Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku Banyak Belajar Dari Ibuku
Oleh: Faisal Dzakwan (Santri Kelas 3A KMI Dayah Perbatasan Darul Amin)
Ayam berkokok di luar rumah, embun-embun menghalangi pandangan. Surau-surau mengumandangkan azan. Di akhir lantunan ditambah satu kalimat yang betbunyi,
"Asshalaatu khairumminannaum..." Fajar yang sepi diindahkan oleh deburan ombak yang hilir mudik diterpa angin.
"Bangun... Bangun..! Salat subuh dulu!"
"Ya, ya, aku bangun." Mak Joko selalu membangunkannya dengan tegas agar anaknya disiplin, tetapi harapannya selalu beku dengan sikap Joko yang keras kepala.
Matahari menyongsong dari ufuk timur. Nelayan malam mulai menepi membawa hasil usaha semalaman. Anak sekolah mulai menyisiri jalanan, mengejar ilmu pengetahuan untuk masa depan. Sementara itu, di pesisir lain sebuah rumah terapung yang telah lusung. Terdapat seorang bujang lapuk yang mendaki umur hampir kepala tiga yang menghabiskan masa remajanya tanpa berusaha mencari pekerjaan. Dialah Joko yang tak paham arti kehidupan. Setiap hari, ibunya selalu merepet bagaikan panci yang dijual di pasar. Dan tiba-tiba, "Plak!" sebuah telapak tangan mendarat di pipinya.
"Enak sekali memang, ya! Kalau sudah diselimuti iblis nereka, salat pun ditinggal entah di mana!?"
"Haa, emangnya sekarang jam berapa, Mak?"
"Jam sebelas malam. Pergi ke warkop sana! Pak Cik judimu udah nunggu." Ujar mak Joko dengan nada yang mengartikan kegeraman yang tak terperi. Setiap ibunya ceramah pagi, selalu dijawabinya dengan sebuah kata-kata, yang kalau orang lain mendengarnya ingin rasanya dicampakkan bujang lapuk itu ke tengah laut sana.
"SMA pun nggak tamat, jadi bagaimana mungkin aku bisa dapat pekerjaan?!" Itulah jawaban Joko setiap pagi, mungkin saja kata-kata itu tidak akan pernah bosan diucapkan oleh laki-laki bibir hitam karena sangat candu merokok itu. Sampai habis waktu bumi berotasi, mungkin saja.
Di sisi lain, seorang wanita berperawakan kurus yang berstatus tamat SMA, yaitu adiknya Joko sendiri, Nurhati namanya. Begini defenisinya, Nurhayati adalah adik kandung dari Joko. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, tetapi kini harus menjadi tulang punggung keluarga karena abangnya yang sudah berewokan tidak bekerja. Jarak umur Joko dengan Nurhayati adalah sepuluh tahun, tetapi tampak dari sikap Nurhayati itu, ia jauh berpikir lebih dewasa dari abangnya.
Setiap pagi, Nurhayati selalu berlomba-lomba dengan waktu untuk mengejar angkutan umum di persimpangan jalan sana. Ia harus pergi ke pasar untuk berdagang menjual ikan hasil tangkapan tetangga, bukan ayahnya. Karena ayahnya telah bercerai degan ibunya di saat ia masih dibuai-buai, ayahnya hanya pergi seorang diri dan meninggalkan ibunya menjadi janda dua anak. Tetapi, tak ada kata putus harapan di benak ibunya. Sampai akhirnya, keluarga itu masih bertahan sampai saat ini.
Nurhayati tidak tega dengan ibunya, ia memaksa agar ibunya cukup istirahat saja di rumah. Sementara abangnya berbeda, Joko itu lebih penting baginya judi dan semua pokok kesesatan. Sampai-sampai emaknya pernah mengatakan kepadanya.
"Emang kamulah anak yang nggak tau malu, ya! Adikmu nggak jadi sekolah tinggi-tinggi karenamu. Emang sama ya sifat bapak dan anaknya. Tidak tau untung!" Ungkap ibu yang telah menua itu. Mungkin kalau orang yang berpikir merasa itu adalah suatu ungkapan kesal seseorang yang membuat pelaku yang mendengarnya sakit hati. Joko berbeda dari yang lain, ia sama sekali tidak mengindahkan satu huruf pun yang diungkapkan ibunya.
***
Di suatu sore yang cerah, tentunya banyak muda-mudi yang berkeliaran di jalanan. Apalagi daerah seperti kampungnya Joko, pesisir. Ya pesisir memang banyak sekali pantai dari barat membujur ke timur. Atau sebaliknya, dari selatan melintang ke utara. Tak dapat ditentukan, apalagi pantai sebagai tempat yang cocok untuk menikmati sunset.
Berbeda dari remaja lainnya. Nurhayati lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan rumah di sore hari, situasi seperti ini membuatnya menjadi bahan olok-olokkan tetangga.
"Emang keluarga aneh, ya! Abangnya jadi lajang lapuk yang tidak punya gairah hidup, sementara adiknya tidak pernah bergaul dengan siapa pun." Hujatan tentangga di dalam acara rumpi sore emak-emak, Nurhayati sering mendengarnya. Ingin rasanya ia mengingatkan untuk tidak ada lagi siapa pun yang mengghibah keluarganya, tetapi ia tidak sanggup menantangnya. Sempat juga ia katakan pada ibunya, tetapi respon ibunya hanya mengatakan dengan singkat.
"Kamu itu sabar saja, kita hidup itu memang untuk diuji. Semua ada hikmahnya." Hanya itu saja tanggapan ibunya tanpa ada rasa yang tergeming di hati ibunya untuk membalas. Kakaknya Joko justru memarahinya apabila ia ingin meminta pendapat dan perlindungan.
Matahari sore semakin lama semakin berat rasanya, badannya yang seharian penuh menyinari jagat raya ini. Akhirnya ia pun memutuskan untuk beristirahat sejenak dan besok akan muncul lagi seperti sedia kala. Di penghujung tenggelamnya ufuk barat, ia mengeluarkan aura senja yang sangat ditunggu-tunggu umat manusia, dihiasi dengan burung pesisir yang terbang tunggang-langgang tak tentu arah.
"Joko salat sana! Jangan makin tua makin kafir!"
"Ya,ya."
"Bawa adikmu salat, dengarkan ceramah ustadz. Jangan pulang sebelum salat isya." Tekan emak Joko kepadanya agar ia perlahan taubat. Dengan gerak-gerik Joko yang sudah terbaca emaknya, mereka pun meninggalkan emaknya.
"Pakai kopiahnya betul-betul, jangan kayak gaya orang seberang!"
"Emak memang kayak guru TK, ya. Selalu ngatur hidip orang. Dari kecil sampai besar selalu diatur-atur, sampai kapan aku mau emak atur, sapai mati, ha?!" Dihanturkan Joko sebuah kata-kata pamungkas yang menyebabkan battle mulut beberapa saat, sampai akhirnya dilerai oleh Nurhayati yang menarik abangnya keluar dan menuntun abangnya yang sedang mengoceh itu ke masjid.
Jantung emaknya kian hari kian longgar dibuat ulah Joko yang semakin menjadi-jadi, tak tahan lagi rasanya tubuh yang sudah senja usianya itu melihat perilaku anaknya yang tak ada ubahnya. Sampai ketika selesai salat isya, surau sudah sepi, yang paling jelas terlihat yang tertinggal di depan surau adalah sebuah keranda mayat yang menunggu penumpangnya untuk diantarkan ke alam berikutnya. Pikiran Nurhayati makin aneh-aneh saja, di benaknya timbul suatu kalimat, "Bagaimana kalau misalnya emak sudah tiada, apakah, Abang bisa bertaubat?" Langsung ia bersedih di tengah jalan, ia terus menyusuri jalan yang hanya disinari oleh lampu kuning jalanan sembari diterpa angin malam.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, abang kamu mana?" Emak Joko yang keheranan karena Joko tidak terlihat.
"Tadi waktu aku pergi salat magrib, masih didampingin bang Joko. Tapi, dia berhenti di warung. Dia bilang sama aku, dia enggak mau balik ke rumah." Dengan gagap dan lesu, Nurhayati menjawab pertanyaan emaknya. Tanpa ambil pusing, emaknya langsung pergi saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Nurhayati.
Emak Joko bergegas pergi ke warung, didapatinya di sana anak-anak muda yang tidak berbicara satu sama lain. Semuanya asyik dengan androidnya.
"Nak, nampak Joko, nggak?" Emak Joko bertanya kepada salah seorang lelaki setngah baya yang duduk di dekat pintu warung.
"Oh tadi saya lihat dia berangkat sama temannya, ke kampung sebelah, Buk." Dengan perasaan yang khawatir, emaknya pulang dan seketika jatuh pingsan. Orang-orang yang berada di warung seketikalangsung memanggul ibunya dan memanggil dokter terdekat, ketika itu juga dokter datang lalu memeriksa kondisinya emaknya Joko.
"Ibu ini terjangkit stroke ringan." Gumam dokter kepada Nurhayati. Dokter mejelaskan, bahwa selama ini emak Joko terlalu larut dalam berpikir. Nurhayati sadar akan itu. Dengan bergegas, Nurhayati meminta tolong kepada teman Joko agar segera menghubunginya. Malam semakin larut, tanpa disadari datang sebuah cahaya sorotan dari motor yang melaju mendekat. Sesampainya di depan rumah, Joko lari meuju kamar emaknya. Di sebuah dipan, emak Joko terbaring lemas tanpa bicara. Nurhayati menjelaskan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi, dengan penuh rasa menyesal Joko termenung di hadapan emaknya.
"Maafkan, Joko, Mak. Joko tahu semua ini akibat ulah Joko, Mak. Sembuh ya, Mak, Joko ingin emak melihat Joko yang baru. Aku banyak belajar dari, Emak." Dengan tangisan pilu, sebuah cahaya rembulan menembus jendela. Ia menyaksikan seorang lelaki yang tidak tahu arti hidup, kini menyadari kesalahannya. Joko ingin menebus dosanya di hadapan orang tua satu-satunya dengan meminta maaf. Tetapi, apakah Sang Khaliq masih memberi umur pada emaknya atau sebaliknya, kita semua tidak tahu rahasi-Nya itu.
Gedung Sudan- Darul Amin
Rabu Pagi, 10 Januari 2024