Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Aroma dari Masa Lalu
Dewi selalu memiliki ketertarikan yang aneh pada barang-barang tua. Baginya, setiap artefak, setiap perabot usang, setiap perkakas berkarat, bukan sekadar objek mati; ia adalah sebuah kapsul waktu, menyimpan gema dari kehidupan yang pernah menyentuhnya, bisikan-bisikan dari masa lalu yang tersembunyi. Ia bukan sekadar kolektor, ia seorang arkeolog jiwa, berusaha menggali cerita-cerita yang tak tertulis, merasakan jejak-jejak emosi yang melekat pada benda dan tempat.
Pencarian akan "kisah" yang unik inilah yang membawa Dewi jauh dari hiruk pikuk kota besar, menelusuri jalan-jalan sempit di pedesaan, hingga ke sebuah desa terpencil yang namanya bahkan jarang tercantum di peta wisata. Di sanalah, di tengah hamparan hijau persawahan dan bisikan angin dari hutan yang lebat, ia menemukan sebuah rumah tua bergaya tradisional yang telah lama tak berpenghuni. Rumah itu bukan bangunan megah atau artistik, melainkan sebuah struktur kayu yang kokoh namun usang, dengan atap genteng tanah liat yang ditumbuhi lumut dan jendela-jendela kayu yang sebagian besar tertutup debu tebal. Pagar kayu di depannya telah lapuk dimakan usia, dan pekarangannya dipenuhi ilalang tinggi.
Bagi sebagian orang, rumah itu mungkin tampak menyeramkan, terlupakan, bahkan angker. Namun, bagi Dewi, aura misterius itulah yang memanggilnya. Rumah itu memiliki banyak ruangan dan lorong yang membentuk labirin di dalamnya, seolah sengaja dirancang untuk menyimpan rahasia. Dinding-dinding kayu jati tua memancarkan aroma tanah dan kelembapan yang khas, sebuah bau yang Dewi identifikasi sebagai "bau sejarah." Ia bisa merasakan cerita yang tak terucapkan merembes dari setiap serat kayu, setiap retakan di lantai.
Negosiasi pembelian rumah tidak terlalu sulit. Pemiliknya, seorang lelaki tua yang tinggal di ujung desa, tampak lega ada yang mau membeli properti yang telah lama terbengkalai itu. Ia hanya berpesan samar-samar, "Rumah ini punya nyawa, Nak. Jaga dia baik-baik, jangan kau ganggu tidurnya." Dewi tersenyum, menganggapnya sebagai nasihat khas orang tua yang penuh mitos, tak terlalu dihiraukan.
Setelah proses administrasi selesai, Dewi dengan semangat membara memulai proyek pribadinya: membersihkan dan merapikan rumah itu, mengubahnya menjadi galeri sekaligus tempat tinggal yang bisa mengakomodasi koleksi artefak eklektiknya. Ia bekerja sendirian, hari demi hari, membersihkan sarang laba-laba, menyapu debu tebal, dan membuka jendela-jendela yang telah lama tertutup. Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan yang dulunya gelap gulita memberikan sebuah perasaan pembaharuan, seolah rumah itu perlahan-lahan bernapas kembali.
Saat membersihkan sebuah kamar tidur utama yang terletak di bagian belakang rumah, yang paling jauh dari pintu depan, Dewi menemukan sebuah lemari pakaian tua yang terbuat dari kayu jati berukir rumit. Lemari itu sangat besar dan berat, tampaknya sudah tidak pernah digeser selama puluhan tahun. Di dalamnya, ia menemukan beberapa kain batik usang dan perhiasan kuno yang sudah berkarat, peninggalan dari penghuni lama.
Namun, di balik lemari itulah, Dewi merasakan sesuatu yang berbeda. Ada sebuah celah samar di dinding belakang lemari, seolah ada bagian dinding yang tidak rata. Rasa penasaran mengalahkan rasa lelahnya. Dengan susah payah, ia menggeser lemari pakaian itu. Suara gesekan kayu tua yang berat memenuhi ruangan yang sunyi.
Terungkaplah sebuah pintu kecil yang terbuat dari kayu yang sama dengan dinding, nyaris tak terlihat karena tersamarkan dengan ukiran dan warna kayunya. Pintu itu tidak memiliki gagang, hanya sebuah tuas kayu kecil yang tersembunyi. Jantung Dewi berdebar kencang. Sebuah ruang rahasia. Ini adalah penemuan yang ia impikan.
Dengan tangan gemetar, ia memutar tuas kayu itu. Pintu itu berderit pelan saat terbuka, mengeluarkan suara yang mengiris kesunyian. Gelap. Sangat gelap. Udara yang keluar dari celah itu terasa sangat pengap dan lembap, seperti udara yang sudah lam...