis.
*****
Dulu ia tidak seperti ini. Dulu ia bukan batu. Bahkan dulu, ia termasuk yang sangat sering menangis.
Saat usianya masih 7 tahun.
“Berhenti menangis, Reyhan! berhenti menangis!” teriak bapak sambil terus melucuti bocah kecil itu dengan tongkat rotan di tangannya. “kamu itu laki-laki! Berhenti menangis atau Bapak akan terus memukulmu!"
Saat itu dirinya masih belum bisa berhenti menangis. Hanya bisa meringkukan badannya yang mungil sambil terus memanggil-manggil nama ibu.
Ibunya pergi dari rumah, dan tak pernah kembali lagi. Kabur dari Bapak yang selalu saja main pukul.
Baru setelah dirinya lelah dan terbaring di lantai dengan mata terpejam, lecutan itu tak lagi ia rasakan. Ia tak sungguh-sungguh tertidur ketika itu. Badannya tak cukup baik untuk bisa dibaringkan dengan nyaman. Sebisa mungkin ia buat punggung dan lengan bagian belakang tak bersentuhan dengan dinding, lantai, atau apapun yang membuat nyerinya makin menjadi.
Satu hal yang ia syukuri dari rasa lemahnya ketika itu, ia bisa membuat bapak lenyap dari pandangannya.
*****
Mungkin ibunya sudah muak. Bukan hanya memar di tubuh, tapi mentalnya pun sudah tak sanggup.
Yang Reyhan tak mengerti, mengapa dirinya tak turut dibawa pergi?
Ia paham ibunya tak bisa mengajaknya saat itu juga, karena ada bapak yang menghalangi. Tapi kenapa setelah itu ibunya tak pernah muncul untuk menjemput? saat bapak tak ada di rumah.
Apa ibu setakut itu pada bapak?
Melupakannya?
Saat itu dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 2. Ada seorang guru yang berpamitan di kelas karena itu adalah hari terakhirnya mengajar di sana.
Salah seorang murid perempuan menangis. Merasa berat melepaskan ibu guru yang baik hati itu. 'Memprofokasi' murid-murid yang lain untuk ikut menangis. Berdiri berhamburan saling merangkul satu sama lain dengan posisi sang guru di tengah-tengah mereka. Semua anak menangis, kecuali Reyhan.
Kawan sebangkunya yang saat itu ada di sebelahnya sampai harus bertanya, "Kenapa kamu...ngga ikut nangis?" katanya sambil sesenggukan.
Reyhan hanya diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Menggerutu yang hanya ia sendiri yang tahu.
Kau tanya kenapa dirinya tak ikut menangis? Terakhir kali ia menangis, seluruh tubuhnya merasakan perih yang luar biasa. Merasakan sakit yang luar biasa. Sekali lagi bertanya kenapa dirinya tak menangis, akan ia tonjok mukanya!
Saat bapak meninggal, saat itu usianya 18 tahun. Dan saat itu Reyhan pun tak menangis.
Ia tak tampak sedih atau berduka. Membuatnya menjadi gunjingan ibu-ibu yang datang melayat ke sana.
Mereka mungkin bertanya-tanya, ada apa dengan wajah dinginnya. Mengapa ia bahkan tak menangis sedikitpun.
Mereka mungkin tak tahu, karena kalau sampai ia menangis di sana, Bapaknya mungkin akan bangkit dari kematiannya, lalu memukuli dirinya lagi dengan tongkat rotannya.
*****
Ia pikir dirinya sudah diterima apa adanya. Bukan ia yang mengawali hubungan, tapi ia juga yang dicampakan.
Ia pikir dirinya tak perlu lagi merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi apa yang dilakukan Dina padanya seperti menghujani lagi hutan kenangan yang sudah begitu lama ia tinggal pergi. Belantara samar dan berkabut.
Kenangan yang semestinya ia lupa, kini basah lagi. Kabut yang sudah lama ia tinggal, kini menyedotnya kembali. Pada perasaan kosong yang semakin melolong.
Ia pikir dirinya sudah tidak lagi bisa merasa. Tapi kekosongan yang dibicarakan tadi seolah tak sudi untuk pergi. Hatinya seolah menyentuh rasa.
Kebetulan hari itu adalah waktu liburnya. Ia mencoba secepatnya beradaptasi dengan situasi baru. Tak ada yang mengajaknya bertemu. Tak ada yang memintanya untuk pergi nonton.
Ia hanya berniat untuk pergi keluar sebentar. Berjalan-jalan di taman dekat rumah.
Langkahnya tak sengaja berhenti bersama pandangan yang turut tersita pada sebuah bangku panjang di pojok sebelah kiri taman. Sebelumnya, ia dan Dina lumayan sering duduk berdua di sana. Dina dengan bekal kotak makan siang yang sengaja ia bawa akan menyuapinya. Sementara ia akan menolak, namun akhirnya pasrah juga.
Ia memutuskan untuk singgah ke sana sebentar. Membuka roti kemasan yang baru dibelinya dari Mini Market sebelumnya. Hanya itu yang bisa ia makan saat ini.
Ada rasa yang menyentuh dadanya dan membuat sesak.
Ia kira dirinya sudah diterima. Ia kira dirinya sudah tidak akan lagi ditinggalkan.
"Tapi kenapa kamu harus benar-benar mirip dengan ibu, Din?" bisik Reyhan menengadahkan kepalanya ke langit yang seperti berlubang.
*****
Lelaki itu berbaring meringkuk di kursi panjang tempat kenangannya akan segera menghilang. Matanya terpejam. Ia terlalu lelah untuk terus menerobos. Ia ingin istirahat.
"Woi, cepetaaan, hahaha."
"Tungguuu!"
Suara nyaring itu datang dari dua bocah lelaki yang sedang asyik berlari ke sana ke mari, tertawa riang bermain kejar-kejaran.
Langkah mungil kedua bocah itu tiba-tiba berhenti, tepat di dekat kursi tempat Reyhan kini sedang terbaring.
"Uhh... siapa?!" tanya salah satu bocah itu pada temannya yang lain.
"Sssstttt!" temannya menaruh telunjuknya di bibir, meminta agar bocah itu diam.
"Kaya pengemis," celetuk bocah itu tetap tak mau tenang.
Temannya yang satu berkerut heran, mendekat ke arah wajah lelaki yang disebut mirip pengemis itu.
"Basah...?"
"Apaan?"
"Matanya...."
"Ihh... beneran!" bocah itu bergidig menjauh setelah tadi ikut mendekat untuk melihat.
Suara bisik-bisik yang berisik itu mulai membangunkan Reyhan. Matanya terbuka.
Ia terkejut melihat ada dua orang anak lelaki yang sudah berada di depan matanya. Ia pun segera bangun.
"Om, udah gede kenapa nangis?" tanya bocah berisik itu.
Hah?? Reyhan baru saja terjaga. Masih bingung dengan situasi yang terjadi saat ini.
"Aku aja udah ngga pernah nangis. Kenapa Om yang udah tua malah kaya anak kecil?" lanjut bocah itu lagi.
Reyhan tercengang.
Apa katanya barusan?
Menangis... seperti anak kecil...?
Reyhan mengangkat tangan kanannya, mulai meraba area matanya.
Sebuah tangis tanpa suara, namun terasa berat di udara.
Benar, ada basah di sana.