Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Aroma Karat dan Bisikan Malam
Arjun menatap Panti Jompo Damai Abadi dengan campuran antusiasme dan sedikit rasa kecut. Bangunan kolonial tua itu berdiri megah namun kusam, diselimuti oleh rimbunnya pohon beringin raksasa yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin, seolah berbisik rahasia. Warna catnya yang dulu putih kini menguning dan mengelupas di sana-sini, meninggalkan bercak-bercak lumut hijau pekat. Jendela-jendela tinggi yang berjejer rapi tampak seperti mata kosong yang menatap ke kejauhan, tersembunyi di balik gorden tipis yang nyaris tak terlihat dari luar. Di depannya, hamparan rumput liar tumbuh tak beraturan, sesekali diselingi bunga kamboja putih yang gugur, menebarkan aroma yang aneh, mirip kematian yang manis.
"Selamat datang, Arjun," suara datar Bu Ratna memecah lamunan Arjun. Kepala perawat senior itu berdiri di ambang pintu utama, mengenakan seragam putih bersih yang kontras dengan latar belakang panti yang suram. Rambutnya disanggul rapi, dan matanya yang tajam menatap langsung ke arah Arjun, tanpa senyum. "Saya Bu Ratna, kepala perawat di sini. Saya sudah menunggu."
Arjun mengulas senyum terbaiknya. "Terima kasih, Bu Ratna. Saya Arjun, pekerja sosial baru. Senang bisa bergabung." Ia mengulurkan tangan, namun Bu Ratna hanya mengangguk singkat, tanpa membalas jabatan tangannya. Kecanggungan itu langsung menyergap. Suhu di ambang pintu terasa aneh, seolah ada batas tak kasat mata antara dunia luar yang hangat dan bagian dalam panti yang dingin mencekam.
"Mari, saya tunjukkan sekeliling," ujar Bu Ratna, berbalik dan melangkah masuk tanpa menunggu jawaban Arjun.
Arjun mengikuti, merasakan suhu udara di dalam panti langsung berubah. Dingin dan lembap. Aroma lumut dan debu tua berpadu dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang Arjun tidak bisa identifikasi tapi terasa sangat tidak nyaman. Mirip karat, tapi lebih pekat, lebih tua, dan entah mengapa, terasa seperti logam berkarat yang bercampur dengan bau tanah basah dari makam yang baru digali. Mereka melewati lorong panjang dengan lantai tegel yang dingin, motif bunga usang yang nyaris tak terlihat. Lampu-lampu pijar yang menggantung rendah memancarkan cahaya kekuningan yang redup, membuat bayangan Arjun membayangi di dinding seperti hantu. Setiap langkah kakinya bergema di kesunyian yang mencekam.
"Panti ini sudah ada sejak tahun lima puluhan," jelas Bu Ratna, suaranya terdengar seperti gumaman di lorong yang sunyi. Nada suaranya tanpa emosi, seolah sedang membaca laporan. "Dulu milik keluarga kaya, sebelum akhirnya dihibahkan untuk jadi panti jompo."
Arjun mengangguk, mencoba menyerap informasi. Ia melihat beberapa pintu kamar tertutup rapat, dan sesekali, dari celah yang terbuka, ia bisa melihat ranjang tua dengan selimut kusut. Tidak ada suara, tidak ada tawa, bahkan batuk sekalipun. Panti ini terasa sepi, terlalu sepi untuk sebuah tempat yang dihuni puluhan orang. Ia pernah magang di panti jompo lain, dan suasana di sana jauh lebih hidup, bahkan dengan segala keterbatasan penghuninya.
"Ini area umum," Bu Ratna menunjuk ke sebuah ruangan luas dengan beberapa kursi rotan usang dan televisi tabung tua di sudut. Debu tipis melapisi permukaan meja dan bingkai foto yang usang. Tidak ada seorang pun di sana. Sebuah majalah lama tergeletak terbuka di salah satu kursi, halaman-halamannya menguning. "Biasanya penghuni berkumpul di sini. Tapi hari ini mungkin mereka lelah."
Arjun mengerutkan kening. "Lelah?"
Bu Ratna hanya mengangkat bahu, tatapannya beralih ke sebuah jendela yang menghadap ke kebun belakang yang rimbun dan tak terawat. "Mereka sudah tua, wajar jika sering lelah." Ada nada final dalam suaranya yang mengakhiri percakapan.
Arjun mulai merasa gelisah. Antusiasmenya perlahan luntur, digantikan oleh firasat aneh. Ia membayangkan dirinya dikelilingi lansia yang ceria, berbagi cerita, dan tertawa. Bukan kesunyian yang menekan seperti ini. Kesunyian yang terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya.
Selama beberapa hari pertama, Arjun mencoba berinteraksi dengan para penghuni. Kebanyakan dari mereka hanya menatapnya dengan tatapan kosong, atau sekadar menggumamkan kata-kata yang tidak jelas dan tak beraturan. Ia mencoba menginisiasi permainan papan, membaca buku, bahkan sekadar berbincang tentang masa muda mereka. Namun, responsnya minim. Hanya segelintir yang mau membuka diri, salah satunya adalah Mbah Siti.
Mbah Siti adalah seorang wanita tua dengan rambut perak yang tipis dan senyum yang keriput, namun matanya masih memancarkan kec...