Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Remang. Di sudut kamar itu seorang gadis bertelekung putih tengah menadahkan tangannya. Lamat-lamat ia marapal doa. Komboskini, tasbih khas Kristen orthodox, dengan jumlah 33 butir di tangannya terus berputar entah sudah kali yang keberapa. Bibirnya terus melafazkan puji-pujian untuk sosok yang ada di hadapannya. Sesekali matanya menatap sendu sebuah icon[1] di hadapannya. Sosok perempuan istimewa tengah tersenyum teduh tergambar di sana. Sebuah gambar khas sosok perempuan yang tengah menggendong putera tercintanya seolah menatap mata gadis yang tengah gelisah dan memiliki nama yang sama: Maria.
Malam itu terasa berbeda baginya. Sejak pukul empat pagi ia terjaga. Kini menjelang jarum jam menunjukkan tepat pukul lima ia belum juga menyudahi doanya. Matanya membasah. Bibirnya mulai kelu. Jemarinya mulai letih menghitung butir-butir komboskini yang sejak satu jam lalu. Tubuhnya mulai lelah. Ia menjatuhkan dirinya di atas karpet merah kecil seukuran sajadah. Ia tersungkur pasrah. Namun hati dan pikirannya terus dijejali dengan seribu tanya yang mengganggu imannya. Entah di mana ia harus mencari jawabannya.
Sebuah pertanyaan sangat sederhana terus mengganggu pikirannya saat ia berkunjung ke rumah ayahnya bulan lalu. Pertanyaan itu selalu terngiang di benak gadis yang baru saja genap berusia 25 tahun beberapa hari lalu itu. Lima menit berlalu ia terhentak dari lelapnya. Alarm yang di pasang di handphone yang ia letakkan di atas kasur berteriak membangunkannya. Gontai dengan mata separuh terbuka ia merambat menyusuri tempat tidur dan meraih handphone-nya. Matanya dibuka agak lebar saat ia melihat ada pesan masuk di WhatsApp dari nama yang tak asing lagi baginya.
“Hai cantik jangan lupa berdoa.”
Pesan singkat penuh makna itu dari seorang gadis jelita pemilik retina coklat berkulit putih dengan tinggi bak model internasional. Fatima namanya.
Keduanya berpisah tak berapa lama setelah keluar hasil sidang di pengadilan agama tiga tahun lalu saat hakim memutuskan kedua orang tua mereka harus berpisah. Maria memilih tinggal bersama sang ibu, sementara Fatima bersama sang ayah. Meski jarak mereka tak begitu jauh, Maria di Jakarta dan Fatima di Bandung, namun kesibukan keduanya terpaksa membuat komunikasi kadang hanya sebatas telepon, video call atau bahkan chat saja.
Mereka berdua ibarat bercermin saat berhadap-hadapan. Mereka hampir sepenuhnya serupa dalam segalanya, namun tidak dalam akidah. Sejak tiga tahun lalu pemilik nama asli Hanna Carissa mengubah namanya menjadi Fatima Haura Insiyah seiring berubahnya iman di dada mengikuti keyakinan sang Ayah. Sementara sang kembar tetap dalam keyakinannya sejak semula mengikuti keyakinan ibunya dan masih dengan nama yang sejak lahir diberikan oleh kedua orang tuanya: Maria Carissa.
Dari ujung kaki hingga atas kepala hampir tak ada yang bisa membedakannya, kecuali sang ibu yang telah mengandungnya. Jika tidak diperhatikan secara seksama mereka hampir tak ada beda. Kecuali ada bekas goresan di dekat alis Maria sebagai pembeda diantara keduanya. Itu pun mulai samar seiring usia Maria bertambah dewasa dan mulai pintar menutupi goresan tersebut dengan menyamarkannya dengan pulasan make up.
Bahkan sang ayah sering salah menerka mereka. Mereka suka usil bertukar peran untuk mengerjai ayahnya sebab sang ayah paling sulit membedakan kedua putri kembar identik kesayangannya. Seperti yang mereka lakukan beberapa waktu lalu saat Maria berkunjung ke Bandung sambil menengok sang ayah. Mereka mengerjai sang ayah dengan melakukan penyamaran. Mereka saling bertukar peran. Maria menjadi Fatima. Fatima menjadi Maria.
“Ayah …,” panggil Maria dan Fatima kompak sambil tersenyum berdiri di hadapan sang ayah yang sore itu tengah membaca koran di teras rumah.
“Tebak …,” ucap Fatima cengengesan disambut cekikikan Maria karena melihat sang ayah kebingungan.
Kali ini mereka berdua memakai pakaian yang sama. Bergo putih pendek sedada dipadupadankan dengan gamis polos dengan potongan sederhana. Modelnya hampir sama namun mereka memakai warna yang berbeda.
“Kali ini ayah nggak bisa dikadalin kalian lagi hehehe,” ucap sang ayah sambil meletakkan korannya di atas meja.
“Kalau kali ini ayah salah, malam ini kita makan-makan mewah di luar oke?”
“Tapi kalau ayah yang benar?”
“Ah … nggak mungkin,” sahut Fatima.
“Kali ini ayah pasti kalah lagi,” ucap Maria.
“Kalau ayah yang menang, kalian harus pijitin ayah ya hahaha,” ucap sang ayah sambil tertawa bahagia sambil menggeliatkan badannya, “aargh … asik juga nih bakalan ada yang mijit. Pas banget badan ayah lagi pegel-pegel.”
“Buruan tebak, aku udah nggak sabar mau makan enak,” ucap Maria.
“Eits … kita lihat nanti siapa yang akan jadi pemenangnya,” ucap sang ayah sambil berdiri mendekat ke arah mereka.
Maria dan Fatima sangat yakin kali ini ayahnya akan salah menerka seperti yang sudah-sudah. Sementara sang ayah kali ini sangat yakin akan menjawab dengan benar atas tantangan kedua putrinya. Sang ayah berputar mengelilingi keduanya sambil mencium aroma tubuh sang putri kembar kesayangannya. Melihat kelakuan sang ayah, Maria dan Fatima tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya dengan tangan. Setelah tiga kali berputar mengelilingi mereka, sang ayah pun menebak.
“Gamis warna tosca, hmmm … “ Ayah berpura-pura berpikir sejenak padahal sejatinya sang ayah yakin benar dengan jawabanya.
“Tiga … dua … satu ,” Fatima menghitung mundur agar sang ayah segera menjawabnya.
“Fatima memakai gamis warna hijau muda. Maria memakai gamis warna tosca,” jawab sang ayah yakin, “Benarkan?”
Maria dan Fatima saling berpandang-pandangan sambil melipat wajahnya tanda kalah dari sang ayah. Mereka heran bagaimana kali ini sang ayah mampu menebaknya dengan benar.
“Ah … palingan cuma kebetulan saja,” tebak Maria.
“No … no … no ….”
Keduanya mencium aroma tubuh masing-masing lalu membandingkan aroma keduanya.
“Wanginya sama,” ucap Maria.
“Aroma pewangi cucian,” tambah Fatima.
“Bukan karena aromanya. Tadi ayah hanya acting saja. Biar kelihatan dramatis gitu, hahaha ….”
“Terus?” kompak keduanya.
Sang ayah menunjuk ke arah dada tepat di ujung bergo yang dipakai Maria.
“Argh …,” kesal Maria karena lupa memasukkan kalung salib hingga sang ayah bisa melihat itu tersembul dari balik bergonya.
***
Pagi hari saat matahari mulai sedikit menghangatkan bumi, Maria sudah siap di meja makan menemani sang ibu sarapan. Sebenarnya sabtu pagi itu Maria masih ingin terus berbaring setelah lelah berdoa semalaman. Namun ia tak ingin membiarkan ibunya sarapan sendirian. Ingin selalu menemani sang ibu bagaimana pun keadaannya.
“Mukamu pucat gitu. Kamu sakit?” tanya sang ibu.
“Ah, nggak bu. Mungkin kurang tidur aja tadi malam.”
“O iya jangan lupa nanti jemput adikmu jam satu siang di Gambir ya?”
Maria menengok jam yang ada di dinding. Jarum jam tepat berada di angka sembilan.
“Loh kok tumben naik kereta, biasanya ayah yang antar?”
“Lagi pengen naik kereta katanya. Lebih cepat sampai juga. Nggak kena macet. Gitu katanya.”
“O …,” singkat Maria, “O iya bu, minggu aku nggak ke gereja dulu ya?”
“Loh kenapa?”
“Kan ada Kak Fatima. Masa kita tinggalin dia sendirian di rumah. Kasihan.”
Sejurus kemudian mata sang ibu menampakkan kesedihan. Maria tak begitu memperhatikan raut wajah ibunya yang begitu menyesali pilihan hidup Fatima menjadi seorang muslimah.
“Seandainya saja Fatima tidak berpindah keyakinan seperti ayahnya, tentu kebahagian ibu akan sempurna.”
“Setiap orang kan punya jalan hidupnya masing-masing kan, Bu.”
“Kau tak ada niat berpindah keyakinan mengikuti ayahmu kan?”
Maria kaget mendengar pertanyaan ibunya. Ia tersedak. Segera ia mengambil air putih di dekatnya lalu meminumnya untuk melancarkan makanan yang tersangkut di tenggorokan. Maria tak menjawabnya. Jujur hatinya gelisah sejak Fatima mengajukan beberapa pertanyaan terkait keyakinannya. Usai sarapan Maria kembali ke kamar. Ia bersiap-siap untuk menjemput Fatima.
***
Lima belas menit sebelum pukul satu siang Maria sudah tiba di Gambir untuk menjemput Fatima. Sejak diperjalanan menuju Jakarta, Fatima dan Maria sudah berkomunikasi melalui chat di WhatsApp. Serelah menunggu sejenak akhirnya mereka pun bertemu dan segera pulang. Pertemuan mereka kali ini bukan seperti pertemuan yang sudah-sudah. Katanya ada rahasia besar yang ingin Maria sampaikan kepada Fatima. Sepanjang perjalanan menuju rumah mereka berbincang santai sambil di temani musik era 90-an yang terdengar sayup-sayup yang diputar oleh sopir taksi online. Sesekali sang sopir melihat dari kaca spion tengah ke arah belakang. Sopir agak heran melihat Maria dan Fatima.
“Neng, kembar ya?” ucap sang sopir memberanikan, “mirip banget.”
“iya pak,” jawab mereka kompak.
“Biasanya kan kalo kembar sampai bajunya juga sama. Kaya tetangga saya gitu yang punya anak kembar. Dari ujung kaki sampai ujung kepala sama semua. Yang ini kok beda? Hehe maaf ya, Neng.”
“Kakak saya pakai hijab karena dia muslimah,” jawab Maria.
“Lah, berarti si neng yang satu lagi?”
Maria hanya tersenyum melihat sang sopir keheranan. Sementara itu mobil terus melaju ke arah rumah mereka di selatan Jakarta. Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya mereka pun tiba di rumah. Rumah tampak sepi. Tidak ada orang di rumah. Sang Ibu yang sejak siang tadi pergi belanja ke swalayan rupanya belum pulang. Maria membuka pintu rumah dengan kunci cadangan. Melihat sofa empuk di ruang tamu, Fatima langsung merebahkan badannya di sana. Sementara Maria berjalan ke dapur dan membuat dua gelas sirup yang ditambahkan es batu untuk mereka berdua.
“Wah pas banget, panas-panas, haus, ada sirup dingin seger nih,” ucap Fatima saat melihat berjalan ke ruang tamu dengan dua gelas sirup di tangannya.
Fatima bangkit lalu menyeruput sirup yang diberikan Maria.
“O iya, ada rahasia apa sih yang mau kamu ceritakan?” tanya Fatima penasaran, “lagi berantem sama pacarmu? Atau jangan-jangan kamu udah punya pacar baru?”
Maria menggeleng dan langsung menyandarkan tubuhnya di sofa. Raut wajah Maria berubah. Fatima merasakan getaran yang berbeda saat melihat wajah Maria. Seperti ada beban berat yang ingin disampaikannya.
“Kau masih ingat terakhir kita bertemu?” tanya Maria.
“Iya, kenapa?” heran Fatima.
“Pertanyaanmu waktu itu sudah mengobrak abrik perasaanku, Fatima.”
Ingatan Maria kembali pada saat ia menginap di rumah ayahnya.
***
Malam itu bakda isya, di kamar Fatima mereka berbincang santai. Hingga ada kejadian di mana Maria membuka Alquran milik Fatima yang tergeletak di atas meja. Maria membuka secara acak Alquran yang ada di tangannya. Tepat di halaman 120, Alquran surat Almaidah. Maria membacakan salah satu terjemahan ayatnya di sana.
“Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu),” ucap Maria membacakan terjemahan ayat 75 di hadapan Fatima.
Fatima kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Maria. Biasanya dia tak peduli bahkan enggan menyentuh Alquran miliknya. Tapi kali ini Maria membaca terjemahannya. Tiba-tiba, entah sudah direncanakan sebelumnya atau tidak, Fatima menanyakan sebuah pertanyaan kepada Maria. Pertanyaan paling sensitif dalam kehidupan manusia. Tentang sebuah keyakinan. Tentang pilihan hidup yang begitu berat pertanggungjawabannya kelak dihadapan Sang Pemilik Jiwa. Bagi Fatima pertanyaanya sangat sederhana. Namun bagi Maria, pertanyaan itu yang akhirnya mengganggu pikirannya.
“Jika Yesus TUHAN, bagaimana cara Maria menyembahnya? Bagaimana cara Maria menyembah Yesus yang saat itu berada di dalam rahimnya?”
Maria terhenyak. Ia memandangi saudara kembarnya itu penuh tanda tanya.
“Apa maksud Fatima bertanya seperti itu?” batin Maria.
“Bagaimana mungkin Maria menyembah bayi yang menetek dari air susunya. Bahkan aku sempat berpikir, bagaimana jika saat itu Maria keguguran? Bagaimana jadinya dengan eksistensi agama Kristen?” Fatima melanjutkan lagi pertanyaan-pertanyaannya tanpa menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan itu membuat geram Maria.
***
Maria mengambil bergo dari dalam tasnya. Maria memakai bergo putih milik Fatima yang ia ambil secara diam-diam saat menginap di rumah ayahnya.
“Sekarang panggil aku Maryam. Bukan Maria.”
Fatima heran. Sementara Maria tersenyum tulus di hadapannya.
“Ma … maksudmu?” heran Fatima.
Lagi-lagi Maria tersenyum lembut. Fatima pun tersenyum. Kali ini ia paham maksud dari ucapan adiknya. Doa yang sering ia lafazkan kepada Sang Pemilik Jiwa kini menjelma nyata: Rabb persatukanlah kami di dunia hingga ke surga.
Tak berapa lama ada meluncur kristal bening dari mata Fatima. Mata maria berkaca-kaca. Dalam hatinya, Fatima tak henti mengucap syukur.
“Aku ingin sepertimu juga, menjadi muslimah.”
Brug. Terdengar suara benda terjatuh dari arah pintu tepat saat Maria mengungkapkan perasaannya. Mereka memalingkan pandanganya ke arah sumber suara. Ibu mereka berdiri di sana. Kantong belanjanya jatuh ke lantai dan isinya berserakan kemana-mana. Ada genangan air mata di kelopak mata sang ibu. Mukanya menunjukkan raut kecewa atas apa yang sudah ia saksikan. Hatinya hancur berantakan mendengar pernyataan sang bungsu kepada kakaknya. Lalu meluncur air mata kecewa di kedua pipinya sambil menyebut pelan nama putrinya.
“Maria ….”
****
[1] Icon atau Ikon berasal dari bahasa Yunani εἰκών eikōn yang artinya "gambar". Icon adalah sebuah lukisan yang menggambarkan Yesus, Maria, santo/santa dan/atau malaikat yang dimuliakan oleh penganut Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan terkadang gereja-gereja katolik timur.