Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menggeser layar smartphone, menyeleksi satu persatu obrolan yang akan kuhapus. Tidak ada alasan khusus. Aku hanya tidak suka terlalu banyak ruang obrolan bertengger disana. Orang-orang yang jarang kuhubungi, grup-grup yang tidak aktif, itu sudah pasti akan kuhapus. Sepertinya aku cukup rutin melakukan itu, sekitar sekali sebulan.
Tiba-tiba mataku terhenti pada salah satu ruang obrolan. Grup sekolah dasar. Aku mengeluh pelan. Entah kenapa aku malas sekali melibatkan diri di sana. Ingin rasanya keluar, tapi itu akan membuatku seperti, entahlah, orang sombong. Aku cukup yakin, jauhnya tahun-tahun sekolah dasar yang sudah dilalui menjadi salah satu faktor lemahnya ikatan emosional antaranggotanya.
Coba kulihat, sepertinya sudah bertahun-tahun sejak aku mengobrol dengan mereka. Tiba-tiba aku teringat seseorang. Sudah lama aku tidak mendengar kabarnya. Aku mengecek daftar anggotanya. Ada beberapa nomor yang tidak kusimpan. Aku yakin nomornya pasti salah satu dari nomor-nomor itu. Hei, bukannya aku tidak mau menyimpannya. Hanya saja, aku tidak tahu itu nomor siapa. Ah, tentu saja. Bukankah sekarang ada aplikasi untuk mengecek nomor orang-orang? Kenapa baru sekarang ide itu melintas? Aku menggeleng-geleng sendiri. Aku menyalin nomor itu satu persatu. Aha, ini dia. Aku lantas menyimpannya.
Aku tahu pertanyaan yang melintas di kepalamu. Kenapa tidak bertanya pada teman-teman yang lain saja? Atau hubungi saja langsung nomor-nomor itu, bukankah itu lebih mudah? Kau benar. Tapi aku sedang tidak ingin mengobrol dengan mereka. Apalagi orang yang ingin kucari itu adalah… hm, apa aku bisa menyebutnya cinta pertama? Yah, mungkin lebih tepatnya cinta monyet. Aku sedang tidak ingin diolok-olok (walaupun sepertinya tidak ada yang berminat). Lagipula aku bukannya ingin mengobrol dengannya.
Ah, benar. Aku juga tidak tahu apa media sosialnya. Ya, bukan berarti aku harus tahu. Hei, ini tidak seperti aku masih menyukainya. Hanya penasaran. Baiklah, ayo kita cari. Aku membuka media sosialku, mengetikkan namanya di kolom pencarian. Nama lengkap, nama depan, nama belakang, nihil. Aku memutar otak, mencoba mengingat-ingat. Kalau tidak salah beberapa tahun lalu aku mengikutinya. Ya, benar, dan kemudian aku batal mengikutinya karena dia tidak mengikutiku balik. Iya, kekanak-kanakan memang. Aku mencoba membuka akun salah satu temanku yang berpotensi mengikutinya. Aku mengetik suku kata pertama nama depannya. Nah, benar saja, tapi itu sepertinya nama panggilan. Tidak ada apapun disana. Tidak ada cerita, kiriman, bahkan bio. Aku mengangkat alis, menutup akunnya. Tidak, aku tidak mengikutinya. Aku hanya perlu mengingat.
Ah, benar juga. Aku akan mengirimkan ucapan selamat hari raya kepadanya. Aku menambahkannya ke dalam daftar siaran. Aku berpikir sejenak. Ada kemungkinan dia tidak akan menerima pesanku. Hei, aku saja baru menyimpan nomornya. Dia boleh jadi tidak menyimpan nomorku kan? Aku mengangkat bahu, tidak ada salahnya mencoba. Beberapa hari kemudian aku tahu bahwa kemungkinan itu terbukti benar. Baiklah, tak apa. Tidak, aku tidak akan mengirimkan ucapan selamat secara pribadi. Mungkin pada hari raya selanjutnya.
Tapi disini, kurasa tidak ada salahnya mengenang sedikit cinta monyet itu. Mungkin ini bisa menghibur kalian yang entah sedang dalam keadaan apa. Aku hanya berharap kalian tidak sedang berada di keramaian. Well, ada kemungkinan kalian akan tersenyum-senyum sendiri, entah karena ceritaku atau teringat kisah cinta kalian sendiri, dan kurasa itu bukan hal yang bagus di keramaian, kecuali kau memakai masker.
Baiklah, darimana harus kumulai. Bagaimana awal mula aku menyukainya? Itu awal yang yang bagus, aku ingat itu. Itu bermula di kelas tiga. Aku tahu, kecil sekali bukan? Mungkin itulah alasannya, kenapa dinamakan cinta monyet. Tidak, bukan karena anak-anak mirip monyet. Hei, kau bisa di demo anak-anak di seluruh dunia. Maksudku, monyet tidak akan mengerti kalau dia sedang jatuh cinta. Mereka bahkah tidak tahu apa itu cinta. Sama halnya dengan anak-anak. Nah, kenapa yang menjadi tumbal untuk perumpamaan ini adalah monyet? Tidak lain dan tidak bukan karena mereka adalah hewan yang paling mirip dengan manusia. Oke, itu hanya asumsi.
Nah, apa yang terjadi di kelas tiga? Aku akan memulainya dengan ini. Pada awal tahun ajaran, kami kedatangan guru baru. Ya, wali kelas. Ah, aku lupa namanya. Tapi dia guru perempuan yang cantik. Dengan kulit putih bersih (atau kuning langsat?), dia terlihat makin cantik dalam balutan hijab. Entah karena memakai sepatu berhak, tapi seingatku dia cukup tinggi, sepertinya sedikit di atas rata-rata. Lalu, seolah belum cukup kelebihan yang dia miliki, dia juga guru yang lembut. Aku tidak ingat dia pernah marah. Yah, walaupun kita tidak terlalu bisa mengandalkan ingatanku. Tapi biasanya, perlakuan yang diterima anak-anak akan selalu melekat di memori, bukan? Jadi, kalau memoriku bilang dia tidak pernah marah, aku bisa mempercayainya. Bu Guru juga sering memanggil kami dengan sebutan ‘say’. Kau tahu, singkatan dari kata ‘sayang’. Mungkin itu yang memberinya kesan lembut.
Bagi sebagian anak perempuan, guru yang macam malaikat ini, tentulah menjadi panutan. Ketika kau menganggap seseorang sebagai panutan, sedikit banyak kau akan mencoba menirunya. Yap, itulah yang aku lakukan. Tapi tentu saja, itu tidak semudah membalik telapak tangan. Sepertinya satu-satunya hal yang berhasil aku tiru adalah panggilan ‘say’ itu. Ketika aku berbicara dengan teman-temanku, yang perempuan tentu saja, aku mulai menambahkan kata ‘say’ dibelakang kalimat.
Nah, hari itu (entah kenapa aku merasa itu hari rabu), pada jam pelajaran matematika, seperti biasa, Bu Guru memberi tugas setelah selesai menjelaskan materi. Aku lupa itu materi apa, tapi aku cukup yakin posisi duduk teman-teman di kelas seperti huruf U. Aku juga cukup yakin berada di sisi yang berhadapan langsung dengan papan tulis. Aku bukan jenius matematika, tapi setidaknya aku paham yang diajarkan Bu Guru. Aku mengerjakan tugas dengan cepat, lantas membawanya ke meja guru untuk diperiksa. Bu Guru mengangguk-angguk, lantas mengembalikan bukuku setelah memberi nilai.
“Hei, apa begini cara mengerjakannya?” tanya seseorang setelah aku kembali ke tempat dudukku. Dia berdiri di depan mejaku, si juara dua. Menurutku dia cukup bagus dalam matematika, juga menggambar. Tapi tidak mengherankan kalau dia bertanya padaku, karena aku juara satunya. Eh, aku tidak sedang menyombong. Itu fakta.
Aku melihat tugasnya sejenak.
“Hm, bukan begini caranya, say,” ujarku tanpa sadar yang kemudian diiringi dengan teriakan teman-teman. Kau tahu, teriakan cie cie itulah. Entah suaraku yang cukup keras atau kondisi kelas yang hening, yang jelas mereka mendengarnya. Butuh sepersekian detik untuk menyadari kesalahanku. Aku terdiam, begitu juga dengannya, telinganya sedikit memerah. Di dalam hati aku mengutuk diri sendiri. Bu Guru yang tahu sumber keributan hanya tersenyum, lantas bergegas mendiamkan anak-anak. Dia memberi isyarat pada si juara dua untuk maju.
Begitulah cinta monyet itu dimulai. Hm, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana perasaannya padaku. Jika itu bertepuk sebelah tangan, apa itu masih disebut cinta monyet? Yah, tidak terlalu penting. Toh perasaan itu sudah lama hilang. Kenapa aku tidak bertanya? Ayolah, itu hanya cinta monyet. Lagipula aku terlalu gengsi untuk itu.
Sepertinya cukup banyak yang bisa kuingat tentangnya. Dia pernah mewakili kelas kami untuk ikut lomba menggambar yang diadakan di komplek pendidikan kami. Aku tidak ingat dalam rangka apa. Tapi aku ingat dia menggambar gunung. Aku tidak tahu itu temanya atau dia yang memilih untuk menggambar gunung.
Aku ingat di kelas empat dia mengolok-olokku dengan temannya. Dia bilang cara minumku aneh. Aku hampir menangis karena itu. Untunglah Bu Guru melerai, bilang kalau orang yang mengolok-olok itu biasanya tanda suka. Aku yang sedang minum hampir tersedak. Tapi itu berhasil membuatnya bungkam. Entah karena malu atau memang dia suka padaku. Ah, aku berharap dia tidak membaca ini.
Aku ingat di kelas tiga, saat tugas membuat drama, kelompoknya memainkan drama kerajaan dan dia jadi pangerannya. Aku tidak ingat jalan ceritanya, tapi disitu sang pangeran diracun. Tidak, dia tidak mati, hanya pingsan. Tapi menurutku cara pingsannya itu konyol. Aku tahu itu hanya drama, tapi bukankah sandaran kursi kerajaan itu tinggi? Harusnya kepalanya terkulai ke depan bukan? Kenapa malah kebelakang?
Aku ingat dia sering bermain bola di halaman SMA di sebelah sekolah kami. Yah, anak laki-laki memang sering bermain bola disana. Aku ingat dia sering memakai jaket putih di tahun-tahun terakhir, entah kelas lima atau enam. Aku ingat dia juga diantar jemput dengan bus sekolah di kelas satu dan kelas dua. Aku ingat dia suka donat buatan teman kami yang di jual di warung depan sekolah.
Aku ingat saat kami selesai bermain di taman kanak-kanak, juga di dekat sekolah kami. Entah bermain apa, mungkin semacam permainan menjaga benteng. Aku dan teman-temanku memang sering bermain disana setelah anak TK pulang. Tapi saat itu hanya ada empat orang, aku, dia dan dua temanku yang perempuan. Dia baru saja membeli es lilin. Dua orang temanku langsung berebut memintanya. Hari itu cuaca cukup panas. Aku hanya diam, tidak tertarik meminta. Hei, es lilin itu hanya satu jengkal dan dia sudah memotong setengahnya untuk dua orang ini. Mana mungkin aku tega memintanya? Tapi diluar dugaan, dia malah menawarkan sepotong untukku. Tentu saja, lagi-lagi teman-temanku menghadiahiku dengan cie cie itu. Hei, bahkan aku yang saat itu menyukainya saja tahu itu bukan tanda dia menyukaiku atau apa. Itu tandanya dia bersikap baik. Tidak mungkin dia membiarkanku kehausan sementara mereka menikmati es lilin itu.
Aku ingat aku menyukai kapal dari bambu yang dibuatnya saat tugas prakarya di kelas lima. Yah, kalau kau menyukai seseorang, kau cenderung menyukai apapun tentangnya bukan? Aku ingat dia sakit saat ujian. Apa dia muntah saat itu? Sepertinya sakit maag. Aku ingat dia dua sentimeter lebih tinggi dariku saat pengukuran tinggi badan. Tapi aku cukup yakin itu karena rambutnya. Aku ingat dia meniruku mengucapkan kata ‘maklum’. Aku ingat kami ikut lomba cerdas cermat. Yah, tidak menang tapi itu cukup menyenangkan.
Ah, aku ingat saat kami ditugaskan untuk menampilkan sesuatu untuk acara perpisahan. Kelas kami mendapat tugas menampilkan tari indang. Biasanya tari indang dilakukan oleh beberapa orang yang duduk berbaris secara horizontal atau berpasang-pasangan. Nah, kami menampilkan versi pasangan dan Bu Guru memasangkanku dengannya. Bagiku, itu merupakan kabar baik sekaligus kabar buruk. Memang menyenangkan berpasangan dengan orang yang kau sukai tapi itu membuatmu tidak fokus. Apalagi dalam tari indang ada beberapa bagian yang mengharuskanmu menatap pasanganmu. Tapi bagaimanalah mau menatap, baru menghadap saja aku sudah memalingkan mukaku ke depan, berharap agar wajahku tidak memerah. Begitu juga dengannya. Setelah beberapa kali latihan, Bu Guru memutuskan mengganti pasanganku dengan yang lain. Aku menghembuskan napas pelan. Sekali lagi, ini kabar baik sekaligus kabar buruk. Ya, setidaknya penampilan kami berjalan dengan lancar.
Aku ingat dia selalu menulis dengan tulisan tegak bersambung. Menurutku itu aneh. Lebih aneh lagi ketika dia bisa menulis lebih cepat dari yang lain ketika guru sedang mendiktekan materi. Teman-teman sering meneriakinya, kesal karena nyaris tertinggal. Hei, bagaimana tidak? Dia selalu mengulang kata terakhir yang didiktekan guru dengan suara keras, walaupun dia juga belum selesai menulisnya, membuat guru melanjutkan diktenya lebih cepat. Kalau memungkinan, ingin sekali aku melemparnya dengan sepatuku.
Aku juga ingat dia sering mengajak orang bertaruh, dalam hal remeh sekalipun. Sepertinya itu menjadi tren dikalangan teman-teman saat itu.
“Kau mau bertaruh apa?” Ujarnya suatu kali padaku. Aku tidak ingat itu tentang apa, yang jelas itu hal remeh seperti biasanya.
Aku mengerutkan kening. 'Mau bertaruh apa' katanya? Aku bahkan tidak mau bertaruh.
“Ibuku bilang bertaruh itu tidak boleh. Itu sama dengan judi." Jawabku sambil berkacak pinggang. Beberapa teman menonton kami.
“Itu bukan judi.” Bantahnya.
“Oh, benarkah? Kau bertaruh uang dan itu bukan judi?” Aku menatapnya tajam.
“Hei, apa aku memintamu bertaruh uang?” Serangnya. Aku terdiam. Benar juga. Tapi dasar aku keras kepala, aku tidak mau kalah begitu saja.
“Tidak, tapi itu tetap judi.” Jawabku kekeuh.
“Oh, benarkah?" Giliran dia menatapku tajam. Aku lupa bagaimana perdebatan itu berakhir. Mungkin akhirnya kami bertanya pada guru fikih dan kurasa hasilnya adalah taruhan tanpa uang tidak termasuk judi. Dia menang. Setelah itu, dia tetap bertaruh selama beberapa waktu, tanpa uang pastinya.
Nah, yang satu ini aku tidak mungkin lupa. Sepertinya itu di kelas enam. Seperti biasa, ayah selalu menjemputku dan dua adikku sepulang sekolah. Sedangkan dia selalu naik ojek langganannya di depan TK tempat kami biasa bermain. Hari itu, saat motor ayahku melewatinya dan temannya yang sedang berjalan keluar gerbang komplek, entah apa yang memotivasinya, dia tiba-tiba berlari mengejar, mencoba meraih pegangan belakang motor, meninggalkan temannya di belakang. Aku yang duduk paling belakang refleks mengibaskan tangan, menghalaunya. Dia tertawa, memperlambat larinya. Anehnya, esoknya dia kembali mengulanginya, juga hari berikutnya.
“Yang mengejar kita tadi itu teman kakak?” tanya Ayah saat kami makan siang. Aku mengangguk.
“Bilang padanya, besok jangan lakukan itu lagi. Berbahaya.” Pesan Ayah sebelum menyuap nasinya.
Lagi-lagi aku mengangguk, baiklah, akan kusampaikan. Ayahku memang tidak menjalankan motor dengan kencang, banyak anak sekolah di jalan itu. Tapi aku tidak mengerti. Apa maksudnya dia berlari-lari seperti itu? Apa itu seperti isyarat kalau dia ingin meraihku tapi tidak bisa? Baiklah, sepertinya pemikiranku terlalu jauh. Tapi beruntung aku duduk menyamping. Jadi aku bisa menghalanginya. Bagaimana kalau aku menghadap ke depan, tidak melihat kalau dia meraih pegangan belakang? Kalau dia jatuh, lantas terluka, bagaimana? Lebih parah lagi kalau dia malah membuat motor oleng, membuat kami semua terjatuh. Lagipula, ini bukan pertama kalinya. Satu-dua kali mungkin masih wajar. Tapi yang ketiga kali? Wajar jika ayah menegur. Jadi itulah yang kulakukan besoknya.
“Hei, ayahku bilang jangan berlari-lari seperti itu lagi. Berbahaya.” Aku menyampaikan pesan ayah saat membagikan hasil ulangan. Dia yang sedang berdiri menatapku sejenak, lantas mengangguk, baiklah. Aku mengernyitkan kening, menatapnya yang kembali ke kursinya. Semudah itu? Kupikir aku harus berdebat lagi dengannya. Yah, setidaknya tugasku selesai. Sejak itu dia tidak lagi berlari-lari mengejarku.
Aku juga ingat di sekolahku, setelah solat zuhur berjamaah atau solat dhuha, dia dan temannya sering bersembunyi di balik meja. Tujuannya? Oh, tentu saja mengagetkan orang pertama yang tiba di kelas. Aku beberapa kali menjadi korban dari aktivitas tidak berguna itu. Biasanya yang aku lakukan setelah terkaget-kaget adalah menghampirinya dengan wajah kesal lalu mencubit lengannya. Kekesalanku akan hilang kalau dia mengaduh kesakitan. Walaupun aku yakin itu hanya pura-pura. Hei, cubitanku tentu saja tidak menyakitkan, atau begitu menurutku.
Aku ingat dia menuduhku mencontek saat mengerjakan soal bahasa indonesia. Hei, tentu saja aku tidak mencontek. Aku hanya memberitahu Bu Guru bahwa jawaban Bu Guru berbeda dengan yang tertulis di buku. Lagipula aku melihat kunci jawabannya pada saat membahas soal. Dia tidak bisa seenaknya menuduhku mencontek hanya karena jawabanku sama dengan kunci jawaban kan?
Sayangnya, di hari perpisahan, kami malah tidak berbicara sama sekali. Bahkan bertahun-tahun setelahnya. Kalau saat ini aku bertemu dengannya, apa kira-kira topik pembicaraan kami? Hm, mungkin hanya pertanyaan-pertanyaan template. Kau tahu, bertanya kabar, domisili, kuliah, pekerjaan. Beberapa tahun lagi, pertanyaan itu akan berkembang menjadi berapa anak, dimana sekolahnya.
Tanpa terasa waktu melesat cepat sekali. Dulu, kupikir mustahil melupakan orang yang kita sukai. Yah, sekarang juga tetap mustahil. Daripada melupakan orangnya, lebih menenangkan jika bisa melupakan perasaan pada seseorang, entah benci, suka, atau cinta. Percayalah, karena aku punya buktinya. Aku akan menceritakannya di lain waktu. Ya, ini masih tentang cinta.