Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Uang receh di tanganku tidak cukup untuk makan hari ini. Belum lagi untuk setoran ke Mami.
Dengan mata sedikit berkaca-kaca, aku menghapus cat sablon warna silver dari sekujur tubuh. Hatiku sakit sekali. Apalagi saat aku harus beraksi menjadi manusia silver di perempatan jalan.
Berpasang mata menatapku dengan pandangan yang berbeda-beda. Sepertinya aku mendengar mereka seolah menghujat dengan berbagai kalimat.
“Ih, kok mau ya. Masak cewek jadi kayak gitu.”
“Kayak nggak ada kerjaan lain aja. Sholat apa enggak tuh.”
“Hiiy, amit-amit deh. Jangan sampai aku jadi kayak gitu.”
Mungkin aku yang negatif thinking karena merasa selalu mendengar ungkapan senada dari tatapan sinis pengendara motor di lampu merah. Tatapan yang selalu kuterima dari pengendara motor. Malahan kebanyakan dari kaumku sendiri.
Terus ada yang lain lagi, memandang dengan iba. Seolah-olah berkata,”Kasihan sekali. Dimana orang tuanya. Apa dia nggak sekolah.”
Rasa kasihan itu tidak lekas membuat hatiku merasa nyaman. Karena sama saja. Yang sinis maupun yang kasihan, tidak benar-benar paham apa yang sedang aku hadapi kini.
Itulah mengapa, setiap mengedarkan kaleng kosong, aku tidak berani mengangkat wajah. Sudah hilang harga diriku. Aku terjebak di sini. Tanpa bisa berbuat apapun.
Lamunanku buyar. Suara ribut di depan rumah petak yang selama ini menaungi diri seolah tidak membiarkanku merenungi nasib.
“Rahma, buka pintu!! Hei, Rahma, budeg ya.” Suara kasar yang sangat kukenal berpadu dengan gedoran di pintu semakin menggema di lorong sempit depan rumah
Gegas aku beranjak ingin segera menghentikan keributan dengan membuka pintu yang sudah mulai usang. Benar saja. Mami berdiri tegak dengan mata melotot dan mulut tak berhenti bicara. Namun ada yang aneh. Mami nampak membawa seorang bayi yang sedang tidur di gendongan. Aku mau bertanya tapi sungkan.
“Silahkan masuk, Mi.”
Tanpa bicara, Mami masuk dan langsung meletakkan bayi beserta sebuah tas travel yang mungkin berisi perlengkapannya.
“Kamu kan setoran selalu kurang, jadi mulai besok, kamu kerja sambil bawa bayi ini. Kalau masih kurang setoran, kamu tak antar ke Mami Sinta biar ada gunanya.” Kata Mami, lalu segera beranjak pergi tanpa mendengarkan responku.
Aku hanya ternganga mendengar ucapan Mami yang seperti petir di siang bolong. Apa tadi? Aku harus bawa bayi? Kalau setoran kurang, mau dikasih ke Mami Sinta? Yang mucikari itu? Aku bergidik ngeri.
Semalam aku tidak bisa tidur. Beberapa kali si bayi menangis karena ngompol, terus juga mau minum, mungkin juga kedinginan. Entahlah. Aku tidak tahu cara merawat bayi. Bagaimana ini?
Aku benar-benar tidak bisa tidur. Saat bayi bergerak, aku tergeragap. Jangan-jangan dia butuh sesuatu. Kalau dia anteng, aku merebahkan diri sebentar. Kupeluk sambil tanganku tak henti mengusapnya. Ada sebuah rasa hangat menelusup relung hati. Sebuah rasa yang sudah lama tidak muncul. Semakin lama semakin menguat. Bau harum bayi itu membuatku nyaman.
Paginya, kusiapkan diri. Untunglah si bayi, yang entah siapa namanya, tidak menangis berlebihan. Syifa. Ya, aku beri nama Syifa saja. Siapa tahu dia benar-benar bisa menjadi obat buat aku.
Semalam aku sudah berpikir, sambil menunggui Syifa. Aku tidak tega membawanya mengais receh di perempatan. Bagaimana nanti kalau panas atau hujan. Hati kecilku sungguh tidak bisa menerima, jika nanti Syifa kenapa-napa. Ya aku harus melakukan sesuatu.
Kumasukkan seluruh perlengkapan dan tas Syifa ke sebuah kresek kumal beserta beberapa lembar baju lamaku. Rencananya, semua akan kutitipkan pada Pak Narto, marbot masjid di ujung jalan depan. Ya, aku harus menyiapkan semuanya. Tidak bisa kalau begini terus.
Kuputuskan untuk menemui Pak Narto yang sedang membersihkan masjid. Aku percaya beliau mau menolong. Pak Narto memang orang baik. Berkali-kali aku diberi makanan saat melintas di depan masjid sepulang mangkal di perempatan. Beliau tahu betul, aku sering tidak makan karena uang yang kuperoleh tidak seberapa. Tanpa banyak bicara, Pak Narto sering memberi makanan dan juga beberapa lembar uang.
“Maaf, Pak Narto. Saya titip barang sebentar ya. Nanti tengah hari Insya Allah saya ambil. Jangan dibuang, ya Pak,” ucapku pada Pak Narto.
“Lha itu, bayi siapa yang kamu bawa?” Pak Narto jelas kaget.
“Ini titipan Mami, Pak. Maaf, saya belum bisa cerita banyak.”
Pak Narto nampak mengerti. Memang semua orang di sekitar daerah ini paham siapa Mami. Beliau tidak bertanya lebih lanjut. Hanya berlalu sambil membawa kresek yang aku titipkan.
Aku juga bergegas menuju perempatan tempat aku mangkal menjadi manusia silver. Kali ini, aku memakai celana panjang dan kaos lengan panjang, sehingga hanya wajah, telapak tangan dan kaki yang aku lumuri cat silver. Aku juga memakai penutup kepala karet warna silver sehingga rambutku aman. Kali ini, aku beraksi sambil menggendong Syafa.
Seorang preman anak buah Mami sudah standby di warung depan bengkel. Tugasnya memang untuk mengawasi aku biar tidak kabur. Tapi aku tidak peduli. Aku pura-pura tidak melihatnya.
Tatapan orang-orang yang berhenti di perempatan itu semakin sinis saat melihat bayi di gendonganku. Semakin bertambah rasanya penilaian buruk terhadapku.
“Wah, bayi siapa itu. Kasihan sekali. Tega-teganya masih bayi dibawa panas-panasan gini.”
Begitu kira-kira makna tatapan mata orang-orang. Aku tidak lagi peduli. Fokusku pada kenyamanan Syifa. Jangan sampai dia kehausan atau kena panas matahari.
Entah karena apa, hari ini aku mendapatkan banyak receh. Bahkan ada selembar uang merah juga beberapa lembar uang biru. Aku mengusap wajah menahan haru. Rasanya jalanku akan semakin terbuka.
Menit demi menit berlalu dengan cepat. Adzan dzuhur berkumandang. Kali ini suara Pak Narto terdengar begitu merdu. Mungkin karena sudah kutunggu dari tadi suara adzan itu. Gegas aku menuju masjid. Kulirik preman itu juga mengikutiku. Tapi langkahnya tertahan di luar masjid. Inilah saat yang kutunggu. Segera aku masuk toilet dan membersihkan diri dari semua kotoran cat sablon, lalu mengambil air wudhu. Sungguh segar rasanya.
Kupanjatkan doa dengan air mata menetes di pipi usai melaksanakan sholat. Aku berharap kemudahan untuk melanjutkan langkah. Sudah kubulatkan tekad untuk mengakhiri ini semua. Hidupku terpenjara. Aku tidak lagi merasakan nikmatnya kebebasan sejak aku mengenal Mami.
Dia yang kuanggap dewa penolong, ternyata tak lebih dari lintah penghisap darah. Janjinya untuk memberikan aku pekerjaan ternyata hanya bualan semata. Sungguh manusia sampah. Bagaimana dia tega mengorbankan sesama untuk kepentingannya sendiri. Apalagi setelah aku diberi seorang bayi.
Aku tidak tahu anak siapa ini. Namun aku berjanji untuk merawatnya. Meskipun aku belum terlalu paham bagaimana merawat seorang bayi, setidaknya rasa kasih sayang itu sudah muncul sejak semalam.
Bayi di sampingku masih tertidur pulas. Perlahan aku gendong Syifa untuk menemui Pak Narto. Kuceritakan semua kisahku dan niat untuk kabur dari Mami.
“Lalu kamu mau kemana?”
Aku hanya menunduk. Memang aku belum tahu mau kemana. Rencananya, aku hanya mau naik bisa entah jurusan apa. Yang penting jauh dari jangkauan Mami dan anak buahnya.
“Ya sudah, nanti Bapak antar ke terminal. Kamu bisa tinggal di rumah Bapak di kampung. Di sana ada istri Bapak. Dia tinggal sendiri.”
“Beneran, Pak? Ya Allah, terima kasih banyak.”
Aku tak mampu lagi berkata-kata. Sungguh. Pertolongan Allah begitu nyata pada saat yang tepat.
Akhirnya kami bisa keluar dari masjid. Aku memakai gamis dan kerudung lebar. Pakaian yang aku pakai saat pertama kali menapakkan kaki di kota ini. Aku juga memakai masker untuk menyamarkan wajahku. Sementara Syifa, yang juga aku beri kerudung kecil, digendong oleh Pak Narto yang sudah berjalan mendahului. Kami akan bertemu di terminal agar tidak ketahuan.
Dengan langkah biasa, aku berjalan menuju halte terdekat sambil menenteng tas. Meskipun aku sangat takut ketahuan, tidak menyurutkan langkahku menuju halte. Alhamdulillah. Preman itu masih asyik bermain hp di bawah pohon. Saat aku melintas, dia melirikku tajam. Jantungku berdegup kencang.
Aku terus melangkah dan berusaha untuk tenang. Preman itu masih menatapku dari jauh. Tiba-tiba di depanku ada seorang ibu-ibu yang aku kenal. Pemilik warung nasi langgananku rupanya.
“Bu Asih, tunggu sebentar.” Aku mencoba berteriak dengan suara yang terdengar berbeda.
“Ya, ada apa?”
Aku tidak menjawab, hanya terus berlari menyusul langkahnya. Saat bersisian, aku berbisik,”Tolong saya Bu Asih. Bisa menemani sampai halte depan. Saya mau kabur dari preman itu.”
Bu Asih mengerti, lalu digandengnya tanganku. Alhamdulillah. Lega rasanya. Preman itu kembali menekuri HP nya. Dia tidak mengenaliku.
Rasa syukur membuncah dalam dada. Kuusap pelan pipi Syifa. Kami sudah meluncur keluar kota menuju alamat Pak Narto. Syifa nampak terlelap dengan damai. Seolah dia bisa merasa telah bebas dari bahaya.
Memang tak pernah ada yang tahu bagaimana ujung nasib ini. Setidaknya aku telah berusaha lepas dari cengkeraman Mami. Kehidupan selanjutnya mungkin akan lebih berat tetapi aku tidak akan menyerah. Manusia perak ini harus bisa mengubah nasib. Apalagi ada Syifa yang kini kuanggap adikku sendiri.