Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Aku Ingin Nenek Menjadi Hantu
0
Suka
42
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku tidak pernah menyesal memiliki ayah seperti ayahku. Meski aku kesal melihat bagaimana ayah menelantarkan ibu seperti kucing jantan yang meninggalkan si betina setelah berhasil mengawininya membuatku tumbuh dalam keadaan alergi kepada ayahku sendiri. Konon kata orang, ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Namun, jika memberi kasih yang cukup untuk ibu saja ayah tidak mampu, apalagi menjadi cinta pertamaku? meninggalkan si betina setelah berhasil mengawininya. Aku membenci ayah, namun aku masih menaruh rasa hormat kepada ayah, karena bagaimanapun, dia anak dari nenekku, jika dia bukan anak nenek, maka tidak akan sudi aku mencium tangannya setiap berangkat sekolah.

Menginjak bangku sekolah dasar, aku lebih dekat dengan bibi yang merawatku dibanding kedua orangtuaku. Setiap pulang sekolah, aku diantar ke rumah nenek. Disana, nenek menimangku bagai timun emas, memberiku kasih yang tidak pernah aku dapatkan dari anaknya, kemudian membuatku berpikir bahwa satu-satunya hal yang patut disyukuri dari pernikahan ibu dengan ayah adalah ibu mendapatkan mertua sebaik nenek. Bersama mertua lain, mungkin ibu akan disemprot habis-habisan karena dianggap menelantarkanku demi pekerjaan, meski kenyataannya ibu tidak seharusnya berangkat pagi pulang sore jika ayah cukup mampu mempertanggungjawabkan gelar ‘ayah’ yang dia miliki.

“Ara mau makan apa? Sini nenek suapin”. Begitulah kalimat pertama yang selalu aku terima ketika baru menyentuh lantai teras rumah nenek.

Kemudian, seperti sedang kerasukan arwah Malin Kundang, aku selalu menjawab nenek dengan ketus. “Ara nggak laper nek. Kenapa sih nenek selalu suruh-suruh Ara makan terus? Ara capek ngunyah nek, Ara nggak suka makan, gigi Ara pegel”.

Meski begitu, nenek tetap seperti secangkir teh di pagi hari ketika berbicara denganku, begitu hangat dan menenangkan. “Kalau tidak berselera dengan masakan nenek, pergi beli makanan yang Ara inginkan, ini ambil tapi jangan beritahu ibu dan ayah yaa” ucap nenek sembari mengeluarkan selembar kertas berwarna merah dengan lukisan wajah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta.

“Uang Ara masih banyak nek, ibu setiap hari memberi Ara uang yang cukup kok, bahkan masih ada sisanya yang bisa Ara tabung” jawabku, tentunya masih menjawab nenek dengan ketus, seolah nenek adalah samsak pelampiasan atas kekesalan yang tidak bisa aku utarakan langsung kepada putranya.

“Tidak apa-apa Ara, kamu ambil saja sebagai tambahan tabunganmu, nenek akan sedih jika satu-satunya cucu perempuan nenek menolak pemberian nenek”. Seperti biasa nenek selalu memiliki cara yang tepat untuk membuatku luluh terhadap perkataannya.

Aku mendekati nenek yang sedang duduk di kursi kayu jati kesayangannya, menerima pemberian yang seharusnya aku dapatkan dari anak laki-lakinya. “Terima kasih yaa nek, Ara mau nonton Tv dulu kalau begitu” ucapku kemudian berlalu meninggalkan nenek ke arah Tv berada.

“Nanti kalau lapar langsung panggil nenek yaa sayang, nenek sudah buatkan bubur ketan hitam kesukaan kamu, lengkap dengan santan hangat sebagai kaldunya,” kata nenek, begitu perhatian.

Rutinitas seperti itu berulang setiap hari, pulang sekolah aku diantar ke rumah nenek, lalu sore harinya aku akan dijemput dan diambil alih oleh ibu. Ketika menjemputku, ibu selalu menyempatkan berbincang dengan nenek, namun aku tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan, jika bertanya, salah satu dari mereka akan menganggapku masih terlalu kecil untuk memahami topik pembicaraan mereka. Meski dianggap terlalu kecil, namun di usia yang masih menginjak bangku kelas 6 SD, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa jika menikah kelak, aku tidak akan menikahi pria seperti ayah.

Setelah ujian kelulusan, aku dimasukan ke sekolah asrama. Kata ibu, di sana aku akan diajari lebih banyak tentang bagaimana menjadi remaja yang baik. Memasuki bulan pertama di asrama, aku merindukan kasur rumah, kasur disini terlalu kecil dan tipis, kemudian aku juga merindukan sensasi mandi menggunakan shower di kamar mandi rumah, disini hanya bisa menggunakan gayung, ah, mengapa semuanya begitu terbatas disini, bahkan membawa handphone saja tidak boleh, memuakkan sekali, batinku.

Setelah satu tahun berlalu, aku menyadari keterbatasan itu justru menjadi jalan kebebasan yang aku impikan selama ini. Sejak tinggal di asrama, aku terbebas dari peperangan sengit sepasang suami-istri yang sudah tidak tau lagi bagaimana caranya menjadi pasangan, aku menikmati hari demi hari di asrama tanpa perlu melihat ayah dan ibu berperang. Terkadang aku bingung, dari sekian banyak mantan pacarnya, mengapa ibu harus memilih ayah? Kenapa dia rela membuang seorang dokter, tentara, pengusaha gerabah, bahkan bos toko emas hanya demi seonggok pria agamis dengan balutan peci –yang menurutku hanya meminjam agama demi terlihat baik di depan masyarakat dengan mayoritas umat islam ini. Cih, katanya paham agama, tapi cara mengayomi istri saja tidak tau, ucapku dalam hati.

“Jadi kapan kamu bisa pulang Ara? Nenek sudah 4 hari di rumah sakit dan kamu belum mau pulang menjenguk nenek?” ucap ibu dari balik gawai.

“Iyaa bu, astaga ibu cerewet sekali setiap menelpon selalu menyuruh pulang, lagian nanggung banget kalau Ara izin hari ini, masih ada sisa ujian dua mata pelajaran lagi, bilang sama nenek tunggu selesai ujian pasti Ara pulang menemui nenek” jawabku tegas, namun sepertinya lagi-lagi lebih seperti sedang kerasukan arwah Malin Kundang.

Ibu seakan sudah menyerah dengan prinsipku yang tidak pernah mau diganggu ketika berurusan dengan kepentingan akademik, sebagai seorang ibu, dia juga sadar bahwa aku selalu ingin melakukan segalanya dengan maksimal.

“Baiklah kalau begitu jangan lupa menelpon di hari terakhir ujian, dan jangan lupa lapor kepada pengurus asrama agar lekas mendapat izin menjenguk nenek. Satu lagi Ara, perlu kamu ingat, satu keluarga besar tau kalau kamu cucu kesayangan nenek, jadi jangan buat dirimu terlihat seperti cucu yang tidak tau diri, jangan ikuti jejak ayahmu” tutur ibu dengan nada tajam seperti ujung anak panah setelah diasah.

“Iyaa bu, waktu telponnya mau habis nih, Ara pamit yaa assalamualaikum” ucapku mengakhiri telpon, berusaha terlihat lemah lembut seperti Putri Cinderella guna menghangatkan hati ibu yang selalu membara karena perilaku sialan ayah.

Dua hari terakhir aku belajar dengan giat, seperti berada dalam pacuan kuda, aku harus mempertahankan posisi tiga besarku, aku selalu berpikir tidak ada gunanya menjadi cucu kesayangan nenek kalau aku tidak bisa membanggakannya.

Pukul 11.30 siang aku keluar dari ruang ujian dengan binar wajah yang puas, seakan begitu yakin bahwa hasilnya pasti memuaskan. Tadi pagi aku sudah izin ke pengurus asrama bahwa siang ini aku akan pulang menjenguk nenek, langkahku hari ini begitu ringan menuju dapur untuk makan siang. Setelah makan siang, aku berencana untuk menelpon ibu agar segera menjemputku ke asrama, namun belum sampai suapan ketiga, namaku sudah dipanggil di microphone asrama. Aku buru-buru menyelesaikan makan siangku, tentunya dibarengi dengan ekspresi bingung teman-teman asrama karena tidak biasanya aku dijenguk selain di hari penjengukan.

Sesampainya di gerbang utama, tepatnya gerbang pembatas antara gedung tempat tidur asrama dengan lapangan asrama, aku menjadi semakin kebingungan, mengapa tiba-tiba bibi yang datang menjemputku ke asrama? Mengapa bukan ibu? Bukankah seharusnya ibu, batinku

“Ara sudah selesai kan ujian semua mata pelajarannya?” tanya bibi, datar.

“Iyaa sudah, ini Ara mau telepon ibu minta jemput, tapi sepertinya ibu sudah minta tolong ke bibi yaa untuk jemput Ara, kalau begitu Ara ambil tas dulu yaa ke kamar” jawabku tanpa berpikir macam-macam.

Sesampainya di kamar, aku hanya memasukkan dua setelan pakaian saja ke dalam tas backpack. Ah paling juga aku di rumah cuma sehari, lagian kan cuma pulang jenguk nenek saja, cih kalau bukan karena nenek juga aku sangat malas melihat wajah ayah, nyinyirku dalam hati.

Diperjalanan pulang, aku bingung kenapa bibi membisu bagai patung, biasanya bibi selalu cerewet seperti ibu.

Aku memberanikan diri bertanya “bibi kenapa diam terus dari tadi?” tanyaku.

Satu detik, dua detik, hampir satu menit aku menunggu bibi menjawab, namun ia tetap fokus menyetir sampai aku melihat ada yang mengganjal, bibi menangis. Melihat bibi menangis, aku terus menghujani bibi dengan pertanyaan serupa, aku tau pasti ada sesuatu yang terjadi, tapi kenapa bibi tidak kunjung membuka mulut. Aku lelah menunggu bibi membuka mulut, akhirnya aku menyerah dan memilih memanjakan mataku dengan membaca novel.

Mobil berhenti di depan rumah nenek, membuatku bingung dan membatin, kenapa kita tidak ke rumah sakit, apakah nenek sudah tidak dirawat inap lagi.

Aku masih mencoba berpikir positif, hingga akhirnya aku disadarkan oleh sekumpulan manusia dengan balutan pakaian serba hitam yang tiba-tiba menghampiriku, salah satu dari mereka tiba-tiba mengelus kepalaku dengan lembut, seraya berkata “akhirnya cucu kesayangan almarhumah pulang juga, kamu sudah menemui nenekmu? Jangan lupa cium keningnya untuk yang terakhir kalinya ya nak”.

Aku termangu dalam pijakanku, badanku bergetar hebat, bulir hangat itu perlahan jatuh mengaliri wajahku, lalu salah satu dari mereka kembali menyapaku, “Astaga Ara hapus dulu air matanya nak, jangan sampai air matamu jatuh ketika mencium kening nenekmu, nanti beliau bisa kesakitan”.

Seolah separuh dari organ tubuhku telah dicuri, dirampas secara paksa hingga menyisakan organ yang tidak berfungsi dengan baik saja. Aku terjatuh, sungguh lemah dan lunglai, dengan langkah gontai aku tertatih menghampiri nenek yang sudah dingin, bahkan untuk menyesal saja rasanya aku tidak berhak, desisku dalam hati.

Aku menatap ibu yang tengah nanar, wajahnya begitu sembab ditelan tangis, seakan sudah kehilangan satu-satunya alasan untuk bertahan bersama ayah.

Ibu mendekapku erat, kemudian berbisik lirih “Ara, ayo sayang cium nenek untuk yang terakhir kalinya, nenek udah capek nungguin kamu dari kemarin, kamu tau perkataan nenek sebelum pulang? Jaga Ara baik-baik, dia anak yang cerdas”.

Beberapa tahun berlalu setelah kepergian nenek, hidupku menjadi semakin kosong, bahkan ketika menginjak bangku perguruan tinggi, aku masih belum bisa melepaskan rasa bersalahku kepada nenek, aku seakan dikutuk untuk jatuh ke dalam jurang penyesalan yang tidak tau dimana dasarnya.

Keadaan ayah dan ibuku juga semakin tidak terkendali, ayah berlindung dibalik kalimat ‘menjadi ustadz harus dipenuhi dengan rasa ikhlas’, sementara ibu mengimani kehidupan harus berlandaskan logika bahwa memberi fasilitas terbaik untuk anak juga membutuhkan materi yang tidak sedikit. Bukannya aku menentang ayah sebagai orang yang agamis, hanya saja bahkan pergi haji saja kita butuh tabungan puluhan juta bukan?

Kini, ketika ibu dan ayah kembali berperang, aku tidak tau lagi harus pulang ke mana, jika dulu biasanya aku melarikan diri ke rumah nenek, sekarang bahkan nenek tidak pernah mengunjungiku barang satu kali lewat mimpi, ah apakah nenek marah aku terlambat menjenguknya? Aku tidak tahu. Terkadang aku berkhayal menginginkan nenek menjadi hantu saja, agar ia bisa mengunjungiku kapan saja, agar aku kembali merasakan kehangatannya ditengah riuhnya gemuruh yang disebabkan oleh anak laki-lakinya.

Karena semua yang kau cinta akan pergi

Maka tunjukkan cintamu sebelum terlambat

Kita selalu pikir kita punya waktu

Lalu kita pilih untuk nanti dulu

Lagu karya Nosstress itu kembali memenuhi sudut kamarku, membuatku termangu dalam dekapanku sendiri, dan tentu saja, masih dengan perasaan penuh dosa karena telah menukar nenek demi peringkat tiga besar di sekolah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Aku Ingin Nenek Menjadi Hantu
tis'ata adhia
Cerpen
Polwan cita-cita ku
Nesya Nurbaeyinah
Cerpen
Bronze
Tertawan Mimpi
Sarah Teplaka
Cerpen
Bronze
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
MENUJU JALAN SETAPAK
Septia Arya Nugraha
Cerpen
Bronze
Perjuangan Menggapai Mimpi di Tengah Cobaan
Azhar Ainun Hidayat
Cerpen
Langkah yang Tak Seirama
Riadatun Hasanah
Cerpen
Bronze
Pertemuan Semesta
Vania Putri
Cerpen
Kompas
Hai Ra
Cerpen
Bolehkah Aku Hidup Di Belakang Gigimu?
Sabrina Sabila Dwi Hikmah
Cerpen
Mencari Konsep Sabar
Dhawy Febrianti
Cerpen
Bronze
Berjalan Menuju Merdeka
ardhirahma
Cerpen
Bronze
Bukan Babi Ngepet
Jasma Ryadi
Cerpen
Langkah baru di ujung jalan
vilah sari
Cerpen
Nighty Night Tea
Fann Ardian
Rekomendasi
Cerpen
Aku Ingin Nenek Menjadi Hantu
tis'ata adhia