Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dalam prasangka dan tuduhan yang mungkin akan mendekatiku sebagai seorang wanita. Ketakutan-ketakutan yang hadir dari ucapan yang terlontar dalam bentuk pertanyaan…
“Apakah hanya ingin menjadi seorang wanita yang tidak taat dan rakus mencari nikmat dunia?”
Namaku Syarifah Putri Asyikin, putri sulung dari dua bersaudara. Adikku juga seorang wanita bernama Syarifah Ansyakinah yang beda lima tahun dariku.
Syarifah adalah sebuah gelaran untuk para wanita yang masih memiliki darah dan keturunan raja-raja dalam bangsawan melayu.
Aku tinggal dikampung halamanku disebuah kota kecil dipesisir sebuah pulau diprofinsi kepulauan Riau. Ayah dan bundaku masih memiliki darah raja-raja melayu kepulauan dan berhak menggunakan gelar kebangsawanan. Tapi ayah tak pernah mau meletakkan embel-embel gelar raja pada ijazah pendidikan, KTP atau apapun itu. Bahkan sebuah gelar haji sekalipun. Ayah lebih suka membiarkan namanya polos tanpa gelar. Begitu juga dengan bunda. Cuma bunda masih tetap menggunakan Syarifah didepan namanya.
Dan syarifah didepan namaku kuanggap hanyalah bagian dari namaku saja, bukan sebuah gelar bangsawan.
Aku bekerja dirumah sakit pembantu dikotaku. Rumah sakit kecil ini hanyalah rumah sakit yang diperuntukkan sebagai penyambung dari jauh dan terpisahnya rumah sakit propinsi yang terletak diseberang pulau. Aku bekerja disana sebagai perawat sesuai dengan pendidikan terakhirku D3 keperawatan.
Tak banyak yang berubah dari kotaku sejak aku menimba ilmu selama tiga tahun hingga kembali bekerja disini. Selama tiga tahun aku menimba ilmu di ibukota propinsi hingga bekerja disini, tak banyak perubahan yang kurasakan. Dari segi pembangunan hanya beberapa kantor pemerintah dan rumah sakit ini yang mengalami perombakan. Beberapa jembatan dan pelantar beton yang menghubungkan kawasan yang dipisahkan laut juga baru dibangun. Begitu juga dengan suasana dan lingkungan serta masyarakatnya. Tak banyak yang berubah, tetap tenang, tetap menjalankan hidup dengan sederhana. Meski kini telah banyak yang memiliki sepeda motor namun hanya ada beberapa mobil yang bisa dihitung dengan jari tangan kananku saja karena struktur kawasan dan jalanan kota kecilku ini tak memungkinkan.
Begitu juga denganku. Aku menjalankan hidup dengan biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dalam kehidupanku dari dulu hingga kini. Semuanya kujalani apa adanya meski keluargaku termasuk yang dihormati disini. Tapi ajaran bunda membawaku kepada kesederhanaan. Termasuk dalam hal ibadah dan agama.
Aku mengenakan jilbab. Sejak kecil bunda mengajarkan dan membiasakan kami berdua untuk terus mengenakan jilbab. Tak pernah sekalipun aku dan adikku melepaskan jilbab dan memperlihatkan batas aurat kami secara sengaja didepan umum. Dulu, mengenakan jilbab kuanggap sebagai sebuah kewajiban dan keharusan dalam agama. Tapi kini semuanya berubah. Aku tak lagi menganggap mengenakan jilbab sebagai sebuah kewajiban, tapi lebih kepada sebuah kebutuhan seperti udara yang kubutuhkan untuk bernafas. Membiarkan auratku terbuka sedikit saja akan terasa seakan-akan aku mengaibkan diriku sendiri.
Tapi aku tak pernah menutup wajahku mengenakan burqa. Bagiku yang bukan merupakan aurat wanita adalah wajah dan telapak tangan. Karena itulah aku tak pernah menundukkan wajahku untuk hal-hal yang baik. Aku tak pernah membatasi diriku untuk mendapatkan ilmu dan mengamalkannya. Tanganku juga tak pernah kubatasi dalam hal tolong menolong kearah kebaikan. Kedua bagian tubuhku yang bukan merupakan aurat wanita itu menjadi anugrah untukku menyebarkan dan mengamalkan apa yang kudapatkan dan mampu kuberikan. Tapi kedua bagian itu meski kujaga sebaik-baiknya karena disitulah berkumpul segala macam nikmat yang menjadi cobaan terbesar seorang wanita.
Karena disanalah awal dari permainan hati bagi mereka yang sengaja mencari dan rakus akan nikmat dunia. Kala mata menatap keindahan dunia secara berlebihan, maka hati akan terpana. Kala telinga terbuai kata-kata indah, maka hati akan terlena. Kala hidung mencium aroma yang merangsang tubuh, maka hati akan mencerna. Dan mulut akan tanpa sadar terucap dan mengucapkan sesuatu yang melukiskan perasaan hati. Lalu tanganpun akan tanpa sadar mencoba menyentuh merasakan kenikmatan itu yang akan teralirkan diseluruh syaraf tubuh.
Aku hanya mencoba menjaga semua itu. Aku mencoba membatasi apa yang boleh kupandang, apa yang boleh kudengar, apa yang boleh kucium, apa yang boleh kuucapkan dan apa yang boleh kusentuh.
Tapi semuanya tak semudah itu. Kehidupan tak berjalan sesederhana yang aku inginkan. Ujian terbesar yang dihadapi oleh seorang lelaki dan wanita beriman adalah dalam hal cinta. Cobaan terbesar untuk seorang lelaki beriman adalah wanita.
Dan aku tak ingin menjadi bagian dari cobaan itu.
Namanya Raja Ikratul Rosyidin. Dia juga memiliki darah bangsawan yang sama denganku. Dan jika dirunut, dia juga masih memiliki hubungan keluarga denganku walau sudah jauh sekali.
Tak ada yang istimewa antara aku dan dia. Kami bersekolah disekolah yang sama, berada ditingkatan yang sama meski tak pernah berada dikelas yang sama. Kami juga bukanlah teman yang akrab. Aku hanya mengenal siapa dia dan keluarganya. Begitu juga dia. Tak lebih walau banyak wanita teman-temanku yang suka padanya. Tapi aku hanya menganggapnya biasa-biasa saja. Dan dia juga begitu.
Tapi semuanya berubah kala dia kembali kekampung halamannya ini. Dia yang pulang dari ibu kota Negara karena libur kuliah terkejut kala bersua denganku. Semula aku tak begitu memperhatikannya. Namun semakin lama aku merasakan perubahan dari sikapnya. Dia selalu datang mengunjungi rumah sakit tempatku bekerja. Terkadang menemaniku dan teman-temanku yang juga merupakan temannya untuk sekedar ngobrol mengenang kisah masa lalu. Terkadang juga dia pura-pura mengunjungi kak Pia, kakaknya yang juga seorang dokter disini.
Hingga akhirnya tanpa aku sadari kini kami semakin akrab. Tapi aku tak menganggapnya lebih dari sekedar teman atau seorang saudara hingga suatu ketika dia mengutarakan sesuatu yang menjadi awal cobaan terbesar bagi seorang wanita. Cinta!
“Ada sesuatu yang ingin kami miliki dalam dunia ini tapi rasanya mustahil untuk kami dapatkan selain dari mencuri….”
Sejenak aku diam menatapnya. "Apa yg ada dalam dunia ini yang awak tak miliki sehingga awak berniat untuk mencuri?"
"Hati awak!"
Dia mengungkapkan itu padaku dirumah sakit ini. Kala itu aku bertugas sift sore. Dia mengutarakan perasaannya saat aku sedang sendirian dimeja receptionist jaga karena dua temanku sedang memeriksa pasien.
Dan aku hanya diam tak menjawab. Disinilah awal cobaan itu kurasakan begitu terasa. Ungkapan perasaan dari seorang lelaki yang baru pertama kali kudapatkan menjadi ujian yang sesungguhnya untukku.
Kubatasi nikmat dari tubuhku yang bukan merupakan aurat seorang wanita. Kutundukkan wajahku. Kuhindarkan tatap mata yang merupakan anak panah yang bisa menancap dihati. Kualihkan pendengaranku untuk tidak atau pura-pura tidak mengacuhkan apa yang telah dia katakan. Dan kubatasi bibirku agar tidak terbuka terucapkan atau mengucapkan sesuatu yang mungkin akan membuat cobaan ini semakin kuat menyerangku. Bagaimanapun juga aku tak ingin diriku ini menjadi bagian dari sebuah cobaan untuk seorang lelaki beriman.
Tapi cobaan terbesar untuk seorang wanita beriman datang dalam bentuk perasaan.
Itu kurasakan benar. Karena setelah kejadian itu kini aku menjadi sedikit bermain dengan hatiku. Ucapannya terus terngiang ditelingaku. Wajahnya kala mengungkapkan kalimat itu terus bermain dipikiranku. Dan sorot matanya kala itu kini memberikan getar tersendiri untukku.
Bagaimanapun aku adalah seorang wanita. Dengan usiaku yang telah dewasa dan pantas untuk menikah, keinginan untuk memiliki seorang pendamping kini menjadi bagian dari harapanku.
Aku tak mengerti. Entah sejak kapan kini tanpa kusadari aku bermain dengan hatiku. Aku tak lagi mampu membalas tatapannya. Aku kini lebih sering menutup bibirku dan hanya menyisakan sebuah senyum tipis. Dan aku kini lebih sering menyembunyikan wajahku dibalik jilbabku kala bersua dengannya. Semua itu kulakukan dengan dada berdebar yang tak mampu aku artikan. Dan jujur, aku takut untuk mengartikannya.
Hingga akhirnya datang seorang gadis cantik berwajah oriental ke kotaku ini.
Temanku, Aisyah yang juga teman sekampus gadis itu yang membawanya kesini dari ibukota Negara, terbang ke ibukota propinsi lalu menyebrang selama 12 jam perjalanan laut untuk sampai dikota kecilku ini.
Ternyata dia juga teman dekat Raja. Menurut Aisyah, dia sengaja ikut kesini semata-mata ingin berkenalan dengan keluarga Raja. Karena dia dan Raja sudah begitu dekatnya walau mereka tak pernah berikrar sebagai sepasang kekasih.
Karena dia memiliki agama yang berbeda denganku, Raja ataupun dengan kaum muslimin dan muslimat lainnya. Dia seorang gadis keturunan yang masih mengikuti agama leluhurnya walau menurutnya tak lagi dia jalankan dengan baik sejak mengenal Raja.
Aku hanya diam mendengarkan cerita temanku itu. Tapi sebuah pertanyaan muncul dipikiranku; apa yang membuat seorang gadis berani menempuh jarak yang begitu jauh, menyebrangi lautan luas menuju sebuah kota kecil dipesisir pulau demi berjumpa dengan seorang lelaki?
Namanya Lisa Handayani. Dia gadis yang seumuran denganku. Dia kuliah diuniversitas yang sama dengan raja, juga berada dikelas yang sama dengannya. Dan mereka sudah dekat sejak pertama kali menjadi mahasiswa.
Dia memperkenalkan diri dan bercerita tentang dirinya saat aku dan para remaja putri mengadakan pertemuan rutin mingguan diberanda samping mesjid raya. Dia datang dengan gaya busana ala gadis ibukota membuat teman-temanku menatapnya ganjil. Tapi akhirnya maklum kala Aisyah menjelaskan alasan mengapa dia mengajak Lisa kepertemuan ini. Dan menjadi semakin memahami kala dia memperkenalkan dirinya dan menjelaskan maksud kedatangannya.
Aku memberikannya sebuah selendang merah milikku agar dia menutupi kepalanya.
Dia baik. Sangat baik. Selain dari gayanya yang masih keibukotaan, dia bisa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan dan adat disini. Dia mengikuti segala ketentuan-ketentuan yang tak tertulis dikampungku ini termasuk dalam hal berbusana.
Dia tak lagi sering memakai baju kaos dan celana jeans. Dia mengikuti cara berbusana kami yang lebih sering mengenakan baju kurung yang longgar disemua bagian tubuh.
Dia sering bertukar pikiran denganku, atas saran Aisyah yang mengatakan kalau aku adalah orang yang tepat untuk diajak tukar pikiran.
Aku hanya tersenyum. “Tak benar itu.” Kataku. “Saya Cuma mencoba menjadi pendengar yang baik saja, kok.”
Dia balas tersenyum. Itulah awal dari kedekatanku dengannya yang semakin lama kurasakan semakin dekat namun sedikit ganjil. Ganjil karena dia lebih sering bertanya tentang agamaku. Ganjil karena kini dia mulai mencoba berkomunikasi menggunakan logat kami. Dan ganjil karena kini Raja terlihat seolah-olah salah tingkah melihat kedekatan kami berdua.
Aku pernah menanyakan padanya mengapa dia begitu tertarik menanyakan tentang islam padaku. Apakah dia juga pernah mencari tahu tentang islam dari yang lainnya karena aku katakan padanya bahwa aku bukanlah insan yang memiliki ilmu agama yang bagus.
Dia menggeleng. Dia tak mengerti sejak kapan dia jadi sering bertanya tentang islam. Dia tak pernah menanyakan islam pada siapapun kecuali pada Raja, Aisyah dan kini denganku. Karena menurutnya lebih menyenangkan dan lebih mudah memahami jika bertukar pikiran bertanya pada teman sebaya. Dan jujur, katanya lagi, saya kini tak lagi tekun menjalankan ibadah saya sendiri dan lebih suka memperhatikan apa yang dilakukan Aisyah dan Raja kala beribadah.
Aku tersenyum padanya. Ketidak mengertian yang Lisa alami itu adalah bentuk pergulatan batin dari hati yang mendapatkan sebuah keyakinan baru yang mulai masuk kedalam dada, kataku. Keyakinan itu tidak muncul begitu saja dihati kita. Keyakinan itu ibarat seekor burung liar yang tiba-tiba jinak datang mendekat dan makan dari telapak tangan kita sendiri. Dia hadir ketika kita mendapatkan pengalaman, pemahaman dan kesadaran dari apa yang kita alami, kita lihat, kita dengar dan kita rasakan untuk kemudian masuk menyentuh rasa. Dan sebuah keyakinan biasanya akan diikuti dengan sebuah keikhlasan. Itulah IMAN.
Dia menatapku tajam. Tapi aku yakin kalau dia pasti mengerti dengan apa yang aku katakan karena aku yakin itulah yang kini dia rasakan.
“La Iqra Ha Fiddin. Tak ada pemaksaan dalam islam.” Kataku lagi.” Tak ada alasan apapun yang bisa memaksakan seseorang untuk memeluk islam selain dari keinginan yang muncul dalam dirinya sendiri. Bahkan sebuah cinta yang tumbuh dalam hubungan antara seorang lelaki dengan seorang wanita yang belum halal sekalipun tak bisa dipakai untuk memaksakan seseorang agar berganti agama demi membuktikan cinta. Karena islam tidak pernah memaksakan seseorang untuk meyakininya dengan alasan apapun selain dari keinsyafan, kesadaran dan keyakinan yang muncul sendiri dalam dirinya.”
“Berarti sama dengan hukumnya berjilbab, ya?” tanyanya lagi. “Seorang wanita mengenakan jilbab jika muncul niat dan keinginan dari hatinya sendiri tanpa ada pemaksaan dari orang lain. Karena banyak yang tak mengenakan jilbab dengan alasan belum ada niat untuk mengenakannya.”
Aku menggelengkan kepala. “Itu sebuah pemahaman yang keliru.” Kataku. “Islam mewajibkan seorang wanita untuk menutupi seluruh auratnya kecuali muka dan telapak tangan. Ada niat ataupun tidak mereka wajib menutupi auratnya. Jadi tidak benar alasan tidak mengenakan jilbab karena belum memiliki niat atau belum siap. Karena siap atau tidak, ada niat ataupun tidak seorang wanita tetap wajib menutup auratnya.”
Dia mendengarkan jawabanku dengan serius.
Dan tanpa kusadari kini aku semakin akrab dengannya. Lisa terkadang datang kerumah dan berkenalan dengan seluruh keluargaku. Terkadang terlibat pembicaraan yang seru dengan bunda. Bahkan sesekali menemani ayah main catur.
Aku kagum padanya. Dia berbeda agama denganku tapi membuka pikirannya untuk mendapatkan sesuatu yang menggelitik hatinya. Dia tak pernah membatasi dirinya untuk mendapatkan apa saja ilmu yang dia inginkan. Mungkin satu-satunya kelemahan yang masih ada padanya adalah bahwa dia masih suka membanding-bandingkannya dengan agamanya. Tapi aku rasa itu wajar karena dia terlahir dan besar dengan agama yang dia anut, jadi dia pasti akan membanding-bandingkan apa yang dia dapatkan dengan apa yang telah dia miliki untuk sekedar meyakinkan hatinya.
Tapi kekagumanku padanya tetap besar. Bahwa dia tak pernah membantah untuk sesuatu yang telah dia yakini kebenarannya. Dia tak pernah menyangkal jika ajaran dalam islam itu sangat indah dan benar adanya. Bahkan dia menambahkan dengan pengetahuan dalam agamanya sendiri karena dia yakin bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan untuk umatnya.
Dan satu hal yang aku pelajari darinya adalah bahwa dia selalu mencari dan menentukan apapun yang dia yakini kebenarannya sepanjang itu benar-benar memberikan manfaat untuknya. Dia tak pernah ragu dengan keyakinan dan keinginan dalam hatinya. Dia akan dengan tegas menentukan dan memutuskan apapun untuk dirinya sendiri. Dia dengan tegas menjawab pertanyaanku kala menanyakan mengapa dia begitu bersemangat menanyakan sesuatu yang begitu mengusik hatinya walaupun itu bertentangan dengan keyakinan yang dia miliki saat ini? Apakah dia tak khawatir dengan tanggapan dari keluarga dan orang-orang disekitarnya nanti.?
Dia tersenyum. “Bahwa aku adalah pemilik hatiku, diriku dan hidupku sendiri.”
Aku terpana dan tak tahu harus berkata apa. Namun perkataannya itu menjadi pelajaran baru untukku bahwa memang kitalah pemilik apa yang kita miliki dalam diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita harus percaya bahwa rahmat Allah itu wujud dalam diri kita sendiri. Bahwa Allah memberikan kita hak penuh dalam diri dan kehidupan kita. Dan kita berhak menemukan dan mendapatkan rahmat itu untuk diri kita. Itulah ke-IMAN-an.
Bahwa kitalah pemilik hati kita, diri kita dan hidup kita sendiri. Bukan orang lain, bahkan orang yang kita cintai sekalipun….
Teaser singkat dari sebuah novel pendek...