Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Aku, Luka, dan Sebuah Jalan Pulang
1
Suka
1,656
Dibaca

Lantunan musik mengalun pelan dari ponsel seorang gadis yang terbaring sendirian di tempat tidur. Namanya Yazuko, seorang siswi kelas dua SMA. Hidupnya terasa membosankan dan monoton. Setiap hari, ia hanya membaca novel yang dibelinya dari toko online. Sebagian besar bukunya membahas kesehatan mental, karena ia ingin memahami caranya untuk sembuh perlahan. Sebenarnya, ada maksud lain di balik ketertarikannya—ia ingin masuk jurusan psikologi. Namun, keraguan selalu menghantuinya.

Yazuko memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya. Hal ini membuatnya minder, bahkan untuk sekadar bermimpi. Ia takut diejek oleh teman-temannya karena nilai dan kondisi mentalnya. Orang tuanya tak pernah menuntutnya meraih nilai sempurna. Namun, di balik senyum mereka, Yazuko bisa merasakan kekecewaan yang berusaha disembunyikan setiap kali melihat rapornya yang tak pernah mencapai nilai sempurna. Walaupun sebenarnya mereka tetap mendukungnya, membesarkannya dengan penuh kasih sayang, trauma masa lalu membuat Yazuko takut akan banyak hal, termasuk berteman. Ia ingat betul saat kelas tiga SD, bagaimana temannya pernah memanggilnya hanya untuk membandingkan nilainya dengan siswa lain. Sejak saat itu, setiap angka di rapornya terasa seperti penilaian atas dirinya sebagai manusia.

"Yazuko, kamu cuma kurang semangat. Harusnya kamu lebih bersyukur dapat nilai segitu," kata Ibunya. Yazuko menggigit bibirnya. Andai ibunya tahu, betapa beratnya semua ini baginya.

Ia bukan anak yang anti-sosial. Hanya saja, ia tidak punya keberanian untuk berbicara lebih dahulu. Di kelas, teman-temannya tertawa dan bercanda tanpa beban, sementara ia hanya duduk di sudut, terperangkap dalam pikirannya sendiri.

Yazuko rutin pergi ke psikiater setiap seminggu sekali, diantar oleh kedua orang tuanya yang berharap putri mereka bisa segera membaik. Tetapi Yazuko merasa tak ada perubahan besar dalam dirinya. Ia masih cemas, sulit tidur, dan masih sering menangis tanpa alasan.

Hingga suatu hari, dokternya menyarankan agar ia dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

"Ibu, ayah, bagaimana kalau aku dirawat inap di rumah sakit jiwa?" kata Yazuko pelan.

"Yazuko, kamu nggak gila. Coba pikirkan matang-matang keputusanmu," kata ayahnya lirih di dalam mobil saat perjalanan pulang.

"Kami tahu kamu bisa melewati ini, Sayang. Kamu kuat. Ibu takut kalau kamu di sana merasa sendirian," ujar ibunya, menggenggam tangannya erat.

Yazuko terdiam, menatap ke luar jendela. Ia merasa takut dan bingung. Ia takut ditinggalkan kedua orang tuanya, tetapi di sisi lain, ia ingin sembuh. Ia lelah dengan semua ini.

Malam itu, Yazuko menatap langit-langit kamarnya. Matanya terasa panas, tetapi air matanya tak lagi mengalir. Ada ketakutan yang menyesakkan dadanya. Bagaimana jika orang-orang memandangnya dengan tatapan mengejek karena masuk RSJ? Namun, di sisi lain, ia lelah. Lelah berpura-pura kuat, lelah menyembunyikan tangisannya di balik selimut. Ia bimbang. Haruskah ia menerima saran dokternya? Atau tetap bertahan dalam kondisi yang sama?

Malam makin larut, tetapi pikirannya terus berkelana. Jika ia tetap di rumah, apakah segalanya akan membaik? Atau justru makin memburuk? Yazuko menggigit bibirnya. Tangannya gemetar saat akan membuka ponselnya. Ia mencari informasi tentang pengalaman orang-orang yang pernah dirawat di RSJ. Ada banyak cerita, beberapa menyeramkan, beberapa menginspirasi. Satu hal yang ia sadari, tidak ada yang ingin berada di sana, tetapi mereka yang menjalani perawatan dengan niat untuk sembuh. ‘Mungkin ini satu-satunya cara untuk sembuh,’ pikirnya.

Minggu berikutnya, ia kembali menemui dokternya.

"Kalau saya tetap terapi tanpa harus rawat inap, apa saya masih bisa membaik?" tanyanya pelan.

Dokternya tersenyum. "Tentu saja, Yazuko. Semua butuh proses. Yang penting, kamu mau mencoba. Tetapi, saya tetap menyarankan rawat inap agar pemulihanmu lebih terarah."

Yazuko berpikir lama. Akhirnya, ia memutuskan untuk rawat inap. Setelah beberapa hari membujuk, kedua orang tuanya pun mengalah. Mereka mengantarnya ke RSJ yang telah direkomendasikan dokter. Ibunya menandatangani berkas-berkas, sementara Yazuko menjalani pemeriksaan darah, urine, dan jantung. Setelah semua selesai, orang tuanya pulang. Yazuko berganti pakaian, mengenakan kaus pink dan celana pendek bergambar bunga yang diberikan perawat. Ia kemudian dibawa ke Ruang Mawar. Ruangan itu tidak seperti yang ia bayangkan. Tidak ada pasien yang berteriak-teriak atau mengganggu pasien lain. Yang ada hanyalah kamar-kamar dengan ranjang berseprai putih, lampu yang agak redup, beberapa pasien yang duduk diam menatap jendela dan sisanya sedang tertidur.

Di Ruang Mawar, ia berbincang dengan seorang wanita paruh baya yang menanyakan alasan ia dirawat. Yazuko menyadari bahwa tidak ada pasien seumurannya di sana. Namun, ketakutannya perlahan mereda. Ia mulai memahami bahwa RSJ bukanlah tempat bagi orang gila, melainkan tempat bagi mereka yang butuh bantuan, seperti dirinya. Setelah meneliti Ruang Mawar, menurutnya, ruangan itu adalah ruangan dimana seseorang yang baru masuk RSJ di observasi oleh perawatnya. Setelah pasien tersebut merasa lebih tenang, ia akan di bawa ke ruangan lain.

Keesokan harinya, Yazuko dipindahkan ke Ruang Wijaya Kusuma, tempat para remaja dirawat. Hari-hari berikutnya membawa perubahan kecil. Ia mulai menyapa teman sekamarnya, Lia. Percakapan mereka yang sederhana perlahan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Ia mulai berpikir bahwa meskipun memiliki luka, ia tetap berhak untuk bermimpi.

Suatu hari, sekelompok mahasiswi dari sebuah universitas ternama datang berkunjung.

"Hei, kamu sering baca buku di sini, ya?" tanya seorang mahasiswi bernama Kimura dengan senyum ramah.

Yazuko mengangguk pelan, "Iya, aku suka baca, kak."

"Buku apa yang sedang kamu baca?"

Yazuko ragu sejenak sebelum menunjukkan sampul bukunya, "Ini tentang kesehatan mental."

Kimura mengangguk. "Wah, aku juga suka baca buku tentang kesehatan mental. Awalnya aku tertarik karena mau masuk jurusan psikologi, kalau kamu sendiri gimana? kamu juga mau masuk jurusan psikologi kah?"

Yazuko terdiam. Selama ini, impian itu terasa menakutkan baginya. Tetapi... kenapa tidak mencoba? Kalau ia tidak mencoba, ia tidak akan tahu apakah bisa berkembang atau tidak.

"Aku... aku nggak tahu apakah aku bisa, kak," jawabnya jujur.

"Nggak ada salahnya mencoba. Oh iya, siapa namamu?" tanya Kimura santai.

"Yazuko."

"Oke, Yazuko, Kalau kamu mau tahu lebih banyak tentang jurusan psikologi, tanya-tanya saja ke aku dan teman-temanku," ujar Kimura.

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Yazuko. Mungkin selama ini ia terlalu banyak berpikir dan terlalu takut mencoba. Mungkin, ia hanya perlu mengambil langkah perlangkah.

Sejak hari itu, ia mulai berbincang dengan Kimura dan teman-temannya, serta Lia. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa lebih baik. Ia mulai percaya diri untuk bermimpi.

Seminggu berlalu. Dokternya memeriksa keadaannya.

"Yazuko, bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya dokter Cia.

"Senang, Dok. Saya bisa mengobrol dengan orang lain," jawabnya dengan senyum yang tulus.

"Bagus. Hari ini kamu boleh pulang. Jangan lupa tetap melakukan aktivitas yang kamu lakukan di sini, seperti berinteraksi dengan orang lain, menyibukkan diri, dan tidak mengisolasi diri, ya."

"Baik, Dok. Terima kasih," kata Yazuko dengan mata berbinar.

Sore itu, keluarganya menjemputnya pulang. Lia memeluknya erat.

"Yazuko, tolong doakan aku agar aku nggak pulang... aku nggak mau kembali ke rumah," bisiknya penuh harap.

Yazuko mengangguk. Ia tahu kehidupan Lia jauh lebih rumit daripada dirinya. Suatu malam, di tengah ruangan yang gelap, ia berbisik kepada Yazuko, suaranya nyaris tak terdengar.

“Yazuko, dulu, budheku cuma memberiku dua sendok nasi untuk makan seharian. Aku kelaparan. Berbeda dengan di sini. Aku bisa makan sepuasku, tapi aku takut. Kalau berat badanku bertambah, budhe pasti akan marah besar saat aku pulang,’ katanya lirih.

Yazuko menahan napas. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak ada kata-kata yang cukup untuk meredakan luka temannya. Ia hanya bisa menggenggam tangan Lia erat, membiarkannya tahu bahwa ia tak sendiri.

Minggu pertama setelah pulang, Yazuko merasa baik-baik saja. Suatu malam, kecemasan itu kembali. Napasnya memburu, pikirannya penuh ketakutan. Tetapi kini, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia punya orang-orang yang peduli padanya, punya teman yang mau mendengar, dan punya keluarga yang selalu ada di sisinya. Perlahan, kecemasan dan ketakutannya pun menghilang.

Suatu sore, saat ia sedang membaca buku di kamarnya, ibunya masuk dan duduk di sampingnya.

"Mama bangga padamu," bisik ibunya, membelai rambutnya lembut.

Yazuko menatap ibunya heran. "Kenapa? Aku nggak melakukan sesuatu yang besar."

Ibunya tersenyum, tetapi matanya berkaca-kaca. "Kamu bertahan, Nak. Kamu memilih untuk mencoba, meski kamu takut. Itu sudah lebih dari cukup."

Yazuko menggigit bibirnya. Perlahan, ia menyandarkan kepalanya ke bahu ibunya. Mungkin ia belum sepenuhnya sembuh. Mungkin perjalanan ini masih panjang. Tetapi ia telah melangkah, dan itu yang terpenting.

Untuk pertama kalinya, ia percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan benar-benar baik-baik saja.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Aku, Luka, dan Sebuah Jalan Pulang
Telor Dadar
Cerpen
Bronze
KE MANA SI MBAK?
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Istirahatlah
Jamilah Prita
Cerpen
Bronze
Kumcer Paling Buruk
Imas Hanifah N.
Cerpen
Ban Kempes
Awal Try Surya
Cerpen
Royadi dan Jin Ifrit dari dalam Kendi
Ryan Esa
Cerpen
Bronze
Kertas Balas Kertas
Omius
Cerpen
The Supposer
Lail Arahma
Cerpen
Copper Miss
Ratna Arifian
Cerpen
Tandang
RD Sinta
Cerpen
Bronze
Transkrip
Muram Batu
Cerpen
Teror Guna-guna Tetangga Belakang Rumah
Indahhikma
Cerpen
Bronze
Persimpangan di Stasiun Kereta
AnotherDmension
Cerpen
Dari Ketinggian - Aku Mengerti Aku Tidak Mengerti
Firlia Prames Widari
Cerpen
Besan Toxic
Yovinus
Rekomendasi
Cerpen
Aku, Luka, dan Sebuah Jalan Pulang
Telor Dadar
Cerpen
Keabadian di Rumah Hening
Telor Dadar