Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Aku untuk Diriku Part 2
0
Suka
61
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ayu berbaring di kasur, memeluk bantal dengan wajah pucat. Ponsel di tangannya hampir-hampir ia lempar, karena setiap membuka Instagram, yang ia lihat hanyalah unggahan teman-temannya yang merayakan kelulusan SNBP. Ada yang posting foto dengan caption “See you at Jogja, UGM!”, ada pula yang selfie sambil memamerkan hasil pengumuman di layar laptop.

Dadanya makin sesak. Jarinya terhenti pada unggahan milik Nadia—saingan terdekatnya di kelas, yang selama ini selalu berada tepat di bawahnya dengan peringkat dua.

“Alhamdulillah, diterima di Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga. Perjalanan baru dimulai!” tulis Nadia, disertai emoji senyum dan pelukan.

Kata-kata itu tampak sederhana, penuh kebahagiaan tulus. Namun bagi Ayu, setiap huruf terasa seperti palu yang menghantam dadanya berkali-kali. Bagaimana mungkin orang yang selama ini selalu berada satu langkah di belakangnya kini justru melangkah jauh ke depan, meninggalkannya di titik nol?

Hingga tiba-tiba, sebuah video singkat muncul di beranda, dari akun motivasi bernama @BangkitLagi_Official. Thumbnail-nya sederhana: seorang mahasiswa dengan toga berdiri di depan kampus.

Suara narator dalam video itu terdengar lantang:

“Gagal SNBP bukan akhir. Ingat, masih ada UTBK! Banyak orang sukses justru berawal dari kegagalan pertama mereka. Kuncinya adalah bangkit, buktikan bahwa kamu tidak berhenti di titik ini. Jangan biarkan satu kegagalan mendefinisikan seluruh hidupmu. Kamu masih punya kesempatan emas.”

Kalimat itu seolah menusuk langsung ke hati Ayu. Ia berhenti menggulir layar, matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip. Video itu berlanjut, menampilkan teks motivasi:

“UTBK adalah kesempatan kedua. Jangan menyerah. Kerja kerasmu akan berbuah jika kamu percaya.”

Ayu memejamkan mata, air mata mengalir tanpa ia sadari. Untuk pertama kalinya sejak hari pengumuman, ada sesuatu yang terasa menguatkannya.

“Masih ada UTBK… masih ada kesempatan…” gumamnya pelan.

Sejak sore itu, Ayu kembali membuka buku-bukunya. Kali ini, bukan sekadar rutinitas, tapi dengan tekad yang meletup-letup. Setiap halaman ia baca dengan sungguh-sungguh, setiap soal ia kerjakan meski matanya berat.

Hari-harinya berubah drastis. Ia belajar hingga larut malam, tidur hanya beberapa jam, lalu bangun pagi-pagi untuk melanjutkan latihan soal. Kamar belajarnya penuh dengan sticky notes warna-warni berisi rumus dan catatan singkat. Bahkan saat makan, ia sering membawa kertas catatan kecil untuk dibaca.

Santi dan Mira sebenarnya sudah terbiasa melihat Ayu belajar keras, itu bukan hal baru bagi mereka. Namun kali ini berbeda—belajarnya Ayu sudah di luar nalar, seolah tak kenal lelah.

“Yu, kamu bener-bener gila belajar sekarang. Tidur aja hampir nggak pernah,” ucap Santi suatu sore dengan nada heran, bahkan sedikit cemas.

Ayu hanya menanggapi dengan senyum samar. Lingkar hitam di bawah matanya makin jelas, menandakan lelah yang tak pernah benar-benar hilang.

“Aku harus bisa, San,” bisiknya pelan, suaranya bergetar menahan resah. “Aku nggak mau bapak lihat aku gagal lagi. Sekali aja rasanya udah sakit banget… aku nggak sanggup kalau harus ngecewain beliau untuk yang kedua kalinya. Makanya aku harus belajar sekeras ini.”

Setiap kali rasa lelah datang, Ayu kembali membuka akun Instagram @BangkitLagi_Official itu. Ia menonton ulang video motivasi yang menyemangatinya, seakan menjadikannya mantra pribadi.

Dalam hatinya, ia bertekad kuat:

“Kali ini, aku harus buktiin ke Bapak kalau aku bukan anak gagal. Aku pasti lulus UTBK dan masuk kedokteran. Aku nggak boleh jatuh untuk kedua kalinya.”

**

Langit hari ini sangat cerah, awan putih berarak pelan di atas Tirlangit. Suara ayam jantan masih terdengar dari kejauhan saat Ayu keluar rumah dengan langkah mantap. Tak ada yang mengantarnya—ayahnya terlalu sibuk di kantor dan ibunya memilih diam setelah pertengkaran dengan ayahnya kemarin.

Di tangannya, Ayu menggenggam map plastik bening berisi kartu peserta UTBK dan bolpoin cadangan. Tas ranselnya terasa ringan, tapi hatinya berat. Ia naik angkot sendirian menuju kota, duduk di pojok dekat jendela. Jalanan yang ramai oleh pelajar lain yang juga bersiap ujian hanya membuatnya semakin sadar: hari ini ia benar-benar sendiri.

Di perjalanan, Ayu menatap bayangan wajahnya di kaca jendela angkot. Lingkar hitam tebal mengelilingi matanya—hasil dari berhari-hari begadang demi mengulang materi. Ia menarik napas dalam, lalu berbisik lirih pada dirinya sendiri.

“Aku nggak boleh kalah. Aku harus buktiin, aku bukan anak gagal.”

Sesampainya di lokasi ujian, ratusan peserta sudah berkumpul. Banyak yang datang ditemani orang tua atau sahabat; ada yang menyalami anaknya sambil memberi semangat. Ayu hanya berdiri sendiri di sudut halaman, meremas kartu ujian dengan tangan dingin.

Di dekatnya, matanya tak sengaja tertuju pada seorang peserta lain—seorang anak perempuan yang diantar oleh ayah dan ibunya. Sang ayah menepuk pundaknya lembut sambil berkata, “Tenang saja, Nak. Jangan tegang. Jangan lupa berdoa sebelum mengerjakan ujian, serahkan hasilnya ke Allah.” Suaranya hangat, diakhiri dengan candaan ringan, “Toh, kalau pun kamu gagal, Bapak masih punya banyak uang untuk kamu daftar di kampus swasta ternama.” Anak itu tertawa, dan suasana menjadi ringan seketika.

Ibunya kemudian menambahkan, “Ingat, usaha terbaikmu sudah cukup. Jangan lupa jaga kesehatan dan fokus. Kita bangga sama kamu, apapun hasilnya.” Lalu keduanya memeluk anak perempuan itu dengan penuh kasih sayang.

Ayu menatap adegan itu, rasa iri dan kesepian menempel sesaat di hatinya. Ia menelan ludah, merasa seolah ia sendiri menghadapi dunia yang jauh lebih keras. Namun, dengan cepat ia mengusir perasaan itu.

“Tidak boleh fokus ke hal lain. Hari ini aku harus konsentrasi. Semua usaha dan persiapanku, ini saatnya diuji.” Bisiknya pada diri sendiri, lalu menarik napas dalam-dalam.

Saat petugas memanggil peserta masuk, Ayu berjalan dengan langkah pelan. Matanya menatap layar komputer di ruangan ujian, jantungnya berdetak kencang. Dunia di luar sana begitu cerah, tapi dalam dirinya hanya ada satu tekad yang keras: hari ini harus jadi titik baliknya.

Soal pertama muncul di layar. Ayu langsung bergerak cepat, pensil mekaniknya menari di kertas coretan. Ia mengerjakan Matematika dengan penuh fokus, meski sesekali kepalanya terasa berdenyut karena kurang tidur.

Setiap soal terasa seperti ujian hidup-mati. Ada beberapa yang bisa ia jawab dengan lancar, tapi ada juga yang membuatnya berhenti lama, menatap layar dengan mata berair. Ia mengusap wajah, menepis rasa panik. “Fokus, Ayu. Fokus. Kamu pasti bisa.”

Di tengah sesi Tes Potensi Skolastik, tubuhnya mulai bereaksi. Tangannya dingin, pelipisnya basah oleh keringat, matanya berkunang-kunang. Beberapa kali ia hampir ingin menutup mata karena rasa kantuk menyerang, tapi ia menepuk pipinya pelan.

Ia menuliskan jawaban demi jawaban, meski tangannya gemetar. Detik demi detik berjalan menekan, hingga akhirnya bel tanda ujian selesai berbunyi.

Begitu keluar dari ruangan, Ayu langsung merasakan lututnya lemas. Ia duduk di pinggir taman kecil di depan gedung, menghela napas panjang.

Meski kata-katanya terdengar optimis, dalam hatinya Ayu berperang. Ia tahu ia sudah berjuang mati-matian, tapi bayangan kegagalan SNBP masih menghantui. Ada rasa takut yang besar, tapi juga ada keyakinan kecil yang ia pelihara erat: bahwa kerja kerasnya kali ini pasti akan terbayar.

**

Sebulan kemudian

Siang itu, matahari bersinar terik, langit biru tanpa awan. Di beranda rumah, Ayu duduk dengan laptop di pangkuan. Tangan mungilnya bergetar, jantungnya berdegup cepat. Napasnya terasa sesak, dan keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. Hari yang ia tunggu sekaligus ia takutkan—pengumuman hasil UTBK—akhirnya tiba.

Jari-jarinya ragu menekan tombol untuk membuka pengumuman. Setiap detik terasa seperti menit, detak jantungnya menggelegar di telinga. Kenangan pahit SNBT sebelumnya menghantui pikirannya: kegagalan yang membuatnya merasa hancur, tekanan dari ekspektasi keluarga, dan rasa malu yang pernah ia rasakan. “Bagaimana kalau aku gagal lagi?” gumamnya, suara hati yang menahan harap dan cemas sekaligus.

Matanya menatap layar, napasnya tertahan. Tangan gemetar, jari-jarinya nyaris tak sanggup menekan tombol. Dunia seakan berhenti, hanya menyisakan dirinya, laptop, dan hasil yang akan menentukan langkahnya ke depan.

Dengan doa yang berulang kali ia bisikkan, ia mengetik nomor peserta. Klik. Halaman memuat perlahan. Waktu seakan berhenti.

Dan hasil itu terpampang jelas:

“Maaf, Anda belum lulus seleksi UTBK-SNBT 2025.”

Dunia Ayu runtuh seketika. Matanya membelalak, lalu perlahan berair. Nafasnya tercekat. Bagaimana bisa? Aku sudah belajar siang malam, sampai lupa tidur. Aku sudah berdoa, menangis di sajadah. Aku sudah berusaha sekuat tenaga… tapi kenapa?

Suara pintu berderit. Ayahnya, Pak Bambang, berdiri di belakangnya. “Sudah lihat hasilnya?” tanyanya datar.

Ayu menoleh pelan, wajahnya basah oleh air mata. Ia tak sanggup berkata.

Namun tatapan kosongnya sudah cukup menjadi jawaban.

Detik berikutnya, suara bentakan memecah keheningan.

“Jadi kamu gagal lagi? Astaga, Ayu! Dua kali berturut-turut!” bentak bapaknya, suaranya memecah keheningan. “Kamu bikin malu saja! Anak lain bisa, kenapa kamu nggak bisa? Si Nadia—yang nilainya jauh di bawah kamu—bisa lulus kedokteran, tapi kamu? Kenapa kamu begitu bodoh, Ayu? Kenapa selalu saja gagal?!”

Ayu terisak. “Bapak… aku sudah berusaha. Aku benar-benar sudah—”

“Tutup mulutmu!” potong ayahnya dengan suara keras. “Usaha apa? Hasilnya mana?! Dari dulu ayah sudah bilang, jangan terlalu lembek, jangan terlalu banyak alasan! Sekarang buktinya? Kamu ini anak gagal, Ayu. ANAK GAGAL!”

Kata-kata itu menghantam hati Ayu lebih tajam daripada pisau. Ia menunduk, tubuhnya gemetar.

Ibunya keluar dari dapur, berdiri di ambang pintu. Namun bukannya membela, ia hanya diam. Wajahnya kaku, pandangannya menghindar. Tak sepatah kata pun terucap.

Ayu menatap kedua orang tuanya dengan mata yang penuh luka. Kenapa tidak ada yang memelukku? Kenapa tidak ada yang bilang, “tidak apa-apa”?

Dalam benaknya, suara hati yang getir berbisik:

Jadi begini… kalau aku pintar, aku dipuji. Kalau aku gagal, aku dibuang. Jadi kasih sayang ayah itu bersyarat. Aku harus jadi sempurna untuk dicintai. Kalau tidak, aku hanya anak gagal di matanya.

Tangis Ayu pecah, kali ini bukan hanya karena hasil UTBK, tapi karena kesadaran pahit bahwa ia benar-benar sendirian. Tak ada pelukan, tak ada dukungan. Hanya bentakan, label “gagal”, dan kesepian yang membungkam.

Di kamar, Ayu menutup pintu rapat-rapat, lalu menelungkupkan wajah di bantal. Tubuhnya bergetar hebat. Dunia di luar jendela tetap cerah, burung-burung tetap berkicau, tapi di dalam hatinya, semua terasa gelap.

Hari itu, Ayu untuk pertama kalinya benar-benar yakin: ia bukan hanya gagal di ujian, tapi gagal menjadi “anak” yang layak dicintai oleh ayahnya.

Sejak pengumuman UTBK itu, hari-hari Ayu berubah suram. Ia jarang keluar kamar, bahkan untuk makan pun sering menolak. Pintu kamarnya selalu tertutup, tirai jendela tertarik rapat, seolah ia ingin menyingkir dari dunia.

Di meja belajar, buku-buku tebal dan catatan penuh coretan masih berserakan. Tapi sekarang, Ayu hanya menatap kosong ke arah tumpukan itu. Tangannya tak lagi sanggup membuka halaman.

Ponselnya berulang kali bergetar—chat dari Santi, Mira, bahkan Ainun yang menanyakan kabarnya. Namun Ayu tak membalas. Ia merasa terlalu malu untuk berjumpa dengan mereka yang sudah punya jalannya masing-masing. “Aku ini apa? cuma pecundang yang tertinggal di belakang,” batinnya lirih.

Makanan favoritnya—nasi goreng buatan ibunya—tak lagi terasa enak. Lagu-lagu yang dulu menemaninya belajar kini hanya membuat telinganya sakit. Bahkan menulis di buku diary yang biasanya jadi tempat curhat, kini terasa sia-sia.

Hari demi hari, ia lebih banyak berbaring di tempat tidur. Menatap langit-langit kamar, memikirkan kegagalan yang terus menghantui.

Setiap kali mengingat ayahnya, hatinya sakit. Kata-kata “anak gagal” itu bergema tanpa henti di kepalanya, seolah menjadi identitas barunya.

**

Suatu siang, saat matahari terik menembus celah tirai, Ayu menatap keluar jendela dengan mata sayu. Ia melihat anak-anak kecil berlari gembira di jalan, tertawa tanpa beban.

Air matanya mengalir. “Kenapa aku nggak bisa seceria itu lagi? Kenapa aku nggak bisa bahagia?”

Dalam kesunyian itu, muncul pikiran yang menakutkan:

“Kalau aku nggak ada, mungkin ayah nggak perlu marah-marah lagi. Mungkin semuanya akan lebih baik tanpa aku.”

Ayu memeluk lututnya erat, berusaha menahan isak. Ia tahu pikirannya berbahaya, tapi rasa hampa di dalam dirinya begitu besar.

**

Malam hari, suara TV dari ruang tamu terdengar samar. Ayahnya menonton berita seperti biasa, ibunya sibuk di dapur. Tak ada yang mengetuk pintu kamarnya, tak ada yang bertanya apakah ia baik-baik saja.

“Jadi memang begini. Aku cuma berarti kalau sukses. Kalau gagal, aku bahkan nggak dianggap ada.”

Hari itu, Ayu semakin yakin bahwa ia benar-benar sendirian. Dunia di sekitarnya terus berjalan, tapi ia sendiri seperti berhenti—terjebak dalam gelap yang semakin menelan.

Kamar itu sunyi. Hanya bunyi jam dinding yang berdetak lambat, seolah sengaja mengingatkan Ayu bahwa waktu terus berjalan, sementara dirinya terjebak di tempat yang sama.

Ia duduk bersandar di dinding, lututnya terlipat, pandangan kosong menembus tirai yang tertutup rapat. Udara pengap menekan dadanya, tapi lebih menyesakkan lagi adalah pikirannya sendiri.

Apa gunanya semua ini? Gumamnya dalam hati.

Sejak kecil, hidupnya diwarnai deretan angka di rapor, piala, sertifikat. Semua orang menyebutnya pintar, teladan, kebanggaan keluarga. Setiap kali ia menang, senyum ayahnya merekah, ibunya tampak lega. Setiap kali ia gagal, semua itu hilang, digantikan tatapan kecewa dan kata-kata yang menusuk.

Dan kini, setelah kegagalan beruntun, Ayu sadar: kebahagiaannya selama ini bukan miliknya sendiri.

Ia menatap cermin kecil di meja belajarnya. Wajah pucat dengan lingkar hitam tebal di bawah mata menatap balik, asing, seakan bukan dirinya.

“Siapa aku, sebenarnya?” bisiknya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar.

Ayu menggigit bibirnya. Apakah aku Ayu yang suka membaca, yang suka menulis, yang suka menatap langit sore? Atau aku cuma Ayu yang mereka mau—Ayu yang harus selalu sempurna, Ayu yang nilainya tak boleh jatuh, Ayu yang hidupnya diatur oleh ekspektasi?

Air matanya jatuh begitu saja. Pahit sekali rasanya menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar hidup untuk dirinya. Semua pilihan, semua langkah, bahkan mimpinya—bukan dari hatinya sendiri.

Selama ini aku bukan Ayu… aku cuma bayangan dari keinginan orang lain.

Dan di titik itu, ia merasa benar-benar kehilangan jati diri. Semua yang pernah ia banggakan mendadak terasa semu. Ia bukan lagi gadis yang tahu ke mana arah langkahnya. Ia hanyalah remaja yang tersesat, sendirian, di tengah hidup yang terasa bukan miliknya.

**

Malam itu Tirlangit diselimuti keheningan. Dari celah jendela kamarnya, Ayu bisa melihat langit bertabur bintang, tapi hatinya sama sekali tak tergerak. Dulu, pemandangan seperti itu selalu membuatnya tersenyum. Kini, ia hanya menatap tanpa rasa, seakan cahaya bintang pun enggan menembus gelap di dalam dirinya.

Ia berbaring menelentang, menatap langit-langit kamar yang kosong. Sudah berhari-hari, pikirannya berputar dalam lingkaran yang sama.

Pertanyaan itu menghantamnya, lagi dan lagi. Ia berusaha mengalihkan, mencoba membaca buku, menulis, bahkan mendengar musik. Tapi tak ada yang berhasil. Semua terasa hambar, tak bermakna.

Dulu, hidupnya begitu jelas: belajar, juara, membanggakan orang tua. Sekarang, semua itu runtuh. Tanpa itu, ia merasa seperti tak punya identitas.

Kalau aku bukan “anak pintar”, lalu aku siapa? Kalau aku bukan kebanggaan ayah, lalu aku apa?

Ayu memeluk lututnya erat, tubuhnya bergetar. Rasa hampa di dadanya seperti lubang hitam yang semakin lama semakin melebar, menelan semangat hidupnya sedikit demi sedikit.

Di luar kamar, suara televisi terdengar samar. Ayahnya tertawa kecil melihat acara komedi. Ibunya sibuk membereskan dapur. Hidup mereka berjalan seperti biasa, seolah kekecewaannya tidak pernah ada.

Dan di situlah luka itu semakin dalam. Bukan hanya karena gagal masuk universitas impiannya, tapi karena kenyataan bahwa bahkan orang tuanya bisa hidup tanpa benar-benar peduli pada dirinya.

Air mata Ayu jatuh membasahi bantal. Ia berbisik pada dirinya sendiri, suara yang nyaris tak terdengar.

“Kalau semua yang kulakukan nggak pernah cukup… kalau keberadaanku nggak berarti tanpa prestasi… apa gunanya aku ada di dunia ini?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, menyesakkan. Bukan sekadar rasa sedih, melainkan kebingungan eksistensial yang merobek-robek jiwanya. Untuk pertama kalinya, Ayu merasa hidupnya benar-benar kosong—dan ia tak tahu apakah ia sanggup mengisinya kembali.

Dengan jari lelah, ia membuka Instagram—kebiasaan yang biasanya hanya menambah luka. Scroll demi scroll, wajah-wajah orang lain dengan kabar bahagia berkelebat, membuat dadanya semakin sesak. Hingga akhirnya, matanya berhenti pada sebuah unggahan baru dari akun @BangkitLagi_Official.

Video itu sederhana: hanya latar hitam dengan teks putih bergerak pelan, diiringi musik piano lembut. Suara narator yang menenangkan muncul:

“Kamu boleh kecewa. Kamu boleh lelah. Bahkan kamu boleh menangis. Itu semua wajar. Tapi jangan lupa… kamu tetap berharga. Nilaimu bukan ditentukan oleh ujian. Nilaimu ada pada dirimu sendiri—pada setiap usaha kecil yang pernah kamu lakukan, meski tak ada yang melihat.”

Ayu terpaku. Kata-kata itu menyusup begitu dalam, menembus lapisan luka yang selama ini ia simpan.

“Kalau kamu merasa sendirian, ingat… ada banyak orang di luar sana yang juga sedang berjuang. Kamu nggak gagal. Kamu hanya sedang dalam perjalanan.”

Seketika, air mata Ayu menetes tanpa bisa ia cegah. Bukan karena kata-kata itu langsung menyembuhkan, tapi karena untuk pertama kalinya ia merasa ada yang mengerti rasa hancurnya.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol like, lalu membiarkan dirinya menangis sepuasnya. Tangis yang berbeda dari biasanya—bukan hanya karena putus asa, tapi karena ada sedikit rasa lega.

Di tengah gelapnya pikirannya, ada setitik cahaya kecil yang menyala. Rapuh, hampir tak terlihat, tapi nyata.

“Mungkin… aku belum benar-benar selesai. Mungkin masih ada alasan untuk tetap bertahan.”

Beberapa hari setelah malam itu, Ayu mulai terbiasa menantikan unggahan dari akun @BangkitLagi_Officail. Setiap video singkatnya seperti tetesan air yang jatuh ke tanah kering dalam dirinya—tidak langsung menghidupkan, tapi perlahan menyuburkan kembali sesuatu yang nyaris mati.

Suatu sore, ia menyalakan lampu meja belajar dan membuka buku tulis kosong. Tangannya sempat ragu, tapi kemudian ia menuliskan kalimat pertama:

“Hari ini aku merasa hancur. Tapi aku juga merasa ingin sembuh.”

Sejak itu, ia mulai menulis setiap malam. Awalnya hanya satu-dua kalimat, lalu berkembang menjadi halaman penuh—tentang marahnya ayah, tentang diamnya ibu, tentang rasa kecewa pada dirinya sendiri, hingga tentang betapa ia merindukan sosok yang benar-benar mendengarkan. Menulis membuatnya merasa seolah ada ruang aman untuk berbicara, meski hanya kepada dirinya sendiri.

Hari-hari berikutnya, ia mencoba langkah kecil lain. Ia menutup aplikasi Instagram selama beberapa jam sehari, memilih berjalan ke sawah belakang rumah sambil menghirup udara sore. Untuk pertama kalinya, ia menatap langit jingga bukan sebagai penanda hari yang gagal, tapi sebagai sesuatu yang indah tanpa syarat.

Pelan-pelan, Ayu menyadari sesuatu yang sederhana namun besar: hidupnya selama ini terlalu banyak diukur dari luar. Dari angka rapor. Dari ranking. Dari label yang ditempelkan orang lain. Dari marah ayahnya. Dari harapan ibunya.

Kini, untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri: “Aku sebenarnya mau apa? Aku suka apa? Aku bahagia kalau melakukan apa?”

Pertanyaan itu membuatnya merenung dalam-dalam.

Malam itu, ia menulis lagi di jurnalnya:

“Aku tidak ingin lagi menjalani hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Kalau aku belajar, aku ingin belajar karena aku penasaran. Kalau aku bekerja, aku ingin bekerja karena aku suka. Kebahagiaanku bukan hadiah dari orang lain, melainkan sesuatu yang harus aku ciptakan sendiri.”

Air mata kembali jatuh, tapi kali ini berbeda. Bukan air mata putus asa, melainkan air mata kelegaan.

Ayu tahu ia belum sepenuhnya pulih. Luka dari ucapan ayahnya masih menyakitkan. Bayangan kegagalan masih sesekali mengusik. Tapi kini, ia mulai mengerti bahwa ia punya kendali atas satu hal: perasaannya sendiri.

Dan itu sudah cukup menjadi langkah awal.

“Mulai hari ini, aku ingin hidup bukan karena ekspektasi siapa pun. Aku ingin hidup karena aku ingin hidup.”

Hari-hari Ayu kini berjalan lebih sunyi. Ia tidak lagi berusaha keras untuk selalu tampil sempurna di depan orang lain. Ada bagian dari dirinya yang sudah menyerah untuk terus-menerus menjadi “kebanggaan keluarga” atau “contoh murid teladan”.

Di kamar yang sering menjadi saksi tangisnya, ia mulai berdamai dengan diam. Jendela kecil di pojok kamar menjadi tempatnya menatap dunia luar, bukan lagi dengan iri atau rasa tertinggal, melainkan dengan keheningan yang lebih tenang.

Sore itu, ia menulis di jurnalnya:

“Selama ini aku pikir kebahagiaan itu hadiah dari orang lain—dari nilai bagus, dari pujian, dari pengakuan. Ternyata, semua itu rapuh. Begitu mereka hilang, aku juga ikut hancur. Sekarang aku ingin belajar berdiri tanpa itu semua. Aku ingin bahagia dengan caraku sendiri.”

Kalimat itu membuatnya terdiam cukup lama. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya, antara takut dan lega.

Di sekolah, ia tidak lagi ikut-ikutan membandingkan diri dengan teman-temannya. Ketika mendengar Nadia atau Dimas bercerita tentang rencana kuliah, Ayu hanya tersenyum tipis. Dulu, senyum itu penuh iri yang disembunyikan. Sekarang, meski masih ada sedikit getir, ia belajar mengakui bahwa jalannya memang berbeda.

“Bukan berarti aku gagal… hanya berarti aku punya jalan lain,” bisiknya pelan.

Perlahan, ia juga mulai melatih pikirannya untuk menerima rasa sakit tanpa menolaknya. Saat kata-kata ayahnya terngiang—“anak gagal”—ia tidak lagi melarikan diri atau menenggelamkan diri dalam tangis. Ia membiarkan perasaan itu hadir, menuliskannya, lalu meyakinkan dirinya sendiri:

“Itu kata-kata beliau. Bukan kebenaran tentang aku. Aku berhak menentukan siapa aku.”

Untuk pertama kalinya, Ayu merasa ada jarak sehat antara dirinya dan label yang diberikan orang lain.

Malam-malamnya kini diisi bukan dengan belajar sampai larut untuk membuktikan sesuatu, melainkan dengan merenung dan menulis. Ia belajar menerima bahwa kegagalan bukan akhir dunia, melainkan bagian dari perjalanan yang membentuknya.

Dalam hati kecilnya, Ayu mulai menyadari: ia tidak harus sempurna untuk layak dicintai—setidaknya oleh dirinya sendiri.

**

Beberapa minggu terakhir, Ayu mulai terbiasa berbicara dengan dirinya sendiri. Setiap kali rasa takut datang, ia duduk di depan cermin kecil di meja belajarnya, menatap wajah pucat dengan lingkar hitam di bawah mata.

“Ayu, kamu nggak harus sempurna,” bisiknya pelan. “Kamu nggak gagal hanya karena jalannya berbeda. Kamu masih punya waktu buat menemukan apa yang kamu mau.”

Kata-kata itu awalnya terasa canggung. Tapi semakin sering ia mengulang, semakin ia percaya. Ada ketenangan kecil yang tumbuh dari self-talk itu—sebuah pengingat bahwa dirinya berharga, meski dunia luar menolak mengakuinya.

Namun, di rumah, kenyataannya tidak berubah banyak. Ayahnya tetap keras. Suatu malam, ketika keluarga sedang makan malam, Pak Bambang tiba-tiba menyinggung lagi soal kuliah.

“Kamu masih berniat jadi dokter, kan? Kalau gagal UTBK kemarin, ya coba universitas swasta. Yang penting dokter. Profesi itu jelas, terhormat, bikin keluarga bangga,” ucapnya dengan nada tak bisa diganggu gugat.

Ayu menunduk. Sendok di tangannya berhenti bergerak. Tapi kali ini, ada keteguhan berbeda dalam suaranya ketika ia menjawab.

“Pak, aku udah mikir banyak… aku sadar selama ini niatku salah. Aku pengin jadi dokter bukan karena aku suka, tapi karena aku pengin dianggap pintar. Aku pengin dihormati. Itu bukan alasan yang benar.”

Suasana meja makan langsung mencekam. Wajah Pak Bambang memerah, matanya melebar tak percaya.

“APA? Jadi sekarang kamu menentang bapak? Kamu meremehkan profesi dokter?”

Ayu menggeleng, suaranya tetap lembut. “Bukan begitu, Pak. Aku cuma sadar… aku ingin memilih jalan yang benar-benar aku cintai. Aku nggak mau hidupku hanya untuk membuktikan sesuatu ke orang lain.”

Setelah itu, Ayu mencoba berbagai hal kecil untuk menemukan apa yang benar-benar membuatnya bersemangat. Ia mengikuti kelas menulis daring, mencoba belajar desain grafis, bahkan ikut seminar online tentang psikologi. Malam-malamnya diisi dengan eksplorasi, bukan lagi tangisan atau terjebak pada satu impian yang dipaksakan.

Akhirnya, setelah melalui pencarian panjang, Ayu menemukan dirinya jatuh cinta pada psikologi. Baginya, memahami manusia, emosi, dan luka batin terasa lebih dekat dengan dirinya sendiri—seolah ia ingin menolong orang lain sembari menyembuhkan dirinya.

Suatu malam, dengan hati-hati ia mengutarakan hal itu pada ayahnya.

“Pak… aku sudah menemukan jurusan yang aku ingin tekuni. Aku ingin masuk psikologi. Aku ingin belajar tentang manusia, tentang bagaimana orang bisa pulih dari rasa sakit. Aku merasa… ini jalanku.”

Jawaban ayahnya datang bagai petir.

“PSIKOLOGI?!” bentak Pak Bambang. “Itu jurusan buangan! Mau jadi apa kamu nanti? Psikolog? Siapa yang peduli sama itu?! Kamu pikir bisa hidup layak dari situ?! Kamu memang nggak ada otaknya, Ayu! Dari dulu bapak sudah bilang, cuma dokter yang jelas masa depannya!”

Ibunya hanya diam, tak berani ikut bicara.

Ayu merasakan hatinya ditusuk-tusuk, tapi ia mengatur napas dalam. Untuk pertama kalinya, ia berani menatap ayahnya langsung.

“Pak, aku tahu ini bukan yang Bapak mau. Tapi aku ingin menjalani hidupku sendiri. Aku ingin memilih sesuatu yang aku suka, yang bikin aku merasa hidup. Aku nggak ingin lagi hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang.”

Pak Bambang berdiri sambil menghantam meja dengan kepalan tangan. “TERSERAH! Lakukan apa maumu! Aku nggak peduli lagi. Kita lihat nanti, kamu akan menyesal karena nggak nurut sama bapakmu sendiri!”

Suasana rumah hening. Ayu hanya menunduk, berusaha menahan air mata. Tapi dalam hatinya, ada suara kecil yang meneguhkan: Aku tetap sopan. Aku tetap hormat. Tapi aku tidak akan menyerahkan kendali hidupku lagi.

Malam itu, ia menulis di jurnalnya dengan tangan gemetar:

“Aku tahu jalan ini akan sulit. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa ini pilihanku. Aku lebih takut kehilangan diriku sendiri daripada mengecewakan orang lain. Dan kali ini… aku akan bertahan.”

**

Hari itu, taman sekolah dihias sederhana dengan balon warna-warni dan pita biru yang bergelantungan di dahan pohon. Spanduk bertuliskan “Perpisahan Kelas XII SMA Tirlangit” membentang lebar di depan panggung kecil. Suasana ramai; musik akustik mengalun pelan, sementara kelompok-kelompok siswa berfoto bersama, saling bertukar tanda tangan di seragam putih abu-abu mereka yang kini penuh coretan.

Ayu duduk di bangku kayu di bawah pohon flamboyan, memandangi teman-temannya yang berlarian ke sana kemari. Ia tersenyum tipis, menyerap suasana yang terasa indah sekaligus getir.

Tak jauh dari tempatnya duduk, sekelompok murid sedang bercengkerama. Nadia terlihat paling antusias bercerita.

“Aku masih nggak percaya bisa lolos ke Kedokteran di Unair. Padahal aku cuma peringkat dua, kan? Tapi ya… rezeki nggak ke mana,” katanya sambil terkikik, jelas bangga.

Dimas menimpali dengan wajah sumringah. “Aku juga, bisa masuk Teknik Informatika ITS rasanya kayak mimpi. Padahal belajaranku nggak seserius Ayu tuh… eh, tapi malah lolos sekali tes aja.” Ia terkekeh.

Beberapa anak ikut tertawa, lalu menoleh ke arah Ayu yang masih diam di kursinya. Salah satu dari mereka, Rara, berkomentar dengan suara agak keras, seakan ingin memastikan Ayu mendengar.

“Kasihan ya Ayu… dari dulu pinter banget, juara kelas terus, tapi kok malah gagal masuk PTN? SNBP, SNBT hasilnya sama-sama zonk.”

Tawa kecil pecah di antara mereka. Lalu Faris, yang terkenal santai dan sering main futsal, menambahkan dengan nada mengejek.

“Aku aja santai belajar, bolos latihan soal berkali-kali, eh sekali tes langsung keterima di Farmasi UB. Nggak perlu begadang tiap malam kayak Ayu. Tuh kan, buktinya usaha keras belum tentu jaminan.”

Obrolan itu membuat beberapa siswa lain saling berbisik, sesekali melirik Ayu dengan ekspresi simpati. Ada yang bergumam pelan, “Sayang banget ya, padahal dia pinter banget…” Ada juga yang menatapnya seolah Ayu adalah contoh tragis dari kegagalan.

Lalu, suara lain menyusul. “Itu sih akibatnya kalau pelit. Dari dulu kan Ayu nggak pernah mau bagi contekan. Giliran sekarang, nasibnya malah begitu.”

Hening sejenak. Semua tatapan seolah menunggu bagaimana Ayu akan bereaksi.

Ayu menoleh ke arah mereka. Senyumnya lembut, tidak getir, tidak pula marah. Ia mengangguk pelan.

“Selamat ya buat kalian semua. Semoga sukses di jalannya masing-masing.”

Kata-kata itu keluar tulus, meski di dalam dadanya sempat ada rasa perih yang menusuk. Tapi Ayu belajar mengendalikan perasaan—ia sudah tidak mau lagi membiarkan kata-kata orang lain menghancurkannya.

Nadia sempat terdiam, sedikit kaget dengan respons setenang itu. Dimas pura-pura tersenyum, sementara Rara hanya mendengus kecil.

Ayu kembali menunduk. Dalam hati ia berbisik pada dirinya sendiri:

“Aku tidak gagal. Aku hanya berjalan di jalan yang berbeda. Dan kali ini, aku yang memilih jalanku sendiri.”

Angin sore bertiup pelan, menerbangkan kelopak bunga flamboyan yang jatuh di pangkuannya. Di tengah hiruk pikuk tawa dan cerita orang lain, Ayu merasa tenang—untuk pertama kalinya, benar-benar tenang.

Setelah acara perpisahan selesai, Ayu berjalan pulang sendirian melewati jalan setapak yang biasa ia lalui selama tiga tahun terakhir. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga flamboyan yang berguguran.

Setiap langkahnya seakan menjadi perpisahan dengan masa SMA yang penuh warna: ada tawa, ada air mata, ada luka, ada kenangan manis. Meski tadi sempat mendengar sindiran teman-temannya, Ayu justru merasa lebih lega. Ia sadar, betapapun kerasnya orang menilainya, hanya dirinya sendiri yang tahu betapa berat perjuangan yang ia jalani.

“Aku sudah melewati banyak badai,” batinnya. “Dan aku masih berdiri. Itu sudah cukup.”

**

Beberapa minggu kemudian, Ayu mengikuti ujian mandiri di UGM untuk jurusan Psikologi. Pagi-pagi sekali ia berangkat sendiri dengan angkot, membawa map plastik berisi kartu ujian. Di ruang ujian, ia mengerjakan soal dengan tenang. Tidak ada lagi tangan gemetar, tidak ada lagi panik berlebihan. Meski sulit, ia tetap mencoba sampai waktu habis.

Hari pengumuman tiba. Hatinya berdegup saat membuka portal hasil seleksi. Kata-kata yang muncul di layar membuat dadanya sesak: “Maaf, Anda belum lulus seleksi.”

Sejenak ia terdiam. Ada rasa kecewa, jelas. Ada perih kecil yang menyusup, tentu saja. Tapi kali ini, Ayu tidak menangis berhari-hari. Ia menarik napas panjang, menutup laptop, lalu tersenyum samar.

“Aku gagal lagi. Tapi nggak apa-apa… aku terima. Mungkin memang bukan jalanku. Aku percaya, Tuhan selalu siapkan rencana yang lebih indah, meski aku belum bisa melihatnya sekarang.”

Namun, kabar itu sampai juga ke telinga ayahnya. Malam itu, Pak Bambang pulang kerja dengan wajah masam. Begitu tahu Ayu kembali gagal, amarahnya meledak.

“Lihat kan?! Dari dulu Bapak sudah bilang, kamu itu bodoh! Ngapain coba maksa daftar di UGM? Udah jelas nggak bakal lulus! Buang-buang waktu aja. Apalagi jurusan yang kamu pilih itu jurusan buangan, nggak jelas masa depannya! Kalau nurut sama Bapak, ambil kedokteran, hidupmu pasti terjamin! Tapi kamu keras kepala, sok pilih jalan sendiri. Sekarang apa hasilnya? GAGAL! Makanya jangan jadi anak durhaka!”

Kata-kata itu menusuk telinga Ayu, tapi kali ini ia tidak lagi terhanyut. Ia hanya diam, menunduk, menahan diri. Ia tahu, menjawab hanya akan memperpanjang pertengkaran dan membuat ayahnya semakin kejam dalam kata-kata.

Dalam hati, ia berbisik pelan, “Aku bukan anak durhaka hanya karena memilih jalan yang berbeda. Aku tetap mencintai bapak, tapi aku juga harus mencintai diriku sendiri.”

Malam itu, setelah ayahnya berhenti menghardik, Ayu duduk di kamarnya dan menulis di jurnalnya:

“Aku gagal lagi. Tapi kali ini aku bisa menerima. Aku tidak akan menyalahkan diriku, tidak akan menyalahkan Tuhan. Mungkin jalanku memang harus sedikit lebih panjang, lebih berliku. Aku percaya, ada alasan di balik semuanya. Aku akan tetap melangkah, dengan tenang, dengan ikhlas.”

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ayu tidur dengan hati yang ringan meski dunia luar menilainya gagal. Ia tahu, ia sudah menang atas dirinya sendiri.

**

Hari-hari setelah kegagalan ujian mandiri terasa lebih tenang bagi Ayu. Ia tidak lagi dihantui tangisan tiap malam. Sebaliknya, ia mulai merasakan kebutuhan untuk berhenti sejenak. “Aku harus jeda. Aku harus bernapas dulu,” batinnya.

Keputusan itu bukan tanpa pergolakan. Di lingkungan sekitar, banyak yang mulai sibuk mempersiapkan kuliah. Grup kelas penuh dengan obrolan soal jadwal ospek, daftar ulang, hingga rencana kost di kota-kota besar. Sesekali, Ayu membaca percakapan itu dengan hati berdesir, tapi ia cepat menutup ponselnya. Ia sadar, membandingkan diri hanya akan membuat luka lama terbuka kembali.

Pagi-pagi, ketika teman-temannya sibuk dengan status mereka sebagai mahasiswa baru, Ayu memilih berjalan di jalan setapak menuju sawah belakang rumah. Angin segar menyapu wajahnya, suara burung bersahutan, dan hijau hamparan padi membuatnya merasa lebih hidup. Di tengah sawah itu, Ayu sering berbicara pada dirinya sendiri:

“Aku memang belum kuliah sekarang. Tapi bukan berarti aku berhenti. Aku hanya sedang menguatkan langkah.”

Ia mulai mengisi waktunya dengan hal-hal kecil: membaca buku psikologi populer yang ia pinjam dari perpustakaan desa, mengikuti webinar gratis tentang kesehatan mental, bahkan menulis catatan refleksi yang semakin hari semakin tebal. Jurnalnya kini bukan hanya tempat curhat, melainkan juga ruang untuk merancang masa depan.

Kadang, ayahnya masih melontarkan sindiran sinis.

“Coba lihat teman-temanmu, mereka sudah kuliah semua. Anaknya si Shaleh itu, si Nadia, sekarang bangga banget bisa masuk Kedokteran Unair. Sementara kamu? Masih di rumah, nganggur, nggak jelas mau ke mana. Bapak malu punya anak kayak kamu. Memang pantas dibilang anak gagal.”

Tapi Ayu hanya menunduk, lalu menarik napas dalam. Ia tidak lagi membiarkan kata-kata itu meruntuhkan dirinya. “Aku tidak gagal. Aku hanya istirahat sebentar,” batinnya tegas.

Malam-malamnya lebih damai. Ia menulis doa sederhana di akhir jurnalnya:

“Ya Tuhan, kalau jalan ini panjang, beri aku kesabaran. Kalau jalan ini berat, beri aku kekuatan. Aku percaya, Engkau sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik.”

Hari demi hari, Ayu belajar melepaskan beban ekspektasi orang lain. Ia mulai menemukan kekuatan dalam ketenangan, menemukan makna dalam keheningan, dan yang paling penting—mulai menemukan dirinya sendiri.

Gap year bukan tanda menyerah. Bagi Ayu, ini adalah tahun untuk pulih, untuk mengenal diri, dan untuk menyiapkan langkah baru dengan hati yang lebih ikhlas.

Hari-hari Ayu kini tak lagi sekelam dulu. Meski masih sering sendirian di kamar, ia mulai berani membuka diri pada dunia di luar. Ia mengikuti rutinitas sederhana: bangun lebih pagi, membantu ibunya di dapur, lalu menghabiskan waktu membaca atau menulis. Di sore hari, ia suka berjalan ke taman desa atau ke perpustakaan kecil yang baru direnovasi.

Di perpustakaan itulah ia berkenalan dengan seorang relawan bernama Mbak Rani, mahasiswa tingkat akhir jurusan psikologi yang sedang KKN di desanya. Mbak Rani sering mengajak anak-anak muda desa berdiskusi santai tentang kesehatan mental, mimpi, dan cara mengenali diri sendiri. Awalnya Ayu hanya duduk diam di pojok ruangan, tapi lama-lama ia memberanikan diri untuk berbicara.

“Kadang aku merasa… hidupku kosong, Mbak,” kata Ayu suatu sore.

Mbak Rani tersenyum lembut. “Kosong bukan berarti tidak ada apa-apa, Ayu. Kosong itu ruang. Ruang untuk kamu isi dengan hal-hal yang benar-benar kamu pilih, bukan pilihan orang lain.

Kalimat itu menempel di hati Ayu.

Sejak itu, ia mulai mencoba berbagai aktivitas kecil. Ia ikut membantu mengajar adik-adik SD di bimbingan belajar gratis yang diadakan mahasiswa KKN. Awalnya ia canggung, takut anak-anak itu tidak suka dengannya. Tapi saat melihat mereka tertawa ketika ia menjelaskan pelajaran dengan cara sederhana, hatinya hangat. Ia sadar, ia punya bakat mengajar.

Selain itu, Ayu mulai menekuni hobi menulisnya. Di jurnal pribadinya, ia bukan hanya menuliskan curhat, tapi juga ide-ide cerita pendek. Suatu hari, iseng-iseng ia mengunggah salah satu tulisannya di akun Instagram kecil yang ia buat khusus untuk menulis: @dyah_lines. Tak disangka, banyak yang menyukai tulisannya, bahkan beberapa orang mengirim pesan bahwa mereka merasa terinspirasi.

“Terima kasih sudah menulis ini, Kak. Aku juga sering merasa gagal, tapi kata-kata kakak bikin aku semangat lagi.”

Membaca pesan-pesan itu, Ayu tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa dirinya bisa memberi arti bagi orang lain tanpa harus menjadi seseorang yang “bergengsi.”

Meski begitu, tantangan tetap ada. Ayahnya masih sering mencibir ketika melihat Ayu sibuk menulis atau membantu anak-anak belajar.

“Apalah artinya itu semua? Tidak menghasilkan uang, tidak membuatmu jadi dokter. Percuma.”

Namun, Ayu tidak lagi meledak atau menangis. Ia hanya tersenyum tipis, lalu kembali pada aktivitasnya. Di dalam hatinya ia berkata, “Aku tidak bisa mengendalikan cara bapak melihatku. Tapi aku bisa mengendalikan bagaimana aku melihat diriku sendiri.”

Hari-hari gap year itu membentuk Ayu menjadi pribadi yang lebih matang. Ia memang belum tahu pasti apa passion sejatinya, tapi satu hal yang ia sadari: ia tidak lagi ingin hidup demi memenuhi ekspektasi orang lain. Ia ingin menjalani hidup dengan sadar, dengan pilihan yang tulus dari dalam hatinya.

**

Suatu malam, Ayu membuka Instagram dengan niat mencari akun @BangkitLagi_Official. Namun, jari-jarinya salah menekan. Sebuah video lain muncul, menampilkan kompetisi akademik mahasiswa korea. Di layar, para pelajar berkewarganegaraan korea dari universitas-universitas top dunia dan Korea berdiri gagah, memperkenalkan diri satu per satu.

Salah satunya, seorang mahasiswa berperawakan tinggi, berbicara dengan percaya diri.

“Saya hanya mulai belajar sungguh-sungguh di kelas 12. Bahkan dulu, saya pernah menduduki peringkat 10 dari bawah. Saya bukan akademisi sejak awal, sampai akhirnya saya memutuskan untuk mencoba masuk SNU. Saya pikirkan baik-baik… dan saya masuk.”

Ayu terdiam. Matanya tak berkedip, telinganya menangkap setiap kata. Hatinya seperti disambar petir. “Wow… ini keren banget.” Bisiknya lirih.

Ia mencari video lengkapnya, menonton kompetisi itu tanpa jeda, dan tak terasa waktu sudah menunjukkan pagi. “Astaga, ini benar-benar keren,” gumamnya. Isi video itu adalah para mahasiswa jenius dari berbagai universitas.

Hingga di akhir kompetisi, seperti dugaannya, Seoul National University (SNU) keluar sebagai juara. Sejak awal, tim mereka memang terlihat sangat konsisten dan kompak.

Setelah selesai menonton, semangat di dadanya semakin membuncah. Malam itu, ia menutup ponselnya dengan senyum tipis. Kali ini, Ayu ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Ia akan mencoba mendaftar ke SNU, meskipun ide itu terasa tidak masuk akal.

Ia tahu orang-orang pasti akan mencibirnya, menganggapnya tak tahu diri, bahkan menghinanya gila. “Bagaimana mungkin bisa menembus universitas nomor satu di Korea, sementara masuk UGM saja gagal?” Begitu mungkin pikir mereka.

Namun, Ayu tidak peduli. Tekadnya sudah bulat. Toh, kalaupun gagal, setidaknya ia sudah berusaha dan mencoba. Daripada nanti ia dihantui rasa penasaran dan penyesalan karena tidak pernah mencoba sama sekali.

**

Perjuangan dimulai dari bahasa. Ayu sadar, masuk SNU berarti ia harus menembus tes internasional. Setiap subuh, sebelum ayam jantan berkokok, ia sudah duduk di meja belajarnya dengan headphone menempel di telinga. Suara aksen British dan American memenuhi kamar sempitnya.

Listening test jadi tantangan terberat. Berkali-kali ia harus mengulang rekaman. Kadang frustrasi, ia menutup mata, menarik napas panjang. Tapi ia tidak menyerah. Di sela-sela itu, ia juga mencatat huruf-huruf hangul di buku kotak-kotak kecil—mencoba mengenal dasar-dasar bahasa Korea.

Malamnya, ketika semua orang sudah tidur, lampu meja belajarnya masih menyala. Ayu duduk sendirian, menulis essay latihan IELTS, menimbang setiap kata, berusaha menguasai grammar yang dulu sering membuatnya ragu.

Selain kursus bahasa, Ayu juga ikut les privat Matematika dan Biologi di kota. Tas ranselnya terasa berat, penuh dengan buku-buku latihan. Setiap malam, ia baru sampai di rumah hampir pukul sembilan. Tubuhnya lelah dan matanya merah karena kantuk, tetapi semangat di dalam dirinya membuat langkahnya tak goyah. Sesampainya di rumah, Ayu langsung makan malam dan mandi, namun perjuangannya belum selesai. Ia akan membuka YouTube dan menonton berbagai kanal edukasi dari Korea.

Salah satu kanal favoritnya adalah “SNU Prep”, yang membahas soal tes masuk SNU, tips lolos universitas di Korea, dan materi pelajaran berbahasa Inggris seperti tes SAT. Selain itu, ia juga mengikuti “Korean Academic Hub” yang menyediakan materi mendalam tentang Biologi dan Matematika; “Seong’s Study Corner” untuk motivasi dan tips belajar; serta “Global Scholar” untuk persiapan tes standar internasional seperti TOEFL dan IELTS. Ayu berjuang sangat keras, memanfaatkan setiap detik waktu yang ada. Ia menyalin catatan, mengerjakan soal-soal latihan, dan sering kali sampai tertidur di meja belajar, semua demi mengejar impiannya.

“Capek juga, tapi seru,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Untuk pertama kalinya, Ayu menikmati proses belajar ini bukan karena terpaksa, melainkan karena ia benar-benar menginginkannya. Tak ada lagi perasaan tertekan atau beban, yang ada hanyalah semangat murni untuk mengejar impiannya. Setiap kelelahan yang ia rasakan terasa sepadan dengan energi dan antusiasme yang terus membara di dalam dirinya.

Hampir sepuluh bulan ia menjalani rutinitas belajar yang padat itu. Sampai akhirnya, tantangan pertama pun datang. Ia harus menghadapi tes SAT (Scholastic Assessment Test), tes standar yang menjadi salah satu syarat penting untuk mendaftar ke universitas di luar negeri. Ini adalah ujian pertamanya yang sesungguhnya.

Namun, bagian tersulit datang ketika ia harus menulis personal statement untuk aplikasi beasiswa. Ia menatap kertas kosong berhari-hari. Bagaimana ia harus merangkai kisah hidupnya yang penuh kegagalan tanpa terdengar menyedihkan?

Akhirnya, Ayu menulis dengan jujur: tentang SNBP yang gagal, UTBK yang membuatnya hancur, bahkan depresi yang nyaris merenggut jiwanya. Tapi ia juga menuliskan bagaimana ia bangkit kembali, bagaimana ia belajar menerima diri, dan bagaimana ia menemukan alasan baru untuk hidup.

“Ketertarikan saya pada bidang Psikologi lahir bukan dari keinginan untuk memperoleh pengakuan, melainkan dari pengalaman pribadi pernah merasakan kehilangan arah. Dari pengalaman tersebut, saya menyadari pentingnya pemahaman yang mendalam tentang manusia dan dinamika psikologisnya. Dengan menempuh pendidikan Psikologi, saya berharap dapat mengembangkan kompetensi akademik sekaligus keterampilan praktis untuk berkontribusi dalam mendampingi individu yang menghadapi kegagalan maupun kesulitan hidup, sehingga ilmu yang saya peroleh dapat bermanfaat tidak hanya bagi diri saya, tetapi juga bagi masyarakat luas.”

Saat membaca ulang kalimat itu, air matanya menetes. Untuk pertama kalinya, ia merasa tulisannya benar-benar menggambarkan dirinya—tanpa topeng, tanpa ambisi kosong.

Hari tes IELTS, Ayu duduk di ruangan ber-AC dengan headphone di kepala. Jantungnya berdegup kencang, berpacu dengan waktu. Sesi Listening berjalan cepat, Reading membuat matanya panas, dan Writing menekannya hingga detik terakhir. Pada sesi Speaking, tangannya terasa dingin, tetapi ia memaksakan diri untuk tersenyum.

“Tenang, Ayu. Bicara saja. Kamu bisa,” gumamnya dalam hati.

Beberapa minggu kemudian, hasil IELTS-nya keluar. Skor yang didapat Ayu cukup untuk memenuhi persyaratan pendaftaran di Seoul National University (SNU). Sesuai dengan prosedur akademik SNU untuk program internasional, salah satu syarat utamanya adalah menunjukkan kecakapan Bahasa Inggris yang mumpuni. Ayu berhasil mencapai skor minimal yang dibutuhkan. Dengan hasil ini, ia selangkah lebih dekat dengan mimpinya.

Sekitar dua bulan setelah pendaftaran, sebuah email dari SNU masuk ke kotak suratnya. Isinya adalah undangan untuk mengikuti tes psikometri online. Malam itu, Ayu sudah siap. Ia duduk di depan laptop, menarik napas dalam, dan mulai mengerjakan.

Listrik di rumahnya sempat padam selama beberapa menit, tetapi Ayu tidak panik. Ia menunggu hingga listrik kembali menyala dan melanjutkan tes dengan konsentrasi penuh. Soal-soal yang muncul di layar sangat sulit, menguji logika, pemahaman numerik, dan kemampuan analitis. Namun, Ayu sedikit kaget karena banyak konsep yang ia pelajari dari kanal-kanal YouTube Korea, seperti “SNU Prep” dan “Korean Academic Hub”, benar-benar muncul dalam tes. Meskipun soal-soal tersebut sudah dimodifikasi menjadi jauh lebih rumit, pemahaman dasar yang kuat dan penguasaan konsep yang ia bangun selama berbulan-bulan membuatnya terasa lebih mudah untuk dipecahkan. Ia mengerjakan setiap soal dengan teliti, seolah-olah semua kerja kerasnya selama ini terbayar lunas.

Beberapa minggu setelah menjalani tes psikometri, Ayu menerima email lagi. Kali ini, undangan untuk mengikuti wawancara online dengan salah satu profesor dari fakultas yang ia tuju.

Tepat pada hari yang ditentukan, Ayu duduk di depan laptopnya. Layar menampilkan sosok profesor paruh baya dengan rambut sedikit beruban di pelipis. Sorot matanya tajam namun menenangkan, rahangnya tegas, dan ia duduk dengan punggung tegak di kursi kulit hitam. Rak buku di belakangnya dipenuhi jurnal dan monograf psikologi, memberi kesan wibawa seorang akademisi kelas dunia. Wawancara ini adalah tahap krusial dalam proses penerimaan SNU, terutama untuk pelamar internasional seperti Ayu. Wawancara ini bertujuan untuk menggali lebih dalam motivasi, potensi akademik, dan kecocokan pelamar dengan program studi yang dipilih.

“Good evening, Miss Ayu,” suaranya berat, beraksen Korea namun fasih berbahasa Inggris. “Can you hear me well?”

“Yes, Professor. I can hear you clearly,” jawab Ayu sopan, berusaha menjaga intonasinya tetap stabil.

Profesor membuka catatan di tangannya. “Let us begin. Please, introduce yourself briefly.” (Mari kita mulai. Tolong perkenalkan diri Anda secara singkat)

Ayu tersenyum tipis. “My name is Ayu Prameswari Dyah Putri, from Indonesia. I am passionate about understanding the complexity of human behavior and mental health. Psychology, to me, is not merely a discipline, but a path to contribute meaningfully to society.” (Nama saya Ayu Prameswari Dyah Putri, dari Indonesia. Saya memiliki ketertarikan besar untuk memahami kompleksitas perilaku manusia dan kesehatan mental. Bagi saya, psikologi bukan sekadar bidang ilmu, tetapi jalan untuk memberi kontribusi yang bermakna bagi masyarakat)

Profesor mengangguk. “Why psychology? Why not medicine, law, or another prestigious field?” (Mengapa memilih psikologi? Mengapa bukan kedokteran, hukum, atau bidang bergengsi lainnya?)

Ayu menarik napas, lalu menjawab dengan mantap.

“I once faced multiple failures that made me feel utterly lost. That experience made me realize that academic achievement alone cannot guarantee one’s well-being. Many people, even those who appear successful, may struggle silently. Psychology equips us with both the scientific framework and the human sensitivity to address that struggle. I chose psychology not to be admired, but to truly understand people — including myself — and to transform pain into purpose.” (Saya pernah mengalami banyak kegagalan yang membuat saya merasa benar-benar kehilangan arah. Pengalaman itu membuat saya sadar bahwa prestasi akademik saja tidak menjamin kesejahteraan seseorang. Banyak orang, bahkan yang tampak sukses, mungkin diam-diam berjuang. Psikologi memberi kita kerangka ilmiah sekaligus kepekaan manusiawi untuk menghadapi perjuangan itu. Saya memilih psikologi bukan untuk dikagumi, melainkan untuk benar-benar memahami manusia — termasuk diri saya sendiri — dan mengubah rasa sakit menjadi tujuan.)

Profesor menatapnya lekat-lekat, lalu mengajukan pertanyaan berikut.

“Psychology is both a science and an art. How would you balance empathy with scientific rigor?” (Psikologi adalah ilmu sekaligus seni. Bagaimana Anda menyeimbangkan empati dengan ketelitian ilmiah?)

Ayu tersenyum kecil, matanya berbinar.

“Empathy without science may become mere sympathy, while science without empathy risks becoming mechanical. I see psychology as a bridge between heart and evidence. Data allows us to generalize, but empathy allows us to individualize. I want to integrate both — to ground my compassion in evidence-based practice, and to humanize every statistic with real stories.” (Empati tanpa ilmu mungkin hanya menjadi simpati belaka, sementara ilmu tanpa empati berisiko menjadi mekanis. Saya melihat psikologi sebagai jembatan antara hati dan bukti. Data memungkinkan kita membuat generalisasi, tetapi empati membuat kita mampu melihat individu. Saya ingin mengintegrasikan keduanya — menanamkan belas kasih saya dalam praktik berbasis bukti, dan memanusiakan setiap statistik dengan kisah nyata)

Alis profesor sedikit terangkat.

“Interesting,” ujarnya. “Now, tell me. If you were admitted to SNU, what would be your vision for the future?” (Menarik. Sekarang, ceritakan. Jika Anda diterima di SNU, apa visi masa depan Anda?)

Ayu menatap layar, suaranya kini lebih dalam.

“My vision is twofold. First, to develop myself academically by learning in an international environment where ideas are challenged and refined. Second, to return to my country and apply what I have learned to improve mental health awareness, particularly among young people who often equate failure with the end of everything. I want to show them that failure is not a full stop, but a comma — a chance to rewrite their story with new meaning.” (Visi saya ada dua. Pertama, mengembangkan diri secara akademis dengan belajar di lingkungan internasional, di mana ide-ide diuji dan diperkaya. Kedua, kembali ke negara saya dan menerapkan apa yang telah saya pelajari untuk meningkatkan kesadaran kesehatan mental, khususnya bagi anak muda yang sering menganggap kegagalan sebagai akhir dari segalanya. Saya ingin menunjukkan kepada mereka bahwa kegagalan bukan titik akhir, melainkan koma — kesempatan untuk menulis ulang cerita mereka dengan makna baru)

Profesor terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “That is… beautifully said.” (Itu… indah sekali cara Anda mengatakannya)

Ayu menunduk sopan. “Thank you, Professor.” (Terima kasih, Profesor)

“Very well, Miss Ayu. That will be all for today’s interview. We appreciate your sincerity and insight. You may log out now.” (Baiklah, Nona Ayu. Itu saja untuk wawancara hari ini. Kami menghargai ketulusan dan wawasanmu. Kamu boleh keluar sekarang)

“Thank you, Professor. It’s an honor,” ucap Ayu sebelum layar gelap kembali.

**

Hari-hari setelah wawancara itu, Ayu memilih untuk tidak larut dalam kecemasan. Ia tahu, terlalu banyak memikirkan hasil hanya akan membuatnya gelisah. Maka ia mengisi waktunya dengan kegiatan positif. Pagi hari, ia membantu ibunya menyiapkan sarapan dan menyiram bunga di halaman. Siang hari, ia menghadiri kursus singkat psikologi daring, mendengarkan kuliah umum tentang “Human Resilience” dari seorang profesor luar negeri. Malamnya, ia menulis jurnal kecil, mencatat rasa syukur dan doa-doanya.

Di sela-sela itu, Ayu masih rajin berolahraga ringan, berlari kecil di lapangan desa atau sekadar yoga sederhana di kamar. Semua itu membuat hari-harinya lebih ringan. Meski lelah, ia merasa tenang. Ada perasaan baru dalam dirinya: bahwa ia sudah berdamai dengan perjalanan hidupnya.

**

Siang tadi, Ayu menerima kabar gembira: ia resmi diterima di Psikologi UGM. Tangis bahagia bercampur tawa lega pecah. Setelah perjalanan panjang penuh kegagalan, akhirnya ada hasil nyata yang bisa ia genggam. Rasanya seperti mimpi—akhirnya ia punya tempat baru untuk melangkah.

Namun, meski hatinya sudah penuh syukur, ada satu hal yang masih ia nantikan. Sejak wawancara internasional itu, pikirannya tak pernah benar-benar lepas dari SNU. Ada rasa penasaran yang terus membuncah—bagaimana hasil perjuangannya menembus universitas impian di Korea?

Malam itu, ia memilih untuk tidak tidur lebih awal. Hatinya berdebar-debar karena tahu pengumuman resmi dari SNU akan dirilis tepat pukul sebelas malam.

Jarum jam hampir menyentuh angka sebelas ketika layar laptopnya tiba-tiba berkedip, menampilkan sebuah notifikasi email baru. Tulisan di kotak masuk itu membuat napasnya tercekat:

📩 From: Seoul National University Admissions Office

Subject: Admission Decision Notification – SNU Department of Psychology

Jantung Ayu berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi kali ini ia mencoba menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri. Dengan hati-hati, ia menekan notifikasi itu, menatap layar sambil menahan diri untuk tidak terlalu larut dalam kecemasan, siap menerima apapun hasilnya.

Halaman email terbuka. Di bagian atas, terpampang logo biru Seoul National University: gambar perisai dengan daun ek dan pita bertuliskan motto Veritas Lux Mea — The Truth is My Light.

Tulisan resmi itu tertata rapi:

Seoul National University

Office of Admissions

2025 Fall International Admissions Result

Dear Miss Ayu Prameswari Putri,

On behalf of Seoul National University, we are pleased to inform you that you have been admitted to the Department of Psychology as a full-time undergraduate student for the Fall 2025 semester.

After careful review of your academic achievements, personal statement, and interview performance, the Admissions Committee is confident that you will contribute greatly to the intellectual and cultural community at SNU.

Furthermore, we are delighted to inform you that you have been selected as a recipient of the Global Korea Scholarship (GKS) – Full Scholarship Award, which covers tuition fees, living expenses, and airfare for the duration of your study at SNU.

Congratulations on your outstanding accomplishment. Welcome to Seoul National University.

Sincerely,

Office of Admissions

Seoul National University

---

Ayu menatap layar laptop itu. Kata-kata di depan matanya seakan menari, terlalu indah untuk benar-benar nyata. Dadanya berdegup kencang, tapi otaknya seakan ngeblank. Apakah ini benar? Apakah ia tidak salah melihat?

Ia menatap ulang email itu, membaca kalimat demi kalimat dengan mata setengah tertutup. “Admitted… full-time undergraduate student… Global Korea Scholarship… Full Scholarship…” Ujung bibirnya gemetar, tangannya menutup mulut. Rasanya seperti seluruh dunia tiba-tiba berhenti, meninggalkan dirinya dalam hening yang aneh dan menegangkan.

“Ini… ini nyata, kan?” bisiknya pelan pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tersedak. Ia mencondongkan kepala lebih dekat ke layar, mencoba meyakinkan matanya sendiri bahwa huruf-huruf itu tidak bergerak, bahwa ini bukan ilusi dari rasa lelah dan terlalu lama menunggu.

Ia bahkan menutup mata, menarik napas dalam, lalu membuka kembali. Tetap sama. Email itu tetap ada. Tetap tertulis dengan rapi, formal, resmi—dan tetap menyatakan bahwa ia diterima di SNU, sekaligus mendapat beasiswa penuh GKS.

Ayu jatuh terduduk di lantai kamar. Tangannya gemetar di pangkuan, napasnya tercekat. Ia menatap langit-langit, seakan mencari jawaban dari langit. “Apakah ini mimpi? Atau aku baru saja bangun dari mimpi panjang yang penuh perjuangan?”

Rasanya absurd. Ia sudah lelah, sudah berjuang sedemikian keras, dan kini semua perjuangan itu membuahkan hasil yang tak pernah berani ia bayangkan: ia diterima di universitas impiannya di luar negeri dan sekaligus memperoleh beasiswa penuh. Hatinya campur aduk: senang, takut, tidak percaya, dan haru semua bercampur dalam satu perasaan yang sulit diuraikan.

Ayu menempelkan punggung ke dinding, menutup mata lagi, berbisik pelan, “Ya Allah… apakah ini benar? Aku benar-benar lolos?”

Beberapa menit berlalu. Kamar tetap sunyi, lampu meja belajar tetap menyala, layar laptop menampilkan email itu dengan logo biru SNU yang berkilau. Ayu belum bergerak. Ia hanya duduk di sana, menatap layar, membiarkan kenyataan yang terlalu indah ini meresap pelan ke dalam hatinya.

Akhirnya, perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang sulit ia tahan. Senyum yang menandakan bahwa, walau masih terasa seperti mimpi, ia benar-benar berhasil. Dan malam itu, di kamar kecilnya, Ayu merasakan satu hal: rasa lega, rasa bangga, dan rasa takjub pada dirinya sendiri, untuk pertama kalinya dalam hidupnya.

Ia teringat semua kegagalan yang pernah dialaminya—SNBP yang gagal, UTBK yang hancur, rasa putus asa yang pernah menjeratnya hingga hampir menyerah. Semua rasa sakit itu kini tampak berbeda. Bukan sekadar luka, melainkan guru yang mengajarinya bertahan, bangkit, dan memahami dirinya sendiri.

Ayu tersenyum tipis. Ia menyadari, semua pengalaman itu adalah fondasi yang membentuknya menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih peka terhadap orang lain. Ia tidak lagi hanya belajar untuk nilai atau penghargaan, tapi untuk memahami manusia—bagaimana emosi, kegagalan, dan harapan membentuk kehidupan seseorang. Psikologi bukan sekadar ilmu baginya; ia adalah jalan untuk menolong orang lain menemukan kembali arti hidup mereka, sama seperti ia menemukan makna dalam perjuangan hidupnya sendiri.

Malam itu, ketika lampu meja belajar menerangi wajahnya yang lelah namun penuh semangat, Ayu menarik napas dalam dan menutup laptop dengan lembut. Ia tahu: perjalanan panjangnya belum berakhir. Ia akan belajar, berjuang, dan berkembang. Ia akan menghadapi tantangan baru di SNU, di dunia yang lebih luas, dengan rasa ingin tahu dan ketulusan hati yang sama seperti saat ia menulis personal statement—mencari arti, memahami manusia, dan menumbuhkan harapan.

Ayu menatap jendela kamarnya. Bintang-bintang di langit malam bersinar tenang, seakan memberi pesan bahwa setiap langkah kecil yang ia ambil adalah bagian dari perjalanan besar. Ia tersenyum, menegakkan diri, dan berbisik pada dirinya sendiri:

“Ini memang baru awal, tapi aku tahu aku bisa melangkah.”

Dan dengan itu, Ayu melangkah ke babak baru hidupnya—bukan lagi sebagai gadis yang takut gagal, tetapi sebagai mahasiswa psikologi yang percaya bahwa setiap kegagalan adalah pelajaran, dan setiap manusia adalah kisah yang layak dipahami.

✨ The End ✨

Terima kasih sudah membaca 💌📖

"Aku dulu mencari bahagia dari pujian dan pengakuan orang lain—tapi semua itu rapuh. Sekarang, aku berdiri untuk diriku sendiri. Hidup ini bukan untuk orang lain. Aku untuk diriku."-Dyah

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 2
Dyah
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 1
Dyah
Cerpen
Bronze
Mencari Jati Diri
Bang Jay
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Novel
Elvaria Genesis
Shinmetsu Naoya
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Cerpen
Kehilangan Diri
Fata Raya
Cerpen
Bronze
Cerita Pemanis Kopi
T. Filla
Cerpen
Bronze
Mimpi dan Sebuah Perjuangan
Dahliana Hulu
Cerpen
Putus, Tapi Nggak Putus Asa
Tresnaning Diah
Cerpen
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Yang Dia Pilih Saat Dunia Ditawarkan
Siti Sulha Darmaini
Novel
Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)
Mega Kembar
Cerpen
Roti Manis dan Kenangan Ibu
Hasbullah
Novel
Bronze
JANDA & THE TABLE
glowedy
Rekomendasi
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 2
Dyah
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 1
Dyah
Cerpen
Pelangi untuk Mentari
Dyah