Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
0
Suka
9
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 

Arya dan Rendra sedang duduk di sebuah cafe bernama Hati Tulus, mereka sudah lama tidak bertemu. Kini keduanya bertemu karena Arya mendengar Rendra pulang sebentar dari Australia.

Berlibur ke Indonesia.

Ndak salah tuh? Ndakah seharusnya sebaliknya?

“Kawan, apa benar kabar itu?”

Arya menatap lekat wajah Rendra dari balik cangkir kopi yang ia genggam. Udara sore Jakarta terasa berat, sesak dengan asap kendaraan. Meja kayu kecil di antara mereka berderik halus ketika Arya meletakkan cangkirnya.

Rendra, pria berwajah tirus dengan garis-garis lelah di dahinya, menurunkan koran yang sedari tadi ia baca. Kemejanya kusut, lengannya tergulung hingga memperlihatkan bekas suntikan vaksin di kulit sawo matangnya.

Ia tampak seperti seseorang yang memikul beban yang tak terlihat, beban yang hanya bisa dirasakannya sendiri.

“Kabar apa?” tanya Rendra dengan nada datar.

“Maaf … Anu, katanya kamu... seorang lulusan kedokteran ... tetapi di Australia sekarang kerja jadi pembersih kloset?”

Rendra tersenyum tipis. Senyumnya bukan senyum bahagia, melainkan senyum seorang yang telah menyerah melawan gelombang penilaian dunia.

“Berita memang cepat sampai, ya. Iya, benar. Aku sekarang pembersih kloset di Sydney.”

“Tapi …?”

Arya hampir tersedak. “Kamu serius, Ren? Maksudku, kamu dulu lulusan terbaik fakultas kedokteran, kan? Orang-orang bangga padamu. Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu?”

Rendra memalingkan pandangan. Dari jendela kedai, ia menyaksikan mobil-mobil yang mengantri di lampu merah. Deru kendaraan berpadu dengan klakson yang tak henti-henti, seperti kebisingan yang terus menghantui pikirannya.

Di sebelah kanan kompleks terdapat baliho calon kepala daerah terpampang kokoh dengan ukuran raksasa, karena sebentar lagi Pilkada berlangsung.

“Kalau kamu tahu gajinya,” katanya dengan nada tenang, “mungkin kamu juga akan berpikir ulang tentang semua ‘kebanggaan’ itu, Arya.”

Rendra bukan sekadar dokter. Ia adalah seorang yang berdedikasi, seorang yang pernah dianggap teladan. Namun, di balik gelar yang ia perjuangkan dengan susah payah, kenyataan hidup di tanah air membungkam kebanggaannya.

“Saat aku di sini,” lanjut Rendra sambil mengaduk kopi yang mulai dingin, “aku bekerja lebih dari dua belas jam sehari. Gajiku, setelah dipotong pajak, uang transportasi, dan biaya lain, hanya tujuh juta rupiah per bulan. Kamu tahu berapa yang kudapat di Sydney hanya untuk membersihkan kloset?”

Arya menggeleng. Ia tahu jawabannya pasti mengejutkan, tetapi ia tetap ingin mendengarnya.

“Empat ratus juta rupiah sebulannya,” kata Rendra. Suaranya terdengar datar, seperti menyampaikan fakta yang seharusnya tak masuk akal.

Arya membelalak. “Empat ratus juta sebulan? Untuk membersihkan kloset?”

Rendra mengangguk pelan. “Ya. Dan jam kerjaku hanya delapan jam sehari. Kadang malah lebih singkat. Aku bangun pagi, menyelesaikan tugas sebelum restoran atau gedung buka. Setelah itu, waktuku bebas.”

Arya menelan ludah. “Tapi...” Ia ragu melanjutkan, khawatir kata-katanya akan menyakiti Rendra. “Bukankah kamu kehilangan sesuatu? Maksudku, statusmu di sini jelas lebih terhormat.”

Rendra terkekeh, tapi nada getir yang terdengar membuat Arya merasa bersalah telah mengungkit hal itu.

“Status?” Rendra mengangkat alis, menatap Arya dengan pandangan penuh makna. “Kamu bicara tentang status ketika aku bahkan tak bisa membelikan mainan untuk anakku? Ketika istriku harus menabung berbulan-bulan hanya untuk membeli sepasang sepatu?”

Ia menghela napas panjang. “Hidupku di sini mungkin terhormat, Arya. Tapi apa artinya kalau keluargaku menderita?”

Arya terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan keras yang membangunkan dirinya dari romantisme yang selama ini ia anggap sebagai realitas hidup.

Beberapa bulan kemudian, Arya mendapat kesempatan menghadiri konferensi di Kanada. Ia memutuskan untuk mengunjungi Lukman, teman lamanya yang dulu seorang bintang iklan terkenal. Senyuman Lukman dulu selalu menghiasi layar kaca, menjadi wajah produk kebersihan yang seolah mampu memikat siapa saja.

Namun, ketika Arya bertemu Lukman di Toronto, ia nyaris tak mengenali sosok di depannya. Lukman kini bekerja sebagai tukang las di sebuah pabrik pinggiran kota. Rambutnya yang dulu selalu tertata rapi kini diikat asal-asalan, sementara pakaian kerjanya penuh bercak oli.

“Aku tak percaya kamu memilih ini, Lukman,” ujar Arya perlahan sambil menyeruput teh hangat yang Lukman sajikan di meja kecil apartemennya.

Lukman tersenyum tipis, tapi kali ini senyumnya menyimpan kejujuran yang tak pernah Arya lihat sebelumnya. “Kenapa tidak, Arya?”

“Di Jakarta, aku harus terus mempertahankan citra. Selalu tampan, selalu tersenyum, selalu sempurna. Tapi apa imbalannya? Sewa apartemen kecil saja hampir melahap setengah bayaranku. Di sini, aku bekerja sebagai tukang las—iya, kotor, panas, dan kadang berbahaya. Tapi aku bisa membeli rumah dalam waktu tiga tahun. Bayangkan, rumah, Arya. Bukan kontrakan, bukan apartemen kecil.”

Arya hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata. Ia merasa seolah sedang mendengar pengulangan cerita Rendra, tetapi dalam versi yang berbeda. Di Kanada, Arya juga mendengar cerita tentang Anton dari Lukman, seorang sarjana teknik yang kini bekerja sebagai pemetik tomat di Australia.

Suatu saat Arya berkunjung ke Australia, menemui Anton.

“Kamu bahagia di sini, Anton?” tanya Arya, menyerahkan sebotol air mineral.

Anton  tertawa kecil. “Bahagia? Mungkin bukan kata itu yang tepat. Tapi aku merasa lebih dihargai di sini.”

“Maksudmu?” Arya memandang Anton  dengan dahi berkerut.

“Di sini, aku dibayar sesuai usahaku. Aku memetik tomat dari pagi sampai sore, ya, aku dapat upah yang layak. Gaji mingguan bisa sampai tiga ribu dolar Australia. Itu lebih dari cukup untuk hidup nyaman, menabung, dan bahkan mengirim uang ke keluarga di rumah.”

Arya mengangguk pelan, mulai memahami pola dari semua cerita ini.

“Di Indonesia?” Anton  melanjutkan sebelum Arya sempat bertanya. “Aku pernah jadi insinyur proyek selama dua tahun. Tapi gajiku bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya makan sehari-hari di kota besar. Hidupku penuh kekhawatiran. Kecuali korupsi.”

Ketika Arya kembali ke Indonesia, pikirannya dipenuhi dengan cerita-cerita itu. Ia mulai bertanya-tanya, mengapa orang-orang seperti Rendra, Lukman, dan Anton  harus meninggalkan tanah air mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak? Apakah kesalahan ada pada mereka yang memilih pergi, atau pada negara yang tak mampu memberikan kesempatan layak bagi warganya?

Pertanyaan itu membawanya bertemu Indra, seorang teman lama yang kini menjadi pejabat di Imigrasi. Mereka bertemu di sebuah restoran kecil, dikelilingi hiruk-pikuk ibu kota.

“Indra,” Arya memulai dengan suara pelan, “kamu tahu ada banyak sekali orang Indonesia yang pindah ke luar negeri, kan?”

Indra mengangguk. “Tentu saja. Kami bahkan punya data resmi soal itu.”

“Menurutmu, kenapa mereka pergi?” Arya menatap Indra dengan serius.

Indra menghela napas, lalu meletakkan cangkir kopinya. “Jawaban sederhana? Karena hidup di sini sulit. Jawaban lebih kompleks? Karena negara ini belum bisa memberikan apa yang mereka cari: upah layak, pendidikan berkualitas, stabilitas. Mereka merasa lebih aman, lebih dihargai, lebih produktif di negara lain.”

Arya mendengarkan dalam diam, hatinya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Ia teringat percakapan terakhirnya dengan Rendra sebelum pria itu kembali ke Sydney.

“Ren, apa kamu tidak rindu Indonesia?” tanya Arya kala itu.

“Tentu saja rindu,” jawab Rendra, menatap langit senja yang mulai memerah. “Tapi kamu tahu apa yang lebih aku rindukan? Hidup tanpa khawatir apakah aku bisa membayar tagihan bulan depan.”

Arya kembali terdiam, merenungi jawaban itu. Dalam benaknya, ia mulai memahami bahwa migrasi bukan hanya tentang mencari tempat yang lebih baik. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kehidupan yang lebih bermakna—meskipun harus mengorbankan apa yang orang lain anggap sebagai kebanggaan.

***

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
Yovinus
Novel
Dunia Kecil; panggung & omongkosong
Syauqi Sumbawi
Flash
THE UNSUNG MELODY
DARMA XU
Cerpen
Bronze
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Bronze
FOCUS GROUP DISCUSSION
Ardian Agil Waskito
Cerpen
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Cerpen
Bantu Aku Mengeja "Tuhan"
dari Lalu
Novel
Mystic Reveries: Chronicles of the Soul's Journey
Liepiescesha
Cerpen
Bronze
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Flash
NON FIKSI & MALAM
Bulan
Cerpen
Hadiah Dari Nirwana
Sucayono
Novel
1/4
Sancka Stella
Flash
Ku usahakan yang Terbaik untuk mu
Smith
Cerpen
Mengapa Aku Belum Ingin Mati?
Firlia Prames Widari
Rekomendasi
Cerpen
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
Yovinus
Cerpen
Akhirnya Terjawab Sudah
Yovinus
Cerpen
Pilkada Tanpa Pilihan
Yovinus
Cerpen
Membeli Mobil Dengan Air Liur
Yovinus
Cerpen
Menahan Diri Dari Maksiat
Yovinus
Cerpen
Mulut Mu Adalah Harimau Mu
Yovinus
Flash
Bronze
Tukang Emas Jadi Developer
Yovinus
Cerpen
Bronze
Klitsco vs Ras Terkuat Di Muka Bumi
Yovinus
Novel
Orang Orang Di Atas Angin
Yovinus
Novel
Integritas Penyelenggara Pemilu
Yovinus
Flash
Bronze
Melahirkan Di Motor Bandung
Yovinus
Flash
Buah Langsat Gratis
Yovinus
Novel
Ehing Boburing Bullou
Yovinus
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Cerpen
Kokoliko, Indonesia-Australia: Demi Hidup Yang Lebih Baik
Yovinus