Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Anak Daerah yang Beruntung
Desas-desus tentang SMA Nusa Bangsa sudah sering Randy dengar bahkan di sudut kota kecilnya, Cilegon. Konon, sekolah itu adalah salah satu institusi pendidikan paling tua, paling bergengsi, dan paling diminati di Indonesia, berlokasi di sebuah kota tua yang dipenuhi jejak-jejak sejarah kolonial Belanda. Kota itu sendiri bernama Kota Kencana, sebuah nama yang konon diberikan karena kekayaan warisan budaya dan arsitekturnya. SMA Nusa Bangsa bukan sekadar sekolah, melainkan sebuah lambang prestise, sebuah gerbang menuju masa depan cerah bagi setiap siswa berprestasi yang berhasil menembus seleksinya yang ketat. Selama bertahun-tahun, Randy hanya bisa membayangkan dirinya melangkah di koridor-koridor megah sekolah itu, berinteraksi dengan guru-guru hebat, dan bersaing dengan siswa-siswa terpilih dari seluruh Nusantara.
Maka, ketika selembar surat dengan kop resmi SMA Nusa Bangsa tiba di rumahnya yang sederhana di Cilegon, Randy hampir tidak bisa mempercayai apa yang ia baca. Jantungnya berdegup kencang, memompakan adrenalin ke seluruh tubuhnya. Matanya tak lepas dari tulisan: "Dengan bangga kami memberitahukan bahwa Saudara Randy Pradana, lulusan SMP Harapan Bangsa, telah diterima sebagai siswa baru tanpa tes melalui jalur khusus prestasi daerah terpencil." Sebuah kesempatan emas, sebuah anugerah tak terduga. Ia, seorang remaja enam belas tahun dengan cita-cita setinggi langit, akan merantau, meninggalkan rumah, orang tua, dan semua kenyamanan yang selama ini ia kenal. Ia akan melangkah ke sebuah kota asing, ke sekolah impian yang selama ini hanya ada dalam lamunannya.
Bapak Slamet, ayahnya yang seorang petani dengan tangan kasar dan tatapan mata penuh kehangatan, mendekat dan menepuk pundak Randy dengan bangga. "Nak, ini adalah jalan yang dibukakan Tuhan untukmu. Jangan sia-siakan setiap detik yang kamu miliki di sana." Wajahnya berkerut oleh garis-garis kelelahan, namun senyumnya tulus dan penuh dukungan. Ibu Lastri, ibunya yang selalu lembut dan perhatian, memeluknya erat, air mata membasahi pipinya yang keriput. "Jaga diri baik-baik, ya, Nak. Makan teratur, jangan lupa beribadah, dan jangan lupakan kami di sini." Suaranya bergetar, diselingi isakan lirih. Randy mengangguk, dadanya meluap-luap dengan campuran semangat, haru, dan sedikit rasa gugup yang tak bisa ia jelaskan.
Persiapan keberangkatan dilakukan dengan sederhana. Randy hanya membawa sebuah tas ransel yang tidak terlalu penuh berisi beberapa pakaian, buku pelajaran SMP, dan sebuah kamus usang peninggalan kakeknya. Namun, di dalam hatinya, ia membawa impian yang jauh lebih besar, sebuah harapan akan masa depan yang cerah, penuh pembelajaran, dan pengalaman baru. Di hari keberangkatan, keluarga besarnya berkumpul untuk mengantarkannya ke terminal bus. Neneknya memberikan sebungkus rendang buatan sendiri, berpesan agar Ra...