Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Gema Masa Lalu
Bramantyo Hadi menatap piala di tangannya, pantulan cahaya panggung memudar seiring ia melangkah turun dari podium. Gemuruh tepuk tangan masih memekakkan telinga, bergema di aula megah itu. Malam ini, ia adalah pahlawan. Wartawan investigasi yang keras kepala itu baru saja menerima penghargaan tertinggi atas liputan beraninya. Liputan yang membongkar jaringan kejahatan narkoba dan korupsi skala besar, melibatkan pengusaha dan pejabat yang dulunya tak tersentuh. Empat gembong utama dari kasus ini, yang ia juluki "Empat Penjagal", kini mendekam di balik jeruji besi, semua berkat goresan pena dan keberanian Bram.
"Selamat, Bram! Kau benar-benar jurnalis sejati!" Putri Lestari, rekan sekaligus sahabat dekatnya di kantor berita, menyambutnya dengan senyum lebar. Matanya berbinar bangga. "Berkatmu, keadilan benar-benar ditegakkan!"
Bram tersenyum tipis, membalas pelukan Putri. "Kita yang melakukannya, Put. Bukan cuma aku."
"Tapi kaulah yang tak kenal takut menyelami sarang mereka," Putri menimpali, menepuk bahunya. "Sekarang, bagaimana kalau kita rayakan? Aku sudah pesan tempat di kafe favoritmu."
Sepanjang perjalanan menuju kafe, dan bahkan saat mereka duduk di sana, Bram tak bisa melepaskan perasaan aneh. Perasaan yang sudah menghantuinya selama beberapa hari terakhir: diintai. Ia seringkali merasa ada mata yang mengawasinya, bahkan di tengah keramaian. Siluet hitam yang berkelebat di sudut pandanannya, menghilang setiap kali ia menoleh. Ia mencoba mengabaikannya, menganggapnya sebagai efek samping dari adrenalin tinggi setelah menyelesaikan liputan besar, atau mungkin paranoia wajar seorang jurnalis investigasi yang kerap menerima ancaman.
"Kau melamun, Bram?" Putri menyentuh tangannya, tatapannya khawatir. "Masih memikirkan kasus itu?"
Bram menggeleng. "Entahlah, Put. Aku hanya merasa... aneh. Seperti ada yang mengawasiku."
Putri tertawa pelan. "Itu pasti efek ketenaran. Atau mungkin ancaman-ancaman iseng dari pihak yang tidak senang. Kau kan tahu risikonya. Abaikan saja. Kau terlalu lelah."
Namun, kejadian-kejadian kecil mulai mengikis ketenangan Bram. Malam itu, sesampainya di apartemen sederhana namun nyaman miliknya, ia menemukan sesuatu yang janggal. Foto orang tuanya yang selalu ia letakkan tegak di meja ruang tamu, kini terbalik menghadap dinding. Pintu lemari bukunya yang ia yakin sudah tertutup rapat, kini sedikit terbuka. Ia menghela napas, mencoba meyakinkan diri bahwa ia hanya pelupa, atau mungkin asisten rumah tangganya yang kurang teliti.
Keesokan harinya, saat ia mengambil koran pagi dari bawah pintunya, ada sebuah surat terselip di antaranya. Amplopnya tanpa nama pengirim, hanya tulisan tangan kasar di depan. Bram membukanya. Di dalamnya, ada sebuah potongan koran lama, berita tentang penangkapan "Empat Penjagal" yang ia tulis. Di sekitar wajah ketiga penjahat yang dibebaskan, ada coretan merah tebal, dan di atasnya tertulis sebuah tanda tanya besar. Di bagian bawah potongan koran itu, sebuah kalimat tertulis dengan tinta merah: "Kami tidak akan melupakan."
Jantung Bram berdebar kencang. Ia tahu, ketiga dari "Empat Penjagal" itu, Riko, Budi, dan Toni, memang sudah dibebaskan bersyarat. Berita itu sempat menjadi polemik, namun tenggelam di tengah hiruk pikuk kasus lain. Hanya satu gembong utama, si bos besar, yang masih mendekam di penjara seumur hidup.
"Put, lihat ini!" Bram bergegas ke kantor, memperlihatkan surat itu pada Putri.
Putri mengernyit. "Oh, Bram. Ini pasti ulah fans garis keras yang dendam, atau mungkin kolega salah satu penjahat itu. Wajar. Kau kan sudah sering menerima ancaman seperti ini."
"Tapi ini berbeda, Put," Bram bersikeras. "Ini terlalu spesifik. Dan kebetulan sekali ketiga penjahat itu baru bebas. Bagaimana jika mereka yang melakukannya?"
Putri mengedikkan bahu. "Mereka baru bebas, Bram. Mereka pasti ingin hidup tenang, bukan mencari masalah lagi dengan wartawan yang memasukkan mereka ke bui. Lagipula, mereka sudah bertahun-tahun di penjara. Mungkin mereka bahkan tidak tahu lagi siapa kau."
"Tapi aku tahu siapa mereka," Bram bergumam, tatapannya menerawang. "Terutama Riko, dia otak di balik jaringan IT mereka. Dia bisa melakukan apa saja."
Putri hanya menganggapnya sebagai paranoia Bram...