Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Aku untuk Diriku Part 1
0
Suka
79
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di ruang kelas XII IPA 1 SMA Negeri 1 Tirlangit, suasana siang itu terasa berbeda. Angin dari sawah yang membentang di belakang sekolah masuk lewat jendela kayu yang terbuka, membuat tirai putih sederhana berkibar pelan. Para siswa duduk dengan wajah tegang, sebagian menunduk sambil menggenggam pulpen, sebagian lagi saling melempar pandangan penuh cemas. Di papan tulis putih yang bersih dan mengkilap, tertulis dengan spidol hitam tebal: “Pembagian Rapor Semester Ganjil”.

Ibu Dewi, wali kelas mereka, berdiri tegak di depan. Wajahnya teduh namun suaranya tegas saat membuka daftar nilai. “Seperti biasa, Ibu akan bacakan peringkat sepuluh besar kelas kita.”

Kelas mendadak hening. Degup jantung beberapa siswa terdengar seakan lebih keras dari bunyi kipas angin tua yang berderit di atas kepala mereka.

Ibu Dewi menatap seluruh siswa dengan senyum lembutnya, langkahnya mantap saat berdiri di depan kelas. “Anak-anak, rapor semester ini akan dibagikan sebentar lagi. Bagi kalian yang belum berhasil menempati peringkat, jangan berkecil hati. Jadikan ini motivasi untuk belajar lebih giat lagi. Dan bagi yang sudah meraih juara, pertahankan prestasi kalian, bahkan tingkatkan lebih baik lagi. Ingat, kesungguhan dan kerja keras lebih penting daripada sekadar angka.”

Ia menarik napas sejenak, matanya menatap tiap siswa seakan menyuntikkan keberanian dan harapan. “Mari kita mulai. Juara sepuluh,” ucap Ibu Dewi, “diraih oleh Faris Ahmad Syaifullah.”

Beberapa tepuk tangan terdengar. Faris, yang duduk di pojok belakang, hanya tersenyum malu sambil menunduk.

“Juara sembilan, diraih oleh Ainun Hijriana.”

Ainun mengangkat wajahnya perlahan. Bibirnya berusaha membentuk senyum, tapi jelas terlihat kaku. Matanya berkedip cepat, menahan rasa panas yang tiba-tiba menyeruak. Semester lalu ia masih berdiri di posisi lima, dan kini harus turun empat peringkat. Tepuk tangan teman-temannya terdengar sayup di telinganya, sementara dadanya terasa sesak.

Tanpa memberi jeda panjang, Ibu Dewi kembali melanjutkan, suaranya tenang namun membuat jantung semua siswa berdegup lebih cepat.

“Juara delapan, Adam Raditya Pramudya”

Adam yang duduk di barisan tengah langsung tersenyum lebar, matanya berbinar bangga. Tepuk tangan terdengar lebih ramai, beberapa teman menepuk bahunya sambil bersiul kecil. Ia memang dikenal suka bercanda, jadi suasana pun sedikit cair, meski tak berlangsung lama.

Ibu Dewi kembali menunduk ke daftar nilai. “Juara tujuh, Safitri Ananda.”

Fitri, gadis berkacamata dengan rambut dikepang dua, hanya mengangguk pelan. Ekspresinya datar, tidak terlalu gembira tapi juga tidak kecewa. Semester lalu ia berada di posisi yang sama, jadi baginya ini sudah biasa. Beberapa teman memberi tepuk tangan sopan, sekadar bentuk penghargaan.

“Juara enam, Dimas Arya Wibisono.”

Kelas mendadak hening sejenak sebelum tepuk tangan terdengar. Dimas, yang biasanya percaya diri, kali ini tampak menunduk. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya yang murung. Semester lalu ia berhasil meraih posisi keempat, dan kini harus turun dua peringkat. Beberapa teman sempat berbisik pelan, merasa heran kenapa nilainya bisa merosot.

Ayu duduk di barisan kedua, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang menanti pengumuman. Meskipun sudah sering berada di posisi teratas, rasa cemas selalu saja menyelimuti saat rapor dibagikan.

Santi, sahabatnya, mencondongkan badan dan berbisik lembut, “Tenang, Yu... aku yakin kamu pasti juara satu lagi.”

Ayu menoleh cepat, mencoba tersenyum. “Semoga aja ya, San.”

Dari bangku sebelah kanan, Mira ikut menimpali dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, “Aku juga yakin kalau kamu yang peringkat satu lagi.”

Ayu menunduk, jantungnya berdebar semakin cepat. Nama-nama terus disebut, mendekati peringkat tiga besar. Di luar kelas, suara ayam berkokok samar bercampur dengan desir angin, tapi di dalam kelas hanya ada satu hal yang terdengar jelas: penantian akan siapa yang menjadi juara pertama kali ini.

Ibu Dewi menatap daftar di tangannya, lalu tersenyum kecil. Suaranya terdengar jelas, membawa seluruh perhatian kelas.

“Dan juara pertama semester ini diraih oleh… Ayu Prameswari Dyah Putri.”

Kelas seketika riuh oleh tepuk tangan yang meriah. Beberapa siswa bahkan bersiul kecil, sementara Santi langsung menepuk bahu Ayu dengan wajah berbinar. Mira pun menoleh penuh kebanggaan, senyumnya lebar.

Ayu mendongak, matanya sempat terpejam sejenak sebelum berdiri perlahan. Wajahnya merona, jantungnya masih berdebar kencang. Ia melangkah ke depan menerima rapor dari Ibu Dewi.

“Selamat, Ayu,” ucap Ibu Dewi sambil menatapnya lembut. “Dari semester satu, kamu sudah menunjukkan bahwa kamu adalah yang terbaik. Ini bukan hanya tentang kecerdasan, tapi tentang kegigihanmu. Kamu selalu bisa menjadi contoh yang baik untuk semua orang.”

Ibu Dewi kemudian menoleh ke seluruh murid. “Anak-anak, lihatlah Ayu. Ia adalah contoh nyata bahwa ketekunan tidak akan mengkhianati hasil. Jadikan dia teladan. Jika kalian mau bekerja keras, menghargai setiap waktu, Ibu yakin, kalian semua juga bisa meraih prestasi gemilang seperti Ayu.”

Beberapa teman kembali bertepuk tangan, kali ini lebih sopan, namun jelas tulus. Bisik-bisik kagum terdengar dari berbagai arah.

“Memang Ayu nggak ada tandingannya…” ujar seseorang lirih, diikuti anggukan setuju dari yang lain.

Santi mencondongkan tubuh sambil tersenyum lebar. “Gila, Yu. Lo memang beda. Enggak ada yang bisa nyamain otak lo. Padahal kita belajar bareng, tapi lo selalu punya cara sendiri buat ngerti semuanya.”

Mira menimpali cepat dengan mata berbinar. “Aku sih udah enggak kaget lagi. Ayu tuh kayak kamus berjalan, ya. Bukan cuma hafal, tapi paham luar dalam. Kayak semua pelajaran langsung nempel aja di otaknya.”

Budi yang duduk di belakang ikut menepuk bahu Ayu dengan bangga. “Udah jelas, Yu. Lo tuh enggak ada obat. Mau dibandingin sama siapa pun, tetap lo yang paling cerdas. Otak lo emang paling top!”

Ayu tersenyum kikuk, pipinya memerah. Ia menggenggam jemari tangannya erat di pangkuan, tak tahu harus menjawab apa. Hatinya campur aduk—antara bangga, terharu, sekaligus canggung karena semua perhatian tertuju padanya. Namun sorot mata kagum dari teman-temannya membuatnya sulit menahan senyum yang akhirnya merekah tipis di wajahnya.

Tak lama kemudian, Ibu Dewi pamit meninggalkan kelas. “Baiklah anak-anak, jaga rapor kalian baik-baik. Rapor ini bukan hanya sekadar angka, tapi cerminan dari kerja keras kalian selama ini. Jadikan hasil ini sebagai bekal untuk lebih giat lagi di semester akhir nanti. Ibu percaya, kalian semua punya potensi luar biasa. Sampai jumpa setelah liburan. Selamat siang!”

“Selamat siang, Bu…” serentak siswa menjawab.

Setelah guru mereka pergi, kelas berubah lebih riuh. Beberapa murid langsung berlarian keluar, ada yang membuka rapor sambil membandingkan nilai, ada yang bercanda, dan ada pula yang duduk termenung.

Di tengah keramaian itu, Ayu masih duduk di bangkunya, menggenggam rapor erat-erat. Matanya berbinar menatap angka-angka sempurna yang kembali menempatkannya di posisi pertama. Ada rasa bahagia yang hangat mengalir dalam dirinya—keyakinan bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Malam-malam yang ia habiskan untuk belajar, semua perjuangannya, kini terbayar lunas. Ia telah membuktikan kepada semua orang, dan yang terpenting, kepada dirinya sendiri, bahwa ia memang layak menjadi yang terbaik. Ia juga kembali menunjukkan bahwa ia adalah kebanggaan keluarga dan sekolah.

Namun, di balik senyum yang terpancar, hatinya terasa berat. Ayu sadar, setiap kemenangan yang ia raih justru menambah beban baru di pundaknya. Ia tahu, semua orang menaruh harapan besar padanya: orang tua yang selalu membanggakannya di depan para tetangga, guru-guru yang menjadikannya contoh, dan teman-teman yang menatapnya sebagai panutan.

Di balik perasaan senang itu, muncul bisikan yang menakutkan di benaknya: ia harus selalu sempurna, tanpa cela. Obsesi ini kian mengakar, memaksanya untuk terus-menerus tampil terbaik, sebab kegagalan bukan lagi pilihan.

**

Bel pulang sekolah berbunyi, dan Ayu melangkah keluar dari gerbang SMA Negeri 1 Tirlangit. Jalan desa yang membentang di depannya terasa hangat di bawah sinar matahari. Di kejauhan, sawah yang menghijau bergoyang diterpa angin, sementara beberapa anak kecil berlarian di pematang sambil tertawa riang. Ayu berjalan pelan, tasnya ia tenteng, dengan rapor yang masih tersimpan rapi di dalamnya.

Di sepanjang jalan, senyum sapaan tak pernah absen. Warga Tirlangit seakan sudah tahu semua tentangnya.

“Selamat ya, Yu! Dengar-dengar kamu juara lagi?” sapa seorang ibu yang sedang menjemur padi. Ayu hanya tersenyum sopan.

Di depan sebuah rumah, seorang ibu yang sedang menyapu halaman menatap Ayu. “Lihat itu, Nak. Ayu juara lagi. Ayolah, jangan Cuma main HP terus, belajar yang rajin sana!” serunya pada anaknya yang sedang duduk santai di teras.

Pujian lain pun datang dari pejalan kaki yang berpapasan dengannya. “Pak Bambang beruntung sekali punya anak penurut dan cerdas seperti Ayu,” ujar seorang kakek sambil tersenyum tulus.

Mendengar semua pujian itu, rasa bangga menyelimuti hati Ayu. Pipinya merona, ia tersipu malu. Senyumnya mengembang, menyambut setiap sapaan hangat yang membuatnya merasa istimewa.

Namun, kebahagiaan itu sirna begitu saja saat ia sampai di depan pintu rumahnya. Telinganya menangkap suara keras yang tak asing. Suara ayahnya yang penuh amarah. Ayu terkejut, hatinya berdebar tak karuan.

**

“Otakmu itu di mana, hah?! Nilai amburadul semua. Masuk sepuluh besar saja tidak becus! Lihat kakakmu, Ayu! Dia selalu juara satu. Otaknya cemerlang, tidak bodoh seperti kamu! Bapak sudah sekolahin kamu, hasilnya cuma bikin malu. Anak kepala desa kok bisanya cuma jadi aib!”

Ayu mematung di depan teras. Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena terkejut, tapi juga karena rasa bersalah yang menusuk. Di balik pintu, ia bisa mendengar suara Riska, adiknya, yang bergetar menahan tangis namun tetap berusaha melawan.

Saat sang ayah menyebut namanya sebagai perbandingan, hati Ayu terasa semakin berat. Pujian yang sebelumnya ia terima dari warga kini berubah menjadi beban tak kasat mata. Ia tahu ayahnya menggunakan dirinya sebagai “senjata” untuk menyakiti Riska. Ia adalah tolok ukur yang menciptakan luka.

Di satu sisi, Ayu merasa bersalah karena ia adalah penyebab adiknya dimarahi. Di sisi lain, ada juga rasa takut. Ketakutan bahwa ia akan jatuh dari posisi sempurna ini, dan suatu hari nanti, kata-kata kasar itu mungkin akan ditujukan padanya. Ini bukan lagi tentang prestasi, tapi tentang bertahan hidup dari ekspektasi yang menyesakkan.

Tidak lama kemudian, suara Riska terdengar dari balik pintu. Nada bicaranya bergetar menahan tangis, namun ia mencoba membalas ucapan sang ayah. Riska melawan.

“Kenapa sih, Pak, harus selalu dibanding-bandingin sama Kak Ayu? Aku udah belajar! Tapi, aku nggak bisa sepintar dia. Aku juga punya batas...”

Suara kursi bergeser keras terdengar, diikuti bentakan ayahnya yang makin meninggi. “Diam! Jangan membantah! Kamu itu cuma bisa bikin malu! Lihat kakakmu, Ayu, dia itu anak yang Bapak harapkan. Dia penurut dan cerdas! Kamu itu cuma pengganggu, tidak berguna! Lebih baik kamu seperti kakakmu, diam dan belajar! Bukan malah bikin Bapak malu!”

Ayu akhirnya memberanikan diri. Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Pandangannya langsung tertuju pada ayahnya yang berdiri tegap, masih mengenakan seragam kepala desa. Wajah Pak Bambang memerah, urat lehernya menegang, dan tatapannya penuh amarah. Di hadapannya, Riska berdiri mematung. Matanya sembab, pandangannya menunduk ke lantai, sementara kedua tangannya mengepal erat, menahan tangis dan amarah yang bergejolak.

Begitu melihat Ayu masuk, ayahnya langsung menunjuk ke arahnya.

“Nah! Lihat kakakmu! Kakakmu itu selalu juara kelas, tidak pernah melawan orang tua. Kamu harusnya belajar dari kakakmu, bukan malah bikin malu begini!”

Ayu terdiam. Rapor di tangannya terasa berat, bukan lagi selembar kertas, melainkan beban yang menekan dadanya. Ia melirik Riska yang kini menatapnya dengan sorot mata penuh luka—campuran antara iri, sakit hati, dan keputusasaan. Pandangan itu menusuk hati Ayu, membuatnya merasakan beban ganda: beban ekspektasi dari sang ayah, dan beban rasa bersalah karena ia adalah penyebab Riska terluka.

Di dalam hati, Ayu ingin sekali membela adiknya. Ia ingin mengatakan bahwa Riska juga sudah berusaha keras dan bahwa setiap orang punya cara belajarnya masing-masing. Namun, lidahnya kelu. Suara ayahnya terlalu keras, dan bayangan “anak sempurna” yang selalu ia sandang telah membungkamnya.

Ia tidak boleh melawan. Melawan berarti merusak citra kesempurnaan yang ia bangun mati-matian, dan itu adalah hal yang paling ia takuti.

Pada akhirnya, ia hanya bisa berdiri di sana, dengan senyum kaku di wajahnya. Senyum yang sama seperti saat ia menerima rapor—senyum yang kini terasa seperti topeng yang sangat berat.

Meja makan keluarga Pak Bambang penuh dengan aroma sayur asem, ikan goreng, dan sambal terasi. Perabot kayu jati mengisi ruangan sederhana namun terawat, dengan lampu neon putih yang menggantung di atas kepala.

Ayah mereka, Pak Bambang duduk di kursi besar di ujung meja, tubuhnya masih mengenakan kaos dalam putih setelah berganti dari seragam dinas siang tadi. Ibu mereka duduk di sampingnya, dengan wajah letih namun tetap berusaha tersenyum. Ayu dan Riska berhadapan di sisi meja, sendok di tangan mereka bergerak pelan, seakan ragu menyentuh makanan.

Pak Bambang membuka pembicaraan sambil meletakkan sendoknya cukup keras hingga menimbulkan bunyi bergaung di meja.

“Kalian tahu Pak Amir, kan? Tadi sore dia datang ke balai desa. Mau urus surat nikah buru-buru. Anak perempuannya yang masih tujuh belas tahun ketahuan hamil.”

Ruangan langsung sunyi. Ayu menunduk, jemarinya meremas ujung rok seragam rumah. Riska melirik sekilas lalu cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk mengaduk nasi di piring.

“Mau taruh di mana muka bapak kalau kalian sampai kayak gitu?” suara Pak Bambang meninggi, tajam menembus udara. “Kalian ini anak kepala desa. Semua mata warga selalu mengawasi. Kalau kalian sampai bikin malu… habislah harga diri keluarga ini.”

Di sampingnya, Bu Mirna hanya menunduk pelan sambil menyendok nasi. Sesekali, ia mengangkat wajah dan melirik Ayu maupun Riska sekilas. Tatapan matanya lembut namun jelas memberi isyarat: jangan melawan, jangan membuat situasi makin panas.

Ayah menatap Riska dengan tajam, suaranya terdengar tegas.

“Riska, dengar baik-baik! Jangan main HP terus! Rajin belajar, nurut sama orang tua. Semua ini Bapak lakukan bukan untuk Bapak, tapi untuk masa depanmu. Kamu mau berakhir kayak anaknya Pak Amir? Hamil di luar nikah, masa depan hancur, dan bikin malu keluarga? Kalau kamu tidak berubah, nasibmu tidak akan jauh beda dari dia!”

Riska mengangkat wajahnya perlahan, matanya berair tapi dipenuhi keberanian. Suaranya bergetar namun jelas.

“Masa depan aku? Jangan bilang ini demi aku, Pak! Semua yang Bapak lakuin bukan buat kebaikan anak-anaknya, tapi Cuma supaya Bapak bisa pamer di depan tetangga. Supaya orang-orang muji Bapak karena berhasil didik anak-anaknya! Ini semua bukan karena sayang sama kami… tapi karena Bapak pengin nama Bapak sendiri kelihatan baik!”

Pak Bambang terdiam sejenak, kaget mendengar lontaran kata-kata Riska yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Wajahnya memerah padam. Urat-urat di lehernya menegang, dan matanya menyala penuh amarah.

“PLAK!”

Satu gebrakan keras di meja makan membuat piring dan gelas di atasnya bergetar. Suasana hening seketika, hanya menyisakan gemuruh amarah yang tertahan. Pak Bambang berdiri, menatap Riska dengan tatapan tajam.

“Tutup mulutmu, Riska!” bentaknya, suaranya menggelegar. “Apa kamu bilang? Pamer? Kurang ajar! Setelah semua yang Bapak berikan, ini balasanmu?! Kamu pikir gampang mencari uang untuk menyekolahkan kalian sampai sejauh ini? Bapak kerja banting tulang, siang malam, demi siapa? Demi kalian! Supaya masa depan kalian lebih baik dari Bapak!”

Ia menunjuk Riska dengan jari telunjuk yang gemetar. “Kamu itu tidak tahu diuntung! Apa yang kamu tahu tentang perjuangan Bapak? Jangan pernah bicara seolah-olah kamu tahu segalanya, Riska! Kamu hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa!”

Riska terisak, tapi tatapannya membakar. Ia berdiri dari kursinya, menunjuk ke arah ayahnya dengan tangan gemetar.

“Nggak tahu apa-apa? Justru aku yang paling tahu, Pak!” suaranya meninggi, bergetar di antara tangisan.

“Buktinya… setiap ada keluarga yang datang ke rumah, Bapak selalu muji Kak Ayu! Selalu pamer kalau anak Bapak pintar, penurut, sempurna! Dan kalau ada tetangga lewat, Bapak juga ngelakuin hal yang sama—seakan-akan hidup kami cuma buat bahan pameran!”

Riska mengusap air matanya dengan kasar, nadanya semakin tajam.

“Jangan bilang semua ini demi kami, Pak! Nyatanya, semua cuma demi Bapak sendiri… biar Bapak dipuji, biar Bapak terlihat hebat! Kami… kami cuma alat supaya nama Bapak bagus di mata orang lain!”

Pak Bambang terdiam sesaat, wajahnya tegang seolah tak percaya anaknya berani berkata sejauh itu. Urat di pelipisnya menegang, napasnya tersengal menahan amarah yang kian membuncah.

Tiba-tiba ia membanting telapak tangannya ke meja sekali lagi, membuat suara dentum keras menggema.

“DIAM!!!” suaranya menggelegar, menusuk udara yang sudah penuh ketegangan.

Ia menunjuk Riska dengan tatapan tajam penuh bara.

“Cukup! Jangan satu kata pun keluar lagi dari mulutmu sebelum kesabaran Bapak benar-benar habis! Sekarang juga, masuk ke kamar! Jangan sampai Bapak lihat wajahmu di sini!”

Nada suaranya meninggi di akhir kalimat, tajam bagai cambuk, meninggalkan hawa menekan yang membuat ruangan terasa sesak.

Riska terisak keras, dadanya sesak menahan sakit yang sudah tak terbendung. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berlari meninggalkan ruang makan dengan langkah terburu-buru.

Tak lama kemudian terdengar suara bantingan pintu kamar.

Pak Bambang masih berdiri kaku, wajahnya memerah menahan amarah. Lalu ia menatap tajam istrinya, menyalahkan istrinya yang tidak becus mendidik anak hingga Riska kurang ngajar seperti itu.

Bu Mirna hanya diam menunduk.

Beberapa detik kemudian, suara pintu kamarnya terbanting keras menggema, membuat suasana rumah semakin mencekam.

Pak Bambang masih berdiri kaku di tempatnya, wajahnya memerah, urat di pelipisnya menonjol menahan amarah yang belum juga reda. Tatapannya kemudian beralih tajam ke istrinya.

“Ini semua salah kamu! Nggak becus didik anak sampai jadi kurang ajar begitu!” bentaknya lantang.

Bu Mirna hanya terdiam, menundukkan wajahnya dalam-dalam. Hatinya perih, namun ia memilih bungkam, menelan luka itu sendiri demi menghindari pertengkaran yang lebih besar.

Tatapan tajam Pak Bambang lalu beralih pada Ayu, yang sejak tadi hanya menunduk menatap nasi di piringnya. Suaranya berat, sarat ancaman.

“Kamu dengar baik-baik, Ayu. Jangan pernah kecewain Bapak. Ingat… kamu satu-satunya kebanggaan keluarga ini. Satu-satunya harapan Bapak. Jangan sampai kamu berubah jadi kayak adikmu—jangan sampai bikin Bapak malu. Kalau itu sampai terjadi… Bapak nggak akan pernah maafin kamu.”

Ayu menggenggam sendoknya begitu erat hingga jemarinya memutih. Wajahnya tetap tertunduk, lalu senyum tipis yang dipaksakan kembali ia pasang.

“Iya, Pak…” jawabnya lirih, meski hatinya terasa sesak seakan dicekik oleh beban yang terlalu berat untuk ia tanggung sendirian.

**

Libur semester telah usai. Suasana Desa Tirlangit kembali ramai oleh aktivitas anak-anak sekolah yang setiap pagi berjalan beriringan menuju sekolah. Sawah yang mulai menguning jadi latar keseharian mereka, sementara suara ayam berkokok dan deru sepeda motor guru melengkapi suasana pagi.

Bagi Ayu, liburan kemarin terasa begitu singkat. Hampir seluruh waktunya ia isi dengan belajar giat di kamar—membaca ulang catatan, menekuni buku-buku pelajaran, dan mengerjakan soal-soal latihan tanpa henti. Baginya, liburan bukanlah waktu untuk bersenang-senang atau bermain, melainkan kesempatan berharga untuk mempersiapkan diri menghadapi semester terakhir di SMA Negeri 1 Tirlangit. Kini, saat rutinitas kembali dimulai, langkahnya terasa semakin padat dan penuh tanggung jawab.

Di papan pengumuman sekolah sudah tertempel jadwal Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) dan Ujian Sekolah (US). Semua siswa kelas XII wajib mengikutinya sebagai syarat kelulusan. Di luar itu, Ayu dan teman-temannya juga bersiap menghadapi UTBK-SNBT (Ujian Tulis Berbasis Komputer – Seleksi Nasional Berdasarkan Tes), sebagai langkah antisipasi bila mereka tidak lolos SNBT.

Hari-hari Ayu kini hanya dipenuhi tumpukan buku catatan, lembar soal, dan diskusi kelompok bersama teman-temannya. Hampir tak ada jeda untuk sekadar beristirahat atau bermain—semua waktunya tersita untuk belajar. Setiap mata pelajaran terasa mendesak dan penting: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, hingga Fisika, Kimia, dan Biologi. Pagi, siang, bahkan malam, ia terus berkutat dengan rumus, hafalan, dan latihan soal. Hidupnya seakan hanya berputar di sekitar meja belajar, membuktikan betapa kerasnya ia memacu diri demi menghadapi semester terakhir.

“Gila ya, Yu,” keluh Mira suatu sore ketika mereka belajar di perpustakaan sekolah. “Ujian sekolah aja udah bikin pusing, ditambah lagi UTBK. Rasanya otak mau meledak.”

Santi mengangguk sambil menatap tumpukan soal latihan. “Iya, dan kita harus pilih jalur masuk juga. Ada SNBP, jalur rapor, tapi kan nggak semua keterima. Kalau gagal, ya harus siap UTBK. Berat banget.”

Ayu tersenyum tipis, meski matanya jelas menunjukkan rasa lelah. “Iya, aku juga ngerasa gitu. Tapi ya mau gimana lagi… ini jalan kita. Kalau mau masuk universitas negeri, harus siap tempur.”

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Ayu selalu memastikan buku-bukunya lengkap. Di rumah, ia juga sering mendapat tekanan tambahan dari ayahnya. Pak Bambang seakan tak pernah bosan mengingatkan, bahkan menuntut:

“Ayu, kamu harus belajar dengan keras. Ingat, kamu bentar lagi ujian. Bapak mau kamu bisa tembus perguruan tinggi negeri ternama. Minimal UGM atau UI. Jangan bikin Bapak malu di depan warga.”

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Ayu, menambah beban di bahunya. Meski begitu, ia tetap berusaha tersenyum setiap kali berangkat sekolah, menyembunyikan segala resah di balik wajah yang tampak tegar.

Di kelas, guru-guru pun tak henti memberi motivasi. Ibu Dewi, wali kelas mereka, suatu hari berdiri di depan sambil menatap seluruh siswa.

“Anak-anak, ingat. Ujian bukan hanya tentang nilai, tapi tentang masa depan. Maka belajarlah dengan giat, jangan setengah hati. Ingat, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Kalau kalian berjuang sungguh-sungguh, kalian pasti bisa. Jangan sia-siakan kesempatan ini, karena masa depan kalian bergantung pada seberapa besar usaha yang kalian lakukan hari ini.”

Suasana kelas mendadak hening. Semua siswa larut dalam pikiran masing-masing, membayangkan perjuangan berat yang sudah menanti.

Bagi Ayu, kalimat itu semakin mengeras di kepalanya, seperti palu yang diketukkan tanpa henti. Hidupnya seakan-akan memang tidak memberi ruang sedikit pun untuk gagal. Ia tidak boleh kalah, tidak boleh lengah, apalagi mengecewakan. Baginya, hanya ada satu pilihan: ia harus menjadi yang terbaik. Titik.

Setiap langkah yang ia ambil seolah diarahkan pada satu tujuan yang mutlak—mendapatkan kursi di universitas favorit, pada jurusan impiannya: kedokteran. Tidak ada rencana cadangan, tidak ada kata menyerah. Tekanan yang menyesakkan justru menjelma menjadi bahan bakar dalam dirinya.

Di dalam kepalanya, suara-suara itu terus bergaung.

“Kalau gagal, semua orang akan kecewa.”

“Nggak ada alasan untuk jatuh. Kamu sudah pintar, sudah rajin—kalau gagal, itu salahmu sendiri.”

“Kedokteran. Itu satu-satunya jalan. Kamu harus tembus, apa pun caranya.”

Ayu menggenggam pulpen di tangannya lebih erat, jemarinya hampir bergetar. Matanya panas, tapi bukan karena lelah—melainkan karena tekad yang mengeras.

Malam itu, jarum jam hampir menyentuh angka satu. Lampu meja belajarnya meredup, cahayanya hanya cukup untuk menerangi tumpukan buku dan kertas yang berserakan. Ayu masih duduk tegak, meski punggungnya kaku dan bahunya terasa berat. Matanya panas, berair, tapi ia menolak berhenti. Pulpen di tangannya meninggalkan bekas merah dalam di jari, namun tetap ia genggam erat, menuliskan barisan rumus tanpa henti.

Sesekali kepalanya terantuk meja karena kantuk yang tak tertahankan, tapi ia segera menegakkan tubuh lagi, mengibas rambut yang menutupi wajah. “Sedikit lagi… aku harus paham ini. Aku nggak boleh berhenti.” Napasnya terdengar berat, teratur tapi memaksa.

Di hadapannya, sebuah soal fisika terpampang menantang. Matanya menatap angka-angka itu lama, alisnya berkerut. Ia mencoba satu rumus, salah. Dicoret kasar. Dicoba lagi dengan cara lain, masih keliru. Setiap kegagalan membuatnya semakin gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa frustrasi yang kian menekan.

“Aku harus bisa. Aku nggak boleh salah. Jawaban ini harus benar.” Pikirnya berulang-ulang.

Tangannya bergerak cepat di atas kertas, penuh coretan, penuh percobaan yang gagal. Tapi Ayu terus mencari celah, mencoba mengingat kembali rumus yang pernah ia hafalkan. Matanya semakin pedih, tubuhnya semakin lelah, tapi ia menolak menyerah.

Waktu terus berjalan tanpa ia sadari—hingga akhirnya jarum jam menunjuk pukul dua pagi. Dengan tangan gemetar, ia menuliskan langkah terakhir. Saat hasil akhirnya muncul di kertas, Ayu menatap angka yang tertera dan tersenyum tipis, lelah bercampur lega. Jawaban itu benar.

Namun rasa puas itu hanya sekejap. Kelopak matanya sudah bengkak karena kurang tidur, wajahnya pucat akibat begadang yang tak ada hentinya. Bahunya terasa berat, punggungnya kaku, dan setiap tarikan napas seolah menambah rasa letih yang menekan seluruh tubuhnya. Tangannya gemetar ketika menutup buku, tapi matanya masih enggan berpaling dari halaman penuh coretan itu.

Kelelahan menjalar ke setiap sendi, kantuk menusuk tajam, namun pikirannya terus berputar, menolak menyerah. Dalam dirinya hanya ada satu suara yang terus berulang: ia tidak boleh berhenti, tidak boleh gagal.

**

Pagi harinya, alarm ponsel berdering nyaring. Ayu terbangun dengan mata berat dan tubuh yang masih enggan bergerak. Kepala terasa berdenyut, tapi ia memaksa diri bangkit. Setelah mencuci muka, ia menatap bayangannya di cermin: wajah pucat, lingkar mata menghitam. Namun, ia tersenyum tipis, seakan menutupi semua lelah yang tak boleh terlihat orang lain.

Di meja makan, Ayu duduk dengan rapi, menyuap sarapan perlahan. Pak Bambang sempat melirik sekilas sambil berkata datar, “Jaga terus prestasimu, Yu. Ujian makin dekat, jangan sampai lengah.”

“Iya, Pak,” jawab Ayu singkat, suaranya tegas meski tubuhnya nyaris roboh oleh kantuk.

Tak ada yang tahu bahwa semalaman ia hampir tak tidur. Di sekolah pun, meski matanya merah dan kelopak matanya berat, Ayu tetap membuka buku catatan, mendengarkan guru, dan mencatat dengan teliti. Ia menolak menunjukkan kelemahannya. Karena bagi Ayu, menjadi juara berarti harus selalu kuat—meski dirinya hampir runtuh.

Hari-hari berat penuh lembar jawaban dan tumpukan soal akhirnya berlalu. Satu per satu ujian sekolah yang selama ini menghantui pikiran Ayu kini tinggal kenangan.

Selama dua minggu terakhir, ia melewati rangkaian ujian yang padat. Dimulai dari Ujian Sekolah (USBN) untuk semua mata pelajaran wajib: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PPKn, hingga Sejarah. Dilanjutkan dengan Ujian Sekolah (US) untuk mata pelajaran jurusan IPA: Biologi, Fisika, dan Kimia.

Setiap pagi, Ayu berangkat ke sekolah dengan wajah serius dan langkah mantap. Di kelas, ia selalu menjadi orang yang datang paling awal, membuka kembali catatan sebelum ujian dimulai. Meski tubuhnya masih menyimpan lelah karena belajar hingga larut malam, ia tidak pernah membiarkan rasa kantuk menguasai.

Di ruang ujian, Ayu duduk di bangku barisan depan, matanya menatap lembar soal dengan tenang. Setiap nomor ia baca hati-hati, setiap rumus ia coretkan di kertas buram dengan teliti. Di saat teman-temannya terlihat gelisah, menggoyang-goyangkan kaki atau menggigit pensil, Ayu menahan diri untuk tetap fokus.

Ada momen-momen kecil yang sempat membuatnya was-was—seperti saat soal Fisika muncul dengan model yang sedikit berbeda dari latihan-latihan yang pernah ia kerjakan, atau ketika Bahasa Inggris menampilkan teks bacaan panjang yang membuat matanya hampir berkunang-kunang. Sekilas rasa cemas menyelinap, membuat jantungnya berdegup kencang.

Namun, setiap kali perasaan itu datang, Ayu selalu menepisnya dengan keyakinan. “Aku sudah belajar. Aku sudah berusaha. Aku pasti bisa.” Kalimat itu berulang-ulang ia tanamkan dalam hatinya, menutupi keraguan dengan optimisme yang keras kepala.

Selesai menuliskan jawaban terakhir di ujian Biologi—ujian terakhir mereka—Ayu menatap lembar jawabannya lama-lama. Ada rasa lega yang tak bisa ia sembunyikan. Tangannya gemetar kecil saat meletakkan pensil, seolah seluruh beban yang menekan bahunya perlahan terangkat.

Saat pengawas mengumumkan waktu habis, Ayu menarik napas panjang. Senyum tipis terukir di wajahnya, senyum yang mengandung campuran antara kelelahan, kepuasan, dan harapan.

Di luar kelas, Santi langsung menepuk bahunya.

“Huff, akhirnya selesai juga ya, Yu! Rasanya kayak mimpi, semua ujian kelar!” katanya lega.

Mira ikut menyahut sambil tertawa kecil. “Iya, sumpah, aku sampai nggak percaya bisa bertahan sampai akhir. Tapi Yu… kamu pasti nilainya bagus banget deh. Aku yakin banget.”

Ayu tersenyum, matanya berbinar meski tubuhnya terasa sangat letih. “Aku juga berharap gitu, San, Mir. Aku udah berusaha keras. Semoga hasilnya sesuai harapan.”

Dalam hatinya, Ayu tetap menyimpan sedikit rasa was-was—takut kalau ada jawaban yang salah, takut kalau hasil akhirnya tidak seindah yang ia bayangkan. Namun ia segera menepis pikiran itu. Baginya, keraguan hanya akan merusak semangat.

Ia memilih untuk percaya pada kerja kerasnya sendiri. Pada malam-malam panjang yang ia habiskan dengan buku dan kertas penuh coretan. Pada doa-doa yang ia panjatkan sebelum tidur, dengan hati yang berharap agar usahanya tidak sia-sia.

Kini, perjalanan ujian sekolah telah usai. Yang tersisa hanyalah menanti hasil, sembari menyiapkan diri untuk medan tempur berikutnya: SNBP. Dalam hati, Ayu menyimpan satu harapan besar—semoga namanya tercatat sebagai salah satu yang lolos. Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Selama tiga tahun terakhir, ia telah konsisten menjaga prestasi, bekerja keras, dan tidak sekali pun lengah.

Sore itu, saat melangkah pulang, Ayu menengadah ke langit yang temaram. Angin dari hamparan sawah berhembus lembut, seolah turut mengucapkan selamat atas perjuangan panjangnya. Ia menarik napas panjang, lalu berbisik lirih pada dirinya sendiri:

“Aku sudah melakukan yang terbaik. Kini saatnya percaya—aku pasti bisa lolos.”

**

Hari itu, Senin siang, suasana sekolah mendadak penuh ketegangan. Semua siswa kelas XII sibuk membuka ponsel atau laptop masing-masing. Grup WhatsApp kelas ramai dengan teriakan virtual—ada yang menangis lega, ada yang tertawa bahagia, ada pula yang masih belum berani membuka.

Ayu duduk di kursinya, di pojok dekat jendela kelas. Laptopnya sudah terbuka, halaman resmi SNBP sudah siap menampilkan hasil. Jantungnya berdegup kencang, tetapi bibirnya tersenyum tipis, berusaha menenangkan diri.

“Aku sudah berusaha. Nilai raporku bagus. Ranking-ku selalu di atas. Aku pasti bisa.”

Sebelum Ayu menekan tombol, ia mendengar suara teriakan dari bangku sebelah.

“Aku lulus! Alhamdulillah!” suara Fitri nyaring bercampur tangis.

Fitri, yang semester lalu peringkatnya berada di urutan 7, langsung memeluk Santi sambil berkata lantang, “Aku diterima di Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga!”

Tak lama kemudian, Dimas bersorak sambil menepuk meja keras-keras.

“Fix! Aku keterima di Teknik Informatika ITS! Wah gila, sumpah nggak nyangka banget!” katanya sambil terkekeh lega.

Di sudut lain, Faris yang selama ini hanya berada di peringkat sepuluh, mendadak berteriak kencang.

“Guys… aku lolos!” suaranya bergetar, campuran antara kaget dan tak percaya. Matanya membesar seolah tak yakin dengan apa yang baru saja dibacanya.

“Aku… aku keterima di Farmasi UB…” katanya lagi, kali ini lebih pelan, seakan masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu benar-benar nyata.

Teman-temannya yang semula sibuk dengan layar masing-masing sontak menoleh.

“Hah? Serius, Ris?!” salah satu dari mereka melotot tak percaya.

“Gila, ini keren banget! Selamat, bro!” yang lain langsung menepuk bahunya keras-keras, ikut bersorak.

Faris hanya bisa mengangguk berkali-kali, wajahnya memerah menahan haru. “Aku beneran nggak nyangka… aku pikir nggak ada peluang. Tapi ternyata… aku bisa.”

Beberapa saat setelah sorak-sorai Faris mereda, perhatian kelas segera beralih ke satu nama yang mereka semua nantikan: Ayu.

“Yu, sekarang giliran kamu! Ayo buka laptopnya!” seru salah satu teman sambil mencondongkan badan.

“Iya, Ayu pasti lolos, aku yakin banget,” timpal yang lain dengan penuh keyakinan.

“Ah, udah jelaslah. Dari dulu kan dia selalu ranking satu,” tambah seorang teman lagi, membuat yang lain ikut mengangguk setuju.

Namun, berbeda dengan keyakinan teman-temannya, Ayu justru merasakan jantungnya berdentum semakin keras. Tangannya gemetaran saat menahan touchpad, ujung jarinya terasa dingin dan licin oleh keringat. Napasnya memburu, dadanya sesak.

Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai dengan harapanku? Bagaimana kalau semua kerja keras selama ini sia-sia? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, membuat ia semakin ragu untuk menekan tombol login.

Ayu hanya bisa menelan ludah. Tenggorokannya kering, sementara tangannya bergetar hebat di atas touchpad laptop. Dengan keberanian yang nyaris habis, ia menekan tombol “Lihat Hasil.”

Halaman itu berputar, memuat perlahan. Detik-detik terasa seperti menit, dan menit seperti jam. Semua suara di kelas mendadak meredam, seolah waktu sengaja mempermainkan Ayu.

Dan akhirnya, kalimat itu muncul di layar.

“Maaf, Anda belum lulus seleksi SNBP tahun ini.”

Dunia seakan berhenti berputar. Tubuh Ayu membeku di tempat. Suara sorakan, tawa, dan pelukan bahagia teman-temannya yang baru saja diterima di kampus impian berubah jadi samar, jauh, hanya gema yang tak tersentuh telinganya.

Matanya menatap layar tanpa berkedip. Huruf-huruf itu terasa seperti belati yang menusuk jauh lebih dalam daripada apapun yang pernah ia rasakan. Tangan kirinya refleks menutup mulut, berusaha menahan isakan yang mendesak keluar.

Bagaimana bisa?

Dirinya, peringkat 1 kelas, selalu jadi teladan, yang nilai rapornya nyaris sempurna… justru gagal.

Sementara Nadia, Dimas, bahkan Faris yang sering dianggap “biasa saja”, justru lulus di kampus-kampus ternama.

Air mata akhirnya jatuh juga. Ia buru-buru menutup laptop, berharap tidak ada yang melihat. Tapi semuanya sudah terlambat. Nadia yang berdiri belakangnya menangkap jelas ekspresi itu, dan teman-teman lain mulai berbisik pelan.

“Loh… kok bisa?”

“Kasihan banget…”

“Padahal dia rajin banget belajarnya…”

“Percuma dong, selama ini dia mati-matian…”

Tatapan prihatin dan simpati mengelilinginya, menusuk lebih perih daripada kata-kata. Ayu cepat-cepat menggeleng, menundukkan kepala, berusaha menutupi wajah yang basah.

“Aku nggak apa-apa…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.

Namun dalam hati, Ayu tahu, ini adalah luka terdalam yang pernah ia rasakan. Optimisme yang ia bangun dengan susah payah runtuh seketika.

Dan lebih dari itu, ia tahu… di rumah, ada ayah yang menunggu kabar, dengan harapan yang jauh lebih berat dari sekadar pengumuman di layar laptop.

**

Siang itu langit begitu cerah. Matahari bersinar terang, awan putih berarak pelan seakan menari di angkasa. Burung-burung bahkan terdengar riang berkicau di pepohonan depan rumah. Segalanya tampak indah, seolah dunia sedang bersukacita.

Namun, bagi Ayu, semua itu hanya terasa seperti ejekan. Hatinya justru gelap, kelam, penuh sesak. Langkah kakinya berat saat melewati jalan pulang. Mata yang masih sembab menunduk, enggan bertemu tatap dengan siapapun.

Begitu sampai di rumah, suara ceria dari televisi di ruang tamu menyambutnya. Pak Bambang duduk di kursi rotan, menatap penuh harap.

“Gimana, Yu? Udah dicek? Kamu lulus, kan?”

Ayu berdiri di ambang pintu, cahaya matahari sore menyorot wajah pucatnya. Bibirnya gemetar, suaranya lirih, “Aku… nggak lulus, Pak.”

Suasana seketika membeku.

Pak Bambang bangkit dari kursi dengan cepat, wajahnya merah padam.

“Apa kamu bilang?! Nggak lulus?!”

Ayu hanya bisa menunduk, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

“Omong kosong!” bentaknya, suaranya menggelegar memecah keheningan rumah. “Kamu peringkat satu kelas! Sejak kecil selalu juara! Nilai rapormu tinggi! Kenapa justru kamu yang gagal?!”

Ayu berusaha bicara, suaranya patah-patah, “Aku udah berusaha, Pak… aku belajar setiap malam…”

“Berusaha?!” potong Pak Bambang dengan mata menyala. “Kalau hasilnya begini, itu bukan berusaha. Itu gagal, Ayu! Kamu sudah mengecewakan Bapak. Bapak malu punya anak yang katanya pintar, tapi akhirnya nggak ada artinya. Kamu anak gagal!”

Kalimat itu menancap tajam, lebih sakit dari pukulan apa pun.

Tubuh Ayu gemetar. Kata-kata ayahnya terus bergaung di kepala: anak gagal… gagal… gagal.

Ia berlari masuk ke kamar, menutup pintu keras-keras. Begitu tubuhnya menabrak kasur, tangisnya pecah.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar kalah. Bukan hanya soal tidak lulus SNBP, tapi juga kehilangan kepercayaan orang yang selama ini paling ingin ia hormati.

Ayu tidak tahu bagaimana harus menenangkan dirinya. Marah, kecewa, dan sedih bercampur jadi satu, membuat emosinya meledak tanpa arah. Selama ini ia selalu terbiasa dengan kemenangan, sehingga ketika kegagalan datang, ia sama sekali tidak siap menghadapi kenyataan pahit itu.

Ia menutup telinga dengan bantal, berharap suara ayahnya hilang. Tapi kalimat itu terus menghantui: “Kamu anak gagal.”

Hatinya runtuh. Dunia yang semula cerah di luar, terasa semakin jauh darinya.

**

Sejak hari itu, hidup Ayu berubah.

Pagi yang biasanya ia sambut dengan semangat, kini terasa berat. Ia bangun dengan mata sembab, tubuh lemas, dan hati yang terus-menerus dihantui suara ayahnya: “Kamu anak gagal.”

Di rumah, suasana semakin menyesakkan. Setiap kali bertemu ayahnya, tatapan tajam penuh kekecewaan langsung menusuk dirinya.

“Ayu, kamu harus belajar lebih keras untuk UTBK. Jangan bikin malu lagi,” katanya dengan nada dingin.

Tidak ada pelukan, tidak ada kata-kata penghiburan, hanya tekanan baru yang terasa semakin berat.

Ibunya pun tak banyak bicara. Bukannya menenangkan, ia justru hanya bergumam pelan, “Coba kalau kamu lebih fokus, Yu… mungkin hasilnya nggak begini.”

Kata-kata itu terdengar lembut, tapi bagi Ayu, justru terasa seperti belati yang menusuk perlahan.

Riska, adiknya, hanya terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar, tidak ada tangan yang terulur untuk menguatkan. Hubungan mereka memang sudah lama renggang—perbedaan perlakuan orang tua membuat jarak di antara keduanya semakin lebar. Dan di momen itu, Ayu merasakan seolah ia benar-benar sendirian, tidak ada tempat bersandar.

Namun di sela keheningan itu, Ayu justru tersadar. Mungkin beginilah perasaan Riska setiap kali dimarahi ayah mereka, setiap kali dibandingkan, setiap kali dianggap tidak cukup baik. Jika dulu Ayu hanya bisa melihat dari luar, kini ia sendiri merasakan perih yang sama—terhimpit ekspektasi dan tercekik kekecewaan. Untuk pertama kalinya, Ayu mengerti posisi adiknya.

**

Hari-hari Ayu dipenuhi kebisuan. Ia sering mengurung diri di kamar, menolak makan, bahkan sering pura-pura tidur agar tidak perlu bicara dengan siapa pun. Buku-buku pelajaran yang dulu menjadi sahabatnya kini hanya menumpuk berantakan di meja. Setiap kali ia mencoba membuka, kepalanya terasa penuh, matanya panas, tangannya gemetar.

Stres itu perlahan berubah menjadi depresi.

Ayu tidak lagi bersemangat. Ia merasa kehilangan arah, kehilangan harga diri, kehilangan identitas yang selama ini ia banggakan. Selama bertahun-tahun, ia dikenal sebagai anak pintar, anak kebanggaan, anak teladan. Kini, semua label itu hilang dalam sekejap, dan yang tersisa hanyalah satu kata: gagal.

Malam-malamnya lebih menyakitkan. Saat semua orang tidur, Ayu menangis sendirian, menekan wajah ke bantal agar suara isakannya tidak terdengar keluar kamar. Kadang-kadang, ia merasa dadanya begitu sesak hingga sulit bernapas.

“Kalau aku nggak ada, mungkin semua orang lebih bahagia. Bapak nggak perlu malu, Ibu nggak perlu kecewa…” pikiran-pikiran gelap itu mulai muncul, menakutinya.

Tidak ada seorang pun yang benar-benar menanyakan bagaimana perasaannya. Tidak ada yang mendekat, duduk di sisinya, atau meraih tangannya untuk berkata bahwa kegagalan bukanlah akhir segalanya. Di tengah tawa dan pelukan bahagia sekelilingnya, Ayu merasa sunyi—sunyi yang menekan sampai ke ujung tulang.

Ia tenggelam dalam kebisuan: napasnya pendek, pikirannya berat, dan setiap rencana yang dulu tampak mungkin kini terasa runtuh tanpa sisa. Dinding-dinding pikirannya dipenuhi bayangan kecewa; hari-hari yang biasa riuh oleh target dan prestasi berubah menjadi lorong panjang tanpa cahaya. Kata-kata dukungan yang pernah ia harapkan seolah tak pernah ada; hanya ada hampa yang berkumandang.

Ayu menunduk, membiarkan air mata mengalir tanpa upaya menahannya. Di dalam dadanya tumbuh keyakinan kelam bahwa hidupnya telah mencapai ujung jalan yang ia bayangkan—bukan karena ada yang berkata demikian, tapi karena harapannya sendiri retak dan belum ada yang datang untuk menyambunya. Ia merasa sendirian menghadapi badai besar, dan untuk pertama kalinya, dunia yang selama ini terasa pasti tampak seperti sesuatu yang telah usai baginya.

Lanjut Part 2

“Satu kata ‘gagal’ dari ayah bisa menjadi beban seumur hidup, sedangkan satu pelukan hangat mampu menyelamatkan hati anak dengan sederhana: kamu tetap berharga.” -Dyah

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 1
Dyah
Cerpen
Bronze
Mencari Jati Diri
Bang Jay
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Novel
Elvaria Genesis
Shinmetsu Naoya
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Cerpen
Kehilangan Diri
Fata Raya
Cerpen
Bronze
Cerita Pemanis Kopi
T. Filla
Cerpen
Bronze
Mimpi dan Sebuah Perjuangan
Dahliana Hulu
Cerpen
Putus, Tapi Nggak Putus Asa
Tresnaning Diah
Cerpen
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Yang Dia Pilih Saat Dunia Ditawarkan
Siti Sulha Darmaini
Novel
Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)
Mega Kembar
Cerpen
Roti Manis dan Kenangan Ibu
Hasbullah
Novel
Bronze
JANDA & THE TABLE
glowedy
Cerpen
Bronze
Berkah
Titin Widyawati
Rekomendasi
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 1
Dyah
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 2
Dyah
Cerpen
Pelangi untuk Mentari
Dyah