Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku lupa sejak kapan aku mulai berbicara dengan bayanganku sendiri.
Awalnya aku hanya bercanda, biasalah dilakukan kalau orang sedang kesepian. Apalagi jika malam terasa begitu lama berlalunya, dan dalam sunyi sendirian itu aku sampai bisa mendengar suara detik jam seperti detak jantungku sendiri.
Tapi belakangan ini, setiap kali aku menatap cermin di ruanganku, aku seperti merasa ada seseorang di sana. Seseorang yang wajahnya mirip aku, begitu persis sehingga aku sendiri tidak yakin, mungkin itu memang bayanganku sendiri, hanya saja tatapannya lebih hidup.
Apartemenku kecil. Dindingnya putih, tapi itu dulu, sekarang sedikit kusam, seperti wajahku. Di pojok kamar, aku letakkan sebuah cermin tinggi, warisan dari ibuku. Bingkainya kayu gelap, catnya hitam dov yang mulai terkelupas. Ibuku dulu pernah bilang, “Cermin itu membawa keberuntungan, jangan pernah menutupnya.”
Anehnya sampai sekarang aku mempercayainya. Jadi aku tak pernah menutupnya, tapi ternyata keberuntungan tak pernah datang juta. Tapi, ya sudahlah.
***
Malam itu, aku duduk malas-malasan rebahan di lantai sambil menatap bayanganku sendiri di cermin yang ada diseberangku. Wajahku ternyata lumayan, tapi matanya...mata di bayangan cermin itu menatapku terlalu lama dan seperti mengamatiku.
“Kenapa kamu diam saja?” tanyaku seperti biasa, iseng.
Bayangan itu tersenyum tipis.
“Aku hanya menunggu kamu berhenti berpura-pura.”
Aku terdiam.
“Berpura-pura apa?” aku justru bingung sendiri dengan pertanyaanku yang kuajukan sendiri melalui cermin.
“Berpura-pura hidup,” katanya.
Aku tertawa kecil. Ruangan itu memantulkan tawaku ke seluruh ruangan, tapi anehnya aku merasa asing, tawa itu seperti bukan milikku.
“Kalau aku mati, kamu juga mati,” kataku lagi.
“Belum tentu,” jawabnya pelan. “Mungkin aku justru mulai hidup ketika kamu berhenti.”
Lalu aku tertawa, merasakan kelucuan ketika bertanya sendiri dan menjawab sendiri, gara-gara sepi membuatku tidak tahu harus melakukan apa.
***
Pagi berikutnya, aku menemukan keanehan, ada bercak sidik jari di permukaan cermin, tapi hanya di bagian dalam. Rasanya aku yakin tadi malam baru membersihkannya. Bahkan aku masih bisa mencium aroma alkohol dari cairan pembersih yang masih menempel di jari dan dipermukaan kaca. Tapi bagaimana bisa ada sidik jari di sisi sebaliknya?
Aku mencoba tak memikirkannya.
Jadi aku memilih duduk di kursi rotan dekat jendela, sambil menikmati seduhan kopi panasku. Dari titik situ, aku bisa melihat gedung-gedung tinggi, langit kelabu yang selalu sama, bahkan langit saat menjelang hujan badai dengan comulunimbus gelap menggantung berat. Dunia terasa seperti biasa, membosankan, begitu datar, begitu mekanis.
Aku bekerja sebagai penerjemah lepas. Hidupku bergantung pada email dan deadline. Tak ada rekan kerja, tak ada perbincangan selain notifikasi. Jika tak ada pesanan, aku lebih sering menunggu sambil melamun menikmati kebebasanku sendiri.
Siangnya sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Bagaimana kabarmu hari ini, Mira?”
Aku merasa tak pernah punya teman bernama Mira. Tapi seingatku seseorang di dalam cermin dikamarku pernah menyebut nama itu.
Malamnya, aku kembali berdiri di depan cermin. Tapi aku memilih diam. Kali ini aku tak ingin bicara, hanya ingin memastikan bahwa bayangan itu bergerak serempak denganku. Tapi tidak.
Ketika aku mengangkat tangan kananku, bayangan itu terlambat setengah detik.
Ketika aku tersenyum, dia tak membalas.
Dan ketika aku berkata, “Aku tahu kamu bukan aku,” dia membalas dengan tawa kecil yang membuatku bergidik.
“Akhirnya kamu sadar,” kata bayanganku sendiri.
“Siapa kamu?”
“Aku Mira.”
“Nama itu dari mana?”
“Dari kamu,” katanya. “Kamu yang menciptakanku ketika mulai berhenti mempercayai dunia.”
Aku mencoba mengingat-ingat, tapi gagal. Dengan begitu banyak waktuku berbicara di depan cermin, aku tak bisa mengingat satu-persatu kejadiannya, dan apa yang kukatakan.
Aku menelan ludah. “Kenapa aku menciptakanmu?”
“Karena kamu tak bisa menanggung kenyataan sendirian.”
“Maksudmu karena aku kesepian.?”
Seseorang di dalam cermin menertawakan pertanyaanku sendiri.
***
Sejak malam itu, aku punya pertemuan dan “teman”. Mira muncul setiap kali aku menatap cermin. Kadang ia hanya diam, kadang berbicara lembut, kadang marah. Aku bingung antara harus menyukainya atau membencinya, dia tahu banyak hal tentang aku. Bahkan untuk hal-hal yang bahkan tak kuingat pernah kuceritakan pada siapa pun. Tentang ketakutanku pada kesepian, tentang ibu yang meninggalkan pesan terakhir sebelum bunuh diri, tentang pacar yang pergi tanpa penjelasan, tentang diriku yang seakrang memilih berhenti menangis karena aku sudah kehabisan air mata.
“Kenapa kamu terus muncul?” tanyaku suatu malam.
“Karena kamu memanggilku,” jawabnya.
“Aku tidak pernah memanggilmu!”
“Tidak dengan suara. Tapi dengan keheningan.”
Aku menunduk, Tanganku bergetar.
“Kalau begitu, apa yang kamu mau dariku?”
Mira menatapku dengan mata yang berkilau tajam.
“Aku ingin menggantikanmu.”
Aku terhenyak mundur mencoba mencerna maksudnya, tapi aku tetap berusaha tenang. Aku takut ia bisa membaca pikiranku juga.
***
Kejadian-kejadian itu semakin lama membuatku bingung, ada sedikit ketakutan. Lalu aku mencoba menutupi cermin itu dengan kain gelap. Tapi setiap kali aku masuk kamar, aku merasa sesuatu bergerak di balik kain itu. Ada suara bisikan, seseorang yang memanggil dari dunia lain. Suara yang dalam, lembut tapi berulang-ulang memanggil namaku. “Alya...”
Ya, nama asliku memang Alya, bukan Mira. Dan dia tahu.
Tapi aneh, setiap kali aku mendengar suara dan panggilan itu, aku justru merasa nama itu seperti bukan lagi milikku. Aku merasa asing.
Suatu malam aku memberanikan diri membuka kain itu.
Cermin menampilkan wajahku, tapi kali ini bukan seperti biasanya.
Wajahku tampak lebih muda, kulitnya lebih bersih, rambutnya terurai rapi. Aku melihatnya sebagai versi diriku yang lebih baik. Aku lihat Mira tersenyum di sana.
“Lihat?” katanya. “Kamu bahkan lebih suka aku daripada dirimu sendiri.”
“Tidak.”
“Kamu iri.”
“Tidak!”
“Kamu ingin jadi aku.”
“Berhenti!”
Aku meninju cermin itu sekuat-kuatnya. Untuk menghentikan ocehannya.
Retakannya menjalar seperti urat di kaca es. Tapi sesuatu aneh terjadi, cairan merah menetes dari sisi dalam cermin, seperti darah yang merembes keluar dari luka tak kasatmata. Aku mundur ketakutan. Bayangan itu masih tersenyum di sela retakan.
“Sekarang kamu yang berdarah, Alya.”
***
Sejak peristiwa itu, aku mulai kehilangan tidur-tidur malamku.
Setiap kali mata memincing, hampir terlelap, aku melihat potongan wajah Mira, bibirnya terus bergerak-gerak tapi tak bersuara. Matanya terlihat menyala dalam gelap, dan tangannya sekarang bisa menyentuh dari balik kaca.
Aku panik, mencoba menelepon seseorang, siapa pun, tapi daftar kontakku kosong. Ponselku seperti telah dihapus bersih. Tak ada siapapun di dalam daftar nama.
Di hari kelima, seseorang mengetuk pintu.
Ketika kubuka, seorang pria berdiri di sana memakai jas abu-abu dan membawa map.
“Selamat pagi, Mbak Alya. Saya dr. Haris. Apa Anda masih ingat jadwal terapi hari ini?”
Aku mengernyit bingung. “Terapi apa?”
“Terapi kognitif perilaku, untuk pemulihan pasca-trauma,” katanya tenang, seolah mengenalku.
Aku justru semakin bertambah bingung, menatapnya lama mencoba mengingat-ingat, tapi gagal.
“Dokter salah orang.”
“Tidak,” katanya sambil menatap ke dalam ruangan. “Cerminnya masih di sana, ya?”
Aku langsung merasa heran dengan pertanyaannya. Bagaimana dia bisa tahu?, aku memandang ke arah cermin di pojok ruangan. Kali ini Mira menatapku dari sana, tersenyum.
Aku berbisik, “Kamu yang mengundang dia?”
Mira hanya tertawa.
***
Aku akhirnya berada di ruang terapi itu, bagiku semuanya terasa aneh, karena semuanya terlihat putih, bahkan segalanya terasa terlalu putih, tembok, lantai, bahkan aroma antiseptiknya membuatku seperti terbius dalam suasana serba putih itu. Dr. Haris duduk di seberangku, mencatat sesuatu.
“Kita sudah sering bertemu, Alya,” katanya.
Aku menggeleng.
“Kamu mulai bicara tentang ‘Mira’ sekitar dua bulan lalu. Masih ingat?”
Aku diam.
“Siapa Mira?” tanyanya lagi.
“Dia... aku. Tapi bukan aku.”
“Bagaimana maksudnya?”
“Dia muncul di cermin. Dia lebih tenang, lebih kuat. Kadang aku ingin jadi dia.”
Dokter menulis sesuatu.
“Cermin itu dulu milik ibumu, ya?”
Aku mengangguk.
“Ibumu meninggal di depan cermin itu?”
Aku menelan ludah. “Dia... menatap dirinya lama sekali sebelum...”
Aku tak sanggup melanjutkan. Aku tak mau mengingat semua kejadian yang masih bisa membuatku trauma.
“Apakah kamu merasa bersalah?”
Aku menunduk.
“Kalau saja aku masuk kamar lebih cepat, mungkin dia...”
“...tidak mati?” potongnya lembut.
Aku mengangguk pelan.
“Mungkin,” kata dokter dengan anggukan setuju. “Mira adalah cara pikiranmu menampung rasa bersalah itu. Sebuah proyeksi dari bagian dirimu yang ingin memperbaiki masa lalu.”
Aku menatapnya karena tak bisa mencerna maksudnya. “Maksud dokter, aku gila?”
“Tidak. Kamu hanya berduka terlalu lama.”
***
Setelah sesi itu, aku kembali ke apartemen.
Cermin itu masih di tempatnya.
Aku berdiri di depannya lagi, menatap retakan yang cairannya kini mengering.
“Mira?” panggilku.
Tak ada jawaban.
“Mira, aku tahu kamu masih di sana.”
Perlahan, bayangan itu muncul, samar, seolah dari balik kabut.
“Kamu tidak seharusnya datang lagi,” kataku.
Mira tersenyum.
“Kenapa?”
“Karena aku ingin sembuh.”
“Sembuh?” katanya pelan. “Dari apa? Dari dirimu sendiri?”
Aku menggertakkan gigi menahan desakan marahku. “Kamu hanya bayangan, kamu harus tahu itu.”
“Tapi siapa yang menciptakan bayangan?”
Aku diam.
“Kalau kamu ingin sembuh, Alya,” katanya pelan, “biarkan aku mengambil alih. Aku tahu cara membuat hidupmu terasa nyata lagi.”
“Tidak.”
“Ya. Kamu hanya perlu menutup mata.”
***
Paginya, tetangga di lantai bawah mengetuk pintu apartemenku. Ia mendengar suara kaca pecah semalam. Polisi datang bersamanya, mengetuk tapi tak ada jawaban sama sekali. Mereka akhirnya memutuskan mendobrak pintu.
Yang mereka temukan hanyalah serpihan cermin berserakan di lantai.
Di tengah pecahan itu, ada bercak darah, tapi tak ada tubuh.
Hanya sebuah catatan kecil di lantai;
“Alya sudah pergi.
Sekarang giliran Mira hidup.”
***
Dua minggu kemudian, Dr. Haris menerima pasien baru.
Perempuan muda berambut panjang, tersenyum tenang, membawa map berisi hasil tes psikologis.
“Nama?” tanya resepsionis.
Perempuan itu tersenyum.
“Mira,” katanya lembut. “Mira Alya.”