Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
ALASAN SEBENARNYA
0
Suka
69
Dibaca

Hai semuanya, kembali lagi bersama cerita Echa. Kali ini aku akan menceritakan sebuah kisah cinta yang berbeda dari sebelumnya yaitu tentang cinta pertamaku. Namun aku akan menceritakan pada kalian bagaimana aku mencintai ‘seni’ dan pertemuan antara aku dengan para idolaku.

Aku dilahirkan dari keluarga yang memiliki jiwa seni. Sebenarnya mereka memiliki jiwa bebas seperti seniman lain. Namun bedanya karena aku tinggal bersama keluarga ibu dimana tradisi jawa masih kental, aku harus mengikuti beberapa aturan yang terkadang sampai sekarang aku belum menemukan alasan sebenarnya kenapa aku harus melakukannya.

“Echa, jangan duduk di depan pintu. Ora ilok!”

“Echa, jangan potong kuku di malam hari. Ora ilok!”

“Echa, pakai bahasa krama inggil ke orangtua!”

Ya, kurang lebih seperti itu selama hidupku sampai sekarang. Terkadang aku merasa terkekang karena banyak aturan yang tidak tertulis secara langsung di rumah. Tapi sebenarnya aku memahami apa yang mereka maksud sebenarnya, terutama aturan dimana harus pulang sebelum jam 9 malam. Aku rasa mereka hanya ingin aku dapat menjadi pribadi yang lebih disiplin dan terhindar dari pergaulan yang kurang baik.

Namun walaupun mereka terlalu protektif padaku, aku senang mendapatkan keluarga seperti mereka. Terutama kakek yang selalu menceritakan beberapa dongeng atau kisah sebagai pengantar tidur. Jika aku memilih, aku menyukai dimana kakek menceritakan kisah Mahabarata padaku. Agak terlalu berat bagiku waktu itu untuk memahaminya, namun aku senang bagaimana caranya kakek menceritakan. Apalagi ketika Punakawan muncul, lucu banget.

Aku pikir aku mulai mencintai terkait dengan jawa dan hal itu membuatku masuk ke dalam ekstrakurikuler tari tradisional ketika aku menginjak sekolah dasar. Memang awalnya banyak yang ikut namun lama-kelamaan anak seni tari hanya dapat dihitung dengan jari. Entah karena mereka menemukan keahlian mereka atau sudah tidak menyukai seni tari tradisional.

Begitu keluargaku mengetahuinya, mereka senang dan mendukung ketika aku terus belajar serta berlatih menari. Ditambah ketika aku mengikuti lomba untuk pertama kalinya. Dan disaat itu, aku menemukan idolaku untuk pertama kalinya juga.

Waktu itu guru tari sekolahku tidak hanya mengajar di sekolahku saja, jadi ia membawa satu anak lagi karena ia sendirian yang mewakili sekolahnya. Jujur untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya, ia terlihat sangat pendiam bahkan cuek. Aku pikir ini pertama kalinya juga ia mengikuti lomba tari karena aku merasa tidak ada yang spesial dengan tariannya. Namun ketika hari lomba tiba, itu sangat mengejutkan bagiku.

Sosoknya dalam menari di panggung berbanding terbalik pada saat latihan bareng kemarin. Detail gerak tari, ekspresinya, energinya juga pas porsinya. Waktu itu aku langsung terpana melihat bagaimana anak seumuran denganku memiliki keahlian menari lebih hebat dibanding temanku apalagi aku yang masih awam. Ditambah dia memenangkan perlombaannya dan menjadi juara satu. Aku masih ingat di kepalaku bagaimana reaksi orang-orang mengetahui dialah menjadi sang juara. Tepuk tangan yang meriah dan sorakan penuh bahagia mengisi aula.

Disaat itulah, duniaku mulai terfokus padanya. Seorang gadis kecil cantik menggunakan kostum tari sambil memegang piala dan piagam itu terlihat senang. Yah walaupun aku tidak menang waktu itu, aku mendapatkan pengalaman dan kenangan yang sangat berharga waktu itu. Dan di masa itu, aku pun meyakinkan hatiku dengan sepenuh hatiku.

“Indah, aku buat kau menjadi temanku nanti di sekolah SMP favorit ini!” gumamku sambil melihatnya dengan mata sembab karena aku gagal tampil dengan sempurna akibat lupa gerakan sebentar. Tempat yang menjadi lomba kita adalah sekolah menengah pertama terbaik di daerahku. Jadi sekalian saja, aku berdoa waktu itu.

Ketika kelas 5, aku kembali mewakili sekolah. Bedanya ini perlombaan tari kelompok dan berisi 5 anggota. Waktu itu aku hanya meyakini bahwa anak seumuran denganku yang pandai menari tari tradisional hanya Indah dan Asih, temanku. Jadi aku merasa senang akhirnya mendapatkan kesempatan menari bersama dengan Asih.

Soalnya disaat sekolah mencari anak tari untuk kategori pasangan atau untuk dua orang, aku tidak terpilih karena ukuran badanku tidak sama dengan Asih. Dan waktu itu aku masih terima dan aku pun tak kalah rajinnya untuk berlatih menari kembali. Baik di sekolah atau di rumah, hingga sekarang sudah menjadi suatu hal kebiasaanku.

Waktu itu, kami lomba di sekolah Indah. Dan ketika gladi bersih, sekolah Indah mengizinkan kami masuk ke aulanya karena guru tari kami. Biasa, ada otak-atik dari orang dalam. Jadi kami bisa latihan sehari disana sebelum lomba. Lagipula, yang memutuskan bagus tidaknya tarian kami nanti adalah keputusan juri bagaimana kami tampil esoknya.

Bedanya dengan kelompok Indah, kelompokku hanya beranggotakan perempuan saja. Sedangkan kelompok Indah, hanya ada 2 perempuan dan 3 laki-laki. Dan menurutku, itu sulit karena aku belum pernah melihat kelompok campur untuk dilombakan. Begitu kami seusai tampil di perlombaan, kami sangat terkejut nomor urut kami dipanggil untuk maju ke depan menerima pialanya.

“Asih, itu nomor kita!” ucapku dengan sangat terkejut.

“Hah?! Iyakah? Eh, ayo maju!” ucap Asih yang terkejut juga. Dia terlihat gelagapan karena mungkin ia juga tidak berekspektasi tinggi seperti aku.

Ketika panitia menyerahkan piala pada kami, aku sangat senang. Walaupun kami hanya juara tiga, tapi aku sangat senang karena mendapatkan piala untuk pertama kalinya. Aku pun menunggu hingga juara satu diumumkan dan … kelompok Indah tidak juara. Aku melihat sosok Indah yang ternyata duduk di depanku. Senyumku menghilang mengetahui Indah terlihat menjadi diam kembali dengan tatapan yang penuh arti. Bukan menangis, hanya saja seperti ia merasa gagal membawa piala. Padahal ia sedang lomba di sekolahannya. Dan itu membuat hatiku terenyuh dan sedih melihatnya.

Setahun kemudian, aku mengikuti lomba di SMP favorit itu lagi. Bedanya kali ini, aku ikut lomba MAPSI atau berkaitan dengan agama. Aku sudah menduga akan kalah karena sainganku banyak dari SD khusus agama. Jadi ada sedikit hatiku kecewa dan mencoba menghibur diri untuk melihat jenis perlombaan lainnya di ruangan lain. Begitu aku pergi ke aula, di sana ternyata terdapat lomba tari. Dan aku melihat sosok Indah di samping panggung bersiap untuk tampil.

Dengan semangat, aku pun mencari kursi yang menurutku bagus dan nyaman untuk melihatnya. Begitu musik dimulai, Indah pun masuk untuk memulai tariannya. Ternyata ia sedang menari Tari Merak. Semua orang terlihat senang melihatnya, terutama ayahnya yang tak jauh dariku.

“Ini baru Indah” gumamku yang memajukan posisi badanku karena mulai bersemangat.

Aku terpana kembali sekaligus mempelajarinya dari Indah waktu itu. Ia terlihat santai dan menikmati tariannya di atas panggung. Seperti melepas beban yang ada dan membiarkan tubuhnya bergerak persis dengan ingatannya. Begitu selesai, semua orang tepuk tangan dengan meriah. Apalagi ayahnya yang terlihat semangat sekali hingga berdiri.

Beberapa menit kemudian sambil makan snack, panitia mulai mengumumkan para peserta yang akan menjadi juara. Dan begitu nama Indah disebutkan menjadi juara pertama, ayahnya langsung berteriak sambil berdiri. Hal itu berhasil membuatku terkejut karena reaksinya seperti sedang menonton pemain bola kegemarannya berhasil mencetak gol. Entah kenapa jantungku berdebar dan ada rasa semangat mulai memburu dari dalam hatiku.

Indah tersenyum melihat ayahnya terlihat sangat bangga padanya. Aku pikir aku harus berlatih kembali supaya aku dapat pandai menari seperti dirinya. Ketika di rumah pun aku menceritakan bagaimana Indah menari dan menjadi juara pada keluarga alih-alih aku sudah gagal mendapatkan piala lomba MAPSI.

Begitu aku menginjak di kelas 7, akhirnya doaku terkabul walaupun belum sepenuhnya. Aku berhasil sekolah di SMP favorit ini. Dan ketika aku mengetahui Indah satu sekolah denganku, aku sangat senang bersama Asih. Yah, masih tersisa 2 tahun di sekolah ini. Aku masih santai karena belum mendapatkan kesempatan berteman dengan Indah. Tapi!!! Aku sudah mendapatkan kunci menuju keberhasilan.

Aku berteman dengan sahabatnya, Eve. Dia lebih friendly dibanding Indah, walaupun kalau marah dia gampang meledak. Tapi dia baik banget hingga sekarang. Tak hanya Indah, aku juga banyak belajar dari Eve. Bagaimana ia mencintai dirinya sendiri apa adanya dan tidak sungkan menolak jika ia tidak suka. Dan hal itu sangat sulit bagiku. 

Walaupun sudah satu sekolah dan satu ekstrakurikuler, tapi aku tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan Indah. Aku terus belajar hingga tari sudah menjadi diary-ku. Ketika merasa senang, aku menari di dalam kamar. Ketika merasa sedih, aku menutup pintu kamar dengan rapat, dan menari kembali. Hingga waktu itu, aku mulai menemukan kekosongan dalam hidupku. Menemukan masa dimana aku tidak tahu harus menukar pikiranku atau menceritakan keluh kesahku. Tanpa sengaja aku mulai mengenal dengan dunia asing dan bertemu secara tidak langsung dengan idolaku yang memperkenalkanku perasaan berbeda sebelumnya.

Dia adalah Jungkook, anggota grup idol asal Korea yang berhasil membuatku merasakan suatu hal yang berbeda. Sebenarnya aku menyukai semua member, namun aku memilih Jungkook sebagai role model hidupku. Melihat ia tampil di atas panggung membuatku jatuh ‘cinta’ padanya. Sekali lagi, jantungku berdebar dan mulai mempelajari seni tari lebih dalam.

Tak hanya tradisional, modern pun banyak jenisnya. Ketika aku masuk ke dunia Korea lebih dalam, aku menjadi tahu dan kagum dengan mereka. Tanpa ada yang mengetahui, aku mempelajari tarian modern lebih dalam. Dari popping, wacking, tutting, street dance dan masih banyak lagi. Hanya saja, aku berlatih secara otodidak dan belum dikatakan sebagai ahli. Aku hanya ‘bisa’ menari lewat mengingat apa yang aku lihat.

Semenjak hari itu, aku mulai menyukai karya-karya dari BTS terutama Jungkook. Dia mengajariku bagaimana kita harus memperhatikan penampilan kita untuk diri kita sendiri dan mulai mencintai diri sendiri. Namun jika dikatakan saja memang mudah, tapi dari apa yang aku terima selama ini membuatku terus mengejar standar kecantikan orang Indonesia supaya dapat menerimaku menjadi ‘orang’.

Walaupun aku terus berlatih menari hingga lemas, aku masih tidak mendapatkan kesempatan apapun lebih dari yang aku harapkan. Ketika mengetahui siapa saja yang ikut lomba selain Indah dan Asih, aku mulai merasa sesuatu hal mengganjal di hatiku. Sedikit kecewa dan banyak marah. Entah karena setelah mengetahui dan melihat rupa siapa saja yang ikut andil dalam lomba, membuatku langsung rendah diri dengan penampilanku.

Aku selalu menangis di kamar sendirian waktu itu begitu mengingat bagaimana aku mengetahui anak-anak cantik dan berkulit putih yang ikut. Jika tidak seperti itu, aku harus pandai menari seperti Indah. Aku mengusap air mataku kembali dan mencoba untuk tidak putus asa supaya aku mendapatkan kesempatan tampil di atas panggung kembali suatu saat nanti. Dan disaat-saat itu, secara tidak langsung aku ditemani oleh Jungkook dan teman-temannya. Walaupun keadaan rumah sedang tidak baik-baik saja, aku mencoba menutup telingaku supaya hanya terdengar suara idolaku yang sedang melantunkan suara indah mereka.

Setahun kemudian, aku satu kelas kembali dengan Eve dan kalian tahu, akhirnya aku sekelas dengan Indah. Awalnya kami canggung. Namun berkat bantuan tak langsung dari Eve, aku bisa dekat dengan Indah. Dan aku tidak menyangka begitu setelah mengenalnya. Aku pikir Indah adalah tipe yang pendiam dan anak yang suka malu-malu. Ternyata dia malu-maluin! Jokes nya pun sering out of the box. Dan aku senang bisa mengenalnya.

Kami bertiga bersama Hani selalu bermain bersama dan tertawa bersama. Walaupun kami diberi banyak soal latihan dan ujian untuk kelulusan kelas 9, kami tidak pernah menganggap hal itu menjadi beban yang sangat berat. Karena kami melaluinya bersama. Waktu itu aku menemani Indah mengantri telepon sekolah karena sekolah kami melarang muridnya membawa ponsel. Untuk menghilangkan rasa canggung karena Ren dan teman-temannya bersama kami, aku pun mulai menceritakan kesan pertamaku pada Indah hingga aku pun menceritakan bagaimana aku terkejutnya mendengar ayahnya mendengar ia menang. Kami pun tertawa dalam antrian telepon. Waktu jam kosong dan kelas sedang sepi kami bercerita bersama kembali dan menentukan masa depan kami yang sudah di depan mata.

“Guys, nanti aku mau merantau saja. Capek disini!” ucap Eve.

“Gayamu merantau! Udah nentuin sekolahnya?” sindir Indah.

“Kayaknya di Solo, sih. Disana juga ada bapakku.” jawab Eve.

“Bukannya ayahmu di rumah terus?” aku bingung.

“Maksudku bapak Jokowi.” jawab Eve membuat kami menggelengkan kepala kami.

“Sama dong. Aku juga minggu depan sudah mulai tes - tes gitu di sekolah Solo.” ucap Indah membuatku dan Hani terkejut.

“Loh?! Kok cepet banget? Emang tes apa?” Hani terlihat terkejut.

“Paling nari ya? Dia mau masuk sekolah seni di sana. Kamu gak ikut ke sana juga, Cha?” ucap Eve membuatku tersentak terkejut.

“Gak, Eve. Aku gak bisa nari bagus.” jujur aku merasa sedih waktu itu.

“Kata siapa? Kamu bagus kok pas nari.” ucap Indah padaku.

Itu kata-kata Indah walaupun satu kalimat tapi membekas dan terus aku ingat hingga sekarang. Kata-katanya berhasil membuatku semangat dan pantang menyerah dalam berlatih serta belajar menari lebih dalam. Waktu di rumah, aku langsung memberikan pendapatku pada keluarga. Namun mereka langsung menolaknya.

Mungkin karena keterbatasan ekonomi, mereka tidak mampu melepaskanku di sekolah jauh dan harus membiayai hidupku nanti jika aku bersekolah di sana. Lagipula, waktu itu masih ada sistem zonasi dimana tempat tinggalku satu zonasi dengan keberadaan SMA favorit daerahku. Dan iya, permintaan mereka dikabulkan.

SMA yang mereka idamkan akhirnya terwujud juga dari aku yang bersekolah di sana. Aku pikir aku masuk jurusan IPS melihat nilai IPA dan Matematika-ku rendah, ternyata aku masuk jurusan IPA karena bahasa Inggrisku lebih rendah dari IPA walaupun hanya beberapa angka saja. Jadi ya gitu! Aku menjadi peringkat terakhir di kelasku walaupun nilaiku tidak di bawah angka 75. Tapi yang membuat aku senang di SMA ini adalah akhirnya aku mendapatkan kesempatan tampil di atas panggung kembali.

Walaupun bukan karena lomba, aku bisa melihat keluargaku menonton penampilanku yang ditonton banyak orang dan ditunggu-tunggu kembali. Ketika aku mulai tampil di atas panggung, aku mendengar beberapa teman kelasku meneriaki namaku yang berhasil membuatku semangat. Namun sebelum dapat tampil di atas panggung, aku harus melalui audisi dan dinilai oleh para seniorku. Dan itu harus melewati banyak drama hingga aku dimarahi oleh ibuku karena aku tidak ikut audisi. Aku pun memohon pada seniorku supaya membuka audisi kembali untukku hingga aku menangis walaupun lewat pesan ponsel.

Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan panggilan secara terpisah dan audisi sendirian. Di dalam ruang tari sekolah, aku berdiri sendirian ditemani para senior. 3 senior menilaiku di hadapanku. Musik pun diputar dan otomatis aku memposisikan tubuhku sesuai dengan tariannya. Jangan lupa untuk tersenyum! Ketika selesai aku tidak menyangka, ternyata para seniorku menari di belakangku untuk menemaniku. Mereka pun langsung mendiskusikan tentang tarianku sebentar. Kemudian memberitahu hasil diskusi mereka.

“Bagus, kok! Gak ada yang salah juga. Paling cuman tadi ya yang bagian tiba-tiba turun karena pake rok.” ucap senior 1 membuat kami tersenyum karena aku hampir jatuh. Sebab aku menggunakan rok span, padahal aku harus membukakan kakiku lebih lebar tapi sayangnya tidak bisa.

“Oke, kamu lolos!” ucap senior 2 dengan tersenyum.

“Dan kamu tahu? Cuman kamu dari anak-anak yang audisi sebelumnya sambil tersenyum. Besok mulai latihan ya. Nanti aku share ke grup buat kelompoknya. Semangat!” ucap senior 1 memujiku membuat dalam hatiku merasa senang.

“Terima kasih, ka. Saya pamit izin pulang dulu.” aku pamit mengundurkan diri.

“Hati-hati, ya!”

Itu ingatan sebelum tampil. Ketika aku tampil, aku tidak bisa melihat orang-orang dengan jelas karena semuanya gelap dan hanya lampu sorot mengarah ke panggung. Namun aku bisa yakin bahwa Kakek dan keluargaku sedang menonton ku berdiri di belakang persis di depanku. Sosok yang aku kenali dan aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga seperti apa yang aku harapkan. Ketika di rumah juga, kakekku bilang bahwa ia hanya menonton aku saja. Ketika aku sudah tidak tampil lagi, ia langsung pulang.

Jujur aku sedikit kecewa sih, karena ia tidak melihat acara seluruhnya dimana aku juga ikut andil bagian dalam mengelola acara yang dipersiapkan selama 3 bulan lebih. Tapi di samping itu, aku bisa melihat kembali keluargaku bangga melihatku tampil di atas panggung kembali. Walaupun hanya sekali karena kelas 11 sedang masa corona, tapi suasana malam itu sungguh mendebarkan.

Aku menceritakan hal itu pada Indah dan mengajaknya untuk nonton acara sekolah yang selalu diadakan setahun sekali suatu saat nanti bersamanya supaya ia tahu secara langsung bagaimana rasanya menjadi diriku waktu itu. Ia pun mengatakan hal yang sama. Jika aku ada waktu, aku boleh melihatnya tampil di sanggar kampusnya. Karena kampusnya sangat ‘welcome’ pada siapa saja.

Hingga sekarang, aku masih menjadi penggemar Indah. Melihat perkembangan dia yang masih berkaitan dengan seni tari membuatku terus bersemangat dan pantang menyerah. Dari yang awalnya melihat dia secara langsung lomba satu kecamatan hingga menjadi perwakilan Indonesia tampil di luar negeri membuat jantungku terus menggebu-gebu. Kapan ya aku bisa menjadi Indah?

Beberapa bulan kemudian, aku akhirnya mendapatkan kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam tampil di atas panggung. Di tempat kerjaku ternyata membuka audisi untuk siapa saja yang memiliki bakat menari dalam tari tradisional, dan aku pun ikut audisi. Mungkin karena aku masih kaku karena pemulihan sakit berkepanjangan kemarin, aku jadi canggung menari di hadapan orang banyak. Aku merasa gagal karena aku tidak mendapatkan kesempatan itu. Namun satu hal yang membuatku kecewa adalah mendengar bisikan mereka.

“Itu bagus kok, lumayan lemes dari yang lain.” ucap senior 1.

“Tapi aku kurang suka sama penampilan … fisiknya.” ucap senior 2.

“Maksudmu? Dia lebih tinggi dari mereka juga kok dan masih bisa seimbang sama kita.” ucap senior 1 yang sepertinya kebingungan dengan perkataan senior 2.

“Mukanya agak ..”

“Cantik manis, sayang. Apa yang dipermasalahkan lagi?” ucap senior masih kukuh membelaku.

“Ck, kulitnya. Kasihan nanti MUA-nya mau setebal apa foundation yang dia pakai nanti buat bisa seimbang sama kita?” celetuk senior 3.

Mereka semua pun terdiam begitupun aku yang mendengar semuanya. Hatiku terasa teriris mendengar hal itu. Sebenarnya dari awal aku tahu, ujung-ujungnya mereka pun membawa fisik juga. Mungkin dari itu, aku juga terus melatih diriku sendiri tari modern sebagai pelarianku jika aku tidak diterima di tari tradisional.

Maaf semuanya, aku hanya tidak habis pikir. Apakah standar kecantikan Indonesia harus putih? Apa orang harus berkulit putih dulu baru dicap menjadi cantik? Sepertinya mulai sekarang aku harus mengeluarkan banyak biaya dari biasanya supaya aku dapat diterima di masyarakat karena aku lelah mendapatkan perkataan yang topiknya sama selama ini.

27 April 2025

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
sticky notes
cippocip
Skrip Film
Junior (Script)
qiararose
Skrip Film
Love Then Repeat Endlessly
Fenny C Damayanti
Skrip Film
Penulis,seniman,&sutradara
Adi setiadi
Cerpen
ALASAN SEBENARNYA
Echana
Novel
Menulis Sebelum Mati
Muhammad Rifal Asyakir
Skrip Film
Lucky point
Adnan maulana
Flash
Bronze
Conversation 3
mahes.varaa
Cerpen
Bronze
Wajah Tua Dunia Ku
Yuyun Nurul Hidayati
Cerpen
Ada Apa dengan Pria Setengah Abad?
Esde Em
Novel
SEGARA
Fianaaa
Cerpen
Bronze
Rebah oleh tanah
artabak
Novel
GARIS PEREMPUAN
Maysanie
Komik
Strata
Bayu M. I.
Skrip Film
Shape of The Voice
Faiz el Faza
Rekomendasi
Cerpen
ALASAN SEBENARNYA
Echana
Cerpen
SEKUTU
Echana
Cerpen
Bunga Layu di Taman Hati
Echana
Cerpen
Jangan Ada Penasaran
Echana