Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit Jakarta malam itu muram. Lampu-lampu jalan berpendar samar, menyinari trotoar yang dipenuhi asap rokok dan langkah kaki yang tak pernah berhenti. Di sudut Jalan Sabang, berdirilah seorang perempuan bertubuh mungil dengan gaun merah menyala. Namanya Vina.
Hanya mereka yang jeli bisa membaca kepedihan dari matanya. Di balik senyum dan sapaan genitnya, ada gelombang luka yang tak terlihat. Vina bukanlah pelacur sejak lahir, tidak pula terlahir untuk menjadi objek syahwat malam. Tapi hidup—kejam seperti biasa—telah membawanya ke sini.
Dulu, ia adalah anak tunggal dari pasangan pedagang kecil di Solo. Ibunya menjual gorengan, ayahnya tukang tambal ban. Mereka tak punya apa-apa selain cinta dan harapan. Tapi sejak ibunya meninggal karena stroke, dan ayahnya mulai sakit-sakitan, Vina terpaksa putus sekolah dan merantau ke Jakarta. Awalnya ia jadi penjaga toko, lalu kasir, lalu... pelayan bar. Hingga pada suatu malam, dengan linangan air mata dan tubuh yang menggigil, ia menjual dirinya untuk pertama kali.
"Itu hanya sekali," katanya waktu itu.
Tapi "sekali" adalah pintu yang tak lagi bisa ditutup setelah dibuka. Dunia malam menyambarnya cepat. Uang datang deras, tapi juga racun, hinaan, dan kehampaan yang terus menggerogoti jiwanya.
Namun di malam itu, sesuatu berbeda.
Seorang pria tua berpakaian sederhana, jubah putih dan peci lusuh, menghampirinya. Bukan untuk membeli dirinya. Tapi menatapnya dengan tatapan yang belum pernah ia rasakan: tatapan iba dan kasih, bukan nafsu.
"Anak muda," katanya lembut, "kau tampak tersesat. Tapi Tuhan tak pernah lelah menunggumu pulang."
Vina tertegun. Kata-kata itu membentur hatinya seperti palu. "Aku? Pulang? Pulang ke mana? Aku bahkan tak tahu siapa diriku lagi..."
Pria itu tersenyum. "Kau butuh Tuhan."
Air mata yang selama ini hanya menetes dalam sunyi, malam itu mengalir di tengah keramaian.
Malam itu, hujan turun pelan. Lampu-lampu jalan seperti redup, kalah bersinar oleh gemerlap toko dan klub malam yang berjejer sepanjang jalan. Vina masih berdiri di sana, termangu, menatap langkah pria tua yang perlahan menjauh. Kata-katanya terus bergema dalam benaknya:
> “Kau butuh Tuhan...”
Ia berjalan ke sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, duduk sendiri, dan memesan teh manis. Tangannya gemetar saat mengangkat cangkirnya. Entah karena dingin, atau karena isi kepalanya yang tak berhenti meninju kesadarannya.
“Bu, bapak tua itu siapa ya? Yang barusan lewat sini...” tanyanya lirih pada pemilik warung.
Wanita itu melirik ke arah jalanan. “Oh, itu Kyai Mahmud. Dia sering keliling malam-malam, bukan untuk berdakwah, tapi untuk mengingatkan orang-orang—bahwa kita masih punya Tuhan.”
Vina terdiam.
“Mereka bilang dia dulu orang berada. Tapi sejak kehilangan anak dan istrinya karena kecelakaan, dia berhenti dari dunia usaha, dan memilih hidup untuk bantu orang-orang seperti kita.”
“Seperti kita?”
“Orang-orang yang terluka dan berusaha bertahan.”
Hening. Vina menggigit bibir bawahnya. “Dia bilang... aku butuh Tuhan.”
Pemilik warung tersenyum. “Kita semua butuh Tuhan, Nduk. Tapi tak semua dari kita menyadarinya.”
Pagi harinya, Vina bangun di kamar kos sempitnya yang pengap. Dindingnya berjamur, kipas angin tua di atas kepala berdecit setiap beberapa detik. Di meja, tersisa satu bungkus roti tawar dan uang receh di toples kecil. Ia duduk, menatap cermin kecil di dind...