Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Abed, apa cita-cita kau saat besar nanti?” Mamak bertanya. Di sela-sela memetik cabai di kebun kami, Mamak mengajakku mengobrol. Aku menjawab sekenanya saja, "Mau jadi dokter, Mak".
"Oi, bukannya kau pernah katakan kalau kau mau jadi tentara?" Mamak memprotes. Tangannya masih memegang tangkai tanaman cabai, cekatan melepaskan cabai dari tangkainya. Aku cuma bisa menyengir saja.
"Memangnya Abed tidak boleh punya banyak cita-cita ya, Mak?" Aku berkilah.
“Boleh saja. Kau boleh jadi apapun yang kau mau. Dokter, tentara, bahkan presiden pun boleh. Namun, untuk mewujudkan itu semua, kau harus rajin belajar. Tidak boleh bermalas-malasan. Tidak boleh cengeng. Pantang menyerah. Harus berprestasi.” Mamak berujar memberikan nasihatnya, jawaban atas ucapan cita-citaku. Ya, walaupun aku hanya menjawab sekenanya saja, namun berbeda halnya dengan jawaban Mamak. Penuturan Mamak kepadaku adalah nasihat kehidupan.
"Dalam hidup, seseorang bisa saja meraih lebih dari satu cita-citanya asalkan dia mau memperjuangkannya. Nah, apapun yang kau cita-citakan di masa depan, mulailah perjuangkan dari sekarang." Mamak melanjutkan nasihatnya. Pandangannya tetap pada tanaman cabai di depannya. Sedangkan tangannya tetap sibuk memisahkan buah cabai yang berwarna merah dari tangkainya.
Aku mengangguk-angguk. Aku tahu Mamak sedang menyindirku. Mungkin mamak masih memandangku sebagai seorang anak yang masih suka bermalas-malasan, masih suka menangis, masih sering patah arang, dan masih susah sekali mendapatkan prestasi di sekolah. Entahlah.
Padahal hari masih sangat pagi, dan udara di sekitarku masih terasa sangat dingin, Mamak dan Bapak sudah menjalankan aktivitas di kebun yang kami miliki. Pagi ini Mamak memanen cabai, bapak menyemprotkan pestisida setelah menyiangi rerumputan, dan aku membantu mamak memanen cabai.
Kebun kami berada tepat di belakang rumah kami. Tidak akan jadi masalah jika aku membantu Mamak dan Bapak sebelum bersiap pergi ke sekolah. Kebun kami juga tidak terlalu luas, dan hasilnya menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluarga kami. Aku bersyukur, meskipun tidak luas, namun kebun ini adalah milik kami sendiri. Hasil panennya bisa kami nikmati sendiri, untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami.
Di belakang kebun kami, aku bisa melihat Wak Donal dan Mak Iyah juga beraktivitas di kebunnya. Aku memandang ke arah Mak Iyah. Di sana ada Diah yang membantu Mak Iyah memanen cabai, sama seperti yang aku lakukan. Memandang Diah sekilas, lalu kembali berfokus melakukan pekerjaanku.
Baik aku maupun Diah, serta sebagian anak petani di sini sudah terbiasa membantu pekerjaan di kebun. Kegiatan tersebut kami lakukan sebelum berangkat sekolah. Sebentar saja, dari selepas shalat subuh hingga menjelang pergi ke sekolah.
Aku melihat ke arah Mak Iyah kembali. Namun aku tidak lagi melihat Diah di sana. Sepertinya Diah telah menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
"Oi, Bed. Sudah, pergilah sana. Bersiaplah pergi sekolah. Nanti kau akan terlambat kalau masih di sini." Mamak menyuruhku menyudahi panen cabai pagi ini. Mamak hanya mengira-ngira, melihat kadar terang benderang pagi hari untuk mengetahui waktu. Seringkali perkiraan Mamak tidak meleset. Aku berhenti memetik cabai, kemudian beranjak pergi dengan membawa keranjang yang berisikan cabai yang aku berhasil petik. Cabai-cabai tersebut lalu aku kumpulkan ke dalam karung goni yang terletak di depan rumah.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah, mandi, mengenakan seragam merah putih, lalu menuju ke meja makan untuk sarapan. Mamak sudah mempersiapkan sarapan kami sejak sebelum azan subuh berkumandang. Kini, hidangan untuk bersantap pagi sudah tersaji di meja makan. Aku hanya perlu mengangkat tudung saji untuk mengetahui menu masakan yang Mamak masak hari ini. Biasanya tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Lauk pauk seperti tempe atau tahu, protein daging dari ikan, ayam, atau telur, dilengkapi dengan sayur mayur adalah menu yang biasanya dijumpai di balik tudung saji. Sederhana memang, namun itu nikmat sekali. Setelah bersantap, aku berjalan ke kamarku untuk mengambil tas sekolah.
***
Udara dingin Gunung Talang bukan sebuah halangan. Terletak di ketinggian 1500 meter dari permukaan laut menjadikan desaku memiliki hawa yang sejuk. Bagi mereka yang tidak terbiasa, mungkin akan bergidik dibuatnya. Namun bagiku, sebagai anak petani lokal yang tinggal di kawasan Gunung Talang, udara pagi adalah hal lumrah. Bahkan Mamak tidak lagi memberiku izin untuk memeluk selimut sejak waktu subuh tadi.
Rutinitas kami sudah dimulai sejak matahari belum menyapa dunia. Dengan setengah sadar, aku sering sekali mendengar suara gaduh di dapur. Itu Mamak, sejak pagi buta sudah sibuk di dapur. Memasak hidangan untuk kami nikmati setelah bekerja di kebun pagi ini. Dan Bapak sudah mengasah cangkul di luar sana. Suaranya keras, terdengar hingga ke kamarku, menembus dinding papan rumah kami.
Suara azan subuh bergema samar-samar dari arah surau. Suara Wak Saleh tidak begitu lantang. Suaranya sudah melegenda, sejak lama berkumandang seantero kampung. Mamak lekas masuk ke dalam kamarku hendak membangunkanku. Sesampainya di kamar, Mamak mengguncang-guncang tubuhku.
“Oi, Abed. Bangun kau. Wak Saleh sudah mengumandangkan azan di surau.” Aku masih bergeming, meskipun tubuhku diguncang-guncang. Berat sekali untuk bangun sepagi ini.
“Oi, Abed. Bangun, jangan tidur terus.” Mamak membangunkan aku sekali lagi. Kali ini badanku diguncang-guncang lebih keras. Akhirnya aku bangkit, masih terkantuk-kantuk, lalu duduk di tepi dipanku.
“Oi, Abed. Shalat subuh. Sana, lekas berwudhu. Biar hilang setan-setan yang membuat kau malas itu.” Mamak berseru, menyindir. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Kulihat Mamak bercekak pinggang. Tangan kanannya memegang spatula.
Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan terhuyung-huyung menuju ke kamar mandi sambil terkantuk-kantuk. Sesekali tubuhku bergidik karena hawa dingin yang menusuk tulang. Sesampainya di kamar mandi, kujumpai pintu kamar mandi masih tertutup. Suara kecipak air menandakan ada orang di dalamnya. Rupanya itu bapak. Bapak baru saja selesai berwudhu. Dia sudah berpakaian rapi hendak ke surau.
“Abed, lekaslah berwudhu. Setelah itu pakailah pakaian kau. Sebentar lagi Wak Saleh akan mengumandangkan iqamah.” Bapak mengingatkan sambil menurunkan lipatan lengan bajunya. Bapak sudah bersiap dari tadi, hendak pergi ke surau.
Seusai berwudhu, aku berjalan kembali ke kamar. Kali ini rasa kantuk sudah berkurang. Aku mengenakan pakaian, bersarung, dan berkopiah, kemudian melangkah ke surau, menyusul langkah bapak yang baru saja meninggalkan teras rumah kemudian menapaki jalanan tanah menuju ke surau. Aku melangkah dengan hati-hati karena jalanan masih gelap.
Jarak surau dengan rumahku tidak terlalu jauh. Dari rumahku saja, surau itu bisa dilihat. Di dalam kegelapan waktu subuh serta kabut gunung yang melingkupi seperti saat ini aku bisa melihat temaram lampu surau yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumahku. Tidak ada bangunan lain yang menghalangi pandangan ke surau itu. Letak surau persis di tepi jalan, dikelilingi oleh tanaman perkebunan milik warga.
Iqamah dikumandangkan oleh Wak Saleh tepat saat aku tiba di surau tersebut. Yang menghadiri shalat subuh berjamaah di surau bisa dihitung dengan jari. Shalat subuh akhirnya dilaksanakan, dan Bapak yang menjadi imamnya. Seusai shalat, aku pulang lebih dulu.
Sesampainya di rumah, aku menuju ke dapur, duduk di meja makan sambil menikmati teh hangat. Asap mengepul dari teh yang aku tuangkan ke gelas kaca. Aku menyesap teh, airnya mengalir ke tenggorokan menghangatkan tubuhku dari hawa dingin yang menyergap. Tak lama kemudian bapak datang, melakukan seperti yang aku lakukan.
“Abed, kalau kau sudah selesai minum teh, bergegaslah berganti pakaian. Bantu Mamak memanen cabai. Nanti Wak Danar mau menjemput cabai kita.” Pinta bapak di sela-sela menyesap tehnya.
“Baik, Pak.” Aku bergegas menghabiskan teh yang tersisa di dalam gelas. Setelahnya aku bergegas meninggalkan meja makan untuk berganti pakaian “dinas lapangan”. Setelah berganti pakaian, aku berjalan keluar menuju ke kebun. Aku harus membantu Mamak agar hasil panen yang kami peroleh banyak. Dan agar nanti bisa mendapatkan uang dari penjualan hasil panen kami juga banyak.
Kami menjual hasil panen kami kepada Wak Danar. Dia yang menjemput hasil panen ke rumah kami dengan mobil bak terbukanya. Wak Danar adalah pengepul langganan kami.
Petani kecil seperti kami serba salah. Harga beli yang ditawarkan pengepul biasanya jauh lebih murah bila dibandingkan kalau kami pasarkan langsung. Namun kami tidak punya pilihan lain. Kami tidak bisa menjual hasil panen langsung ke pasar induk atau ke luar daerah. Biaya yang kami keluarkan akan lebih besar jika kami yang memasarkan hasil panen kami secara langsung. Lagipula risiko cabai menjadi busuk jika tidak segera terjual membuat para petani seperti kami akan berpikir seribu kali. Bukannya untung yang diperoleh, malah menjadi buntung. Tapi apapun dan berapapun hasil yang diperoleh, kami tetap mensyukurinya.
***
Matahari telah meninggi. Cahayanya menyibak kabut embun. Semuanya menjadi terang benderang menyibak pemandangan kampung yang tadi tersamarkan oleh kabut pegunungan. Pemandangan di kampungku sangat memanjakan mata. Gunung Talang berdiri tegap menjulang. Puncaknya masih terhalang awan-awan putih. Di kanan kiri jalanan, hamparan tanaman pertanian yang beraneka ragam jenis dan warna berpadu, terlihat indah sebagai sebuah harmoni yang ideal.
Kendaraan sudah mulai berlalu lalang di jalan depan rumah. Suasana sudah mulai bising. Orang-orang tengah berpacu ke tujuan masing-masing. Ada yang berpacu untuk ke tempat kerja, ke pasar, dan ke tempat lainnya. Aku telah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tas sudah kusandang di pundak. Saatnya melangkah keluar.
Aku berjalan ke arah Mamak dan Bapak yang masih larut dalam pekerjaan. Aku salami tangan Mamak dan Bapak, kukecup, mengucapkan salam lalu berpamitan. Aku kemudian memandang ke arah rumah Wak Donal. Di ambang pintu rumah tersebut, aku melihat Diah juga hendak berangkat ke sekolah. Aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah bersama Diah.
***
Sekolah berjalan seperti biasa. Aku melaksanakan tugas sebagai ketua kelas, menyiapkan barisan, memberi hormat kepada Pak Samad. Setelah dipersilakan, kami memasuki kelas satu persatu kemudian duduk di kursi kami masing-masing. Pak Samad mengabsen, memanggil nama kami satu persatu, mencentang pada buku absen. Setelah itu Pak Samad meminta kami mengeluarkan buku pelajaran, dan meminta kami membuka buku pada halaman tertentu, sementara Pak Samad menulis di papan tulis: CITA-CITA.
Pak Samad berbalik ke arah kami, memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk memancing keingintahuan kami. Beberapa di antara kami dengan antusias mengangkat tangan secara bergantian, memberikan jawaban dan argumentasi atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Pak Samad.
“Baiklah, sekarang Bapak ingin tahu tentang cita-cita kalian semua. Silakan mengangkat tangan, kemudian bapak akan menunjuk. Setelah ditunjuk, baru boleh berbicara. Yang tidak ditunjuk, turunkan tangan kembali, dan hormati teman-teman yang telah Bapak pilih nanti. Bisa?” Kami kompak menjawab, “Bisaaa!”
Kami mengikuti petunjuk dan arahan Pak Samad. Pembelajaran berjalan dengan tertib. Satu persatu dari kami menyampaikan cita-cita kami masing-masing dengan suara lantang.
Dimulai dari Mail, dia mengatakan ingin jadi seorang polisi. Randi ingin jadi seorang tentara. Zul berteriak ingin menjadi seorang wartawan. Amel ingin menjadi seorang dokter. Alika dan Najla, keduanya mengatakan ingin menjadi seorang guru. Amira dan Afia, keduanya ingin menjadi seorang penulis. Asyifa berkata kalau dia ingin menjadi seorang pengusaha yang sukses. Diah ingin menjadi seorang psikolog. Sementara Bilqis ingin menjadi seorang artis youtuber. Aku sendiri menyampaikan ingin menjadi seorang insinyur. Kahfi ingin menjadi seorang dokter. Yasir ingin menjadi anggota DPR.
“Saya ingin menjadi seorang dokter, Pak Guru.” Raja menyampaikan cita-citanya, sekaligus menjadi yang terakhir di antara kelima belas murid yang menghuni kelas enam.
“Oi, Tidak ada cita-cita yang lain kah, Raja? Kau kan tetanggaku. Kalau kau jadi dokter, aku jadi dokter, orang-orang akan bingung nanti mau berobat ke klinikku atau ke klinik kau?” Protes Kahfi. Kami tercengang. Lalu tawa kami menggema. Rumah Kahfi dan Raja memang bersebelahan.
“Oi, Kahfi. Kau pikir aku akan membuat praktik di sebelah klinik kau? Sorry yee… Sorry yee…” Balas Raja. Tawa kami kembali menggelegar menyimak perdebatan antara Kahfi dan Raja.
“Sudah, Kahfi, Raja. Baiklah. Semua sudah menyampaikan cita-cita masing-masing.” Ujar Pak Samad setelah tawa kami reda. “Tentang cita-cita yang sama antara satu dengan yang lain itu bapak rasa tidak menjadi masalah, seperti Kahfi dan Raja tadi. Bukankah profesi dokter juga bervariasi? Ada dokter spesialis anak, dokter spesialis mata, jantung dan pembuluh darah, paru-paru, dan lain-lain. Banyak sekali.”
“Kau Kahfi, mau jadi dokter spesialis apa?” Tanya Pak Samad kepada Kahfi. Kahfi hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menyengir, tampak bingung.
“Tapi sepertinya ada satu cita-cita yang terluput dari kita semua.” Ucap Pak Samad membuat kami penasaran. “Apakah tidak ada di antara kalian yang bercita-cita ingin menjadi seorang petani?” Pak Samad bertanya. Kami saling pandang, tidak menjawab.
“Bukankah orangtua kau seorang petani, Zul? Dan kau juga punya kebun yang luas. Apa kau tidak berminat menjadi seorang petani, Zul?” Tanya Pak Samad kepada Zul.
“Tidak mau, Pak Guru. Biarlah Abed saja yang jadi petani. Dia kan juga punya kebun.” Zul berkilah.
“Oi.” Aku berseru. Tawa kembali menggelegak di dalam kelas.
“Kenapa kau tidak mau jadi petani, Zul?” Tanya Pak Samad lebih lanjut.
“Engg… Karena jadi petani tidak enak, Pak Guru.” Jawab Zul sambil cengar-cengir. Nada protes dari teman-teman lain menggema kepada Zul.
“Negeri kita adalah negeri agraria, tanahnya subur. Itu sebuah anugerah. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman (Oi, itu lirik lagu yang bapak sering nyanyikan, ujarku dalam hati). Jangan sampai anugerah itu disia-siakan.”
“Pada dasarnya semua cita-cita itu baik. Dokter, insinyur, pengusaha, dan lain sebagainya, semua itu baik. Namun, identitas kita sebagai bangsa agraria hendaknya tidak boleh hilang. Profesi petani adalah profesi yang mulia.”
“Kau Abed, coba kau bayangkan kalau tidak ada lagi petani yang menanam cabai seperti bapak kau, apa yang terjadi?” Pak Samad mengarahkan pertanyaan kepadaku. Aku berpikir keras untuk menjawabnya.
Belum sempat aku menjawab, Pak Samad sudah mengalihkan pandangannya kepada Zul. “Kau Zul, sebagai anak seorang petani sayur, apa yang terjadi kalau sudah tidak ada lagi yang berminat menjadi petani sayur?” Pak Samad bertanya lagi kepada Zul. Zul hanya menggaruk-garuk kepala.
“Jadi, jangan sampai kita kehilangan identitas sebagai bangsa agraria. Setiap tahun, minat masyarakat untuk terjun pada bidang pertanian semakin menurun. Artinya, bisa jadi suatu saat nanti tidak ada lagi yang akan menjadi petani. Tidak ada lagi yang menanam cabai, tidak ada lagi yang menanam padi, tidak ada lagi yang akan menanam sayur.”
“Jika sudah tidak ada lagi orang yang berminat untuk menjadi petani, maka akan terjadi masalah besar. Tidak ada petani, tidak ada bahan pangan. Tidak ada bahan pangan, maka akan terjadi kelaparan.”
Kami diam, menyimak penjelasan Pak Samad dengan seksama. Aku tidak bisa membayangkan jika apa yang disampaikan oleh Pak Samad benar-benar terjadi di kemudian hari. Aku bergidik dibuatnya.
“Baiklah. Sekarang keluarkan buku tulis kalian.” Ujar Pak Samad memberi perintah. “Tugas kalian adalah membuat karangan tentang cita-cita kalian di masa mendatang. Karangan bebas, boleh berupa puisi, boleh juga esai. Bisa?”
“Bisaaa, Pak!” Jawab kami dengan bersemangat.
“Baiklah. Sementara kalian menulis, Bapak akan mengajar di kelas empat. Bapak menggantikan Pak Burhan yang izin hari ini. Silakan kalian menulis sebaik mungkin, waktu kalian sampai jam istirahat pertama. Kalau belum selesai, silakan bawa pulang untuk dijadikan sebagai PR.” Pak Samad lantas mengambil buku di atas meja kemudian melangkah keluar kelas.
Kelas menjadi hening sepeninggal Pak Samad. Belum ada yang mengguratkan pena di atas buku tulis, masing-masing masih sibuk berpikir. Aku juga berpikir, memikirkan perkataan Pak Samad tentang bangsa agraria tadi. Sebagai seorang anak petani, nuraniku seolah diketuk. Hingga bel istirahat berbunyi, bukuku masih bersih.
***
Saat makan malam tiba, aku dan bapak sudah siap di meja makan. Nasi dan sayur asam sudah tersaji di atas meja. Semuanya baru saja matang, asap dari nasi dan sayur masih mengepul ke udara. Teh manis juga sudah dibuat, asapnya juga mengepul. Kami menunggu Mamak menyelesaikan lauk telur balado. Mamak sedang mengaduk-aduk cabai di penggorengan, menunggunya matang. Aromanya semerbak. Saat cabai telah matang, Mamak memasukkan telur bulat yang telah digoreng sebelumnya ke dalam penggorengan, mengaduknya sekilas, lalu menghidangkannya. Mamak bergabung bersama aku dan Bapak di meja makan.
Setelah terhidang di atas meja, Bapak langsung menyendok nasi, menyentong sayur asam, lalu mengambil sebutir telur balado. Aku terdiam memandang ke arah makanan, merenungi perkataan Pak Samad tadi siang di kelas.
“Oi, Abed. Ayo, lekas makan. Kenapa diam saja?” Mamak menegur. Aku tersentak dari renunganku.
“Tidak apa-apa, Mak.” Aku lalu mengambil piring, kemudian menyendok nasi, menyentong sayur asam, dan mengambil sebutir telur.
“Sekolahmu bagaimana, Bed?” Bapak menanyai sambil di sela-sela mengunyah makanan.
“Baik, Pak. Alhamdulillah.” Aku menjawab singkat, lalu menyuapkan makanan ke dalam mulut. Selesai mengunyah, aku melanjutkan perkataanku. “Tadi Pak Samad membahas tentang cita-cita. Beliau menanyai cita-cita kami satu persatu.”
“Lalu, kau jawab apa?” Bapak bertanya lagi.
“Insinyur.” Jawabku singkat.
“Oi. Tadi pagi kau katakan mau jadi tentara. Sekarang sudah berubah jadi insinyur pula.” Mamak memotong. Aku hanya menyengir saja.
“Tapi ada perkataan Pak Samad yang membuat Abed kepikiran, Pak.” Aku melanjutkan cerita.
“Tentang apa, Abed?” Tanya Bapak penasaran.
Aku menceritakan tentang perkataan Pak Samad saat di kelas tadi. Bapak menyimak sambil menyuapkan makanan. Aku melihat sesekali Bapak mengangguk-angguk. Tak terasa Bapak sudah menghabiskan makan malamnya, membasuh tangannya, kemudian menuangkan teh hangat ke dalam gelas
“Bapak sependapat dengan Pak Samad. Harus selalu ada generasi penerus bangsa yang melanjutkan cita-cita mulia sebagai seorang petani.” Bapak berhenti sejenak, menyesap teh. Bapak melanjutkan, “Menurut Bapak, para petani adalah pahlawan bangsa. Pahlawan pada garda terdepan untuk ketahanan pangan nasional, bahkan seluruh dunia.”
“Petani punya peran penting dalam mengatasi krisis pangan dunia karena mereka merupakan produsen makanan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk dunia.” Bapak berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Bukan hanya sebagai produsen makanan, tetapi juga sebagai pengelola lingkungan, sehingga keberlangsungan produksi pangan dapat terjaga dengan baik.”
Aku mengangguk-angguk. Aku tidak menyangka kalau Bapak punya argumentasi yang mantap tentang peran petani.
“Sayangnya, generasi sekarang banyak yang tidak mau terjun ke sektor pertanian. Mungkin karena pekerjaannya yang berat dan pendapatan dari hasil pertanian dianggap kecil, makanya peminat sektor pertanian makin berkurang tiap tahun.” Bapak melanjutkan penjelasannya. Lagi-lagi aku mengangguk-angguk.
Seusai makan malam, aku membantu Mamak membereskan meja makan. Peralatan makan yang kotor dicuci oleh Mamak. Setelah berberes, aku pergi ke kamarku untuk mengerjakan PR membuat karangan.
Buku dan pena sudah kusiapkan. Aku tersenyum. Kini aku punya gagasan untuk kutorehkan dan pilihan yang mantap untuk menghadapi masa depan.
***
Pak Samad meminta kami mengumpulkan tugas membuat karangan tentang cita-cita. Kami bersegera meletakkan buku tulis kami dalam keadaan terbuka di atas meja guru. Buku-buku telah tertumpuk. Pak Samad membaca tugas yang kami kumpulkan, kemudian membubuhkan nilai dan tanda tangannya.
Seusai memberikan penilaian, Pak Samad bangkit, berjalan ke depan kami.
“Bapak sudah membaca semua karangan kalian. Semua bagus-bagus.” Ujar Pak Samad di hadapan kami. “Namun ada satu karangan yang menurut Bapak sangat layak jika sang pembuatnya membacakan karangannya tersebut di depan kelas.”
“Bapak persilakan Abed untuk maju ke depan.” Aku terhenyak mendengar ucapan Pak Samad. “Ayo, Abed. Maju ke depan. Silakan bacakan karanganmu di hadapan teman-temanmu.”
Aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan ke arah meja guru. Suara tepuk tangan mengiringi. Pak Samad memberikan bukuku, lalu aku berbalik badan menghadap ke arah teman-temanku.
Aku ragu-ragu berucap. Pak Samad lagi-lagi meyakinkanku dan menyemangatiku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bersuara. Membacakan karanganku, dengan suara lantang.
***
Aku, Si Anak Petani
Aku adalah anak petani. Ayahku petani, ibuku petani, kakek nenekku juga petani. Moyangku juga petani. Mereka sejak dulu telah bertani. Sejak kecil aku diajarkan bertani. Mereka membiarkan kami bercita-cita jadi petani. Bapak ibu guru di sekolah juga tahu cita-cita kami. Kami adalah keluarga petani, memakan saripati tanah hingga mengalir dalam darah kami.
Aku adalah anak petani. Setiap hari bekerja di kebun kami, mencangkul, menyiangi, menyemai, menyiram, memupuk, dan memanen hasil bumi. Dengan cangkul aku memacul, dengan arit aku menyiangi, dengan tangan aku menyemai benih, memupuk hingga memanen hasil bumi. Dengan rasa syukur kami menikmati hasil usaha kami.
Aku adalah anak petani. Setiap pagi sudah memikirkan hasil bumi. Malam haripun memikirkan nasib kami. Tapi aku yakin, tuhan bersama kami. Rahmat-Nya ada pada setiap helai dedaunan, ada pada setiap batang dan buah serta bibit yang kami semai. Rahmat-Nya ada dalam tanah. Rahmatnya ada pada air yang kami alirkan, tumbuh kembang sebagai buah.
Aku adalah anak petani. Tidak gentar dengan panas, tidak takut dengan hujan. Bersahabat dengan bumi, bersahabat dengan matahari, bersahabat dengan langit, bersahabat dengan angin, bersahabat dengan alam semesta.
Aku adalah anak petani. Aku bahagia menjadi anak petani. Tak boleh sedih, tak boleh berkecil hati. Aku harus bangga, aku harus berbesar hati. Karena aku adalah anak pahlawan seluruh negeri.
***
Sorak-sorai dan tepuk tangan menggema. Teman-temanku yang juga anak petani, kulihat mereka berderai air mata. Diah yang duduk paling depan, dari tadi menangis sesenggukan. Zul berusaha menutupi air mata dengan menyekanya berkali-kali. Matanya tetap nampak berkaca-kaca. Sedangkan aku sendiri juga tak sanggup membaca puisi karanganku tersebut. Beberapa kali suaraku tersekat, terhenti berkali-kali hingga akhirnya aku berhasil menyelesaikan bacaan puisiku.
***
Kisah Petani Sukses, Anak Petani Miskin Hingga Memiliki Perusahaan Ekspor
Terlahir sebagai anak petani miskin, membuad Abed tumbuh menjadi sosok pekerja keras dan pantang menyerah. Saat duduk di bangku sekolah dasar, Abed sudah ikut membantu orangtuanya berkebun.
Setelah tamat SMP, dia menjalani beragam pekerjaan, seperti menjadi kuli angkut, kuli bangunan, dan buruh harian pernah dia lakoni. Abed tidak pernah merasa risih apalagi gengsi melakukan pekerjaan yang menurut orang lain adalah pekerjaan kasar.
Setelah lulus SMA, Abed melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Di saat itu, Abed mengambil jurusan ilmu pertanian. Awal masa kuliah adalah masa-masa yang sangat berat bagi Abed. Dia harus tinggal jauh dari orangtuanya, sedangkan dia tidak mendapatkan kiriman dari orangtuanya secara rutin. Untuk memenuhi kebutuhannya, Abed lagi-lagi bekerja sebagai buruh serabutan.
Saat itu dia mengenal banyak pengusaha, hingga kemudian bergabung dalam kelompok pengusaha di kota tempatnya kuliah. Perlahan tapi pasti, insting bisnis Abed makin matang. Setelah kuliah, Abed kembali ke kampungnya.
Di kampungnya, Abed mengelola pertanian milik orangtuanya. Berkat ilmu yang diperolehnya semasa kuliah, dan pengalaman hidupnya, Abed mendirikan sebuah perusahaan yang berkaitan erat dengan bidang pertanian. Tujuan Abed mendirikan perusahaan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan dan keadilan untuk petani di sekitar lingkungannya. Dalam rentang waktu lima tahun, perusahaannya berkembang pesat.
Kini perusahaannya telah mengembangkan. Pemasarannya luas menjangkau seluruh penjuru nusantara, memasarkan produk-produk pertanian dan produk pengolahan hasil pertanian dari petani lokal. Bahkan baru-baru ini Abed berhasil membuka peluang ekspor produk pertanian olahan dengan tetap memberdayakan petani-petani lokal yang ada di wilayahnya.