Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Mampus pusing!”
Jordan memukuli kepalanya yang berbalut helm berkali-kali sambil terus merutuki kebodohannya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga, meskipun kepalanya terasa berat dan pandangannya mulai mengabur. Mati-matian pemuda itu mencoba menstabilkan laju motornya. Sayang rasa pening di kepalanya tidak membantu sama sekali.
Salahkan saja ulah bodoh Jordan malam ini. Perkara sakit hati putus dengan pacarnya yang cantik, pemuda bernama lengkap Jordan Aprilio itu memutuskan untuk minum-minum. Dengan dalih ingin menghilangkan sakit hati, ia malah meneguk minuman beralkohol hingga habis setengah botol. Padahal, kadar toleransinya tidak begitu tinggi. Lihat akibatnya sekarang! Ia seperti zombie.
Sedikit Jordan menyesali perbuatannya. Seharusnya ia tidak ambil pusing dengan keputusan sepihak pacar—sekarang mantan—cantiknya itu. Seharusnya ia tetap tenang dan mencoba mengalihkan perhatiannya dengan pekerjaan kantor. Seharusnya ia tidak minum-minum. Kalau sekarang ia mati dalam kecelakaan karena kesadarannya yang makin menipis, bukankah itu akan membuatnya semakin menyedihkan?
Tuhan, kenapa Jordan sebodoh ini?
Untungnya, beberapa menit kemudian Jordan berhasil menghentikan motornya tepat di depan rumah berpagar hitam. Dengan langkah sempoyongan, pemuda berambut hitam legam itu berhasil membuka pagar rumah dan menuntun masuk motor kerennya. Namun, begitu ia memarkirkan motor dan mencoba menutup pagar, kesadarannya semakin menghilang dengan cepat. Dan hanya dalam hitungan detik, tubuh kekarnya ambruk ke tanah. Sayup-sayup dapat didengarnya suara asing yang memanggilnya. Tidak sempat menyahut apalagi melihat wajah seseorang tersebut, mata Jordan akhirnya tertutup rapat.
✦✧
“Kok gak bangun-bangun ya?”
“Cipratin lagi lah airnya! Kurang banyak itu!”
“Siram sekalian nih?”
“Iya dah kalau perlu.”
Terdengar bising suara-suara yang familiar di telinga Jordan. Dengan keadaan kepala yang masih sedikit pusing, pemuda itu memaksa dirinya membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah teman-teman satu kontrakannya yang menatapnya dengan ekspresi lega.
“Akhirnya bangun juga!”
“Alhamdulillah!”
“Eh, kamu ‘kan kristen!”
Jordan mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba membiasakan netranya pada cahaya sekitar. Setelah pandangannya mulai jelas, diperhatikannya satu persatu tiga teman ngontraknya yang kini berdiri mengelilingi dirinya di ranjang. Di sebelah kiri Jordan, ada Haekal si rambut ikal yang membawa baskom. Di samping Haekal ada Jendra si mata empat. Terakhir, ada Rendy si koko-koko yang kini menatapnya dengan pandangan malas.
“Sudah bangun ‘kan? Sekarang sarapan! Ayo dah turun semua ke ruang makan!” perintah Rendy sebelum akhirnya meninggalkan kamar kecil bernuansa serba hitam-putih tersebut—kamar Jordan.
“Hadeh, marah-marah dah tuh si koko,” gumam Jendra sambil melirik kepergian Rendy. “Eh kamu juga ya, Jor! Ngerepotin satu rumah malem-malem aja! Bikin kita malu sama tetangga!” lanjutnya yang kini mengomel pada Jordan yang masih berusaha mengumpulkan nyawa.
Jordan kembali mengerjapkan matanya. “Hah? Kenapa memangnya?” tanyanya.
“Mampus gak inget!” sahut Haekal. Sejenak pemuda itu meletakkan baskom di atas nakas, lalu kembali membuka mulut dengan penuh kekesalan. “Semalem kamu pulang dalam keadaan mabuk parah. Mana pakai acara ambruk di depan pagar lagi! Coba tebak siapa yang bantuin kamu pertama kali?”
Jordan menggeleng. “Rendy?” tebaknya asal.
“Bukan!” pekik Haekal. “Sheila yang bantuin kamu!”
“Hah? Sheila siapa?” tanya Jordan. “Pacarnya kalian?” tanyanya lagi sambil menatap penuh selidik.
“Mampus goblok!” gumam Jendra sambil menepuk dahi. Ia berdehem sejenak sebelum menjelaskan, “Sheila tetangga sebelah, rumah blok H nomor 5. Pas banget dia baru dateng langsung lihat kamu jatuh nggak berdaya bak bidadari kehilangan sayap. Alias, elo drama abis!”
“Hah…”
“Turun dulu aja, Jor! Kita jelasin di bawah sambil makan, oke? Kasian, orang mabuk harus makan,” ujar Haekal sambil membantu Jordan berdiri dari posisi tidurnya. Jordan yang dibantu juga menurut saja. Lagipula, diajak ngobrol dalam keadaan seperti sekarang ini juga tidak membantunya. Lebih baik mengisi perut dulu supaya otaknya dapat bekerja kembali.
✦✧
Mampus, batin Jordan. Ia menatap ketiga temannya dengan pandangan panik, seolah-olah memohon pertolongan. Namun, ketiganya tampak sepakat untuk bodoamat dengan apa yang menimpa Jordan semalam. Bahkan ekspresi wajah mereka serempak menunjukkan ekspresi yang seolah-olah mereka berkata, “Pikir saja sendiri!”
Jadi, yang terjadi semalam setelah Jordan ambruk ke tanah adalah datang seorang perempuan cantik menghampiri tubuh tidak berdaya Jordan dengan penuh kepanikan. Perempuan itu namanya Sheila. Ia sempat mencoba mengangkat—lebih tepatnya menyeret—tubuh kekar Jordan, namun gagal karena kalah besar. Akhirnya, perempuan dengan rambut lurus hitam itu menggedor pintu depan rumah kontrakan Jordan untuk membangunkan penghuni lainnya.
Kata Jendra, laki-laki itulah yang pertama keluar dan menyambut Sheila karena kebetulan masih terjaga. Sambil terus merutuki kebodohan teman serumahnya, Jendra akhirnya menggendong tubuh Jordan hingga menempatkannya di kamar. Lucunya, setelah Jordan diambil alih oleh Jendra, Sheila tidak langsung kembali ke rumahnya. Gadis itu malah pergi ke dapur dan menyiapkan sup pengar untuk dinikmati Jordan pagi harinya.
“Eh, tapi serius,” kata Jordan dengan wajah kebingungan, “Sheila beneran tetangga kita di rumah sebelah? Bukannya rumah itu anaknya cuma dua ya, itu pun cowok-cowok semua ‘kan.”
“Beneran, Jordan,” jawab Rendy. “Sheila itu anaknya Pak Mares, rumah blok H nomor 5. Anaknya ada tiga, yang sulung itu ya si Sheila, anak tengah sama anak bungsunya ya dua yang kita kenal itu, yang masih pada kuliah.”
“Sheila baru pulang ke Indonesia beberapa hari yang lalu. Ada empat harian deh kayaknya. Dia baru kelar S2 di Inggris,” jelas Jendra. “Makanya, kamu tuh jangan bangun telat terus pulang malam! Jadi nggak pernah ketemu sama Sheila ‘kan.”
Jordan mengerucutkan bibirnya tanda kecewa. Ternyata hanya dia saja yang belum pernah bertemu dengan tetangga barunya itu. Tampaknya teman-temannya juga sudah lumayan akrab dengan si Sheila.
Haekal menyeruput supnya sampai habis. Pemuda berambut ikal itu berdecak kagum. Ia menatap teman-temannya bergantian sambil berkata, “Sheila ini cantik, pintar masak juga ya! Gila! Rasa supnya ini enak banget, lho. Jendra sama Rendy mah kalah sama dia.”
Rendy memutar bola matanya lalu menjawab, “Jelas, dia ‘kan sempat tinggal di luar negeri sendirian. Dia pasti belajar masak di sana. Mana dia juga cewek, tangan-tangan cewek tuh ajaib kalau sudah pernah belajar masak!”
“Lebih keren lagi, Sheila masakin sup ini malam-malam. Dan ini bukan buat dia, tapi buat kita! Dia punya effort lebih ya,” puji Jendra.
Jordan diam mendengarkan tuturan demi tuturan oleh ketiga teman serumahnya. Berbagai pujian dilemparkan oleh mereka, membuat Jordan menjadi semakin penasaran dengan sosok Sheila, apalagi ia tidak ingat sedikit pun dengan kejadian saat ia jatuh semalam. Sebenarnya, seperti apa parasnya? Bagaimana suaranya? Kenapa teman-temannya itu terus memuji Sheila? Sehebat itu kah dirinya?
Ah, tapi Jordan bisa apa? Dirinya cukup yakin kalau Sheila punya impresi pertama yang buruk kepadanya. Pertama kali bertemu sudah bikin ulah, mabuk-mabukan sampai ambruk. Tidak mungkin Sheila tidak memiliki perasaan jijik terhadapnya. Sepertinya Jordan harus menghindari bertemu dengan tetangga barunya itu sampai semingguan.
Sayangnya, Dewi Fortuna tidak berpihak kepada Jordan dan harapannya. Baru beberapa jam setelah Jordan memutuskan untuk menghindari Sheila, pemuda itu malah dipertemukan kembali dengan si gadis tetangga. Kali ini pertemuan mereka dikarenakan Jordan yang sibuk mencuci motor tidak sengaja bertemu mata dengan Sheila yang baru turun dari mobil.
Aduh! Kok malah bertemu sih…
“Eh, Masnya yang kemarin ya?” sapa Sheila sambil membenarkan ikatan rambutnya. “How are you feeling today? Feels better?” tanya gadis itu tak lupa dengan senyumannya.
Wih, aksennya bagus banget, batin Jordan. Sepintas ia bertanya-tanya, sudah berapa tahun Sheila tinggal di Inggris. Namun, ia urungkan niatan tersebut agar tidak membuat keadaan semakin lebih buruk.
“Good. Much better than yesterday. Makasih sup pengarnya, ya. Teman-teman semua suka sama makanan kamu,” jawab Jordan diikuti sedikit pujian. Entah mengapa mulutnya dengan lancar menjawab demikian. Padahal, niat Jordan hanya menjawab dengan singkat agar ia bisa segera kembali masuk ke dalam rumah. “Oh iya. Saya mau ngucapin terima kasih juga buat bantuanmu semalam. Maaf ya merepotkan,” lanjutnya.
Sheila menggeleng pelan, masih dengan senyuman manis yang terpasang di wajah cantiknya. “Nggak masalah, Mas. Saya malah senang bisa membantu. Apalagi semalam Masnya kayak wasted banget. Lagi banyak masalah ya?”
Jordan tersenyum kecut. Ia jadi kembali teringat kalimat menyakitkan yang dilontarkan mantan pacarnya semalam. Bak kaset rusak, kalimat-kalimat itu terus berputar di kepalanya. Lagi-lagi Jordan jadi merasa sedih.
“Hehehe, iya Mbak. Tapi gak pa-pa, kok. Saya sudah mendingan sekarang.”
“Semangat ya, Mas! Hidup memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi saya percaya Masnya bisa bertahan dan hadapi semua masalah.”
Oh? Jordan sedikit tercekat dengan ucapan Sheila. Entah mengapa, ucapannya seperti menjadi sebuah tamparan yang cukup keras. Padahal kalimat itu terdengar biasa saja, lho. Apakah karena dirinya memang sedang susah-susahnya, jadi mendengar ucapan penyemangat sederhana sudah membuatnya emosional?
“Terima kasih, err… Mbak Sheila ya?”
Senyuman di wajah Sheila semakin merekah. Dengan penuh semangat, gadis itu segera menjawab, “Iya, nama saya Sheila, Sheila Almares. Senang bisa berkenalan dengan kamu, Mas…?”
“Jordan,” jawab Jordan dengan cepat. “Nama saya Jordan Aprilio. Salam kenal ya, Mbak.”
Keduanya pun saling berjabat tangan sebelum akhirnya kembali masuk ke rumah masing-masing. Bodohnya, Jordan lupa kalau ia belum selesai mencuci motor.
✦✧
Beberapa hari telah berlalu setelah kejadian mabuk-mabukannya Jordan. Sejak saat itu, Jordan jadi semakin sering bertemu dengan Sheila. Jordan juga jadi tau banyak mengenai bagaimana kehidupan Sheila dan seperti apa orangnya. Sheila ternyata seusia dengan dirinya dan teman-temannya, yaitu 25 tahun. Gadis itu punya kepribadian ceria meskipun memiliki wajah yang dingin—kalau orang-orang sekarang menyebutnya resting bitch face. Hobi Sheila adalah jalan-jalan, makanya Jordan sering sekali melihat Sheila sedang berada di luar rumah.
Seperti sekarang ini. Jordan sedang makan siang di luar kantor, lebih tepatnya di sebuah restoran makanan Jepang. Jordan tidak sendiri, ia bersama dengan teman-teman satu divisinya. Saat hendak melahap sushi ke dalam mulut, manik kelamnya malah tidak sengaja menemukan sosok gadis berambut hitam itu tengah memasuki area restoran. Dengan berbalut kemeja motif bunga dan rok jeans abu-abu, Sheila tampak begitu cantik di mata Jordan.
Eh, kamu mikir apa sih Jordan?!
Ya, memang tidak salah sih. Sheila memang secantik itu, persis seperti apa yang diutarakan teman-temannya tempo hari. Punya mata cokelat yang cantik, hidung mancung, kulit yang putih ala-ala orang Korea, serta bibir ranum menggemaskan, laki-laki mana yang tidak akan tertarik dengan dia? Jordan saja sangat menganggumi kecantikannya.
Sempat terlintas di kepala Jordan tentang apakah Sheila punya pacar. Karena logikanya, perempuan secantik Sheila tidak mungkin jomblo. Pasti ada banyak laki-laki yang mengantre ingin mendapatkan hatinya! Kalau boleh jujur, Jordan juga ingin mencoba ikut antre. Sayangnya ia tidak punya nyali. Apalagi ia juga baru patah hati karena diputuskan oleh mantan kekasihnya—ralat, seharusnya diselingkuhi. Jadi, tidak heran kalau Jordan juga masih belum siap untuk kembali membangun sebuah hubungan.
Satu lagi yang terpenting! Sheila memangnya mau dengan dirinya? Pertemuan pertama mereka saja sangat memalukan! Mana mungkin Sheila tertarik dengan dirinya? Mentok-mentok kalau sampai cinlok dengan tetangga sendiri, ya paling Sheila maunya dengan Jendra yang punya wajah tampan, mirip-mirip lah dengan Jordan.
“Eh Jor, lihatin apa?”
Sebuah suara membuyarkan lamunan pemuda berwajah tampan itu. Salah seorang teman sekantornya kini menatapnya dengan ekspresi penuh rasa penasaran. Jordan menyadari apa yang dipikirkan oleh temannya itu, lantas memberi gelengan kepala sebagai jawaban, kemudian sedikit ia bergumam, “Bukan apa-apa.”
Teman sekantornya itu lantas tersenyum jenaka, seakan-akan tau kalau Jordan baru saja berbohong. “Perempuan yang di sana ‘kan? Gak kalah cantik sama mantan kamu yang selingkuh itu. Tapi kalau lihat modelnya, sepertinya sudah punya pasangan deh,” katanya sambil sesekali melirik ke arah Sheila yang tengah memesan makanan.
Jordan terdiam. Tuh ‘kan benar intuisinya. Tidak mungkin perempuan seperti Sheila tidak punya pasangan. Meskipun sudah tau, tapi tetap saja ada perasaan kecewa di benak pemuda itu. Sedikit ia berharap, semoga ada perempuan yang bisa menyembuhkan luka hatinya di waktu yang tepat.
✦✧
“Sheila Almares!”
Sheila yang hampir terlelap segera membuka matanya lebar-lebar. Suara berat Papinya itu terdengar jelas di depan pintu kamar, memaksa Sheila untuk bangun. Meskipun dalam keadaan agak sempoyongan, gadis itu tetap berjalan untuk membukakan pintu kamarnya. Di hadapannya kini, berdiri sang Papi sambil memelototi dirinya.
“Kenapa, Pi?” tanya Sheila setengah mengantuk, setengah takut.
Papi tidak langsung menjawab. Ia menatap anak sulungnya lekat-lekat, seolah bermaksud membuat lubang di wajah anaknya yang kebingungan itu. Beberapa detik kemudian, wajah beliau berubah menjadi ceria. Wajah mengerikannya seketika berganti menjadi senyuman jenaka yang kini berhasil membuat Sheila semakin bingung.
“Disuruh Mami anterin makanan ke rumah cowok-cowok di sebelah,” ujar Papi.
“Hah?” Sheila menatap Papinya bingung. Ia menoleh ke jam dinding yang terpasang di kamarnya, kemudian beralih lagi menatap orang di depannya. “Tapi ini jam 10 malam… Nggak sopan banget bertamu ke rumah cowok-cowok malam-malam,” dalihnya. “Lagian, ngapain nganterin makan jam segini?”
“Halah. Kamu ‘kan kapan hari juga bantuin si Jordan malam-malam tuh, yang dia mabuk,” goda Papi. “Ini lho Mami kamu bikin makanan penutup kebanyakan, sisanya kasih aja ke anak-anak di sebelah. Mereka sudah sering dikirimin makanan sama Mami.”
Sheila mengerucutkan bibirnya. “Ya ‘kan aku bantuin orang mabuk, Pi. Kasian tau, masa mau aku biarin tiduran di tanah?” ujarnya kembali beralasan. “Gil aja, atau Jo. Sheila males ah ganti baju, sudah enak pakai piyama gini.”
“Mereka belum pada pulang.”
“Lah, kok bisa?”
“Sheila,” panggil Papi. “Sudah ya, kamu aja. Papi mau tidur. Met bobok anak cantik Papi!”
Sheila menatap sang Papi pergi dengan mulut menganga. Bisa-bisanya ia ditinggal begitu saja? Dan apa tadi kata beliau, mau tidur? Sheila ‘kan juga mau tidur!
Mau tidak mau, akhirnya Sheila turun ke lantai satu. Di dapur sudah menunggu Maminya yang tengah membungkus makanan. Begitu melihat putri sulungnya, beliau segera memberikan barang yang dimaksud.
“Anak cantik, Mami minta tolong ya, hehehe.”
Sheila hanya mengangguk lemas, lantas mengambil alih kantong plastik berisi makanan buatan Mami. Ditatapnya sebentar makanan itu, kemudian ia mulai melangkah keluar rumah. Sayup-sayup sempat ia dengar suara Mami mengucapkan terima kasih, namun gadis itu terlalu malas bersuara, sehingga ia hanya membalas dengan lambaian tangan.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Sheila ingin menghindari salah satu penghuni rumah blok H nomor 4. Yang dimaksudnya adalah Jordan. Alasannya? Sheila juga tidak mengerti, tapi ia merasa jantungnya selalu berdegup kencang tiap melihat pemuda bertubuh kekar itu. Sheila sadar ia sedikit tertarik dengan Jordan, apalagi dia adalah tipe idealnya. Hanya saja, entah mengapa Sheila merasa tidak pantas bersanding dengan Jordan. Apalagi setelah berbagai kesialan yang menimpa dirinya dalam hal percintaan.
Sheila mungkin termasuk salah satu orang yang beruntung dalam meraih prestasi. Buktinya, ia berhasil mendapat beasiswa S2 di Inggris. Di sana juga ia mendapat pekerjaan. Sayangnya, tidak ada manusia yang sempurna. Sheila memang beruntung dalam prestasi, tetapi tidak beruntung dalam urusan percintaan. Terakhir, Sheila sempat memacari salah seorang temannya di kampus Inggris. Sama-sama orang Indonesia, sama-sama peraih beasiswa juga. Hubungan mereka manis, namun hanya berjalan satu tahun saja. Tepat setelah memasuki semester 4 dan pengerjaan tesis, Sheila baru tau kalau pacarnya itu main belakang dengan banyak perempuan. Kecewa dengan hal tersebut, Sheila memutuskan untuk secepat mungkin menuntaskan segala urusannya di Inggris dan kembali ke Indonesia. Ia ingin memperbaiki dirinya, menyembuhkan luka hatinya, dan memulai kembali hidupnya. Dengan satu syarat, ia tidak ingin berhubungan dengan percintaan sampai ia benar-benar yakin. Itulah alasan Sheila mencoba menjauhi Jordan. Pemuda itu membuat tembok di hatinya perlahan luntur.
Sheila menghela napasnya kasar. Ia sudah berdiri di depan pagar rumah blok H nomor 4. Yang perlu dilakukannya sekarang adalah menekan bel, dan membiarkan salah satu penghuni rumah ini untuk keluar mengambil makanan mereka. Sheila benar-benar berharap yang muncul adalah Jendra. Atau Rendy juga boleh. Sepertinya Haekal juga tidak masalah.
“Tunggu sebentar!”
Dieratkannya pegangan tangan Sheila pada kantong plastik. Kakinya bergerak-gerak kecil, seperti tidak sabar. Iya, tidak sabar untuk kembali ke rumahnya sendiri, menikmati kasurnya yang empuk dan hangat, serta bermimpi indah, dan—
“Sheila?”
Senyuman kecil terpasang di wajah gadis cantik itu. Netranya bertubrukan langsung dengan netra kelam pemuda yang kini berjalan menghampirinya. Sheila benar-benar pasrah. Ia hanya harus menyelesaikan satu pekerjaan ini.
“Selamat malam, Jordan. Ini ada makanan dari Mami.”
Jordan menatap Sheila dengan penuh kebingungan, namun segera mengulum senyuman puas begitu melihat apa yang disodorkan oleh tetangga cantiknya itu. “Wah, kue ya? Haekal nih bercandanya jelek banget dah, bikin repot orang lain aja,” katanya sambil menerima bungkusan dari tangan Sheila. “Bilang ke Mamimu, terima kasih. Maaf kalau Haekal ngerepotin.”
Satu alis Sheila terangkat. Ia bertanya, “Kenapa ngerepotin?”
“Tadi pagi Haekal bercanda sama Mamimu di depan sini, katanya dia kangen sama kue-kue buatan beliau. Ternyata beneran dibuatkan,” jelas Jordan. “Ini anak-anak di dalem pasti suka sih, mereka doyan banget sama apapun yang dibuatin Bu Mares.”
Sheila mengerjapkan matanya. Ia melirik kantong plastik yang kini sudah berada di tangan Jordan. Dengan sedikit agak ragu, Sheila berkomentar, “Kue buatan Mami memang enak-enak. Alhamdulillah deh kalau kalian juga suka.” Sheila berdehem sejenak, kemudian mengangkat tangan dan melambai pelan. “Kalau gitu aku balik ya. Selamat menikmati kuenya.”
“Eh Sheila!”
Aduh!
“Iya?” tanya Sheila sambil sedikit membalikkan badannya.
“Kamu punya pacar?”
✦✧
Jordan berusaha memejamkan matanya. Namun, bayangan percakapannya dengan Sheila beberapa jam yang lalu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Ia bahkan tidak paham kenapa kepalanya terus-menerus memutar kejadian tadi.
“Nggak, aku gak punya pacar. Hubungan terakhirku berakhir 7-8 bulan yang lalu. Aku diselingkuhi.”
“Kasihan,” gumam Jordan. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa ada orang bodoh yang menyia-nyiakan perempuan secantik, sepintar, dan sebaik Sheila? Bahkan dirinya dibuat terkagum-kagum oleh gadis itu. Tapi, manusia memang tidak pernah ada rasa puasnya. Dapat yang baik malah mencari yang buruk. Bukankah dirinya juga menjadi korban dalam keegoisan orang-orang seperti itu?
Jordan tersenyum kecut. Terbayang-bayang bagaimana sakit hatinya Sheila ketika mengetahui orang yang disayanginya mengkhianatinya. Jordan saja sesakit hati itu meskipun dia seorang laki-laki, bagaimana dengan Sheila yang seorang perempuan? Bukankah mereka biasanya merasa lebih hancur lagi?
Pantas saja Gil dan Jo sangat menyayangi kakak mereka, pikir Jordan. Mungkinkah aku memiliki peluang untuk mencoba?
Sekali lagi Jordan mencoba memejamkan mata. Ia ingin sekali tidur. Tubuhnya sedang lelah-lelahnya, tapi otaknya tidak kunjung mengizinkannya beristirahat. Kalau seperti ini terus, sepertinya Jordan hanya punya satu cara.
Pemuda bertubuh kekar itu membenarkan posisi tidurnya. Sambil memejamkan mata, ia mulai menghitung. “Satu…dua…tiga…,” gumamnya tanpa henti. Rupanya ia menghitung domba di dalam imajinasinya, salah satu cara cepat untuk melelahkan otaknya.
Iya, ini teknik yang digunakan dalam serial TV Mr. Bean…
✦✧
“Oreo? Kemari anak ganteng!”
Sayup-sayup terdengar suara Sheila dari dalam rumah. Seingat Jordan, Oreo yang dipanggil adalah nama kucing peliharaan keluarga Almares. Gil dan Jo sering mengajak kucing warna hitam-putih itu jalan-jalan, tapi menurut mereka, Oreo tidak begitu menurut dengan dua laki-laki tersebut. Sekarang Jordan paham, yang dituruti oleh Oreo adalah Sheila.
Jordan terdiam sembari mengintip sosok Sheila yang kini tengah memberi makan Oreo di halaman depan. Gadis itu terlihat cantik dengan balutan kaos putih dan celana jeans. Di hari Sabtu seperti ini, sepertinya Sheila bermaksud untuk keluar rumah. Lagipula, cuaca juga sedang cerah.
“Sheila berangkat!” ujar Sheila. Gadis cantik itu menyampirkan tasnya ke pundak, kemudian berlari kecil menuju pagar.
Jordan yang melihat hal itu lantas berdiri dari duduknya. Ia langsung berlari ke arah pagar rumah, mencoba menghentikan langkah tetangga cantiknya. “Sheila!” sapanya.
Sheila menoleh. Senyuman terukir di wajah cantiknya, kemudian dengan suara pelan ia menjawab, “Halo, Jordan!”
“Sheila,” panggil Jordan lagi, “Gimana kalau aku bilang aku tertarik buat deketin kamu? Kamu keberatan?”
“Hah…?” Sheila menatap Jordan dengan pandangan penuh tanya. Terkejut dan bingung, kedua perasaan itu bercampur di dalam hatinya. Sialnya, jantungnya malah berdebar kencang. Apa-apaan ini.
“Maaf kalau terkesan mendadak. Tapi Sheil, aku tau kamu pasti punya impresi pertama yang buruk mengenaiku, apalagi setelah kejadian mabuk-mabukanku beberapa minggu yang lalu. Aku juga mengalami pengalaman buruk yang sama denganmu beberapa bulan yang lalu. Aku sama hancurnya denganmu. Tapi, keinginanku untuk menyembuhkan luka itu ada dan kuat. Apa boleh kalau aku mengajakmu melakukan hal yang sama?”
Sheila terdiam. Otaknya berusaha bekerja dengan cepat untuk mencerna apa yang disampaikan oleh Jordan. Sekelibat kenangan buruknya dengan mantan kekasihnya mulai ikut berputar, seolah-olah memaksa dirinya untuk membuat keputusan dengan cepat.
Sheila baru mengenal Jordan selama sebulan. Dalam jangka waktu itu juga Sheila berkali-kali merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Keinginan Sheila untuk tidak terlibat dengan urusan percintaan begitu besar, namun hatinya tidak mau menurut dengan otaknya. Setiap kali habis bertemu dengan Jordan, pemuda itu selalu muncul di mimpi Sheila. Rasanya begitu aneh, Sheila benar-benar tidak paham dengan situasi itu.
Waktu sudah berlalu banyak setelah Sheila mengalami sakit hati yang sempat membuatnya berada di titik terendah hidupnya. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin sudah waktunya untuk membuka hati lagi. Tapi, apakah Jordan benar-benar laki-laki yang tepat untuknya mencoba sembuh?
“Boleh, tapi kita coba dulu, ya?”
Memperbaiki yang rusak adalah kewajiban. Hati yang tersakiti dapat diperbaiki oleh diri sendiri maupun orang lain. Semua hanya masalah waktu untuk memutuskan, apakah ingin melakukannya sekarang atau besok-besok. Dan mereka berdua, dua orang yang sama-sama sempat tersakiti, berusaha untuk mencoba saling menyayangi dan menyembuhkan apa yang terluka, mulai dari hari ini.