Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Natal tinggal menghitung hari. Namun Thomas masih belum menemukan cara untuk menjadikan hari natalnya terasa bahagia. Ia belum mempunyai sebuah rencana untuk menikmati hari natalnya. Bahkan ia belum mempunyai seseorang untuk diajak berlibur di hari yang sangat membahagiakan itu.
Thomas selalu sendiri semenjak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan satu tahun yang lalu. Walau telah dirawat oleh pamannya, namun semua itu tak bisa mengembalikan semua kebahagiaannya ketika ia masih tinggal bersama orang tuanya. Hidup Thomas berbalik menderita sejak ia dititipkan pada pamannya. Sang paman yang masih sangat muda dan baru saja menggeluti dunia bisnis selalu sibuk sepanjang waktu. Pergi ke kota satu menuju ke kota lainnya adalah kebiasaan yang ia lakukan setiap harinya.
Siang itu, cuaca sangat panas. Membuat Thomas malas untuk bermain di luar rumah. Thomas merasa sangat bosan hanya bisa bermain seorang diri di dalam rumah. Tiba-tiba saja, terdengar langkah kaki orang dewasa mendekatinya. Thomas yang tengah menonton televisi di ruang keluarga langsung mencari tahu tentang orang yang datang menghampirinya itu. Wajahnya langsung berseri-seri ketika mengetahui bahwa pamannya telah pulang dari kantornya.
“Om Samuel? Tumben om sudah pulang. Oh ya om, aku ingin meminta sesuatu pada om. Sebentar lagi natal tiba. Dan aku ingin pergi berlibur bersama om. Kemanapun om mengajakku, aku akan ikut. Asalkan aku bisa menikmati natalku bersama om. Kita kan selalu melakukannya bersama,” pinta Thomas.
“Thomas! Apa kamu tidak melihat kalau om sedang lelah? Kenapa kamu harus membicarakan tentang liburan? Aku tidak bisa pergi berlibur denganmu. Aku sangat sibuk. Sudah panas ditambah panas saja,” jawab Samuel dengan nada tinggi.
Thomas terlihat ketakutan saat pamannya memarahinya. Segera ia mematikan televisi dan pergi ke kamarnya. Keinginannya untuk menghabiskan hari natal bersama sang paman telah hilang. Ia tak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat hari natalnya menjadi menyenangkan.
Esok harinya, Thomas melihat Samuel yang tengah terburu-buru sambil memasukkan dokumen-dokumennya ke dalam tasnya. Thomas telah mengerti bahwa sang paman pasti akan pergi ke luar kota lagi. Entah berapa lama pamannya itu akan bekerja di kota. Dan entah kapan pamannya akan kembali dan mempunyai waktu untuk bermain bersamanya.
“Thomas, Om akan pergi ke luar kota selama satu minggu. Om hanya berpesan agar kamu tidak nakal selama paman pergi. Jangan bermain bola di dalam rumah. Om sudah beberapa kali mengganti vas bunga dan kaca yang pecah karena bolamu itu,” tutur Samuel dengan lembut.
“Iya om. Kalau begitu, aku pamit bermain ya,” jawab Thomas dengan suara lirih dan kepala tertunduk.
“Sepagi ini? Sarapan dulu! Om pergi dulu. Ingat, jangan nakal!”
“Baik om.”
Samuel mengelus-elus kepala Thomas lalu pergi meninggalkannya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Thomas mengambil sebuah bola dan pergi bermain di luar rumah. Ketika sampai di lapangan, ia terkejut saat melihat bahwa tidak ada seorang anak pun bermain disana. Tanah lapang yang biasanya digunakan oleh anak-anak untuk bermain juga kosong.
Thomas terpaksa mendatangi rumah teman-temannya satu persatu. Namun nasib malang kembali menimpanya. Setiap rumah yang didatanginya selalu kosong. Semua penghuninya telah pergi untuk menikmati liburan akhir tahun. Ada juga dari mereka yang pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sekedar untuk merayakan hari natal.
Thomas terpaksa harus pulang dengan membawa rasa kecewa. Ada rasa sedih pula karena ia tak seperti teman-temannya yang bisa menghabiskan masa liburan bersama keluarganya. Bahkan untuk merayakan natal bersama pamannya saja ia tidak bisa.
“Kenapa aku harus bernasib malang seperti ini? Dulu alu masih bisa menghabiskan masa liburan bersama papi,mami,dan juga Om Samuel. Kalau sekedar untuk berlibur natal mereka selalu menyempatkan waktu untukku. Tapi sekarang, aku selalu sendiri. Om Samuel tak memperdulikanku lagi. Rasanya aku ingin terlahir kembali saja agar aku bisa seperti mereka yang memiliki keluarga yang selalu mempunyai waktu untuknya,” gumam Thomas sambil terus berjalan pulang.
Rasa kesepian terus menghampiri hidup Thomas. Setiap hari ia selalu mencari cara untuk mengobati rasa sepinya itu. Ia terus mencari teman yang bisa ia ajak bermain. Ia memang menemukannya. Tapi itu tidak cukup baginya. Ia terus merasa kesepian. Karena baginya kebahagiaan sejatinya ada di rumahnya sendiri.
Suatu hari, Thomas berjalan jauh tanpa arah. Seperti kehilangan akal sehatnya, ia terus berjalan tanpa mengenal tempat yang telah ia lalui. Beberapa anak yang menjadi teman sepermainannya memanggilnya dan bertanya kepadanya kemana ia akan pergi. Namun pandangan matanya tetap kosong. Tidak ada jawaban apapun darinya.
Thomas tersadarkan dari lamunan panjangnya ketika ia tiba di sebuah rumah yang besar. Rumah itu dijaga oleh dua orang satpam yang bertubuh besar. Di atas gerbang rumah itu bertuliskan ”Panti Asuhan Kasih Ibu”. Thomas menolehkan kepalanya ke sana kemari. Sebuah pertanyaan besar selalu muncul dalam hatinya. Bagaimana ia bisa sampai di tempat yang begitu jauh ini?
Thomas berjalan ke arah sebuah panti asuhan yamg baru saja ditemuinya itu. Kemudian ia menanyakan kepada para satpam tentang alamat rumahnya agar ia dapat kembali pulang. Tapi setelah mendapatkan jawabannya, ia malah disuruh untuk beristirahat terlebih dahulu. Kedua satpam itu berencana untuk mencari seseorang yang akan mengantarkannya pulang.
Setelah dipersilahkan masuk,pengurus panti memberinya makanan dan minuman. Karena masih terlalu lelah, Thomas tak ingin pulang terlebih dahulu. Beberapa dari anak-anak panti mengajaknya bermain. Maka Thomas pun menerima ajakan mereka itu dan menikmati permainannya. Thomas terlarut dalam permainannya sendiri hingga ia melupakan waktu. Kebahagiaan yang teramat sangat seperti itu belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Bu, panti asuhan itu tempat anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua kan?” tanya Thomas pada pengurus panti setelah selesai bermain.
“Iya, kamu memang benar. Ini adalah tempat mengasuh anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua. Agar mereka tetap ada yang mengurus dan mendapatkan kebahagiaan keluarga. Walaupun kami bukan keluarga asli, tapi setidaknya mereka tidak hidup terlantar di jalanan,” jawab Sang pengasuh dengan penuh kelembutan.
“Kalau begitu saya ingin tinggal disini saja. Orang tua saya sudah meninggal sejak satu tahun yang lalu bu. Usiaku masih delapan tahun.Jadi saya masih sangat membutuhkan kasih sayang orang tua.”
“Apa? Kamu sudah tidak memiliki orang tua? Lalu selama satu tahun ini kamu tinggal bersama siapa?" tanya pengurus panti dengan sangat terkejut
“Setelah kedua orang tua saya meninggal karena kecelakaan, saya diasuh oleh pamanku. Tapi paman saya sibuk dan tak pernah di rumah. Jadi saya seperti tidak memiliki orang tua. Bolehkan bu saya tinggal disini?”
“Hmm...Tapi nak, kamu masih memiliki seorang paman. Pamanmu pasti akan mencarimu jika dia pulang nanti. Jadi, sekarang kamu menginap dahulu di panti ini ya. Karena hari sudah malam. Besok pagi ibu sendiri yang akan mengantarmu pulang.”
“Tapi bu...”
Pengurus panti membawa Thomas ke salah satu kamar yang masih memiliki tempat untuk tidur Thomas. Selama berjalan menuju kamar, Thomas terus meminta kepada sang pengasuh agar mengizinkannya untuk tinggal di panti asuhan tersebut. Namun pengurus panti itu tetap tak memberinya izin walau ia terus meminta hingga mengeluarkan air mata.
Sementara itu, di tempat lain Samuel sangat kecewa dengan sikap kliennya yang membatalkan kontrak kerja dengannya. Amarahnya tak tertahankan lagi saat pria tua tersebut benar-benar membatalkan niat kerja samanya dengan Samuel. Ia terus memaksa sang klien untuk tetap pada niat awalnya. Bekerja sama dengannya untuk mengembangkan bisnis mereka.
“Tidak bisa seperti itu pak. Bapak tidak bisa membatalkan kerja sama ini. Saya bisa rugi besar karena sikap bapak ini. Kalau tahu seperti ini,saya akan bekerja sama dengan perusahaan lain saja. Saya sudah menyempatkan waktu saya untuk bapak. Bapak ini membuang waktu saya saja,” protes Samuel.
“Iya, saya mengerti. Tapi besok kan hari natal. Saya akan mengambil cuti beberapa hari untuk merayakan natal bersama keluarga saya. Malam ini saya akan pergi ke rumah anak saya. Cucu-cucu saya pasti sudah menunggu saya untuk membuat pohon natal bersama. Kalau begitu, saya permisi. Dan sekali lagi, saya mohon maaf,” jawab pria tua tersebut.
Pria tua tersebut pergi meninggalkan Samuel seorang diri. Samuel terus melihat langkah pria tersebut hingga ia keluar dari kafe tempat mereka berbincang. Kemudian ia mengepalkan kedua tangannya sambil mengangkatnya ke atas. Lalu ia menurunkannya kembali.
“Memangnya apa pentingnya natal itu? Hingga ia langsung membatalkan perjanjian begitu saja. Aku kehilangan kesempatan untuk membuat usahaku maju pesat,”gumam Samuel dengan ekspresi marah.
“Dia memang benar. Dia rela meninggalkan pekerjaannya dan kehilangan kesempatan emas untuk mengembangkan bisnisnya demi merayakan natal bersama keluarga. Seharusnya kamu mengikutinya.Apa kamu tidak mau merayakan natal bersama keluargamu, anak muda?” tutur pendeta yang tiba-tiba muncul di hadapan Samuel.
“Pendeta? Darimana anda datang?” tanya Samuel dengan raut wajab terkejut.
“Tidak usah bertanya darimana aku datang. Yang penting sekarang kamu pulang saja dan nikmati hari natalmu bersama keluargamu di rumah,” lanjut pendeta tersebut.
“Tidak. Aku tidak memiliki keluarga.Orang tua dan kakakku sudah meninggal sejak lama. Hanya ada keponakanku yang masih berusia delapan tahun di rumah. Di rumah bersamanya hanya membuat kesal saja. Karena dia anak yang sangat nakal.”
“Justru kau harus menemaninya karena dia masih sangat kecil. Walaupun dia anak yang nakal. Dia pasti sangat membutuhkan kehadiranmu sekarang. Pulanglah nak!”
Setelah menyelesaikan pembicaraannya dengan Samuel,pendeta tersebut langsung menghilang begitu saja dari tempat yang dipijaknya. Samuel pun menjadi terkejut. Ia merasa bahwa suara yang baru saja didengarnya adalah suara hatinya. Setiap ucapan dari sang pendeta masih terngiang di telinga Samuel. Hatinya seketika menjadi gelisah karena terus teringat akan kata-kata yang diucapkan oleh sang pendeta.
Tak ingin berfikir lebih panjang lagi,Samuel segera pulang ke rumahnya di Jakarta. Selain itu, kontrak kerjanya di Surabaya telah selesai. Ia tak punya pilihan lain selain kembali ke rumah untuk sementara waktu. Walau hatinya masih ingin mencari klien lagi untuk urusan bisnisnya.
Setelah tiba di rumah, Samuel menerima laporan dari asisten rumah tangganya tentang kabar hilangnya Thomas dari rumah. Mendengar laporan tersebut, amarah yang telah dibawa Samuel dari Surabaya semakin bertambah. Ia melampiaskan amarahnya pada asisten rumah tangganya yang sebenarnya berniat untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di rumahnya. Akan tetapi, Samuel tak memperdulikannya. Hatinya sudah panas sejak masih berada di Surabaya.
“Bibi ini becus atau tidak menjaga Thomas? Kenapa Thomas bisa menghilang? Apa kalian tidak menjaganya dengan baik? Dan apa kalian tidak mencarinya setelah dia tidak pulang pada sore hari? Saya tidak mau tahu. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Thomas, saya tidak akan memberi gaji kalian bulan ini,” bentak Samuel pada sang asisten rumah tangga.
Wanita tua itu terus menunduk. Tubuhnya gemetaran. Ingin ia menceritakan hal yang sebenarnya terjadi di rumah itu, namun kemarahan tuannya membuatnya menjadi sangat ketakutan. Ia menjadi serba salah. Tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Samuel meletakkan tangan kanannya di dahinya karena kebingungan mencari keberadaan Thomas. Tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya datang di hadapannya. Tangan kanan tersebut dipegang dengan erat oleh seorang anak laki-laki yang terus memintanya untuk kembali ke tempat semula. Samuel menolehkan wajahnya pada orang yang mengucapkan salam padanya.
Samuel langsung memeluk anak laki-laki yang datang bersama wanita paruh baya tersebut. Kemudian ia melipat kedua tangannya pada wanita yang berdiri di hadapannya sambil mengucapkan terima kasih.
“Saya tidak tahu bagaimana nasib keponakan saya jika anda tidak menyelamatkannya. Tapi, bagaimana dia bisa bersama anda? Bukankah anda pengurus panti itu? Saya sering menyumbang disana,” ucap Samuel.
“Iya benar, saya adalah pengurus Panti Asuhan Kasih Ibu. Thomas sempat tersesat kemarin. Dia juga sempat tinggal di tempat kami karena hari itu sudah sore. Jadi kami tidak langsung mengantarnya pulang. Dan dia juga menyukai hidup di panti asuhan. Saya bersusah payah untuk mengajaknya pulang,” jawab wanita itu.
“Apa? Kenapa seperti itu?” tamya Samuel seolah tak percaya.
“Rasanya aku ingin terlahir kembali saja, om. Walau hanya sebagai seorang anak panti, setidaknya aku bisa mempunyai sebuah keluarga yang terus ada untukku,” sahut Thomas yang berdiri di samping Samuel.
Samuel menghela nafas sejenak. Kemudian ia memegang kedua pundak Thomas. Sambil memandang wajahnya ia berkata, ”Thomas, dengarkan om. Kita tidak perlu terlahir kembali hanya untuk membuat hidup kita bahagia. Kita bisa memperbaiki kesalahan kita dan menjadikan hidup kita menjadi lebih baik. Om berjanji padamu bahwa om tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Sesibuk apapun, om akan selalu ada untukmu. Sekarang mari kita merayakan natal bersama seperti biasanya.”
“Iya om,” jawab Thomas dengan wajah tertunduk.