Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
AKU dan EMYU yang LESU
1
Suka
114
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Mei 2008

“Ya ampuuunn!!” Aku tak bisa menahan pekik ketika tendangan penalti CR7 mampu ditepis oleh kiper Chelsea. Seketika tubuhku lunglai. Aliran darahku membeku. Cairan bening mulai mengambang disudut mata. Nyaris tak percaya pemain idolaku yang justru gagal menyumbangkan poin di drama adu penalti itu. Selesai. Done. Rasanya pupus sudah harapanku melihat pasukan merah kesayanganku mengangkat piala Liga Champion tahun ini. Dengan lemas kuambil remote tv, bersiap untuk benar-benar menghentikan siksaan tak berdarah ini secepat mungkin. Melihat anak-anak Opa Alex tertunduk lesu meratapi kekalahan bukanlah tujuan utamaku begadang malam ini. Dan mungkin memang lebih baik tidur. Toh besok aku ada wawancara kerja. Mata panda saat wawancara pastinya tidak akan menjadi nilai plus, iya kan?

Jariku sudah di tumbol off ketika John Terry, penendang kelima Chelsea mulai berlari hendak menceploskan si kulit budar. ‘This is it!’ nelangsaku dalam hati. Hanya dalam hitungan detik kenyataan itu akan menghantamku. Memaksaku untuk bersiap dengan segala macam bulian dari teman-teman laknatku sesama pejuang Name Tag besok. Namun ternyata hanya dalam hitungan detik juga tiba-tiba seluruh keberuntungan di dunia ini menyerbu masuk stadion dan memayungi pasukan merah. Terry mendadak tak mampu berlari dengan sempurna. Ia tergelincir tanpa gaya. Dan YESS! Kedudukan kembali imbang. Andrenalin di pembuluh darahku yang sempat meredup padam seketika meninggi. Menguasai otakku yang dengan sigap meminta semua sistem di tubuhku untuk kembali terjaga. Harapan terbangun. Permainan belum selesai.

Hingga akhirnya pada kedudukan 6-5 untuk keunggulan Setan Merah, segala bentuk doa pun deras tertumpah dari mulutku mengiringi penendang ketujuh Chelsea menghampiri bola. Dan tampaknya Tuhan memang sedang tersenyum padaku. Edwin Van Der Sar mampu menepis tendangan pemain tersebut. Dan BOOOM!! 6-5! JUARAA! MANCHESTER UNITED RAJA EROPA!!

 

 

Mei 2012

“Payah! Percuma 4 tahun jadi kacung kalau nggak dapat prioritas sama sekali!” gerutu Dion sambil melempar ponselnya kasar ke meja. Aku pun sesungguhnya ingin melakukan hal yang sama sejak email pemberitahuan ke-tidak lulus-an itu kuterima tadi. Kesal. Gondok. Marah!

4 tahun sudah kami bertiga menjadi kacung alias pekerja kontrak disini. Dan seperti kata Dion, masih tidak ada prioritas bagi kami untuk lulus dari ujian perekrutan karyawan tetap di perusahaan ini. Gelar Sarjana? Hah! Apa itu harus? Toh jika karyawan-karyawan tetap itu mau jujur, kami lah yang paling produktif menyelesaikan tugas. Mereka hanya meneruskannya pada atasan yang bahkan tidak bertanya siapa yang sudah mengerjakannya. Perfect!

“Apa memang harus minimal S1 ya untuk jadi karyawan disini? Ck ... gua masih 2 tahun lagi baru lulus. Itu pun kalau bisa tepat waktu,” gumam Nino menepak keningnya sendiri.

“Yaah .. seenggaknya kalian masih punya harapan tahun-tahun depan. Lah gua kuliah aja enggak,” sungutku sembari mengangkat bahu. “Belum lagi background gua yang cuma lulusan SMK Tata Boga, gua bisa berharap apa?” Senyum tanpa hati pun mengembang diakhir kalimatku.

“Lex, lu emang cuma lulusan tata boga, tapi kemampuan komputer lu nggak kalah. Sabar aja, gua yakin bakal ada jalan koq buat kita. Ya semoga aja tahun depan ada kebijaksanaan baru lah dari perusahaan.” Dion si paling optimis telah kembali. Dengan cepat melupakan email ‘kematian’ yang diterimanya 15 menit yang lalu. Aku mencoba mengikuti energi itu sebelum tiba-tiba…

“Yah tambah lama lagi dah nabung buat ke Old Trafford.” Nino si paling berusaha mencairkan suasana memilih topik yang salah untuk berkelakar.

 “Aissh ...,” desisku lemas sembari menumpukan kepala ke meja. Dari sudut mata aku masih sempat melihat Dion mencolek lengan Nino. Ya Nino, diamlah! Tim merah yang gagal menjadi juara liga di menit-menit akhir itu bukanlah topik yang menyenangkan untukku saat ini.

 

Mei 2013

Aku termangu menatap berita itu di layar kaca. Ia benar-benar pergi. Pria tua itu benar-benar meninggalkan kami. Setelah bulan lalu mempersembahkan euforia besar juara Liga Inggris, ia memutuskan pensiun. Sir Alex. Yang namanya dimodifikasi bapakku untuk menamaiku. Tanpa peduli jika nama Alexa terdengar terlalu mewah untuk hidup kami yang sederhana. Sir Alex. Yang sosok keras namun hangatnya selalu jadi patokanku akan pemimpin terbaik. Tak ada lagi dia. Entah apa rasanya menonton MU tanpa lelaki itu berteriak sambil mengunyah permen karet dipinggir lapangan.

Ya, aneh pasti. Seaneh suasana kantor senin depan. Seaneh makan siang hampa tanpa Dion dan Nino yang memutuskan resign. Seaneh ke-naif-an mereka yang ingin memulai usaha mereka sendiri berdua. Dasar nekat!

 

Mei 2021

Dion terduduk salah tingkah dihadapanku. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ia hanya membiarkan segala resahku berkumandang diiringi isak tangis yg berusaha kutahan.

“Setidaknya semua jelas sekarang. Sudah berbulan-bulan ini kau digantung begitu saja oleh laki-laki pengecut itu.” Sahabatku sejak SMP itu akhirnya bersuara. Ya mungkin dia benar. Palu seolah sudah terketok memberi keputusan. Bukan rahasia lagi jika sudah beberapa bulan ini Haris bersikap dingin padaku. Mungkin dia mulai menyadari betapa aku memang tak pantas untuknya. Terlebih lagi sejak aku kehilangan pekerjaan karena PHK besar-besaran di perusahaan itu setahun yang lalu. Tak punya karir. Tak punya keluarga yang berselimut kekayaan. Penghasilanku dari membantu ibu berjualan soto di kantin sekolah tentu bakanlah sesuatu yang membanggakan. Apa yang bisa ia harapkan dariku?

 Tapi tetap saja! Mengakhiri hubungan 2 tahun ini dengan perselingkuhan yang tak terbantahkan itu, sungguh meremukkan rongga dadaku! Tak puas menangis dihadapan Dion sore tadi, malam ini aku kembali meraung menodai bantal MU kesayanganku dengan air mata yang kali ini kubiarkan. Menenggelamkan sekujur tubuhku dengan selimut merah berlogo besar klub kebanggaanku itu. Mungkin Dion salah. Haris bukan pengecut. Dia hanya berperan baik menjadi manusia picik. Atau manusia normal? Manusia yang akan selalu berambisi mengejar yang terbaik dan melepaskan yang tak lagi tampak menarik.

 

Mei 2025

Matahari yang berpijar riang diatas sana tampak seolah menertawakan ke-sial-anku. Sial, benar-benar sial. Romi sialan! Bisa-bisanya ia memutuskan sepihak hubungan bisnis kami! Dengan alasan ingin menambah penghasilan karena anaknya kini sudah 3 orang dan tidak mampu berbagi lagi denganku, ia tidak mempedulikan keberadaanku sama sekali. Keberadaanku yang selalu menemaninya meniti bisnis ini dari awal dengan berpeluh darah. Yang tak lagi dibutuhkannya ketika kini merasa mampu mengurusi apa yang selalu jadi tugas kebanggaanku.

3 tahun yang lalu saat mantan bos-ku mengajakku untuk menjadi partner bisnis anaknya, Dion sudah memperingatkanku. Berhati-hati lah dengan bisnis tanpa surat perjanjian hukum yang jelas. Aku menyadari itu. Namun kegiranganku untuk akhirnya memiliki bisnis sesuai keahlianku, bahkan tanpa perlu mengeluarkan modal, membuatku lalai. Terlebih lagi ketika restoran kami berkembang pesat. Hingga pada akhirnya, pekerjaan yang selalu ditunda hanya akan menjadi bom waktu yang keras menghancurkan.

Malam ini ditengah gemuruh runtuh harga diriku, aku hanya ingin mendapatkan sedikit pelipur dari pasukan merah andalanku. Berakhir di papan bawah klasemen liga, aku sangat berharap mereka bisa memenangkan final liga Eropa kali ini. Namun tampaknya, bahkan klub raksasa sekalipun tak mampu melawan takdir yang ganas. Menyerang bertubi-tubi dengan beringas, mereka pada akhirnya gagal menembus benteng pertahanan lawan hingga peluit akhir menjerit keras. That’s it! Manchester United tanpa gelar. Lagi! Aku dan MU-ku, ditakdirkan untuk terpuruk bersama. Tapi kami tidak hilang. Kami hanya perlu saling menguatkan.

Seharian mengurung diri di rumah, aku menyerah saat Dion mengajakku makan malam dengan teman-teman sesama karyawan kontrak dulu. Teman-teman yang cukup mengherankan, karena tak satu-pun dari mereka muncul di chat WA-ku dengan kata-kata godaan atas kekalahan MU dini hari tadi. Mungkin mereka bosan. MU sudah terlalu sering kalah. Sudah tidak seru lagi pasti. Haha! Setidaknya aku masih bisa tertawa walau hanya dalam hatiku yang miris.

Namun keheranan itu terhenti begitu aku masuk ke ruang tengah rumah Dion. Ruangan itu tampak cerah dengan dekorasi pita-pita dan balon merah putih berlogo MU. Kue tart berbentuk logo MU diatas meja tampak menggugah selera. Wajah-wajah familiar menyapaku dengan heboh, memamerkan jersey MU berbagai musim yang mereka kenakan. Untuk pertamakalinya dalam 2 hari ini aku tertawa lepas. Mereka boleh jadi hanya ingin menggodaku dalam bentuk lain. Namun bagiku, pernak-pernik MU yang terlihat sejauh mata memandang itu terasa begitu menghangatkan hati. Tak peduli seberapa bobrok-nya pasukan merah itu saat ini, aku tak pernah lelah untuk merasa bangga menjadi pendukungnya.

“Um ... Lex, aku punya hadiah buat kamu.” Dion menghampiriku saat kami semua asyik berbincang santai setelah makan malam. Ia lalu menyodorkan ponsel-nya. “Mungkin butuh waktu lama untuk kamu bisa nonton MU langsung di Old Trafford, tapi setidaknya kamu bisa nonton mereka langsung di Kuala Lumpur minggu depan.” Kalimatnya tenang namun tetap mampu membuat jantungku melompat tak berpola. Dengan mata membesar aku meneliti tulisan demi tulisan di ponsel Dion. Dan benar. Tiket elektronik stadion Bukit Jalil untuk 3 orang terpampang nyata disana.

“Tiket pesawat dan akomodasi juga nggak perlu kamu pikirin. Aku dan Nino yang mengurusnya,” sambung Dion lembut, diiringi senyum merekah Nino dibelakangnya. Untuk beberapa saat aku hanya terpana menatap ke dua sahabatku itu, dihiasi oleh siulan-siulan nakal disekelilingku yang sangat jelas menggodaku dan Dion. Perasaan lama yang tak pernah lagi aku rasakan, kini mengaliri sekujur tubahku. Dicintai. Diinginkan. Membuatku lupa bahwa dunia-ku diluar sana sedang tidak baik-baik saja. Tapi tak apa, dunia itu bisa kutenun kembali nanti. Saat ini aku hanya ingin menikmati waktu. Karena seperti MU bagiku, seperti itu juga aku bagi mereka. Tak peduli se-menyedihkan apa kondisinya, akan selalu ada pelukan hangat kesetiaan yang tak pernah lelah menjadi tempat bersandar.


TAMAT

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
An Ideal of Hope
SirGoodman87
Cerpen
AKU dan EMYU yang LESU
Reni Refita
Novel
Bronze
Pada Sebuah Foto
Diani Anggarawati
Novel
Yang Tenggelam di Dasar Kenangan
Herman Trisuhandi
Novel
Waktu Kedua
Noor Angreni Putri Hasim
Skrip Film
A15 - A16
Liz Lavender
Skrip Film
Persona (Script)
Imajiner
Skrip Film
CINTA SINTA KEPADA RAMA TAK TERGANTIKAN
Herman Trisuhandi
Flash
Tegar!!
pelantunkata
Skrip Film
Ambang
Dessy Oktavia
Flash
AYAM JANTAN BERTELUR
Gusty Ayu Puspagathy
Flash
Hilang
SAKHA ZENN
Novel
Mengulang kisah
Suyanti
Novel
Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)
Rivaldi Zakie Indrayana
Cerpen
Bronze
Formalitas di atas ranjang
penulis kacangan
Rekomendasi
Cerpen
AKU dan EMYU yang LESU
Reni Refita
Flash
Tawa Yang Terlepas
Reni Refita
Cerpen
Bronze
Secarik Kertas Dalam Tas
Reni Refita
Cerpen
Bronze
Tragically Yours
Reni Refita
Cerpen
Mori Dan Tetangga Depan
Reni Refita
Cerpen
Heart And Soul
Reni Refita