Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Alamat yang Tak Pernah Ada
45
Suka
1,840
Dibaca

Tiap minggu, tepat hari Selasa pukul sembilan pagi, Pak Haris akan berjalan ke kantor pos kecil di ujung jalan dengan amplop putih berisi surat yang ditulis tangannya sendiri. Tulisan yang rapi, tinta hitam, dan selalu ada cap wangi bunga melati di sudut kertasnya.

Sudah lima tahun kebiasaan itu berlangsung. Lima tahun, dua ratus enam puluh surat, semua dikirim ke alamat yang sama:

Jalan Mawar No. 6, Kebun Raya, Kota Bunga.

Masalahnya, alamat itu tidak pernah ada.

Petugas pos yang tahu cerita itu hanya bisa saling pandang setiap kali Pak Haris datang. Dinda, petugas muda yang baru dua bulan bekerja, awalnya sempat mencoba mengoreksi alamat itu.

“Pak… ini tidak bisa dikirim, alamat ini tidak terdaftar.”

Namun Pak Haris hanya tersenyum tipis.

“Kalau begitu, tolong simpan saja. Surat tahu ke mana ia akan pergi.”

Sejak saat itu, Dinda tidak pernah bertanya lagi. Ia hanya mencatat, menyimpan surat itu ke laci khusus, dan sesekali membaca sepotong kalimat jika amplopnya sedikit terbuka.

---

Suatu hari, tepat setelah pengiriman surat ke-261, sesuatu yang aneh terjadi.

Sore itu hujan turun deras, dan Dinda tengah membereskan dokumen saat seorang wanita muda berdiri di depan konter pos. Rambutnya basah, wajahnya pucat, tapi matanya jernih menatap laci di belakang Dinda.

“Apa di sini ada surat untuk… Jalan Mawar No. 6?”

Dinda menoleh cepat, nyaris menjatuhkan penanya. Ia mengangguk ragu.

“Maaf… maksudnya, Anda tahu alamat itu?”

Wanita itu tersenyum samar. “Aku tinggal di sana sekarang. Rumah tua di belakang kebun raya. Tapi… aku juga tidak yakin apakah itu benar-benar alamat resmi.”

Dinda terpaku. “Tunggu… sebentar ya.”

Ia membuka laci dan menarik satu tumpuk amplop putih. Wanita itu menatapnya lama, lalu dengan tangan gemetar, menerima satu surat paling atas.

Begitu membuka, matanya berkaca-kaca.

---

Surat ke-261

Tulisan tangan Pak Haris:

> "Hari ini, aku masih duduk di bangku taman dekat toko bunga, menunggumu lewat. Kau bilang kau suka bunga anggrek ungu, jadi aku membelinya dan meletakkannya di pangkuan. Tapi tak ada yang datang sore ini. Tak apa. Mungkin esok.

Untukmu, yang bahkan namanya pun tak pernah kukenal.

H"

---

“Dia… dia menulis ini tiap minggu?” tanya wanita itu pelan.

“Iya,” jawab Dinda. “Selama lima tahun. Kami menyimpannya, karena tidak tahu ke mana harus dikirim.”

Wanita itu menatap tumpukan surat lain dengan napas tercekat.

“Apa… aku bisa membacanya?”

Dinda mengangguk.

Malam itu, mereka duduk berdua di kantor pos yang sunyi. Dinda membuatkan teh hangat, dan wanita itu membaca surat demi surat, seakan menelusuri waktu yang tak pernah ia alami. Tiap surat seperti potongan kecil dari cinta yang tak bersuara, sebuah penantian yang abadi tanpa balasan.

---

Namanya ternyata Aluna. Ia baru pindah dua minggu lalu ke rumah tua milik neneknya, yang katanya dulu sering menerima surat tak bernama, tapi tidak pernah dibuka. Rumah itu tersembunyi di balik gerbang kebun raya, dan hanya bisa diakses lewat jalan setapak.

"Aku merasa... seperti ditarik kembali oleh kenangan yang bukan milikku," bisik Aluna, memegang surat ke-88.

> “Kau tak pernah datang, tapi aku tahu kau membaca surat ini di angin. Karena tiap kali aku menulis, langit lebih cerah.”

---

Hari itu, Aluna hanya membawa pulang sepuluh surat. Tapi besoknya, ia datang lagi. Dan lagi. Hingga akhirnya, ia berkata pada Dinda dengan nada yang lebih tenang, “Aku ingin bertemu Pak Haris. Aku ingin tahu… kenapa dia menulis untukku, padahal kami tak pernah bertemu.”

---

Tapi… di sinilah misteri baru dimulai.

Dinda pun tercengang saat mendengar jawaban dari kantor pusat kota.

“Pak Haris? Maaf, Bu… beliau meninggal tiga tahun lalu.”

Aluna merasa seolah dunia berputar lebih cepat dari biasanya. "Tiga tahun?" bibirnya bergetar saat ia mendengar kabar itu. Di tangannya, surat-surat itu terasa semakin berat, seolah beban dari masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Pak Haris… sudah lama meninggal, dan selama ini dia merasa seolah berhubungan dengan seseorang yang masih hidup. Bagaimana bisa surat-surat itu sampai padanya? Bagaimana bisa Pak Haris tahu tentangnya?

Dinda, yang terdiam di sebelahnya, memandang Aluna dengan cemas. "Saya juga tidak tahu apa yang terjadi. Surat-surat ini… sudah tiga tahun tersimpan di sini, dikirim setiap minggu tanpa gagal."

Aluna menggigit bibirnya, menahan emosi yang hampir meluap. Ia sudah berhari-hari bergumul dengan perasaan aneh ini. Alunan kata-kata yang dibaca dari surat-surat itu bukan sekadar rangkaian kalimat biasa. Setiap kata terasa seperti ada hubungannya dengan hidupnya, dengan apa yang ia rasakan, meskipun ia tak pernah mengenal pengirimnya.

"Pak Haris… kenapa dia mengirim surat-surat ini padaku?" bisik Aluna, memandangi surat ke-261 yang kini ia genggam erat di tangannya. Ia merasa seperti berada dalam mimpi yang tak bisa ia pahami.

"Apakah Anda pernah merasa mengenal seseorang meski belum pernah bertemu?" tanya Dinda, mencoba menenangkan Aluna. "Kadang, hal-hal seperti ini memang sulit dimengerti. Tapi mungkin, Pak Haris melihat sesuatu dalam dirimu yang ia ingin bagi. Mungkin ada hubungan yang lebih dalam antara kalian daripada yang bisa dijelaskan."

Aluna mengangguk pelan, matanya berkilau, tetapi ada kesedihan yang mendalam. Dalam hati, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik surat-surat itu, dan ia merasa dipanggil untuk mencari tahu lebih banyak.

---

Sejak hari itu, Aluna tak pernah bisa melupakan Pak Haris dan surat-surat yang dikirimkannya. Ia kembali ke rumah tua di belakang kebun raya, namun tidak ada rasa tenang yang ia rasakan sebelumnya. Suasana rumah itu kini terasa asing, meski sudah tinggal di sana selama dua minggu. Seakan-akan, ada sesuatu yang menantinya untuk ditemukan.

Setiap malam, Aluna duduk di ruang tamu rumah tua itu, membaca surat-surat yang ada. Semakin lama, ia mulai merasa bahwa surat-surat itu tidak hanya berisi kata-kata, tetapi juga petunjuk. Seperti sebuah teka-teki yang perlu dipecahkan. Setiap kalimat menyiratkan kehadiran seseorang yang ada di dalam hatinya, meski ia tidak pernah tahu wajahnya.

---

Pada suatu malam yang dingin, Aluna memutuskan untuk pergi ke tempat yang disebutkan dalam salah satu surat: Taman Mawar. Taman itu terletak di dekat kebun raya, tak jauh dari rumahnya. Sejak pindah, ia sering melewati tempat itu tanpa benar-benar mengamatinya, tapi kali ini ia merasa ada sesuatu yang harus dicari.

Sesampainya di taman, Aluna merasakan suasana yang berbeda. Udara malam itu lebih sejuk, dan cahaya bulan memantulkan sinar lembut di antara pepohonan. Ia berjalan pelan, merasakan setiap langkahnya terhubung dengan sesuatu yang lebih dalam. Saat ia sampai di sebuah bangku taman yang terletak di tengah, pandangannya tertuju pada sebuah batu kecil di bawah pohon yang telah dilapisi lumut. Aluna mendekat dan membungkuk, mengambil batu itu.

Tertulis di permukaannya, dengan tinta yang sudah memudar, kalimat yang sangat familiar:

"Kau tak pernah datang, tapi aku tahu kau membaca surat ini di angin. Karena tiap kali aku menulis, langit lebih cerah."

Hati Aluna berdegup kencang. Itu adalah salah satu kalimat yang pernah ia baca di surat ke-88. Tapi bagaimana mungkin kalimat ini ada di batu, di taman yang ia kunjungi untuk pertama kalinya?

Saat ia menyentuh batu itu, sebuah suara lembut terdengar dari belakang. "Apakah kamu mencarinya?"

Aluna menoleh cepat, dan di sana berdiri seorang pria yang wajahnya tidak asing. Dia tampak lebih tua daripada foto-foto yang pernah ia lihat, tapi matanya—mata itu—adalah mata yang sama dengan yang ada di dalam surat-surat Pak Haris.

"Apa yang kamu cari?" tanya pria itu lagi, senyum tipis di bibirnya.

Aluna tidak bisa berkata-kata. Semua yang ia rasakan selama ini tiba-tiba terasa nyata. "Kamu… kamu Pak Haris?" Suaranya bergetar.

Pria itu mengangguk pelan, dan Aluna merasa dunia seperti terhenti. "Ya, aku. Tapi tidak ada yang tahu bahwa aku menulis surat-surat itu. Aku hanya ingin berbagi apa yang aku rasakan, walaupun aku tahu tak ada yang akan pernah membacanya."

Aluna menatap Pak Haris dengan tatapan yang tidak bisa ia jelaskan. Semua perasaan yang membuncah dalam dirinya akhirnya meledak dalam kebingungan yang dalam. Ia merasa seakan-akan terjaga dari mimpi yang panjang, tetapi juga takut untuk menghadapi kenyataan yang baru terungkap.

"Kenapa kamu menulis surat-surat itu untukku?" Aluna akhirnya berhasil mengeluarkan pertanyaan yang sejak lama membekap dadanya. "Kamu tahu siapa aku, kan? Tapi aku tidak pernah tahu siapa kamu. Bahkan sekarang, aku merasa tidak mengenalmu meskipun aku sudah membaca semua surat-suratmu."

Pak Haris menundukkan kepala, seakan-akan terperangkap dalam kenangan yang sulit diungkapkan. "Aku tidak pernah benar-benar mengenalmu, Aluna. Tapi aku tahu sesuatu tentang dirimu, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan fisik. Saat aku pertama kali menulis surat itu, aku merasa seolah-olah aku sudah menunggu seseorang yang bahkan belum pernah ada. Tapi kemudian, entah bagaimana, aku merasa kau ada dalam setiap kata yang kutulis."

Aluna terdiam, matanya terfokus pada Pak Haris, mencoba memahami apa yang sedang ia dengar. Pak Haris melanjutkan, suaranya mulai serak karena emosi yang terkandung di dalamnya.

"Surat-surat itu, Aluna, adalah caraku untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama terpendam. Aku tidak bisa mengungkapkannya secara langsung, tapi kata-kata itu memberi jalan untukku untuk berbicara denganmu, meskipun kamu tak pernah membacanya saat aku masih hidup."

Aluna merasa ada beban berat di dadanya. "Tapi bagaimana bisa? Kalau kamu sudah meninggal, lalu mengapa surat-surat itu bisa sampai padaku? Kenapa aku yang menerima surat-surat itu? Aku tak pernah tahu ada hubungan di antara kita."

Pak Haris menarik napas panjang, wajahnya serius. "Mungkin karena ada ikatan yang lebih kuat dari sekadar kenangan atau pertemuan biasa. Aku tidak tahu pasti. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari ini, Aluna. Sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa pahami sepenuhnya."

Aluna semakin bingung, tapi ada rasa penasaran yang tak bisa ia hindari. "Apa itu? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Pak Haris memandang ke arah taman yang sunyi di sekeliling mereka. "Sebelum aku meninggal, aku sering merasa seperti berada di antara dua dunia. Suatu dunia yang nyata dan dunia yang aku ingin ciptakan. Ketika aku menulis surat-surat itu, aku merasa seperti menyentuh dunia yang lain, dunia yang tak terlihat. Mungkin ada sebabnya kenapa surat-surat itu sampai padamu, Aluna."

"Jadi… aku terhubung dengan dunia yang berbeda?" tanya Aluna dengan ragu.

Pak Haris mengangguk, meskipun wajahnya tampak lebih bingung daripada sebelumnya. "Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin kita memang terhubung. Mungkin kita dipertemukan bukan karena kebetulan, tapi karena suatu alasan yang lebih besar."

Malam itu, Aluna tidak bisa tidur. Semua yang baru saja ia dengar berputar di benaknya. Surat-surat Pak Haris, ikatan yang tidak terjelaskan, dan sekarang dia harus menghadapi kenyataan bahwa ada sesuatu lebih dalam yang terjadi antara dirinya dan pria yang telah lama meninggal itu. Semua tanda-tanda yang ada—taman mawar, surat-surat, dan pertemuan mereka—seolah mengarah pada suatu kebenaran yang belum ia mengerti.

---

Pagi hari, Aluna memutuskan untuk kembali ke rumah tua yang ia tinggali. Di sana, ia mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan. Mungkin ada sesuatu yang bisa ia temukan di antara benda-benda yang ditinggalkan Pak Haris. Pikirannya dipenuhi dengan satu pertanyaan: Apa yang sebenarnya menghubungkannya dengan Pak Haris?

Sesampainya di rumah, ia mendapati sebuah kotak kayu kecil di meja ruang tamu. Kotak itu tampak usang, seolah sudah sangat lama terabaikan. Di atasnya ada sebuah surat yang terlipat rapi, dengan tulisan tangan Pak Haris yang sudah mulai pudar.

“Untuk Aluna,

Suatu saat kau akan mengerti semuanya.”

Dengan tangan yang gemetar, Aluna membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat beberapa foto lama, dan satu benda yang sangat menarik perhatian—sebuah kunci kecil dengan tanda khusus di bagian ujungnya, yang tampaknya adalah simbol bunga mawar yang terukir halus.

Saat ia memegang kunci itu, sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan muncul. Aluna merasa ada sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan kunci itu. Sesuatu yang lebih dari sekadar benda.

---

Malam itu, ia kembali ke taman mawar. Dengan kunci itu di tangan, Aluna mendekati bangku tempat ia pertama kali bertemu dengan Pak Haris. Di bawah pohon yang sama, ada sebuah batu besar yang tampak lebih mencolok dari sebelumnya. Di atas batu itu, ada lubang kecil yang pas dengan ukuran kunci yang ia temukan.

Dengan hati berdebar, Aluna memasukkan kunci itu ke dalam lubang batu. Ketika ia memutar kunci itu, tanah di sekeliling batu mulai bergeser, dan sebuah pintu kecil terbuka.

Pintu itu menuju ke suatu tempat yang tersembunyi di bawah tanah—sebuah ruangan yang penuh dengan buku-buku dan surat-surat yang belum pernah dibaca oleh siapapun.

Aluna menatap pintu yang baru saja terbuka di bawah tanah. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, tetapi suasana di sekitar pintu itu terasa mencekam. Tanah yang baru tergeser tampak lembab dan gelap, dan ruangan di bawahnya menyembunyikan sesuatu yang lebih dari sekadar ruang kosong. Ada sesuatu yang menantinya, sesuatu yang telah lama terkubur.

Dengan langkah ragu, Aluna menuruni anak tangga sempit yang mengarah ke ruang bawah tanah. Setiap langkahnya menggema di ruang itu, membuat suasana semakin mencekam. Ketika ia sampai di bawah, ia melihat ruangan yang penuh dengan rak-rak kayu yang dipenuhi buku-buku tua dan surat-surat yang belum pernah dibaca.

Namun, di sudut ruangan itu ada sebuah meja besar yang tertutup dengan kain hitam. Di atas meja, sebuah benda terlihat mencolok. Sebuah buku besar dengan sampul kulit yang usang, tertutup rapat. Buku itu tampaknya sangat penting, lebih dari sekadar koleksi biasa.

Aluna mendekat, merasa ada sesuatu yang menariknya ke sana. Tangan yang gemetar membuka buku itu perlahan, dan di dalamnya, ia menemukan lebih banyak lagi surat-surat yang ditulis oleh Pak Haris. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Surat-surat itu tidak lagi berbicara tentang kata-kata kosong atau ungkapan perasaan biasa. Mereka berbicara langsung pada Aluna.

"Ini adalah kisah yang harus kau baca, Aluna," begitu kata-kata pertama yang tercetak di halaman pertama buku itu.

Aluna menelan ludahnya, hatinya berdegup kencang. Ia mulai membaca lebih dalam.

---

Surat 1: "Awal yang Tak Pernah Kau Ketahui"

Aluna,

Aku tahu bahwa kau mungkin merasa bingung tentang segalanya. Semua surat yang aku kirimkan padamu, meski tidak pernah sampai pada waktunya, adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar. Aku menulis untuk seseorang yang aku tahu akan membacanya, meski aku tidak tahu siapa dia.

Di dunia ini, ada hubungan yang tak terlihat, seperti dua dunia yang beririsan—satu dunia yang kita lihat dengan mata dan satu dunia yang hanya bisa kita rasakan. Aku adalah bagian dari dunia yang lebih tua, yang menghubungkan masa lalu dan masa depan, dan melalui surat-surat ini, aku berharap kau akan memahami semua yang terjadi.

Kunci yang kau temukan, Aluna, adalah pintu yang membuka jalan menuju pengetahuan yang lebih dalam. Tetapi jalan itu tidak mudah, dan aku ingin kau tahu bahwa apa yang akan kau temui tidak akan selalu mudah diterima.

Tetapi, itu adalah langkah pertama menuju kebebasan—kebebasan yang telah lama terperangkap di antara dua dunia.

---

Aluna berhenti sejenak. Kata-kata itu menghantamnya dengan keras, seolah-olah ada pesan yang ingin disampaikan lebih dalam. Ia merasa seperti sedang membuka kotak pandora yang akan mengungkap lebih banyak kebenaran, namun juga menuntut pengorbanan yang besar.

Setiap surat di dalam buku itu mengungkapkan bagian dari kisah yang lebih besar—kisah tentang Pak Haris yang terperangkap di antara dua dunia, dan kisah tentang dirinya yang memiliki keterkaitan lebih kuat dengan pria itu daripada yang ia sadari. Mungkin, kata-kata yang ia baca ini bukan sekadar catatan pribadi, tetapi sebuah peta yang mengarahkannya menuju suatu kebenaran yang belum sepenuhnya ia pahami.

Setelah membaca beberapa surat, Aluna menemukan sebuah gambar di dalam buku itu. Gambar itu menggambarkan sebuah rumah yang sangat mirip dengan rumah tempat ia tinggal. Namun, ada sesuatu yang aneh. Rumah itu tampak lebih tua, dan di depannya, ada sebuah pohon besar yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Ini rumahku," gumam Aluna pelan. "Tapi kenapa bisa ada gambar seperti ini?"

Ia melanjutkan membaca dengan hati-hati.

---

Surat 3: "Jejak yang Tak Terlihat"

Aluna,

Pohon besar yang kau lihat dalam gambar itu adalah kunci lainnya. Di bawah akar pohon itu, ada sebuah ruang yang tersembunyi—sebuah ruang yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki ikatan dengan dunia ini. Hanya mereka yang dipilih yang dapat menemukannya.

Pohon itu adalah batas antara dunia kita dan dunia yang lebih tua, tempat aku berada sebelum aku meninggal. Ketika kau menemukan pohon itu, kau akan menemukan kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik surat-surat yang kutulis.

Aku ingin kau tahu, Aluna, bahwa apa yang kita alami bukanlah kebetulan. Kita terhubung lebih dari yang kau bayangkan. Dan ada alasan mengapa kau dipilih untuk menerima surat-surat ini.

---

Aluna merasakan hawa dingin yang merayap ke tubuhnya. Setiap kata yang dibaca membuatnya semakin paham bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar mengungkap misteri. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan Pak Haris, kehidupannya, dan mungkin masa depan yang akan datang.

Dia menggenggam buku itu erat, memutuskan bahwa ia harus mencari pohon yang dimaksud. Mungkin itu adalah titik terakhir yang menghubungkan semua rahasia ini, dan mungkin, hanya dengan menemukannya, ia bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Pak Haris.

---

Hari berikutnya, Aluna kembali ke rumah tua dan menuju ke kebun di belakang. Ia berkeliling, mencari pohon besar yang disebutkan dalam surat-surat itu. Setelah beberapa waktu, ia berhenti di sebuah sudut yang jarang ia perhatikan sebelumnya. Di sana, berdiri sebuah pohon besar dengan akar yang menonjol keluar dari tanah.

Tanpa ragu, Aluna mulai menggali tanah di sekitar akar pohon itu. Makin lama, makin dalam ia menggali, hingga akhirnya tangannya menyentuh sesuatu yang keras. Dengan hati-hati, ia menarik sebuah kotak kayu kecil keluar dari tanah. Kotak itu sama persis dengan kotak yang ia temukan di ruang bawah tanah. Begitu dibuka, di dalamnya ada sebuah kunci dan sebuah surat terakhir.

"Ini adalah akhir dari perjalanan kita, Aluna. Pintu yang kau buka ini adalah pintu menuju kebebasan. Temukan kunci ini, dan kau akan mengetahui bahwa dunia ini tidak seburuk yang kau kira. Semuanya ada di tanganmu sekarang."

Aluna menatap kunci itu. Ia tahu, di ujung perjalanan ini, ada jawaban yang telah lama ia cari.

Dengan kunci yang ada di tangannya, Aluna memandang rumah tua yang kini lebih dari sekadar tempat tinggal. Ini adalah rumah yang menyimpan rahasia, sebuah rumah yang menghubungkannya dengan masa lalu yang tidak pernah ia kenal, dan masa depan yang masih terbentang luas di depannya. Ia tahu, meski perjalanan ini telah berakhir, pintu baru masih menantinya untuk dibuka.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Ephemeral
KATA LUVI
Skrip Film
PULIH
Euis Anisa R
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Novel
Bronze
Under The Velvet Sky
Iris-Avery-Marbella
Flash
Dongeng Senja
Liz Lavender
Novel
Love in Silence
Safa Amalia Fatihah
Novel
Bronze
Akhir Cerita
Eshal
Novel
Bronze
No Tikung Tikung Club
Sasa Ahadiah
Cerpen
Bronze
Jejak Aroma
Alina Fresila
Novel
Tuberkolosa: Saat Racun Itu Nyaris Membunuh
Riskaninda Maharani
Novel
Undercover
juni
Novel
Gold
Anna & Bara
Falcon Publishing
Novel
Gold
Her Beautiful Eyes
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Cinta di Sudut Kota
Nisa Dewi Kartika
Komik
Bronze
Pure Love
Laila Nur Fitri
Rekomendasi
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Flash
Perpustakaan yang Tidak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
Bronze
Titik Kembali
Penulis N
Cerpen
Bronze
Warkop Sebelah
Penulis N
Flash
Sepotong Senja di Halte Lama
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Cerpen
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N
Cerpen
BAYANG-BAYANG DI BALIK JENDELA
Penulis N
Cerpen
Lorong ke Hari Rabu
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Flash
Suara dari Lantai Dua
Penulis N
Flash
Kopi Terakhir di Stasiun 12
Penulis N
Cerpen
Operasi Phantom: Jejak di Tengah Bayangan
Penulis N
Flash
Cap Jempol dari Kartasura
Penulis N