Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
3
Suka
44
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sudah sebulan ini, aku melihat hantu orang Rusia sedang duduk di ruang tengah dan membaca buku koleksi ku. Aku yakin, dia adalah arwah Fyodor Dostoevsky. Bentuk matanya tajam. Jidat lebar dengan volume kepala besar. Dan, jambang yang berantakan. Percis seperti gambar yang ku lihat di sampul bukunya. Dia terlihat sangat pucat. Daerah sekitar matanya menghitam, seperti para hantu di film horor. Juga, bagian kakinya yang sedikit membias. Lamat-lamat. Dan, dia akan menghilang saat fajar menjelang. Benar-benar jenis hantu klasik.

Aku menduga, dia datang jauh-jauh ke sini hanya karena aku menelantarkan bukunya. Dan, juga buku-buku lain yang sengaja ku beli untuk sekedar mengisi ruangan saja. Kalau boleh sombong, dulunya buku sebanyak itu rajin ku buka untuk dibaca—dalam artian sebenar-benarnya, aku menelusuri kata demi kata untuk menemukan makna tersembunyi di dalam rimba aksara. Tetapi sekarang, kondisi mereka sangat mengenaskan. Terbengkalai. Diselimuti debu. Dan, sedikit termakan rayap. Jadi wajar, jika Fyodor Dostoevsky menghantuiku karena tidak membaca bukunya dengan sungguh-sungguh—bagaimana pun hasil karyanya, penulis pasti tetap menyayangi karyanya.

Untuk ukuran seseorang dengan pemahaman materialisme tulen sepertiku, seharusnya, aku tidak mempercayai ada hantu di rumahku. Awalnya aku mengira penampakannya itu—saat dia muncul pertama kali sebulan yang lalu—adalah halusinasi belaka. Sejak aku merasa telah sempura menjadi manusia gagal, aku sering sekali melamun. Pikiranku penuh dan berat memikirkan permasalahan hidup. Akhirnya, hantu Fyodor Dostoevsky itu terproyeksikan sebagai pertanda pikiranku yang sudah sangat kacau dan tengah berada di ambang kesadaran.

Tindak tanduk ku pun menjadi sangat konyol dan tidak masuk akal. Sekonyong-konyong, aku menarik kursi dan jatuh duduk dengan sangat kekanak-kanakkan tepat di seberangnya. Tanganku mencoba meraih jambangnya. Tembus. Sesaat kemudian aku melemparkan pertanyaan, “bagaimana rasanya menjadi hantu?” Tetapi, dia tidak menjawab dan hanya memelototiku. “Akh, aku yakin, sepertinya enak menjadi hantu,” komentarku sekenanya. Merasa tidak di tanggapi, Aku segera menuju kamar untuk merebahkan badan dan merenung. Memutar kembali kilas balik hidup yang selama ini ku jalani.

Pada dasarnya manusia membutuhkan makan. Dan, dunia telah berhasil melipat waktu dengan uang. Mau tidak mau, aku harus meruntuhkan menara ideal tentang bagaimana manusia harus hidup. Aku terpaksa mengikuti arus orang kebanyakan. Jadilah aku seorang Asep yang dulunya idealis menjadi kapitalis tanggung. Perasaan yang timbul semakin tidak karuan. Aku selalu terbayang keruntuhan demi keruntuhan yang menimpa hidupku. Saat aku mencoba sesuatu—apapun itu—selalu kembali ke titik nol, sama seperti nasib Sisyphus yang malang.

Contohnya saja, Aku pernah mencoba menjadi budak korporat sebelum menjalankan bisnis kecil-kecilan. Di tempat kerja itu, aku selalu mengoceh tentang keadilan para buruh. Hingga, akhirnya aku tidak kuat dan memutuskan untuk keluar. Aku ingin menunjukan kepada si kapitalis itu bagaimana menjadi kapilatalis yang bijak.

Selama beberapa tahun, aku mencoba merintis bisnis kopi. Hasrat dan cita-cita masih menggebu-gebu. Dengan bekal pengetahuanku dari buku yang dibaca itu, aku berencana melakukan korporasi bisnis. Artinya, aku ingin menguasai industri ini dari hulu ke hilir secara terintegrasi.  Jika sudah menjadi perusahaan besar, aku ingin memberlakukan sistem upah yang adil bagi para buruh. Tetapi, itu hanya sebatas cita-cita, semua itu runtuh sebelum aku berhasil mencapainya. Padahal prospek bisnis yang kujalani sudah mulai menguntungkan.

Semua ini karena ulah seorang wanita bernama Nira Nirwana dan pacarnya, Fana. Dasar pasangan jalang. Mereka datang kepadaku dengan mengiming-imingi hal manis. Katanya, si Fana ini adalah seorang kaya raya dan akan menjadi investor untuk bisnisku. Dia menyebutkan akan menyuntikkan dana yang cukup besar. Sialnya, janjinya itu hanyalah fatamorgana. Percis seperti nama mereka berdua. Ruksak dan hanya sebatas janji surga belaka. Semua modal ku dikikis sedikit demi sedikit sehingga raib sepenuhnya. Nira selalu berkelit, “Ya, nanti, aku janji. Uang itu bakalan cair, kok, tenang aja. Eh, Sep, aku lagi gak bawa cash, nih, bisa bayarin ini dulu gak?”  

Seharusnya, aku merasa heran dan curiga ketika Nira, dengan memasak wajah menggoda selalu mengajak ku jalan ke luar. Dan, anehnya, Si Fana tidak merasa cemburu. Setiap kali kami berbelanja ke luar, Aku tidak bisa menolak. Dia memelas seolah hanya aku yang bisa menolongnya. Pada akhirnya, mereka pun kabur entah ke mana setelah isi dompetku kerontang.

Aku tidak punya uang untuk membeli bahan produksi. Jadinya, bisnis ku mandeg dan aku harus bertanggung jawab kepada orang tuaku yang telah memberikan modal sesungguhnya. Aku mencoba melaporkan kejadian ini kepada kepolisian, tetapi, mereka mengejek ku katanya, “ya itu salahmu! Di bawa ke pengadilan pun percuma, kamu tidak punya penguat seperti tanda tangan di atas materai sebagai penguatnya.”

Mendengar penjelasan itu membuat kepalaku terasa pusing. Semua angan tentang kekayaan terserap oleh rasa penyesalan. Menyadari bahwa aku ini goblok merubah kepribadianku menjadi sangat emosional. Perlahan aku  pun mencampakkan buku-buku itu. Memikirkan awal kegagalanku dan kembali ke titik nol juga membuat pola tidurku terganggu. Dan, seluruh tubuhku terasa gatal. Bukan karena buduk. Aku tidak tahu persisnya, tetapi, rasa gatal itu datang dari dalam daging. Seakan setiap sel pembentuk diriku ini memberontak dengan kondisi yang sudah seperti hantu. Tidak jelas berpijak. Dan, tidak juga melangit.

Aku merasa geli sendiri dan harus menggaruk terus menerus. Menggaruk. Sampai meradang. Kini, aku tidak punya uang sepeser pun untuk sekedar membeli sebatang rokok. Meminta kepada orang tua sudah malu. Frustasi. Untungnya, aku masih mempunyai teman yang berbaik hati. Namanya Dunzet. Seorang penjaga warung kelontongan. Dia berbaik hati memberikan kasbon kepadaku. Aku merasa terbuka kepadanya dan mencurahkan kegagalan ini.

“Ya sudah, anggap saja ini sebagai ujian,” katanya dengan mencoba berkata bijak yang menurut ku sangat membosankan. Aku tidak bisa membantahnya karena dia sudah memberi rokok. Ah, tapi dia bilang, “nanti kalau kamu sudah punya uang, ya, bayar.” Berarti apakah dia tidak benar-benar baik hati? Ataukah dunia ini sudah sewajarnya begini? Tidak ada yang gratis! Dan, aku menjadi orang kebanyakan yang menghamba kepada belas kasih dan uang.

Aku benar-benar sudah babak belur dalam menjalankan bisnis dan tidak mempunyai kesempatan kedua. Akibatnya aku merasa kapok dan tidak mau mengulanginya lagi. Sesuai dugaanku, hidup seorang yang ingin merintis sesuatu hal yang baru pasti sangat berat. Seharusnya aku memiliki pandangan orang jerman dalam mengumpulkan kekayaan: Semua modal itu harus dikumpulkan sedikit demi sedikit, dari generasi ke generasi. Sehingga jadilah sebuah perusahaan yang besar dengan kapital jumbo.

Malam-malam terasa sangat panjang. Suara jam yang berdetak setiap detiknya terasa seperti mengintimidasiku. Aku tidak tahan berdiam diri di rumah. Setiap malam yang sudah lingsir, aku berjalan ke luar tanpa arah dan tujuan. Menendang botol kosong yang dibuang orang sembarangan sambil melamun. Pikiran-pikiran jahat muncul di kepala, apakah aku harus menjadi maling? Terlalu beresiko. Pikiran itu langsung di bantah. Jika hanya menjadi maling kecil, tentu, bukannya tidak mungkin aku akan meregang nyawa karena dipukuli warga. Ah, betapa enaknya mempunyai jabatan, rintihku di dalam hati.

Aku sempat berpikir, apakah ini suatu karma? Ya, dulu sekali, sebelum menjadi kapitalis tanggung, aku adalah orang yang sangat menentang kapitalisme. Aku mengejek mereka sebagai pemerah susu sapi, dan para buruh itu seekor sapi yang keenakan diperas-peras susunya. Ujung-ujungnya aku mengakui, memang beginilah mekanisme dunia untuk mendapatkan uang. Mau tidak mau, seseorang harus bekerja atau berdagang. Jika tidak, ya, tadi, harus jadi penjahat. Aku tidak ingin ketiganya. Aku ingin suatu cara lain yang lebih instan dan bukan suatu tindak kejahatan kepada orang lain.

Tanpa sadar, aku sudah berjalan cukup jauh dan botol kosong itu masih ku giring. Aku sampai di kampung sebelah. Tepat di seberang pos ronda Kampung Alga. Ada beberapa pemuda yang tengah berjaga. Kepala mereka tertunduk menatap layar gawai masing-masing. Nampak sekali kecemasan di wajah mereka. “Aduh, anjing! Kurang satu, Kek!” pekik salah seorang dari mereka. Setelah kupincingkan mata, ternyata pemuda yang berteriak tadi itu Si Meki. Dia membuat suasana pos ronda menjadi gaduh. Sambil terperenjat, dia hampir saja membantingkan gawainya itu.

Aku menghampiri sambil bersandar dagu di palang kayu. Mereka semua tidak menyadari kehadiranku. Si Meki, kembali menegang. Dia menggigit jarinya. Terdengar suara lonceng berdenting. Sontak Si Meki menaikkan suara gawainya itu. Sehingga dia menjadi pusat perhatian sekali lagi. Raut wajahnya berubah puas. Tergelak. Dia dengan bangga melihatkan layarnya ke semua orang. Dan semua orang memberi selamat kepadanya.

Si Meki mengambil sebatang rokok. Menyulutnya, lalu berkata, “Ayo, Kek, bisa Maxwin![1]”

“Kali merah! ... Aduh!”

Aku sedikit melirik, layar itu menampilkan animasi Zeus, semakin ku teliti ternyata ada kotak berjejer delapan baris. Setiap baris berisi cincin, dan berbagai bentuk permata. Aku semakin mendekati mereka. Saat hendak ikut menundukan kepala ke layar gawai itu, Si Meki sekonyong-konyong melompat sambil berteriak.

“Yes, Kali merahnya! Maxwin! Maxwin!” Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Aku melihat, ada beberapa angka. Sepertinya jumlah rupiah.

“Weh, ada apa ini?”

“Si Meki jackpot!” jawab Si Kimos. Kemudian dia memukul Si Meki sambil berkata, “Mek, hajat Mek!”

“Gaassss! Amer boy, beli yang banyak! Tunggu, nih, WD[2] dulu gua!” jawab si Meki.

“Anjir, belaga jadi orang jakarta. Gak pantes blok! Makan masih sama asinan juga sia teh!”

Semua orang ikut tertawa. Tidak lama kemudian ada bunyi pemberitahuan uang telah berhasil masuk ke gawai Si Meki. Gila, Sepuluh juta cuma modal pencet-pencet doang! pekik ku dalam hati. Si Meki langsung menyuruh dua pemuda yang tidak ku kenal untuk membeli anggur merah sebanyak dua botol.

“Seriusan itu uang?” tanyaku memastikan.

“Iya, dong, booy, maenya daun,” cemooh Si Meki.

“Judi?”

Heeh, slot, keur usum ayeuna, yeuh gacor yeuh, lur[3]!”

Aku berpikir, ini adalah jalan yang selama ini aku cari.

*

Kejadian itu, yang kupikirkan dan tereka ulang di dalam kepalaku, adalah titik awal kemunculan hantu Fyodor Dostoevsky. Tepat sebulan yang lalu—saat aku sedang hancur-hancurnya menjalani hidup—aku mulai mengenal judi. Hanya beberapa jam saja, aku sudah menjadi seorang pecandu yang sangat menjengkelkan. Si Meki, memberiku modal lima ratus ribu, sebagai bentuk belas kasih—lebih tepatnya, sebagai bentuk bisnis yang ada di dunia perjudian.

Dia mematok bunga sepuluh perser dan harus aku harus melunasinya dalam waktu satu bulan. Jika tidak, aku akan kena denda tiga kali lipat. Untungnya, pada malam itu, aku menang. Sekitar satu juta setengah. Aku belum mengerti mekanismenya. Tetapi, kata Si Kimos, setiap putaran memiliki pola yang dapat menandakan terjadinya jackpot dalam waktu dekat. Aku langsung membayar hutangku ke Si Meki juga bunganya saat itu juga—tentunya dengan cara di transfer saat WD.

Aku juga langsung menghubungi Dunzet, meminta nomor rekeningnya untuk membayar bekas rokok. Rasa lega menghampiri. Setelah membayar hutang-hutang itu, uang sebagai modal masih tersisa. Aku ingat kemenangan tadi berasal dari taruhan yang sangat kecil. Hanya dua ratus rupiah. Kemenangan terbesar di dalam judi ini di kali lima ribu. Artinya, aku menang satu juta. Sisa lima ratus ribu lagi, aku menangkan dengan menjajal permainan lain. Jadi, total aku menarik uang adalah sebesar dua juta rupiah.

Astaga, hanya dalam beberapa menit!

Aku sangat merasa terbuai dengan kemenangan dan uang yang didapat secara singkat itu. Sempat terlintas di pikiranku untuk kembali merintis usaha kopi dari modal sekecil itu. Tetapi, Beelzebub berbisik merdu ke telinga sebelah kiri, “ayolah, main lagi, naikan jumlah taruhanya! Bayangkan, kamu memasang taruhan dua ribu rupiah! Hitung berapa keuntungan yang akan kamu dapat jika berhasil maxwin?”

Dan, terjadilah: Aku hancur di putaran ke dua. Semua keuntunganku tadi habis seketika. Dengan menaikkan jumlah taruhan, permainan berjalan sangat singkat. Memang, sekali putaran itu pecah, aku mendapat uang cukup besar. Tetapi, jika sepuluh putaran saja ampas semua, aku akan kalah telak. Era digital membuat semua ini tampak lebih cepat. Aku merengek ke Si Meki untuk diberi modal lagi, dia senang-senang saja karena ini adalah bisnis yang sangat menguntungkan baginya. Satu juta. Habis. Dua juta habis. Tiga juta. Hampir.

Aku bisa menahan diri. Anggur merah pesanan Si Meki datang. Kami minum bersama di pos ronda itu. Rasa mabuk kembali memacu andrenalin ku. Sekarang saatnya Si Kimos yang mendapatkan jatah jackpot. Aku merasa Leviathan sedang merengek di pundak ku. Membuat rasa iri memuncak. Beelzebub kembali berbisik untuk menaikkan jumlah taruhan, “ini untuk balasan atas kerugianmu tadi.” Tentunya, aku kalah lagi. Tanduk domba terasa mencuat dari kepala ku. Sathanas mulai merasukiku. Amarah meletup-letup. Aku membanting gawaiku sampai hancur. Dan, aku pulang.

Begitulah ceritanya, saat membuka pintu, hantu Fyodor Dostoevsky sudah nangkring dengan anteng di ruang tengah. Dia membaca-baca bukunya—ah, buku milik ku. Aku bertanya dan dia tidak menanggapi. Kemudian aku masuk kamar untuk merenung. Dan, setelah dihitung, Aku telah merenung dan mengurung diri di kamar selama satu bulan. Siang dan malam aku mengingat dan mereka ulang perjalanan hidup yang sulit. Aku hanya keluar kamar saat ingin makan dan berak. Aku menjadi semakin gila sendiri. Gatal. Menggaruk. Terus.  

Sesekali aku mengintip keluar kamar dan mendapati hantu Fyodor itu masih ada di sana. Kemudian aku juga mencuri kesempatan untuk keluar kamar sebentar dan mengulangi pertanyaan yang sama, “bagaimana rasanya menjadi hantu?” kemudian aku menanggapi sendiri, “akh, sepertinya enak menjadi hantu.” Kemudian ke kamar lagi. Mengurung diri. Merenung. Dan, aku merasa sangat jengkel saat hantu Fyodor itu mengacuhkanku. Aku berpikir, apakah dia tidak mengerti bahasaku? Ataukah mungkin hantu memiliki bahasa universal sehingga kita dapat berkomunikasi tanpa harus belajar terlebih dahulu? Jika, ya, aku harus berinisiatif menjadi hantu.

Ya, ini saat yang tepat. Sebelum Si Meki datang ke rumah untung menagih hutangku. Pada malam ini, di hadapan hantu Fyodor Dostoevsky, aku gantung diri—mendobrak langit-langit untuk mengikatkan tali. “Amor Fati Fatum Brutum, tai anjing!” umpatku sebelum mengikatkan simpul itu ke leher. Sesak. Dan, Saat napas terhenti. Tubuhku terasa ringan dan bisa melayang sesuka hati. Aku melihat tubuhku tertinggal. Lidah terulur dan tai beserta seperma keluar secara bersamaan[4]. Akhirnya, Aku dan Fyodor Dostoevsky saling berhadapan sebagai sesama hantu.

“Tertnyata seperti ini rasanya menjadi hantu,” celotehku.

“Ya ... andai saja aku tidak terjebak hutang dan berjudi ... mungkin aku bisa menulis cerita yang lebih hebat dari ini ...” [5]rintihnya.

[1] Batas maksimal kemenangan judi slot.

[2] Withdrawal, penarikan uang.

[3] Iya, slot, lagi musim sekarang, nih gacor nih, bro

[4] Kondisi yang otomatis terjadi saat seseorang melakukan gantung diri.

[5] Ratapan Fyodor Dostoevsky saat dirinya dikritik menulis karya yang buruk. Karya yang terlahir dari kondisi tersebut adalah The Gambler.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
sama-sama Kak
Iya bener banget kak, makasih banyak udah baca ceritanya
ENDINGNYA😭 penyesalan slalu datang belakangan kalau depan namanya pendaftaran. Btw, ramai jaman now judi online, bahkan ada yg sampai gila dan meninggal. Ceritanya bagus Kak. Menarik.
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Novel
Gold
Kagome-Kagome
Noura Publishing
Cerpen
Bronze
Rambut Kuntilanak
Vania
Flash
Bronze
Leak
Bakasai
Novel
Gold
Fantasteen Pangeran Mimpi Zera
Mizan Publishing
Novel
Gold
Misteri Sanggar Cinta
Mizan Publishing
Novel
SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA
Heru Patria
Cerpen
Bronze
Gaun Putih
SUWANDY
Cerpen
Sang Pembisik
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
Awal dari Akhir
Moment
Cerpen
Bronze
DIRUNDUNG
Ari S. Effendy
Novel
The Fifth Sense
Iqsal Anaqi Santosa
Novel
Gondo Mayit
Richi Rizkya
Cerpen
Bronze
Membunuh Benci
Aneidda
Cerpen
Bronze
Selamat Tidur
Egi David Perdana
Rekomendasi
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa