Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Alas Tilem
0
Suka
47
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan baru saja reda, meninggalkan sisa rintik di jendela sebuah kafe kecil di sudut kota. Jalanan masih basah, lampu-lampu jalan memantul di permukaan aspal seperti serpih cahaya yang patah. Di dalam kafe, empat anak muda duduk melingkar di meja kayu, wajah mereka serius, masing-masing menyimpan kegelisahan yang sama.

Eris, dengan rambut gondrong sebahu dan sorot mata yang tajam, menatap kosong ke arah gelas kopinya. Ada nada gusar dalam suaranya saat ia membuka percakapan. “Aku makin nggak bisa diam. Setiap hari ada aja berita soal hutan yang digunduli, tambang ilegal, limbah pabrik. Rasanya bumi ini diperlakukan kayak barang dagangan murahan.”

Di sampingnya, Mikha sibuk menyalakan laptop. Layar memantulkan wajahnya yang tenang tapi penuh konsentrasi. “Aku sudah kumpulkan data dua puluh tahun terakhir,” katanya sambil memperlihatkan grafik menurun di layar. “Luas hutan di kabupaten kita berkurang hampir setengahnya. Kalau ini terus berlanjut, bukan cuma satwa yang hilang. Kita sendiri bakal kekurangan air bersih. Longsor, banjir bandang, semua tinggal tunggu giliran.”

Yolla menghela napas panjang, kedua tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. “Aku nggak tahan lagi lihat sungai berubah jadi saluran limbah. Dulu anak-anak kampung suka mandi di sana. Sekarang banyak yang kena penyakit kulit. Seolah-olah kita dipaksa hidup tanpa air layak.” Suaranya bergetar, ada empati tulus yang membuat ketiga temannya menatap penuh rasa hormat.

Yohan, biasanya paling santai dan ceplas-ceplos, kali ini ikut gusar. Ia mengetuk meja dengan telapak tangannya, menimbulkan bunyi denting sendok dan cangkir. “Kalau cuma ngomel di sini, percuma. Orang-orang di atas sana nggak bakal dengar. Kita harus turun langsung. Lakukan sesuatu yang nyata. Rekam, dokumentasi, suarakan dengan lantang. Minimal biar orang-orang nggak bisa pura-pura buta.”

Keheningan sejenak menyelimuti meja itu. Lalu, seperti ada bara kecil yang ditiup angin, api semangat menyala di mata mereka. Mereka sadar, meski hanya empat orang, ada energi yang bisa mengguncang kalau diarahkan dengan benar.

Mereka dulunya bagian dari komunitas pecinta alam besar, yang rutin naik gunung, bersih-bersih pantai, atau sekadar berkumpul untuk ngobrol soal alam. Namun, bagi keempat pemuda ini, sekadar naik gunung dan berfoto di puncak terasa dangkal. Mereka ingin lebih. Mereka ingin mencintai alam bukan hanya lewat pengalaman pribadi, tapi lewat upaya menjaga, melindungi, bahkan melawan siapa pun yang merusaknya. Itulah kenapa mereka memilih pecah, membentuk kelompok kecil yang lebih visioner, meski itu berarti kehilangan banyak teman lama.

“Kalau kita mau serius,” kata Eris pelan tapi penuh tekad, “kita harus mulai dari sesuatu yang konkret. Cari wilayah yang masih asri, benar-benar perawan. Lalu kita buat catatan, riset, dokumentasi. Kalau bisa, kita dorong jadi kawasan konservasi. Itu lebih dari sekadar bicara.”

“Aku punya data,” sela Mikha cepat, matanya berbinar. Ia menyorongkan layar laptop yang menampilkan peta satelit. “Ada satu kawasan di ujung timur kabupaten. Namanya… Alas Tilem.”

Nama itu jatuh di udara seperti denting logam. Ada keheningan sesaat. Yolla mengangkat wajahnya. “Alas Tilem? Aku pernah dengar. Orang-orang kampung bilang itu hutan keramat. Mereka jarang berani masuk. Ada cerita tentang orang-orang yang hilang di dalamnya.”

Yohan tersenyum tipis, meski ada sedikit keraguan. “Keramat atau tidak, justru itu tandanya hutan itu masih terjaga. Kalau manusia nggak banyak mengganggu, ekosistemnya mungkin masih utuh.”

Eris menyandarkan tubuh, menatap langit-langit kafe sejenak sebelum menatap mereka lagi. “Aku suka ide itu. Kita harus ke sana. Bukan untuk nantang mitos, tapi untuk melihat sendiri. Kalau Alas Tilem memang seperti yang diceritakan, kita bisa jadikan contoh: bahwa masih ada hutan yang hidup dengan caranya sendiri.”

Malam itu mereka sepakat. Bukan sekadar janji di atas kopi, tapi sebuah keputusan yang akan mengubah jalan hidup mereka.

Hari-hari berikutnya diisi dengan riset. Mikha tenggelam dalam data: laporan kementerian kehutanan, arsip satelit, hingga catatan riset akademis yang sudah bertahun-tahun tak diperbarui. Ia menemukan hal menarik: sejak dua puluh tahun lalu, kawasan Alas Tilem tak pernah tersentuh proyek resmi. Tidak ada catatan logging legal, tidak ada izin tambang, bahkan penelitian pun jarang sekali.

“Seakan-akan kawasan itu sengaja diabaikan,” gumam Mikha di markas kecil mereka, sebuah rumah kontrakan yang mereka sulap jadi ruang diskusi. “Entah karena sulit dijangkau, atau karena orang memang takut.”

Yolla, yang bertugas mengumpulkan cerita dari masyarakat, punya catatan berbeda. Ia mewawancarai pedagang, petani, sampai orang-orang tua di desa-desa sekitar hutan. Cerita yang muncul berlapis-lapis: ada yang bilang sering terdengar suara gamelan dari dalam hutan saat bulan gelap. Ada yang bersumpah melihat cahaya hijau menari di antara pepohonan. Ada pula kisah tragis tentang pemburu yang masuk dan tak pernah kembali.

“Kalau didengar sekilas, semua ini kayak dongeng,” kata Yolla sambil menuliskan kembali catatannya. “Tapi aku merasa cerita-cerita itu bukan sekadar menakut-nakuti. Ada sesuatu yang mereka lindungi.”

Yohan mendengus. “Atau bisa juga mereka cuma bikin alasan biar nggak dituduh malas masuk hutan. Orang-orang suka pakai mistis buat nutupin hal-hal yang nggak mereka pahami.”

“Jangan meremehkan tradisi, Han,” potong Eris dengan nada tenang tapi tegas. “Kadang mitos lahir dari pengalaman nyata. Bahkan kalaupun nggak bisa kita jelaskan, itu tetap punya makna. Dan kita nggak boleh semena-mena.”

Percakapan itu menandai perbedaan karakter mereka. Mikha dengan data, Yolla dengan intuisi, Yohan dengan semangat praktis, dan Eris sebagai penyeimbang. Empat kepala, empat jalan pikiran, tapi satu tujuan.

Semakin mereka menggali, semakin jelas kalau Alas Tilem bukan sekadar hutan biasa. Dalam sebuah arsip lama yang ditemukan Mikha di perpustakaan daerah, ada catatan kolonial Belanda tahun 1902. Di situ disebutkan bahwa ekspedisi ilmiah ke sebuah hutan timur gagal total. Para peneliti yang masuk hanya sebagian kecil yang kembali, itupun dengan kondisi sakit parah dan tidak pernah mau bicara tentang apa yang mereka lihat. Catatan itu berakhir dengan kalimat singkat: “Het woud is vervloekt” — hutan itu terkutuk.

Ketika Mikha membacakan bagian itu, ruangan jadi hening. Yolla merasakan dingin merambat di tengkuknya. “Terkutuk… kata itu selalu muncul di tiap cerita rakyat juga.”

“Justru itu menarik,” kata Eris. “Kalau sampai kolonial pun gagal, berarti hutan itu punya kekuatan sendiri. Entah karena ekosistemnya begitu kompleks, atau memang ada sesuatu di sana. Kita harus buktikan.”

Yohan bersandar dengan tangan terlipat. “Aku setuju. Tapi kita jangan cuma mikirin mitos. Kita harus punya tujuan jelas. Kalau kita cuma datang buat penasaran, itu sia-sia.”

“Tujuan kita jelas,” sahut Eris. “Menunjukkan bahwa hutan ini layak jadi kawasan konservasi. Kita bukan penantang, kita saksi. Dan kalau memang ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan… kita hormati.”

Kalimat itu menutup diskusi malam itu, tapi membuka lembaran baru dalam perjalanan mereka.

Minggu-minggu berikutnya penuh dengan persiapan. Eris membuat konsep besar: dokumentasi menyeluruh tentang flora, fauna, dan kondisi tanah. Mikha menyusun daftar perlengkapan riset: kamera, drone, GPS, dan catatan lapangan. Yolla menyiapkan kontak dengan beberapa warga desa yang bisa memberi mereka jalan masuk ke hutan. Yohan mengurus logistik: tenda, makanan, dan perlengkapan bertahan hidup.

Namun di balik persiapan itu, ada sesuatu yang tak terucapkan. Setiap kali nama Alas Tilem disebut, ada rasa bergetar di udara. Bukan hanya karena jaraknya jauh, tapi karena bayangan misteri yang menyelimuti.

Suatu malam, ketika mereka sudah selesai rapat, Yolla duduk sendirian di beranda rumah kontrakan. Hujan rintik turun, lampu jalan berpendar sayu. Ia membuka kembali catatannya. Ada satu kalimat yang ditulis seorang nenek di desa:

“Alas Tilem adalah rumah. Jangan menganggapnya hutan kosong. Di sana, tumbuhan, hewan, dan makhluk lain hidup bersama. Kalau kalian masuk, berarti kalian tamu. Jangan pernah berlaku seperti tuan.”

Kalimat itu terus berputar di kepalanya. Ia tahu, perjalanan mereka nanti bukan sekadar ekspedisi. Itu akan jadi pertemuan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari mereka.

Dan di dalam hati kecilnya, Yolla mulai bertanya: apakah mereka benar-benar siap menjadi tamu di rumah yang bahkan tak terlihat batasnya?

...

Malam di kota itu terasa berbeda sejak selebaran-selebaran kertas sederhana dengan judul besar bertinta hitam menempel di banyak sudut jalan, di papan pengumuman kampus, di dekat warung kopi yang jadi tempat nongkrong mahasiswa, hingga di halte bus tua yang sudah penuh dengan bekas iklan acara musik. Selebaran itu tidak menampilkan janji manis atau tawaran menggiurkan, hanya satu kalimat tegas di bagian atas: “Bergabunglah Membentuk Wilayah Konservasi—Hutan Kita Butuh Kamu.”

Di bawahnya, gambar pohon besar dengan akar menjuntai menghiasi selembaran, sederhana namun kuat. Dan yang paling penting, di pojok kanan bawah, tertera nomor WhatsApp Yolla.

Awalnya mereka tidak terlalu berharap banyak. Yolla sendiri sempat gelisah ketika nomornya dipasang. “Nanti kalau tiba-tiba ada orang iseng gimana? Atau yang masuk malah orang-orang nggak jelas?” tanyanya waktu rapat kecil di rumah kontrakan tempat mereka biasa berkumpul.

Tapi Eris hanya menepuk pundaknya. “Yol, kalau kita mau bikin gerakan besar, harus siap dengan konsekuensi. Biarkan saja nomor itu jadi pintu. Kalau yang masuk orang iseng, kita bisa saring. Kalau yang masuk serius, itu modal besar.”

Yohan menimpali sambil tertawa kecil. “Lagipula, kalau ada yang modus, kan gampang diblok.”

Malam itu mereka tertawa ringan, tak menyangka dalam beberapa hari berikutnya nomor itu akan benar-benar menjadi pintu masuk bagi puluhan orang dengan semangat yang sama.

Keesokan harinya, notifikasi pertama masuk ke ponsel Yolla. Hanya sapaan singkat: “Kak, saya mahasiswa baru mapala. Saya tertarik banget soal konservasi. Gimana cara ikut?”

Yolla menjawab dengan ramah, sedikit kaku, tapi mencoba membangun suasana. Tak lama, pesan berikutnya datang. Lalu pesan lain. Lalu pesan lain lagi.

Dalam tiga hari, kotak masuk WhatsApp-nya penuh dengan ratusan pesan. Ada yang serius bertanya soal visi misi, ada yang hanya ingin tahu, ada pula yang langsung menawarkan bantuan.

“Aku bisa bikin desain poster kalau kalian butuh,” tulis seorang mahasiswa seni rupa.

“Saya anak biologi. Kalau ada survei lapangan, saya siap turun,” tulis yang lain.

“Aku bukan siapa-siapa, tapi aku cinta hutan. Tolong ajak aku,” ada pula yang mengirim pesan singkat namun penuh ketulusan.

Yolla kewalahan. Tangannya nyaris pegal hanya untuk membalas pesan satu per satu. Pada akhirnya ia membuat grup WhatsApp bernama “Gerakan Hijau” sebagai wadah awal. Tak sampai seminggu, anggota grup itu sudah mencapai lima puluh orang. Percakapan di dalamnya nyaris tidak berhenti, dari obrolan ringan hingga perdebatan soal strategi.

Mikha hanya tersenyum melihat itu semua. “Lihat kan? Api kecil yang kita sulut sudah mulai menyebar.”

Eris mengangguk. “Tapi kita butuh lebih dari sekadar obrolan online. Kita butuh tempat nyata, pusat gravitasi, tempat mereka bisa berkumpul, tidur, rapat, berdebat, bikin strategi.”

Itulah yang kemudian membuat Mikha memberanikan diri bicara pada ayahnya. Malam itu, di ruang kerja yang penuh dengan rak buku tebal dan lukisan tua, Mikha berdiri dengan tangan bergetar.

“Pak, aku nggak minta uang,” katanya pelan. “Aku cuma minta satu dari rumah kosong Bapak. Kami butuh basecamp untuk gerakan konservasi.”

Ayahnya menatapnya lama, dengan wajah antara heran dan ragu. “Gerakan? Kamu pikir anak-anak seusiamu bisa melawan dunia nyata? Orang-orang sibuk cari makan, sibuk bangun bisnis. Kamu datang dengan mimpi soal pohon dan hutan?”

Mikha menarik napas panjang. “Pak, justru itu gunanya punya anak muda seperti aku. Orang mungkin sibuk dengan uang, tapi kami sibuk dengan masa depan. Kalau hutan hilang, uang pun nggak ada gunanya. Lagipula, kalau Bapak kasih satu rumah saja, itu bukan cuma buat aku. Itu buat puluhan anak muda yang mau kerja nyata. Nama Bapak pun ikut harum, dikenal sebagai pengusaha yang peduli lingkungan.”

Ayahnya terdiam. Ia tahu Mikha pandai bicara, kadang terlalu pandai. Tapi kali ini ada api yang berbeda di mata anaknya. Dengan helaan napas berat, ia berkata, “Ada satu rumah di Jalan Rajawali, dekat taman kota. Sudah lama kosong. Ambil kuncinya. Gunakan sebaik-baiknya. Tapi ingat, jangan bikin masalah.”

Kabar itu membuat keempat sahabat itu melompat kegirangan. Mereka segera meninjau rumah yang dimaksud. Rumah besar bergaya kolonial dengan cat putih yang mulai pudar, halaman cukup luas, jendela-jendela besar dengan tirai kusam, dan ruang tamu lapang yang masih menyisakan aroma kayu tua.

“Ini… lebih dari cukup,” kata Yohan sambil melangkah berkeliling. “Bayangkan, ruangan ini bisa jadi ruang rapat. Kamar belakang jadi perpustakaan kecil. Halaman bisa dipakai buat diskusi outdoor.”

Yolla memeluk Mikha erat. “Kamu pahlawan kita, Mik.”

Eris hanya berdiri di tengah ruangan dengan tatapan berbinar. “Rumah ini akan jadi saksi sejarah. Kita mulai dari sini.”

Tak butuh waktu lama, mereka mengundang anggota baru untuk berkumpul di rumah itu. Pada Sabtu pagi, dua puluh lima orang hadir, sebagian wajah baru, sebagian wajah lama yang sudah sering muncul di percakapan grup.

Di antara mereka ada Frans, anak seorang pemilik perusahaan rokok terbesar di kota itu. Penampilannya rapi, berjaket jeans dan sepatu sneakers mahal, tapi sorot matanya penuh tekad. “Aku tahu keluarga aku penyumbang kerusakan lewat rokok. Tapi justru itu alasanku di sini. Aku nggak mau generasi kita hanya mewarisi jejak buruk. Aku mau buktiin kita bisa beda.”

Ada juga Erina, gadis berkacamata dengan dandanan sederhana tapi pembawaan tegas. Ia memperkenalkan diri sebagai anak pejabat eselon 1. “Aku tahu banyak yang skeptis sama anak pejabat. Tapi aku di sini bukan untuk gaya-gayaan. Aku di sini karena aku punya akses. Kalau kita mau serius, kita butuh legalitas. Kita harus bikin yayasan. Aku bisa bantu urus izin, aku bisa ketuk pintu yang orang lain sulit ketuk.”

Beberapa anggota lain pun memperlihatkan kemampuan masing-masing. Seno, seorang fotografer muda, membawa kamera DSLR dan berkata siap mendokumentasikan semua kegiatan. Nisa, siswi SMA kelas 12 yang jago desain grafis, menawarkan diri mengelola akun media sosial. Bram, mahasiswa hukum, sudah menumpuk print out undang-undang lingkungan dan siap mengkaji celah hukum.

Rumah itu berubah hidup dalam semalam. Dinding kosong kini penuh coretan spidol: visi, misi, timeline kegiatan, hingga draft peraturan yayasan. Lantai ruang tamu dipenuhi matras bekas untuk tidur. Dapur sederhana mulai berfungsi untuk memasak mi instan dan kopi sachet. Di pojok ruangan, gitar tua dan beberapa perkusi kecil mulai dipakai untuk latihan musik kampanye.

Suasana rumah penuh energi, seperti kawah candradimuka. Orang-orang datang dengan ide liar: ada yang ingin bikin mural di tembok kota, ada yang ingin mengadakan aksi teatrikal di pasar, ada pula yang berencana mengadakan ekspedisi kecil ke sungai untuk pembersihan sampah.

Eris memimpin diskusi pertama dengan suara bergetar penuh semangat. “Mulai hari ini, kita punya rumah. Tapi rumah ini bukan sekadar bangunan. Ini simbol. Tempat orang bisa singgah, belajar, dan pulang dengan semangat baru. Dan kita akan beri nama gerakan ini: Rumah Singgah Hijau.

Sorak-sorai memenuhi ruangan.

Namun, di balik sorak-sorai itu, ada pula dinamika. Frans sering jadi sasaran sindiran halus: “Enak ya, bicara soal hutan, tapi asap pabrik rokok bapakmu numpuk di udara.” Frans hanya menunduk, lalu menjawab pelan, “Justru itu alasanku di sini. Aku ingin tebus kesalahan.”

Erina juga tak luput dari cibiran: “Anak pejabat biasanya cuma numpang nama.” Tapi ia tak gentar. Ia lembur siang-malam menyiapkan berkas, mengetuk pintu birokrasi, bahkan berdebat dengan staf pemerintah yang sinis. “Kalau kalian pikir aku di sini cuma pakai nama bapakku, kalian salah. Aku di sini untuk buktiin anak pejabat juga bisa kerja.”

Hari demi hari, Rumah Singgah Hijau berdenyut seperti organisme hidup. Orang datang dan pergi, tapi semangat tetap membara. Grup WhatsApp terus ramai, pamflet makin menyebar, dan nama Rumah Singgah Hijau mulai diperbincangkan di kampus-kampus.

Dan di balik semua itu, bayangan hutan yang mereka sebut Alas Tilem terus menghantui obrolan. Mereka tahu, pada akhirnya, hutan itu akan jadi tujuan besar mereka. Tempat di mana semua ide ini diuji, tempat di mana keberanian mereka benar-benar dibuktikan.

Untuk saat ini, mereka baru membangun pondasi. Tapi pondasi itu kokoh, dibangun dengan idealisme, persahabatan, dan keberanian untuk menantang arus. Rumah Singgah Hijau bukan lagi sekadar gagasan. Ia sudah menjelma jadi rumah, jadi gerakan, jadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Hari itu ruang tamu besar di rumah Rajawali penuh sesak. Karpet tipis sudah digelar, kursi-kursi lipat dipinjam dari tetangga, papan tulis putih berdiri di sudut ruangan dengan spidol warna-warni yang berserakan di lantainya. Semua yang hadir tahu, ini bukan lagi sekadar kumpul-kumpul aktivis kampus. Mereka akan menyusun sesuatu yang nyata, resmi, dan mengikat.

Eris berdiri di depan papan tulis dengan ekspresi serius. “Kawan-kawan, kalau kita mau dianggap serius oleh pemerintah, masyarakat, dan calon donatur, kita nggak bisa cuma pakai nama doang. Kita harus punya struktur organisasi. Kita harus punya yayasan resmi. Itu artinya kita butuh proposal, AD/ART, dan pengurus yang jelas.”

Ruangan menjadi hening. Beberapa orang mengangguk setuju, yang lain terlihat tegang. Seno memegang kameranya, sesekali memotret suasana rapat untuk dokumentasi. Andra mencatat dengan teliti setiap kata.

Eris melanjutkan, “Aku tahu kita semua sama-sama punya niat. Tapi niat tanpa struktur bisa bubar kapan saja. Jadi hari ini kita bentuk hierarki. Bukan untuk saling menguasai, tapi untuk saling melengkapi.”

Pemilihan pengurus berlangsung sederhana tapi penuh makna. Mereka menuliskan nama calon di secarik kertas, lalu memasukkannya ke kotak kardus bekas sepatu. Setelah hitungan suara, hasilnya cukup jelas.

Eris terpilih sebagai ketua. Tak ada yang kaget. Sejak awal, dialah yang selalu bersuara paling lantang, wajahnya paling sering muncul di depan, dan visinya paling tegas. Tapi justru Eris tampak terdiam ketika namanya diumumkan. “Aku bukan pemimpin sempurna,” katanya dengan suara parau. “Tapi kalau kalian percaya, aku akan jalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya.”

Yolla terpilih sebagai wakil ketua. Ia sempat menolak dengan alasan lebih suka kerja di balik layar, tapi suara mayoritas tidak bisa dibantah. “Kamu adalah wajah yang bisa bikin orang nyaman,” ujar Mikha meyakinkan. “Kalau aku bicara, orang mungkin lihatnya terlalu politikus. Kalau Eris bicara, kadang terlalu meledak-ledak. Tapi kalau kamu, Yol, orang langsung percaya.”

Untuk posisi bendahara, nama Mikha dan Erina bersaing ketat. Akhirnya diputuskan mereka berdua memegang bersama. Erina dengan kecermatannya mengelola dokumen dan akses birokrasi, Mikha dengan koneksi keluarganya yang luas. “Kalau urusan duit, nggak boleh cuma satu orang yang pegang,” kata Erina dengan tegas. “Harus ada check and balance.” Mikha hanya tersenyum, setuju sepenuhnya.

Frans maju sebagai humas. Ia tahu reputasi keluarganya di mata publik sering dianggap kontroversial, tapi justru itu yang membuatnya ingin menebus. “Kalau aku bisa pakai nama keluargaku untuk menarik media meliput hal positif, kenapa tidak?” katanya. Beberapa orang sempat tersenyum miring, tapi Eris mengangguk mantap. “Humas harus berani pasang badan. Frans cocok.”

Seno didaulat menjadi bagian perlengkapan. Ia tertawa kecil, lalu menepuk-nepuk kameranya. “Ya sudah, aku memang suka urus barang. Kamera, tenda, peralatan, semua aku siap.”

Sementara itu Andra, yang sejak awal tekun mencatat, ditunjuk menjadi bagian keanggotaan. Dialah yang paling teliti menyimpan data siapa yang bergabung, siapa yang keluar, siapa punya potensi apa. “Organisasi ini akan besar,” kata Andra. “Kalau kita nggak punya data anggota yang rapi, kita bisa kacau sendiri.”

Sisanya diputuskan sebagai anggota umum, tapi dengan catatan mereka bisa membentuk divisi kecil sesuai minat: media sosial, riset, edukasi, atau aksi lapangan. Semua mencatat tugas masing-masing dengan wajah bersinar.

Setelah hierarki terbentuk, suasana rumah mendadak terasa lebih serius. Tidak lagi sekadar kumpul idealis, tapi seperti kantor kecil dengan denyut organisasi yang nyata. Papan tulis kini penuh dengan bagan struktur: Ketua, Wakil, Bendahara, Humas, Perlengkapan, Keanggotaan, dan anggota.

Yolla berdiri mendampingi Eris. “Kalau kita sudah punya struktur, tahap berikutnya adalah proposal yayasan. Kita harus tunjukkan visi misi, program kerja, dan rencana jangka panjang. Orang tidak akan percaya pada gerakan yang tidak punya arah.”

Erina sudah membuka laptop, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. “Aku sudah unduh format proposal yayasan dari Kemenkumham. Ada syarat pendirian: akta notaris, NPWP, rekening bank, dan AD/ART. Kalau semua lengkap, kita bisa ajukan ke Kemenkumham. Setelah itu, kita resmi diakui.”

Mikha menimpali dengan nada ringan, tapi jelas. “Kalau soal biaya notaris dan administrasi, biar aku yang tanggung dulu. Anggap saja ini investasiku buat Rumah Singgah Hijau. Tapi ingat, setelah jadi yayasan, kita harus cari donasi. Kita nggak bisa selamanya bergantung pada aku atau keluargaku.”

Frans menepuk meja. “Aku bisa tarik media. Kita bikin acara penggalangan dana. Musik, pameran foto, teater jalanan. Kalau bisa viral, donasi pasti mengalir.”

Seno mengangkat tangan. “Aku bisa bikin dokumentasi visual. Foto dan video kegiatan kita bisa jadi materi promosi. Orang lebih percaya kalau lihat bukti nyata.”

Andra mengangguk sambil menulis cepat. “Oke, aku catat semua. Ini bisa masuk ke rencana kerja tahunan.”

Rapat berlanjut hingga malam. Kertas-kertas berserakan, kopi sachet habis, udara penuh suara ide-ide yang tumpah ruah. Hingga akhirnya, Eris berdiri lagi di depan. “Semua ini bagus. Tapi kita butuh langkah simbolis. Kita butuh subjek pertama. Tempat nyata yang bisa kita klaim sebagai fokus konservasi. Kita butuh wajah bagi yayasan ini.”

Semua menoleh, saling bertanya lewat tatapan. Yolla menarik napas pelan. “Alas Tilem,” ucapnya.

Kata itu melayang di udara, menimbulkan keheningan sesaat. Nama yang sebelumnya hanya muncul sekilas dalam riset mereka, kini disebut dengan lantang di ruang rapat. Alas Tilem, hutan perawan yang nyaris terlupakan, penuh mitos dan misteri, tapi juga menyimpan potensi ekologi luar biasa.

Eris menatap mata satu per satu anggota. “Ya. Alas Tilem akan jadi subjek pertama kita. Kita akan survey ke sana. Bukan untuk eksploitasi, tapi untuk memahami, mendokumentasikan, dan memperjuangkan statusnya sebagai wilayah konservasi.”

Tapi tentu saja, mereka tidak bisa pergi ramai-ramai sekaligus. Mereka butuh tim kecil yang gesit, bisa bergerak cepat, bisa ambil keputusan di lapangan. Maka diputuskan Eris sebagai ketua harus ikut. Yolla sebagai wakil, sekaligus hati nurani kelompok, juga harus ada. Mikha dengan kemampuan logistik dan koneksi finansial jelas dibutuhkan. Dan terakhir, Yohan, si pemberani yang meski sering ceroboh, punya keberanian yang tidak tergantikan.

“Tim inti empat orang,” kata Erina, sambil mengetik di laptopnya. “Eris, Yolla, Mikha, Yohan. Kalian yang akan survey perdana. Kami yang lain mendukung dari basecamp. Kita siapkan semua keperluan logistik, peta, peralatan medis, dokumentasi, dan komunikasi.”

Seno sudah membayangkan daftar perlengkapan: tenda ringan, GPS, peta topografi, radio komunikasi, kamera, hingga perlengkapan survival. Frans menulis draft press release untuk publik, agar masyarakat tahu gerakan mereka punya arah nyata. Andra mencatat daftar anggota yang siap backup jika ada kendala.

Malam itu, di ruang yang hanya diterangi lampu neon murahan, mereka resmi menyusun rencana kerja yayasan. Tidak lagi sekadar mimpi, tapi tabel nyata: siapa melakukan apa, kapan deadline, bagaimana output. Visi mereka dipadatkan jadi kalimat sederhana: “Menjadikan Alas Tilem wilayah konservasi resmi, sebagai simbol perjuangan generasi muda untuk masa depan bumi.”

Ketika rapat selesai, jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Mata sebagian orang memerah, tapi wajah mereka bersinar. Di luar, jalan Rajawali sepi, hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam.

Eris menutup rapat dengan kalimat yang masih teringat oleh semua: “Kawan-kawan, hari ini kita bukan lagi sekumpulan anak muda gusar. Hari ini kita organisasi. Hari ini kita punya rumah, punya nama, punya struktur, punya tujuan. Kita adalah Rumah Singgah Hijau, dan langkah pertama kita adalah menyalakan obor di kegelapan Alas Tilem.”

Sorak kecil terdengar, bukan lagi sorak spontan, tapi sorak penuh keyakinan. Mereka tahu, langkah berikutnya tidak akan mudah. Ada surat keputusan yang masih harus mereka tunggu dari Kemenkumham, ada donasi masyarakat yang harus dikumpulkan, ada skeptisisme yang harus dihadapi. Tapi semua itu terasa ringan karena kini mereka bukan lagi individu, melainkan satu tubuh yang bergerak bersama.

Dan di antara rasa lelah itu, bayangan hutan Alas Tilem muncul di benak mereka. Hutan perawan, penuh misteri, menunggu kedatangan empat pemuda pertama yang berani menjejakkan kaki dengan niat melindungi, bukan merusak.

Rumah Singgah Hijau baru saja berdiri, tapi denyutnya sudah terasa seperti jantung yang berdetak kencang, siap mengalirkan darah perjuangan ke seluruh nadi kota.

....

Malam itu basecamp Rumah Singgah Hijau terasa lebih riuh dari biasanya. Rumah tua yang dipinjamkan ayah Mikha, dengan halaman luas dan pepohonan rindang di sekitarnya, kini berubah menjadi pusat pertemuan yang tak pernah sepi. Lampu-lampu neon yang dipasang seadanya di teras menyorot wajah-wajah muda yang penuh semangat, saling bercampur antara canda, serius, dan degup antusiasme akan perjalanan besar mereka. Sejak yayasan disepakati, hari-hari mereka dipenuhi dengan rapat, diskusi, pembagian kerja, hingga akhirnya mengerucut pada rencana paling krusial: survey perdana ke Alas Tilem.

“Logistik harus jelas. Jangan sampai kita masuk hutan tanpa persiapan matang,” ujar Mikha sambil membuka catatan di laptopnya. Suaranya tegas, meski ekspresinya santai. Dia duduk di kursi rotan yang sudah agak reyot, tapi terlihat nyaman dengan kemeja flanelnya yang dilipat hingga siku.

Di sekelilingnya, beberapa anggota lain menaruh perhatian penuh. Yolla mencatat dengan tangan cepat di buku jurnal hijau kesayangannya, sementara Eris duduk agak tegak, seolah pertemuan ini bukan sekadar persiapan, tapi peristiwa sakral yang akan menentukan masa depan gerakan mereka. Yohan, yang sejak tadi sibuk memeriksa peta topografi Alas Tilem yang berhasil mereka cetak dari sumber lama, sesekali mengangkat kepala, memberi koreksi tentang jalur atau kemungkinan medan yang harus diwaspadai.

“Untuk logistik, aku sudah bikin daftar,” lanjut Mikha, “makanan instan, peralatan masak portable, obat-obatan dasar, kompas, GPS, tenda, sleeping bag, tali, golok, hingga radio komunikasi. Jangan lupa solar panel kecil untuk mengisi perangkat.”

“Air minum?” sela Seno, yang memang dipercaya mengurus perlengkapan. “Kita nggak mungkin bawa banyak jerigen, terlalu berat. Jadi aku sarankan bawa filter portable sama tablet penjernih air. Air di hutan masih banyak, tapi kualitasnya nggak bisa dipastikan.”

Eris mengangguk. “Bagus. Aku setuju. Ingat, ini survey perdana. Kita bukan cuma jalan-jalan, kita sedang membuka lembaran sejarah. Jadi segala hal kecil harus diperhitungkan.”

Diskusi mengalir semakin intens. Frans menambahkan tentang komunikasi eksternal, bahwa mereka harus punya jadwal laporan rutin pada anggota yang tinggal di basecamp. “Kalau dalam dua hari tidak ada kabar, tim cadangan harus siap menyusul. Jangan sampai kita hilang tanpa jejak.” Suaranya berat, menegaskan bahwa meski mereka muda, keseriusan tetap harus jadi fondasi.

Sementara itu, Andra yang mengurus keanggotaan memperhatikan interaksi antar anggota. Ia menyadari bahwa persiapan ini membuat mereka semakin intim, saling mengenal lebih dalam. Tidak sedikit canda tawa menyelingi ketegangan. Yolla sering kali mengusik Yohan dengan celetukan kecil, “Jangan sampai kamu peta doang yang jago, tapi begitu nyasar nggak bisa pulang.” Yohan hanya menanggapinya dengan senyum tipis, meski sesekali wajahnya memerah. Erina, dengan sikap kalemnya, lebih banyak mengamati, namun saat dibutuhkan selalu memberikan pandangan realistis terutama terkait birokrasi yang tengah berjalan.

Malam-malam menjelang keberangkatan diisi dengan training survival dasar. Halaman basecamp berubah seperti lapangan kecil untuk simulasi. Mereka belajar mendirikan tenda dalam waktu singkat, menyalakan api dengan cara tradisional maupun modern, hingga mengenali tanda-tanda arah tanpa kompas. Yohan menjadi instruktur dadakan karena latar belakangnya di mapala memberi pengalaman lebih. Dengan suara lantang ia menjelaskan cara mencari jejak air di tanah, mengenali pohon tertentu sebagai penanda, dan teknik dasar pertolongan pertama.

“Kalau ada yang jatuh atau terluka, jangan panik. Prioritas kita adalah menjaga nyawa. Hutan bisa memaafkan banyak hal, tapi alam juga bisa kejam bagi yang lengah,” katanya pada suatu malam latihan. Kata-kata itu membuat suasana sesaat hening, seolah memberi isyarat bahwa perjalanan mereka tidak akan ringan.

Namun keintiman antar anggota justru semakin terbangun. Seusai latihan, mereka sering duduk melingkar di teras, menyeruput kopi atau teh hangat. Obrolan mereka meluas ke mimpi-mimpi besar, tentang bagaimana Alas Tilem kelak bisa jadi wilayah konservasi yang dijaga, bukan dieksploitasi.

“Aku membayangkan anak cucu kita nanti masih bisa melihat burung-burung endemik di sana, atau pohon-pohon raksasa yang berusia ratusan tahun. Bukan cuma cerita di buku,” ujar Yolla dengan mata berbinar.

“Dan semoga nggak ada lagi yang berani tebang-tebang liar,” tambah Eris. “Kalau ini berhasil, mungkin bisa jadi model untuk banyak daerah lain.”

“Ambisius banget,” gumam Mikha sambil tersenyum. “Tapi aku suka. Dunia ini memang butuh orang-orang yang berani bermimpi segila itu.”

Hari-hari menjelang keberangkatan penuh dengan persiapan teknis sekaligus emosional. Mereka saling mengisi kekurangan, membangun kepercayaan, dan menumbuhkan keyakinan bahwa ini bukan sekadar ekspedisi, tapi sebuah misi yang bisa mengubah arah hidup mereka semua.

Akhirnya, tibalah pagi yang dinantikan. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, memberi cahaya keemasan pada pepohonan yang mengelilingi basecamp. Empat pemuda inti yang diputuskan untuk berangkat—Eris, Yolla, Yohan, dan Mikha—bersiap dengan ransel besar di punggung, sepatu hiking yang kuat, serta semangat yang membara di dada.

Semua anggota lain berkumpul di halaman untuk melepas mereka. Ada doa singkat dipanjatkan, juga pelukan hangat sebagai tanda persaudaraan. Frans memberikan walkie-talkie pada Eris, sementara Erina menyerahkan map kecil berisi dokumen penting dan peta jalur administratif yang mereka peroleh dari dinas kehutanan.

“Jangan gegabah. Ingat, kalian bukan hanya membawa nama sendiri, tapi juga membawa nama yayasan ini,” pesan Erina dengan nada serius.

“Kalau ada apa-apa, kirim kabar. Jangan sok jadi pahlawan,” timpal Frans.

Yolla tersenyum, lalu melambaikan tangan pada yang lain. “Tenang saja. Kami bukan orang-orang yang mudah hilang arah.”

Dengan satu mobil jip pinjaman dari ayah Mikha, mereka berempat berangkat menuju gerbang perjalanan yang akan membawa mereka ke dalam jantung hutan Alas Tilem. Jalanan berdebu yang berliku, udara pedesaan yang semakin segar, dan hamparan sawah yang perlahan berganti menjadi perbukitan hijau menandai awal ekspedisi ini.

Di dalam mobil, suasana penuh campuran antara antusiasme dan kegugupan. Eris memandang jauh ke luar jendela, membayangkan apa yang akan mereka temukan. Yohan sibuk menandai jalur di peta, memastikan bahwa mereka tidak salah arah. Mikha mencoba mencairkan suasana dengan melontarkan humor-humor ringan, sementara Yolla memegang jurnalnya erat-erat, seolah siap menulis setiap pengalaman yang akan mereka alami.

Mereka belum tahu apa yang menanti di dalam hutan itu—apakah sekadar tantangan alam, atau sesuatu yang jauh lebih besar, lebih tua, dan lebih misterius daripada yang bisa dibayangkan. Namun langkah kaki mereka sudah terlanjur diayunkan. Alas Tilem, dengan segala rahasia dan rumah-rumah makhluk tak kasatmata di dalamnya, kini menunggu dengan sunyi yang dalam.

Dan perjalanan itu pun dimulai.

Perjalanan sejak pagi terasa seperti liburan panjang. Mobil jip berwarna hijau tua yang mereka kendarai berderum melewati jalan pedesaan yang berkelok-kelok, melintasi sawah hijau yang mulai menguning dan hutan-hutan kecil di kejauhan. Angin sore menyusup masuk melalui jendela yang dibuka lebar. Bau tanah, bau rumput, dan sesekali aroma kembang liar tercium, membuat suasana terasa begitu segar. Mereka bercanda, saling lempar cerita, seakan-akan ekspedisi ini hanyalah piknik ke luar kota, bukan perjalanan menuju sesuatu yang belum pasti.

“Lihat gunung di depan itu,” ujar Mikha sambil menunjuk ke arah utara. “Kalau dari cerita lama, katanya Alas Tilem ada di balik sana. Aku pernah dengar bapak cerita kalau orang jarang berani ke situ.”

Yolla yang duduk di samping supir hanya terkekeh. “Bapakmu kan suka lebay. Katanya juga rumah kosong sebelah basecamp kita dulu berhantu, padahal cuma kosong karena nggak ada penyewa.”

Semua tertawa, termasuk Eris yang duduk di kursi belakang. “Jangan-jangan nanti cerita-cerita itu kita buktikan sendiri. Kalau benar ada sesuatu di Alas Tilem, mungkin itu bukan soal hantu, tapi soal alam yang belum kita pahami.”

Yohan yang dari tadi lebih fokus pada peta dan catatan akhirnya menimpali dengan nada serius, “Justru itu yang harus kita hadapi. Alam punya banyak rahasia. Bisa jadi bahaya, bisa juga jadi pengetahuan. Kita jangan terlalu meremehkan.”

Namun kalimatnya tenggelam dalam keceriaan lagu yang diputar Mikha dari ponselnya. Musik pop ringan mengisi mobil, membuat suasana kembali cair. Mereka bernyanyi bersama, beberapa kali bahkan fals, tapi justru itulah yang membuat perjalanan terasa akrab. Di luar, langit perlahan berubah warna. Matahari condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan sawah dan pepohonan. Bayangan panjang terbentuk di sepanjang jalan, membuat sore itu tampak damai.

Ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul empat sore, mereka melihat sebuah warung kecil di tepi jalan, setengah terbuka dengan dinding anyaman bambu dan atap seng. Warung itu tampak sederhana, namun ada papan kayu kecil bertuliskan “Kopi Tubruk, Gorengan, Wedang Jahe” dengan cat putih yang sudah pudar. Yolla langsung berseru, “Eh, kita berhenti sebentar yuk! Ngopi dulu. Capek juga duduk dari tadi.”

Tanpa pikir panjang, Mikha menepikan mobil. Ban jip itu berdecit sedikit di tanah kerikil sebelum akhirnya berhenti tepat di depan warung. Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahunan keluar sambil mengusap tangannya dengan kain lap, wajahnya keriput namun ramah. “Monggo, silakan mampir, Nak. Mau ngopi ya?” katanya dengan logat Jawa halus.

Di dalam, seorang perempuan sepantarannya sedang menggoreng tempe mendoan di tungku tanah liat, asap tipis mengepul dari wajan berisi minyak panas. Aroma gurih tempe bercampur dengan wangi kopi tubruk yang baru diseduh, membuat perut mereka langsung keroncongan.

“Wah, pas banget, Bu,” ujar Yolla sambil duduk di bangku panjang bambu. “Kami haus kopi, lapar gorengan.”

Bu Marni, demikian nama perempuan itu, tersenyum lembut. “Alhamdulillah, rejeki sore. Duduk sini, nanti saya bawakan kopi sama mendoan panas.”

Suasana warung kecil itu terasa hangat. Mereka duduk mengelilingi meja kayu sederhana yang permukaannya sudah penuh goresan. Eris memandang sekeliling, merasakan semacam kenyamanan yang jarang ia temui di kota. Sementara Mikha, dengan gaya khasnya, sudah mulai bercanda, “Kalau mendoan di sini enak, kita buka cabang di kota, Bu. Saya modalin.”

Pak Marto, si lelaki tua, tertawa pelan. “Hehe, kalau di kota mungkin rasanya beda, Nak. Mendoan harus dimakan di desa, sambil lihat sawah sama dengar suara burung.”

Obrolan ringan itu mengalir begitu saja. Mereka bercerita sedikit tentang perjalanan mereka, tentang yayasan yang sedang mereka bangun. Bu Marni sesekali menimpali, kagum pada semangat empat pemuda itu. “Wah, bagus sekali. Anak muda sekarang jarang yang mau mikirin lingkungan. Biasanya cuma sibuk main HP.”

Namun ketika Eris menyebut bahwa tujuan mereka adalah menuju Alas Tilem untuk survey, suasana mendadak berubah. Pak Marto yang semula tersenyum langsung terdiam. Ia menaruh gelas kopi yang baru saja ia aduk, menatap mereka dengan sorot mata yang agak berat. Hening beberapa detik terasa menekan.

“Alas Tilem?” ulang Pak Marto dengan suara rendah.

“Iya, Pak,” jawab Eris mantap. “Kami berempat ditugaskan survey ke sana. Rencananya hutan itu akan jadi wilayah konservasi yang kami usulkan. Masih alami, kan, Pak? Belum banyak disentuh.”

Pak Marto menghela napas panjang. Ia menatap keluar warung, ke arah jalan yang mulai diliputi bayangan sore. “Nak… Alas Tilem itu bukan tempat sembarangan. Orang-orang desa di sekitar sini jarang berani masuk. Ada banyak cerita. Bukan hanya soal binatang buas, tapi juga hal-hal lain… yang tak terlihat.”

Mikha langsung menanggapi dengan nada ringan. “Ah, itu kan cuma mitos, Pak. Hutan memang penuh misteri, tapi justru itu yang bikin menarik. Lagi pula, kami sudah siap dengan peralatan, peta, dan logistik.”

Pak Marto menggeleng pelan, kerut di wajahnya makin dalam. “Kalian mungkin sudah siap dengan alat, tapi tidak dengan hati. Alas Tilem itu… bagaimana ya saya bilang… tempat itu seperti punya dunia sendiri. Ada aturan-aturan yang tak tertulis. Siapa pun yang masuk tanpa memahami, biasanya tidak kembali dengan selamat. Banyak kisah orang hilang, ada yang ditemukan lemah tak berdaya, ada juga yang tidak pernah pulang.”

Suasana warung hening. Hanya suara minyak mendesis di wajan yang terdengar. Yolla menelan ludah, ada sebersit rasa ngeri dalam hatinya, tapi ia menutupinya dengan tawa kecil. “Pak, bukankah itu cuma cerita lama? Orang tua kan memang suka menakut-nakuti supaya anak muda nggak sembarangan masuk hutan.”

Yohan menatap Pak Marto lebih serius. Ada sesuatu pada tatapan lelaki tua itu yang membuatnya merinding, seolah-olah ia tidak sekadar bercerita, tapi benar-benar menyimpan pengalaman. “Pak, apa Bapak sendiri pernah ke sana?” tanya Yohan hati-hati.

Pak Marto menunduk sejenak sebelum menjawab. “Saya pernah… dulu, waktu masih muda. Hanya sampai pinggiran. Rasanya seperti ada yang mengawasi. Heningnya terlalu dalam, seperti bukan hutan biasa. Saya tak pernah berani masuk lebih jauh.”

Mereka berempat saling berpandangan. Ada ketegangan kecil, namun Eris yang paling bersemangat segera memecah suasana. Ia menepuk meja kayu itu, membuat gelas kopi sedikit bergetar. “Pak, kami menghargai cerita Bapak. Tapi justru karena tempat itu belum tersentuh, maka harus ada yang menjaga. Kalau dibiarkan, bisa-bisa nanti ada orang yang menebang seenaknya. Kami datang bukan untuk merusak, tapi untuk melindungi.”

Mikha menimpali dengan nada berapi-api, “Betul, Pak. Dunia ini terlalu lama tunduk pada ketakutan. Kalau semua orang diam, hutan bisa habis. Kami tidak bisa hanya duduk menunggu. Kami harus bertindak.”

Pak Marto terdiam lagi. Ada rasa sedih di wajahnya, seolah ingin mengatakan banyak hal, namun tak bisa. Bu Marni yang sejak tadi diam akhirnya menaruh piring berisi mendoan di meja, lalu berkata lirih, “Kalau memang kalian ingin ke sana, berhati-hatilah. Jangan sombong. Ingat, hutan punya penghuninya sendiri. Jangan anggap kalian berkuasa di sana.”

Kalimat itu membuat bulu kuduk Yolla sedikit berdiri, tapi ia memilih tersenyum, meski agak kaku. “Terima kasih, Bu. Kami akan hati-hati.”

Mereka lalu melanjutkan kopi dan gorengan dengan canggung. Canda yang tadi riang kini terasa hambar. Ada bayangan berat yang menggantung di kepala mereka, meski masing-masing berusaha menepis. Ketika akhirnya mereka pamit, Pak Marto hanya menatap dengan pandangan dalam, seakan ingin menahan, namun memilih untuk diam.

Mobil jip kembali melaju meninggalkan warung bambu itu. Langit sudah memerah, sebentar lagi malam turun. Di dalam mobil, tak ada lagi nyanyian seperti tadi. Musik masih diputar, tapi tak ada yang ikut bersuara. Kata-kata Pak Marto terus terngiang di kepala mereka, terutama Yohan yang duduk memandang ke luar jendela.

Eris akhirnya memecah keheningan dengan suara lantang, “Kita nggak boleh takut hanya karena cerita orang. Kita punya tujuan jelas, dan kita harus percaya pada visi kita.”

Yang lain hanya mengangguk pelan. Namun jauh di lubuk hati, mereka semua tahu—perjalanan ini bukan sekadar piknik. Di balik keceriaan, ada ketidakpastian besar yang menanti mereka di Alas Tilem.

Mesin jip menderu dengan suara berat ketika menanjaki jalan beraspal yang berliku-liku, seakan menguji ketahanan kendaraan sekaligus kesabaran penumpangnya. Asap tipis sesekali keluar dari knalpot, bercampur dengan debu yang beterbangan dari jalanan sempit. Perjalanan menuju Alas Tilem terasa semakin menantang ketika pepohonan rimbun di kiri kanan jalan kian rapat, dan udara sejuk mulai menggantikan hawa panas dari dataran rendah. Dari balik jendela, hamparan perbukitan hijau terhampar luas, seperti dinding-dinding alam yang berlapis-lapis, berdiri kokoh dengan misteri di dalamnya.

“Lihat itu,” ujar Yohan sambil menunjuk ke arah lembah yang terlihat dari kejauhan. “Kalau dari data topografi yang aku baca, kawasan di bawah sana punya kandungan mineral yang tinggi. Ada cadangan batu bara, mungkin juga emas atau nikel. Tak heran kenapa oligarki bisa kepincut untuk menguasainya.”

Eris yang duduk di sampingnya mengangguk dengan wajah serius. “Dan itu alasan kenapa kita harus cepat. Kalau tidak ada yang melindungi, hutan ini bisa jadi korban berikutnya. Bayangkan saja, pepohonan ini ditebangi, bukit-bukit diratakan, lalu air sungai tercemar limbah tambang. Tidak boleh terjadi.”

Mikha, yang sedang menyetir, hanya melirik singkat sambil menghela napas. “Masalahnya, uang dan kekuasaan selalu punya jalan. Kita ini kecil, Eris. Idealismemu bagus, tapi ingat, realita jauh lebih keras.”

Yolla yang duduk di belakang menyela, suaranya lembut namun tegas. “Kita memang kecil, tapi bukan berarti tidak berarti. Justru karena kecil, kita bisa bergerak lebih murni. Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?”

Mobil kembali terguncang ketika melewati jalanan menanjak yang mulai rusak, aspal retak-retak dan sebagian tertutup akar pohon yang menjalar keluar. Di sekeliling, kabut tipis mulai turun, menambah suasana semakin hening. Burung-burung hanya terdengar sesekali, seolah mengamati dari kejauhan. Perbukitan itu memang menyerupai gunung, tapi bukan gunung sepenuhnya—sebuah bentang alam yang unik, kaya, dan menyimpan banyak rahasia.

Setelah hampir satu jam perjalanan dari warung bambu tempat mereka berhenti tadi, akhirnya mereka sampai di sebuah titik yang disebut warga lokal sebagai pintu rimba. Jalan beraspal berhenti, berganti tanah merah yang lembap. Sebuah gapura sederhana dari kayu berdiri di sana, dengan ukiran motif daun dan burung. Di sebelahnya, terdapat pos kecil yang tampak tua, terbuat dari papan dan bambu, dengan bendera merah putih kusam berkibar malas diterpa angin.

Di depan pos itu berdiri beberapa orang pria berusia setengah baya, mengenakan pakaian sederhana, sebagian sarung, sebagian kaos oblong. Wajah mereka keras, penuh garis kehidupan yang ditempa oleh alam. Dari tengah kelompok itu, seorang pria tua berjalan maju. Rambutnya putih, wajahnya penuh keriput, namun sorot matanya tajam dan penuh wibawa. Dialah Ki Wejang, kepala dusun sekaligus kuncen yang menjaga wilayah perbatasan Alas Tilem.

Mereka berempat turun dari jip dengan sopan. Eris melangkah paling depan, menyalami Ki Wejang dengan hormat. “Assalamualaikum, Ki. Kami datang dengan niat baik. Nama saya Eris, ini teman-teman saya Yolla, Yohan, dan Mikha. Kami dari Rumah Singgah Hijau, sebuah yayasan yang ingin melestarikan alam. Tujuan kami adalah melakukan survey ke Alas Tilem, untuk melihat potensi konservasi.”

Ki Wejang tidak langsung menjawab. Ia menatap mereka satu per satu, seakan membaca isi hati dari sorot mata masing-masing. Hening sejenak terasa menekan, hanya terdengar desir angin yang menggoyangkan daun-daun. Setelah beberapa detik, ia menghela napas berat. “Anak muda… banyak yang datang dengan niat baik. Tapi tidak semua niat baik itu berakhir baik.”

Yolla mencoba tersenyum, berusaha mencairkan suasana. “Ki, kami tidak datang untuk merusak. Justru kami ingin melindungi. Kami ingin Alas Tilem tetap lestari.”

Ki Wejang menggeleng pelan. “Alas Tilem tidak butuh dilindungi manusia. Alam punya caranya sendiri untuk menjaga dirinya. Yang perlu kalian tahu, hutan itu bukan sekadar pohon dan tanah. Ada kehidupan lain di sana. Ada aturan yang tak tertulis, yang tidak akan kalian temukan di buku atau peta.”

Kata-kata itu membuat Yohan terdiam sesaat, mengingat kembali peringatan Pak Marto di warung bambu. Namun Eris melangkah maju, matanya menyala penuh semangat. “Dengan segala hormat, Ki… justru karena aturan itu tidak tertulis, maka manusia seringkali melanggarnya tanpa sadar. Kalau ada dasar hukum, ada wilayah konservasi resmi, maka oligarki tidak akan bisa seenaknya menjarah. Kami tidak bisa tinggal diam.”

Ki Wejang menatap Eris lama, seolah sedang menguji keteguhan hatinya. “Kalian bicara tentang hukum, tentang aturan buatan manusia. Tapi hukum alam jauh lebih tua. Banyak yang masuk ke sana dengan gagah berani, akhirnya hilang, kembali hanya tinggal nama. Apa kalian siap menerima risiko itu?”

Mikha menepuk bahu Eris, seolah ingin menenangkan. Namun Eris justru semakin keras kepala. “Kami siap, Ki. Kalau ada yang hilang, biarlah itu tanggung jawab kami. Tapi kami tidak akan mundur. Alas Tilem harus dijaga.”

Ki Wejang menghela napas panjang, sorot matanya berubah muram. Ada keikhlasan yang dipaksakan, semacam penyerahan yang getir. Ia menoleh pada warga yang berdiri di belakangnya, lalu kembali menatap empat pemuda itu. “Kalau kalian sudah sepakat, saya tidak bisa menahan. Jalan sudah di depan mata. Tapi ingat pesan saya: jangan sombong. Jangan mengira kalian penguasa di dalam sana. Hutan itu punya tuannya sendiri.”

Suasana hening sejenak. Angin sore bertiup, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Eris mengangguk mantap, meski Ki Wejang bisa melihat kesombongan terselubung di balik semangat itu. Ia tahu, kata-katanya tak akan mampu membendung api idealisme anak-anak muda ini.

Dengan langkah berat, Ki Wejang memberi isyarat kepada salah satu warga untuk membuka palang kayu yang menutup jalan masuk ke rimba. Kayu itu diangkat, menandai izin yang enggan namun tak terhindarkan. Dalam hati, Ki Wejang berdoa lirih, semoga hutan itu berbelas kasih pada empat jiwa muda yang sebentar lagi akan melangkah masuk.

Mereka kembali ke jip, melambaikan tangan singkat pada warga. Eris tersenyum lebar, merasa satu langkah lebih dekat dengan mimpinya. Yolla dan Mikha mencoba menyembunyikan kegugupan mereka dengan obrolan ringan, sementara Yohan tetap diam, tatapannya tajam ke depan, pikirannya penuh dengan tanda tanya.

Mesin jip kembali meraung, kali ini melintasi jalan tanah merah yang menembus ke dalam hutan. Di belakang mereka, Ki Wejang berdiri tegak di pintu rimba, menatap punggung mobil yang menjauh. Wajahnya keras, namun sorot matanya menyimpan kesedihan mendalam. Ia tahu, sejak zaman dahulu, hutan itu selalu menuntut harga dari siapa pun yang berani menantangnya.

Dan sore itu, ia melepas empat pemuda dengan doa getir—doa yang tak diucapkan dengan lantang, namun bergema dalam hati yang berat.

Mesin jip perlahan kehilangan makna di tengah jalan tanah yang makin menyempit. Mikha menghentikan laju kendaraan itu dengan gerakan ragu, kedua tangannya masih menggenggam erat kemudi, seakan berharap roda bisa terus maju walau jalannya jelas tak lagi memberi ruang. Tanah merah bergelombang di depan hanya cukup selebar tubuh manusia, bukan lagi badan kendaraan. Sebelah kanan dan kiri jalan dipagari ilalang dan rerumputan liar yang menjulang tinggi, setinggi dada orang dewasa, melambai pelan diterpa angin sore. Mereka saling berpandangan, menyadari inilah batas terakhir di mana roda karet bisa berpijak.

Eris turun lebih dulu, langkahnya mantap meski wajahnya sedikit memucat oleh bayangan dedaunan yang rapat. Ia mengedarkan pandangan ke arah jalan setapak itu, sebuah lorong sempit yang seolah disulam oleh semesta sendiri, jalur kecil yang nyaris tak tersentuh manusia. “Dari sini kita jalan kaki,” katanya datar, menahan degup jantung yang tiba-tiba kencang.

Mikha menyusul turun, meraih ranselnya yang berat dari bagasi belakang. Yolla membuka pintu dengan hati-hati, matanya menyapu rerumputan yang tak biasa. “Kalian sadar nggak? Jalan setapak ini… seperti sengaja dibiarkan, bukan hanya terlupakan. Seakan-akan ada alasan kenapa orang-orang nggak lagi lewat sini.”

Yohan, yang paling pendiam sejak tadi, baru menegakkan tubuh setelah menarik napas dalam. Tatapannya jatuh pada sesuatu di sisi kanan jalan setapak itu: sebuah sanggah kecil dari batu, tak lebih tinggi dari lutut orang dewasa. Di atasnya masih ada wadah sesajen, bunga-bunga yang sudah mengering, canang sederhana yang ditinggalkan entah oleh siapa, entah kapan.

Suasana mendadak lebih berat. Yohan mengangkat tangannya perlahan, membuat tanda salib dengan khidmat, lalu berucap lirih, suaranya nyaris tenggelam ditelan desir angin. “Tuhan Yesus, lindungi kami.”

Yolla yang mendengar itu menoleh sekejap, merasakan getar aneh merambat di punggungnya. Eris menegakkan bahu, menatap ilalang yang berdesir. Ia tidak ingin terlihat goyah di hadapan teman-temannya. Sambil merapatkan ransel ke punggung, ia menggumamkan basmallah, lembut namun tegas, mengikat niat di hatinya. “Bismillahirrahmanirrahim.”

Langkah pertama pun diayunkan.

Vegetasi menyergap mereka seperti dinding hidup. Hutan Alas Tilem benar-benar tak main-main. Hampir sembilan puluh sembilan persen wilayah di depan mereka adalah lautan hijau yang pekat: batang-batang pohon raksasa, akar menjalar seperti ular purba, dan semak belukar yang tak bersahabat. Jalan setapak itu bagai benang tipis di tengah belantara, hanya cukup untuk satu orang berjalan. Di kanan kiri, ilalang bergoyang, menyembunyikan entah apa di baliknya.

Mikha berjalan di depan, ranselnya berisi logistik berat, peluh mulai muncul di keningnya meski udara hutan dingin. Ia mengibas serangga yang berkerumun di sekitar wajahnya. “Kayak… nggak ada orang yang pernah ke sini puluhan tahun, ya,” gumamnya.

“Bukan puluhan,” sahut Yohan pelan, matanya masih terbayang sanggah kecil yang mereka tinggalkan di belakang. “Mungkin ratusan. Dan ada alasannya.”

Eris langsung menoleh, tajam. “Jangan bikin suasana tambah tegang, Han. Kita ke sini bukan buat takut-takutan. Kita punya tujuan. Fokus.”

Namun nada suaranya sendiri terdengar kaku, seakan sedang meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.

Mereka melangkah lebih jauh, jalan tanah makin licin, lembab, sesekali dipenuhi lumut. Daun-daun berguguran di atas kepala, cahaya matahari sore yang menembus celah ranting hanya berupa garis tipis, menorehkan nuansa temaram. Aroma hutan begitu kuat: campuran tanah basah, dedaunan membusuk, dan sesuatu yang samar—seperti dupa yang sudah lama padam, sisa ritual yang entah kapan terakhir dilakukan.

Yolla, yang biasanya lebih riang, kini justru paling waspada. Ia sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Hanya ada jejak mereka sendiri di tanah, bercampur dengan dedaunan yang terinjak. “Aku nggak suka,” katanya lirih, hampir berbisik. “Rasanya… kayak ada yang memperhatikan.”

Mikha tertawa hambar, mencoba mencairkan. “Ya jelas ada. Nyamuk, serangga, burung, mungkin ular juga.”

Namun Yohan menggeleng. “Bukan. Lebih dari itu.”

Mereka berhenti sejenak di sebuah celah kecil, sekadar untuk minum. Hening merayap di antara mereka, hanya suara dedaunan dan napas masing-masing yang terdengar. Eris menegakkan tubuh, menatap ke depan seolah menantang hutan itu. “Dengar, kita nggak boleh goyah. Setiap langkah ini berharga. Ingat, kalau kita bisa menunjukkan betapa Alas Tilem ini penting, oligarki itu nggak akan punya kesempatan. Kita di sini bukan main-main.”

Tapi hutan menjawab dengan sunyi. Burung-burung yang biasanya berkicau di sore hari pun entah kenapa tidak terdengar. Seolah kehadiran mereka telah mengusik sesuatu yang lama tertidur.

Mereka kembali berjalan. Jalan setapak semakin menjorok ke dalam, ilalang makin tinggi, bahkan ada yang hampir menyentuh wajah. Mikha harus membuka jalan dengan golok kecil, menebas batang-batang liar agar mereka bisa lewat. Setiap kali tebasan dilakukan, terdengar bunyi keras, lalu hening kembali. Seperti ada gema samar dari dalam rimba.

Sesekali, mereka menemukan tanda-tanda aneh. Ada pohon besar dengan bekas ukiran tua, samar oleh lumut. Ada batu besar yang tertutup lumut dengan bentuk menyerupai altar. Ada pula suara ranting patah, meski tak ada yang melihat makhluk apa pun. Semua itu menambah beban di hati, namun tidak ada yang berani mengucapkannya lantang.

Hanya Yohan yang terus berdoa dalam hati, jemarinya sesekali meraba salib kecil di lehernya. Yolla menggenggam kuat tali ranselnya, seakan itu satu-satunya pegangan nyata. Mikha menunduk, fokus membuka jalan, sementara Eris tetap maju paling bersemangat, meski peluh makin deras di pelipisnya.

Langit mulai memerah di balik dahan pohon. Senja datang lebih cepat di dalam rimba. Cahaya yang menipis membuat bayangan semakin panjang, membentuk siluet-siluet ganjil di antara pepohonan. Suara jangkrik mulai terdengar, mengisi ruang kosong yang sebelumnya sunyi.

Di sebuah tikungan, mereka kembali melihat sesuatu. Kali ini lebih besar dari sanggah tadi: sebuah batu menhir tegak, di atasnya tersisa bekas sesajen, buah kering dan dupa hitam. Eris berhenti sejenak, menatapnya tanpa kata.

“Ini… apa?” tanya Yolla pelan.

Ki Wejang pernah bilang, hutan punya tuannya sendiri. Kata-kata itu kembali terngiang.

Eris menelan ludah, lalu melangkah lagi. “Apapun itu, jangan disentuh. Kita lewat saja.”

Namun dalam hati, bahkan ia tak bisa menolak kenyataan: mereka sedang masuk ke wilayah yang bukan hanya hutan, tapi sesuatu yang lebih tua, lebih besar, lebih berkuasa dari manusia.

Dan langkah mereka berikutnya terasa lebih berat, seakan tanah sendiri mulai menguji.

Malam jatuh di Alas Tilem dengan cara yang berbeda dari malam-malam lain yang pernah mereka rasakan. Begitu matahari lenyap di balik perbukitan, gelap datang seperti tirai tebal yang diturunkan tanpa aba-aba. Tidak ada lampu jalan, tidak ada cahaya rumah penduduk, hanya redup api unggun kecil yang mereka buat dengan ranting-ranting kering yang dikumpulkan sejak sore. Suara hutan pun berubah. Jika siang tadi mereka masih bisa mendengar burung, serangga, dan desir angin, malam menghadirkan bunyi yang lebih dalam, lebih tak terdefinisi: gesekan ranting, dengung misterius, jeritan samar yang entah berasal dari binatang atau sesuatu yang lain.

Eris duduk bersila dekat api, menatap nyala merah-oranye yang berkilat di matanya. Raut wajahnya tenang di permukaan, tapi tangannya tak bisa diam, terus menggenggam dan meremas tanah basah di sekitarnya. Mikha sibuk memastikan peralatan logistik tersusun rapi, membuka peta topografi dengan senter kepala. Yolla menggenggam jaketnya erat, mencoba mengusir dingin yang menusuk, sementara Yohan sibuk memotong kayu tambahan agar api tetap hidup sampai dini hari.

“Aneh ya,” Yolla membuka suara, lirih, “seperti ada ribuan mata yang menonton kita.”

Mikha tersenyum kecut, menunduk pada peta. “Itu cuma perasaanmu. Aku yakin itu cuma binatang liar. Di hutan sebesar ini, wajar kalau kita merasa begitu.”

“Bukan cuma itu,” Yohan menyahut tanpa menoleh, kapak kecilnya masih bekerja. “Aku dengar suara… lain. Seperti orang berbisik.”

Hening sejenak, hanya api yang berderak. Eris mendongak menatap Yohan. “Kamu serius?”

“Kalau nggak percaya, diamlah sebentar.” Yohan berhenti, lalu sunyi merayap. Hanya suara malam, jangkrik, dan sesekali dengusan angin yang menyeret aroma bunga liar. Tetapi dalam diam itu, samar-samar, memang ada bisikan. Bukan jelas, bukan utuh, hanya seperti gumaman jauh yang tak bisa ditangkap kata-katanya.

Yolla merinding. Ia memeluk lututnya dan menunduk. “Tuhan… semoga ini cuma imajinasi.”

Eris cepat-cepat berdiri. “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kita capek. Besok pagi kita mulai survey. Malam ini kita istirahat.” Suaranya tegas, meski dalam hatinya sendiri ia menyimpan rasa gentar yang sulit ditepis.

Sementara itu, jauh di kota, anak-anak di basecamp Rumah Singgah Hijau menjalani malam dengan wajah berbeda. Frans memimpin diskusi kecil di ruang tamu rumah itu, papan tulis penuh coretan strategi kampanye lingkungan. “Kalau kita mau dapat perhatian media, kita harus bikin aksi bersih sungai minggu depan,” katanya penuh semangat. Beberapa anggota baru mengangguk, menuliskan ide-ide tambahan. Erina duduk di depan laptop, sibuk mengetik draf proposal yayasan yang harus dikirim ke kementerian, wajahnya serius tapi penuh semangat.

Di sudut ruangan, Seno dan Andra mengatur peralatan yang baru tiba: tenda tambahan, kamera dokumentasi, dan kotak P3K. Seno terkekeh, “Bayangin kalau anak-anak di Alas Tilem lihat kita di sini, mereka pasti iri. Kita di sini aman, terang, ada kopi, ada sinyal wifi.” Andra hanya menimpali dengan senyum tipis, tapi matanya tak lepas dari layar ponsel yang menampilkan grup WhatsApp. Pesan dari Yolla sore tadi masih terbaca: “Kita udah masuk titik rimba. Doakan lancar ya.”

Kembali ke hutan, api unggun mulai menyusut. Mikha menambahkan ranting, cahayanya naik sebentar lalu kembali mengecil. Mereka menyiapkan tempat tidur seadanya, hanya sleeping bag di atas terpal plastik. Hawa dingin menusuk tulang, udara basah membawa kabut tipis yang turun perlahan.

Yohan berbaring sambil menatap langit, tapi di atas hanya ada siluet dedaunan raksasa, tak ada bintang, tak ada bulan. Semua tertutup kanopi hutan. “Gelap banget. Kayak dunia lain.”

Yolla menggigil, matanya tak lepas dari kegelapan di balik api unggun. Sesekali, ia merasa ada bayangan bergerak cepat di antara pepohonan, tapi begitu ia berkedip, hanya dedaunan yang bergoyang. “Eris,” bisiknya, “kalau ada sesuatu yang… bukan manusia, apa kamu masih yakin kita bisa menghadapi?”

Eris menoleh, menatapnya lama. “Yol, kita ke sini bukan buat melawan, tapi buat memahami. Kalau benar ada yang lain di sini, mereka bagian dari hutan. Kita cuma tamu. Ingat itu.”

Kata-kata itu sedikit menenangkan, tapi juga menegaskan bahwa mereka memang bukan pemilik tempat ini. Mereka hanyalah pengunjung di sebuah rumah yang tidak pernah mengundang mereka masuk.

Malam terus merayap. Sekitar tengah malam, suara-suara aneh makin sering muncul: jeritan panjang yang entah berasal dari burung malam atau sesuatu yang lain, suara ranting patah yang terdengar terlalu berat untuk hanya seekor kucing hutan. Sesekali, api unggun berkedip, seakan ditiup angin, padahal udara benar-benar diam.

Yohan, yang berusaha tetap terjaga, tiba-tiba melihat sesuatu di balik kabut tipis: siluet tubuh kecil, seperti anak-anak, berlari cepat di antara pohon. Ia mengucek matanya, jantungnya berdegup. “Kalian lihat itu?” serunya lirih, tapi saat Eris dan Mikha menoleh, tak ada apa-apa di sana.

“Han, jangan halu. Istirahat. Kita harus kuat besok,” kata Eris, meski ia sendiri mulai ragu dengan matanya.

Sementara itu di basecamp, jam menunjukkan hampir tengah malam, tapi beberapa anggota masih terjaga. Erina menutup laptopnya dengan lega, “Draft proposal udah jadi. Besok kita bisa submit.” Frans menepuk bahunya. “Kerja bagus. Kalian sadar nggak, kita lagi bikin sejarah?” Semua mengangguk, wajah mereka penuh cahaya optimisme.

Kontras yang mencolok. Di kota, cahaya lampu rumah besar itu memantul di dinding, membawa harapan. Di dalam hutan, cahaya api unggun kecil nyaris padam, hanya cukup memberi batas antara manusia dan kegelapan yang terasa hidup.

Ketika akhirnya semua berbaring, suara bisikan itu datang lagi. Kali ini lebih dekat, jelas, meski masih tak bisa dipahami kata-katanya. Yolla menutup telinganya dengan kedua tangan, Yohan memeluk salib di lehernya, Mikha menatap ke langit-langit gelap dengan mata terbuka, dan Eris, meski memaksa matanya terpejam, tak bisa menyangkal bahwa malam pertama mereka di Alas Tilem bukan sekadar bermalam—itu adalah ujian, sebuah penyambutan yang samar apakah sebagai tamu atau sebagai korban.

Malam itu udara dingin menusuk, kabut tipis merambat seperti asap gaib di sela-sela akar pohon. Api unggun tinggal bara, menyala kecil-kecil merah di tanah, tak lagi memberi rasa hangat yang berarti. Yolla gelisah sejak tadi, perutnya mual dan kantung kemihnya mendesak. Ia menggeliat di dalam sleeping bag, lalu duduk, menatap sekeliling.

“Eris…” panggilnya pelan, suaranya bergetar.

Eris yang belum benar-benar terlelap membuka mata, mengangkat kepala. “Kenapa, Yol?”

“Aku… mau pipis. Nggak enak jauh-jauh sendirian.”

Eris sempat diam sejenak, lalu melirik Mikha yang masih setengah sadar, wajahnya menenggelam di lengan. “Han, temenin Yol sebentar,” kata Eris setengah memaksa.

Mikha hanya menggerutu, matanya enggan terbuka. “Aku ngantuk, Ris. Besok pagi kita harus jalan lagi. Kalian aja.” Lalu ia membalikkan tubuh, menarik sleeping bag hingga ke wajah, menutup semua celah.

Yohan hanya menghela napas, ia terlalu lelah untuk ikut campur. “Kalau perlu aku nyusul, panggil aja,” katanya setengah mengantuk, lalu kembali menutup mata.

Eris akhirnya bangkit, meraih senter kecilnya. “Ayo, Yol. Tapi agak deket-deket aja.”

Yolla mengangguk cepat, meraih jaketnya. Mereka berjalan pelan, menyusuri sisi gelap hutan beberapa meter dari tempat tenda. Eris menjaga jarak, sekitar lima belas langkah di belakang, memberi ruang privasi, tapi cukup dekat kalau ada apa-apa. Cahaya senter Eris menembus kabut tipis, memantul pada batang pohon, menorehkan bayangan aneh.

“Aku di sini aja, Ris,” kata Yolla, menunjuk semak rimbun.

“Oke. Aku tunggu di sini.” Eris menoleh ke sekeliling, berusaha tidak menatap langsung, hanya mengarahkan cahaya senter ke tanah. Ia mencoba menenangkan dirinya, menggumam doa pendek agar tidak ada hewan buas mendekat.

Beberapa detik sunyi, hanya terdengar suara Yolla menggeser ranting dan dedaunan. Lalu hening. Terlalu hening.

Eris menunggu, mencoba tidak canggung. Tapi semakin lama ia berdiri, semakin aneh rasanya. Ia menoleh sebentar, cahaya senter diarahkan ke arah semak. “Yol? Udah selesai?”

Tidak ada jawaban.

Eris melangkah dua langkah maju. “Yolla?”

Sunyi. Angin tiba-tiba berdesir kuat, membuat ilalang bergoyang liar. Bara api unggun dari kejauhan bahkan tampak redup, seakan seluruh hutan ikut menahan napas.

“Jangan bercanda, Yol… ini nggak lucu.” Suara Eris serak, nadanya panik. Ia maju lagi, menyibak semak dengan tangan gemetar. Tidak ada siapa-siapa. Sleeping bag yang tadi ditinggalkan Yolla masih kosong, suaranya tidak terdengar. Hanya ada jejak samar di tanah, hilang ditelan rumput basah.

Eris menelan ludah keras, lalu berteriak. “YOLLA!” Suaranya menggema, tapi hutan hanya menjawab dengan gema samar, lalu bisikan lirih entah dari mana.

Mikha terbangun dengan kasar, matanya melebar. “Apa itu barusan?”

Eris muncul dengan wajah pucat, napas tersengal. “Yolla… Yolla hilang.”

Mikha langsung bangkit. “Apa maksudmu hilang? Kau kan tadi nemenin dia!”

“Aku… aku tungguin dari jauh. Aku kira cuma sebentar. Tapi tiba-tiba dia nggak ada. Hilang begitu aja!” Eris menekankan kata-katanya dengan suara bergetar.

Yohan juga sudah berdiri, matanya merah karena kaget. “Kenapa kau tinggalin dia sendirian, Ris?!”

“Aku nggak ninggalin! Aku cuma kasih dia privasi. Aku tetap di dekatnya, tapi… tapi dia lenyap! Sumpah aku nggak bohong!” Eris hampir terisak, kepalanya menunduk.

Mikha mendengus marah. “Kalau kau bener-bener jagain, dia nggak bakal ilang! Ini salahmu, Ris. Kau terlalu angkuh, selalu merasa bisa ngatur semua, padahal—”

“Diam!” Eris membentak, wajahnya memerah. “Kau pikir aku mau ini terjadi?!”

Yohan ikut maju, nadanya tajam. “Kita nggak butuh saling serang sekarang! Yang kita butuh adalah cari Yolla! Kau berdua berhenti ribut!”

Hening lagi. Nafas mereka berat, hati penuh amarah bercampur takut. Hutan di sekeliling seperti menyerap suara mereka, menekan dengan sunyi yang menyesakkan.

Mikha akhirnya menendang tanah keras-keras, meluapkan kekesalannya. “Kalau sampai Yolla kenapa-kenapa, aku sumpah, Ris, aku nggak bakal maafin kau.”

Eris hanya terdiam, matanya berkaca. Ia ingin membela diri, tapi rasa bersalah menekan lebih kuat daripada amarahnya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Yolla baru saja ada di sana, lalu hilang begitu saja, seolah ditelan hutan.

Mereka bertiga kemudian bergegas menyusuri semak dengan senter. Cahaya lampu kecil menyoroti jejak samar di tanah, tapi hanya beberapa meter sebelum hilang ditelan rerumputan. Tidak ada teriakan, tidak ada tanda-tanda perlawanan, hanya hening yang makin pekat.

“Ini nggak masuk akal,” bisik Yohan, suaranya gemetar. “Orang nggak bisa hilang begitu aja. Pasti ada sesuatu.”

“Apa?” tanya Mikha ketus. “Binatang buas? Atau kau mau bilang makhluk halus?”

Tidak ada yang menjawab. Tapi di balik hati mereka, masing-masing tahu: ada sesuatu di Alas Tilem yang lebih besar dari sekadar binatang liar. Sesuatu yang sedang menguji, atau mungkin sedang menagih.

Malam itu, perpecahan benar-benar lahir. Kepercayaan yang mereka bawa dari kota runtuh perlahan. Eris diliputi rasa bersalah, Mikha marah membara, Yohan mencoba menahan semuanya tetap utuh. Tapi tanpa Yolla, mereka bukan lagi empat orang yang utuh. Mereka adalah tiga jiwa yang rapuh, berdiri di tengah hutan yang tidak pernah berniat menerima kehadiran mereka.

Fajar belum benar-benar datang ketika mereka bertiga memutuskan melanjutkan pencarian. Kabut semakin tebal, menempel di kulit seperti tirai dingin. Dengan langkah ragu, mereka menyusuri jalan setapak yang semakin jarang disentuh manusia, hanya ditemani senter yang sinarnya kian meredup.

“Lihat ini…” Yohan tiba-tiba berhenti, menunjuk ke tanah. Ada bunga kamboja layu yang tercecer, bercampur dengan sisa janur kering seperti bekas sesajen. Anehnya, benda-benda itu tersusun rapi di atas jejak tanah lembab, seolah baru saja ditaruh seseorang—atau sesuatu.

Eris merunduk, jantungnya berdegup keras. “Ini… nggak mungkin dari Yolla. Dia nggak bawa apa-apa.”

Mikha menendang salah satu janur, wajahnya pucat namun masih menyimpan amarah. “Ini pasti ulah orang. Ada yang main-main sama kita.”

Namun semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak tanda aneh muncul. Jejak kaki Yolla yang semula jelas perlahan bercampur dengan bekas telapak lain—lebih besar, lebih dalam, meninggalkan lekuk seperti dicengkeram tanah itu sendiri. Jejak itu berakhir di sebuah pohon beringin besar yang akar-akarnya menjuntai seperti tirai, menutup pandangan ke dalam.

Ketiganya berdiri terpaku. Di antara akar yang menggantung, terikat sebuah kain putih kusam, seperti bekas selendang. Ujungnya berlumur tanah basah, dan samar-samar tercium bau anyir bercampur harum bunga kenanga.

Eris meraih kain itu dengan tangan gemetar. “Aku kenal ini… ini punya Yolla. Dia pakai tadi malam.”

Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Tidak ada kicau burung, tidak ada suara serangga. Hanya desis angin yang melintas, membawa bisikan samar yang membuat bulu kuduk berdiri.

Yohan melangkah mundur, wajahnya pucat pasi. “Kita harus jujur… ini bukan kecelakaan. Yolla nggak hilang karena tersesat. Ada sesuatu… yang bawa dia.”

Mikha menatap pohon beringin itu lama, lalu mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, kita nggak cuma harus cari Yolla. Kita harus siap menghadapi… apapun yang ada di Alas Tilem.”

Kabut semakin rapat, seolah menelan ucapan mereka. Dan di balik akar-akar yang menjuntai, samar-samar terdengar suara lirih—seperti tangisan Yolla, atau mungkin hanya gema yang sengaja dimainkan oleh hutan itu sendiri.

Mereka bertiga saling pandang, tidak lagi sebagai teman seperjalanan biasa, melainkan tiga jiwa yang sudah terjebak dalam pusaran misteri yang lebih kelam dari yang mereka bayangkan.

Dengan Yolla yang raib, tanda-tanda gaib semakin nyata, dan hutan Alas Tilem yang akhirnya menunjukkan wajah aslinya

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Alas Tilem
Samuel Fetz
Cerpen
Bronze
Persimpangan Mimpi
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Tau-Tau yang Tersenyum
Risti Windri Pabendan
Komik
Teror di Kampung Sanes
Alfisyahrin Zulfahri Akbar
Cerpen
Misteri Ruang Tunggu 115
Alwi Hamida
Flash
Bronze
Kutukan kastil tua
HERLIYAN BERCO
Cerpen
Bronze
Andung dan Seblak Sapu Lidi
bomo wicaksono
Cerpen
Bronze
Ada yang Aneh di Rumah Itu
Farchah Ba'dal Chazani
Cerpen
Menjelajahi Teror Di Rumah Sakit Angker
May Marisa
Cerpen
Bronze
Telung Dino
Iena_Mansur
Skrip Film
PUAKA RATU ARJUNA
Delly Purnama Sari
Novel
Pesantren Gaib
Ariny Nurul haq
Cerpen
Bronze
Iblis dan Tom Walker Washington Irving penerjemah : Ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Flash
Berita Kematian
Ahmad R. Madani
Novel
DENTING
Denting Project
Rekomendasi
Cerpen
Alas Tilem
Samuel Fetz
Cerpen
Bronze
Possessed Recuperatio 2
Samuel Fetz
Cerpen
Possessed Recuperatio
Samuel Fetz
Cerpen
Possessed Ekklesia
Samuel Fetz
Cerpen
Possessed
Samuel Fetz
Novel
The Last Karta
Samuel Fetz