Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit cerah, suara burung terdengar lebih riang, dan bau masakan Ibu memenuhi rumah. Tapi yang paling kusukai dari hari Minggu… adalah kepulangan Ayah.
Ayah selalu datang dengan suara motornya yang khas. Aku hafal bunyinya—bergetar pelan dari ujung gang, lalu berhenti tepat di depan rumah. Setelah itu, Ayah masuk, mengacak rambutku sambil tertawa, dan Ibu… Ibu akan tersenyum sambil membawa piring-piring berisi makanan kesukaan Ayah. Kesukaan kami berdua.
Tapi pagi itu berbeda.
Aku duduk di dekat jendela sejak matahari belum tinggi, menunggu suara yang tak kunjung datang. Jam sudah lewat dari biasanya, tapi halaman masih kosong. Tidak ada motor. Tidak ada Ayah. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya, dan wajah Ibu terlihat lelah. Tak ada nasi goreng, tak ada senyum. Hanya bau samar air panas dari dapur.
“Raka, buatkan adikmu susu!” seru Ibu tiba-tiba dari dapur.
“Iya, Bu,” jawabku cepat-cepat, berharap bisa sedikit membantu.
Aku pun bergegas ke ruang tengah, mengambil termos dan meletakkannya di atas meja makan. Kuambil dua sendok bubuk susu dan menuangkannya ke dalam botol, lalu kutuangkan air panas. Adikku datang dengan wajah senang, tangannya terangkat—minta susu.
“Tunggu sebentar, belum diaduk,” kataku sambil tersenyum, lalu aku berbalik menuju dapur untuk mengambil sendok.
BRAK!
Suara keras itu membuatku mematung. Disusul tangisan adik yang pecah di seluruh ruangan. Ibu dengan wajah panik berlari menghampiri adik. Aku yang berdiri di depan rak piring tanpa fikir panjang langsung menyusul Ibu. Setelah sampai di ruang tengah, kakiku terhenti, badanku kaku, termos yang tadinya di atas meja kini bercecer dengan air panas yang menggenang di lantai.
“KAMU MAU BUNUH ADIKMU!!” teriak ibu dengan wajah sangat kesal dan marah ke arahku. Di gendongan Ibu, adik menjerit menangis. Aku melihat sebelah kakinya yang melepuh sangat merah. Ibu langsung keluar rumah dan membawa adik ke rumah sakit. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Dadaku sesak, penuh dengan rasa bersalah.
***
Di ruang tamu, aku duduk di sofa sambil membaca buku yang kubeli dari toko buku bekas di pojok persimpangan jalan dekat rumah. Toko buku yang selaluku datangi sehabis pulang sekolah. Angin sepoi-sepoi membelai tubuhku membuat keringatku mengering, tak sadar aku sudah membaca setengah dari buku itu. Aku terbawa suasana—tertawa dan tesenyum memandang deretan kata-kata yang menghanyutkan ke dalam cerita.
“Dasar, tidak tau diri, bahagia kamu sekarang setelah membuat adikmu cacat, benar-benar tidak tau malu,” ucap perempuan yang sudah berada tepat didepanku, tubuhku reflek bediri gelagapan seperti tertangkap basah sudah membuat sesuatu yang buruk. Persaan buruk itu seketika datang—rasa menyesal karna tidak bisa melindungi adikku, “maafin raka ibu, raka bodoh, raka ceroboh, raka bener-benar minta maaf,” aku berlutut sambil memegangi kaki ibu dan memohon untuk dimaafkan, ibu melangkah pergi meninggalkanku tampa berkata apapun, begitulah yang ibu selalu lakukan ketika melihat ku bersantai dirumah.
Sudah bertahun-tahun lalu, pengalaman pahit dan rasa bersalah pada saat kejadian itu masih kurasakan hingga hari ini, begitu juga dengan ibu—selalu mengungkit kejadian itu dan menyalahkanku. Dulu ketika ibu kesal dan melampiaskan padaku, akan ada bapak yang menenangkan ibu. “Itu musibah tidak ada yang salah, jangan memojokan anakmu terus kasian dia,” kata bapak menenangkan. Sekarang bapakpun tidak pernah pulang kerumah sejak dia ditugaskan menjaga di perbatasan, aku harap dia akan segera mengetuk pintu rumah.
Malam sudah larut. Kota seakan berhenti bernapas. Di kamar sempit, satu-satunya suara datang dari kipas angin tua yang berdengung monoton, kadang tersendat. Di kejauhan, jangkrik bernyanyi dalam irama yang tak berubah, seolah menyanyikan kesepian yang sama setiap malam. Tak ada percakapan, tak ada langkah kaki. Hanya malam, dan aku.
Lalu, tiba-tiba—
Ting!
Suara notifikasi ponsel memecah keheningan seperti kerikil kecil yang dijatuhkan ke danau tenang. Aku melirik ke meja. Layarnya menyala sebentar, menampilkan sebuah nama yang tak kukenal. Seseorang meninggalkan komentar di cerita pendekku yang baru saja terbit di media.
Kudekatkan layar ke wajahku. Mataku menyipit membaca kalimatnya:
"Aku sangat menyukai karya-karyamu. Semoga hidupku bisa sebahagia cerita di dalam cerpenmu."
Aku terdiam. Jam di sudut layar menunjukkan pukul 00.43. Sudah lewat tengah malam. Tapi pesan itu terasa seperti suara lembut yang menyeberang dari dunia lain—mengingatkanku bahwa aku tidak sepenuhnya tak terlihat.
Ya, aku memang menghabiskan sepi dengan menulis. Cerita pendek. Puisi. Potongan-potongan imajinasi yang kutuangkan diam-diam di malam-malam seperti ini. Cerita-cerita itu jauh dari hidupku yang nyata—karena di sana, aku menulis apa yang kuharapkan, bukan apa yang kualami.
Tulisan-tulisan itu bukan cermin, tapi jendela. Jendela menuju dunia yang lebih hangat, lebih adil, lebih bisa kupeluk. Itulah harapanku. Satu-satunya cara agar aku bisa bernapas ketika kenyataan terlalu sempit menampung luka.
Malam ini, untuk pertama kalinya, rasanya sepi tak sepenuhnya kosong. Ada seseorang di luar sana yang membaca harapanku, dan mungkin menitipkan harapannya juga di sana.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan mata yang masih berat. Di luar jendela, langit masih kelabu. Bukan karena mendung, tapi karena perasaanku belum benar-benar keluar dari malam yang panjang. Aku menatap layar ponsel lagi. Komentar itu masih di sana. Satu kalimat sederhana, tapi terasa seperti seseorang baru saja duduk di sebelahku semalam dan bilang, “akhirnya ada tulisan baru lagi, karya-karyamu memang nggak pernah gagal.”
Aku membalas komentarnya. "Terima kasih sudah membaca." Tak lama kemudian, balasan muncul.
"Aku yakin, kamu pasti nanti bakal jadi penulis yang besar!"
Hatiku menghangat. Rasanya seperti seseorang baru saja mengembalikan sedikit serpihan diriku yang hilang. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi kalimatnya menembus lapisan sunyi yang selama ini membungkusku.
Hari itu, ibu tidak bicara banyak. Dia hanya memberiku tatapan dingin saat aku meletakkan sarapan di meja. Luka adik sudah lama mengering, tapi luka dalam ibu masih tertahan. Aku tidak lagi berusaha keras meminta maaf. Bukan karena aku berhenti menyesal, tapi karena aku tahu: kadang luka orang lain tak bisa kita sembuhkan—meskipun kita rela berdarah untuk itu.
Setelah mencuci piring, aku kembali ke kamar. Kupandangi buku-buku dan kertas-kertas yang berserakan di meja kecil dekat jendela. Di situlah aku membangun dunia lain. Dunia tempat tidak ada yang mencoret namaku di dinding, dunia tempat ibu bisa tertawa bersamaku lagi, dan aku bukan anak yang selalu salah.
Kuhidupkan laptop hadiah dari bapak beberapa tahuan lalu. Layarnya bergetar sebentar, lalu menyala. Aku membuka folder tulisanku. Di sana, ratusan file dengan nama yang kadang ngawur: “cerpen2_fix_final_beneran”, “puisiuntukyangtidakpernahkembali”, “tolongjanganhapusaku.”
Tanganku mulai mengetik pelan.
Saat tiba di depan sekolah aku melangkah menuju gerbang, suara bisik-bisik terdengar samar. Ada yang nyahut dari depan
“Awas kembang sekolah mau catwalk!”
Anak-anak yang berjalan disamping menengok dan tertawa mengejek. Aku berjalan cepat, melewati lorong menuju kelas. Mataku sekilas menangkap tembok belakang kelas. Tulisan itu masih ada. "RAKA BANCI." Dicoret dengan spidol merah, besar dan mencolok. Di dekat kamar mandi pun sama—bahkan ada gambar hinaan yang membuatku ingin muntah.
Saat istirahat, Pak Arman—guru Bahasa Indonesia—mendekatiku di lorong.
"Raka, sebentar," katanya sambil tersenyum kecil.
Aku menghentikan langkah, sedikit gugup. "Iya, Pak?"
“Ayo ke ruang guru sebentar. Aku ada yang ingin dibicarakan,” ujarnya.
Di ruang guru, aku duduk kikuk. Pak Arman membuka map berisi nilai-nilai ujian terakhir.
“Kamu tahu nggak, nilai kamu paling tinggi di antara semua siswa di kelasmu? Bahkan tertinggi di seluruh angkatan.”
Aku terdiam. Mataku membesar. Aku? Paling tinggi?
“Dan karena itu,” lanjutnya, “Bapak ingin kamu bantu membimbing beberapa teman yang kesulitan. Bapak ada tugas dari sekolah beberapa hari jadi bapak minta tolong kamu untuk bimbing ya”. Kepalaku tertunduk. Rasanya antara bangga, bingung, dan takut bercampur jadi satu.
Mereka yang sering menghinaku—sekarang aku diminta untuk membimbing mereka?
Aku ingin menolak. Aku takut. Tapi di dalam diriku ada suara kecil yang berkata: Ini kesempatanmu. Bukan untuk membalas. Tapi untuk membuktikan bahwa kamu lebih dari semua kata yang pernah mereka lemparkan padamu.
Aku menatap Pak Arman, lalu mengangguk pelan. "Saya akan coba, Pak."
Tugas dari Pak Arman kujalani perlahan, dengan gugup, tapi juga rasa ingin mencoba. Di luar dugaanku, semua berjalan lancar. Anak-anak yang dulu menertawakanku kini mulai menyapaku. Mereka bertanya soal pelajaran, bahkan tertawa bersamaku—tawa yang tidak menyakitkan. Untuk pertama kalinya, aku merasa seolah keberadaanku tidak lagi mengganggu mereka.
Hari-hari di sekolah menjadi sedikit lebih ringan. Tidak selalu nyaman, tapi tidak seberat dulu.
Lalu suatu siang, Reza—anak yang dulunya paling keras mengejekku—datang menghampiri. Ia tersenyum, dan dengan nada santai, berkata, “Rak, gimana kalau besok kita belajar di luar sekolah aja? Biar gak ngebosenin.”
Aku tertegun. Bingung. Tapi juga senang. Hatiku seperti dilempar ke ruang yang tak kukenal: harapan.
Aku mengangguk. “Boleh…”
Keesokan harinya, setelah jam pelajaran terakhir, aku mampir ke ruang guru mengambil beberapa buku dari meja Pak Arman.
"Ini alamatnya. Anak-anak lain udah pada nungguin disini” pesan dari reza
Aku melihat dari luar gerbang, rumah itu tanpak tua dan peyot dihalamannya banyak rumput liar. Aku ragu, Apa aku salah alamat.
“Raka udah nyapea? Sapanya reza ayok sini masuk” tambahnnya
Awalnya biasa. Sapaan. Candaan. Tapi kemudian berubah.
Tawa mereka mengeras, tangan mereka menjulur. Mereka membentakku ketika aku mencoba kabur.
"Ayo dong Raka, katanya mau pinterin kita?"
"Masa iya pinter tapi nggak bisa nemenin?"
Aku dipegangi. Tubuhku ditekan. Nafasku tercekat. Aku berteriak, tapi tidak ada yang peduli. Tidak ada yang datang. Mereka menyentuhku. Mereka menodai tubuhku. Aku tidak tahu berapa lama semuanya berlangsung. Tapi saat aku berhasil melarikan diri, rasanya seluruh diriku sudah bukan milikku lagi. Aku pulang dengan langkah goyah, mata bengkak, dan tubuh gemetar. Ketika melihat ibu duduk di ruang tengah, aku mencoba bicara.
“Bu…” suaraku lirih. “Aku… aku diganggu. Mereka…”
Ibu menoleh sebentar, lalu mengerutkan kening.
“Kamu kenapa sih, Rak? Nangis-nangis gini?”
“Mereka—mereka nyakitin Raka, Bu… Aku... aku dilecehkan…”
Ibu mendesah. “Astaga… Raka, kamu tuh kenapa sih makin hari makin aneh. Jangan ganggu, ibu capek”
Aku terdiam memandang ibu yang kembali fokus dengan ke layar TV-nya. Hatiku rasanya perih sekali, dadaku sesak, yang aku butuhkan hanyalah pelukan hangat ibu bukan makian.
Sudah beberapa hari kuhabiskan waktu terpuruk di kamar dengan perasaan yang campur aduk, rasanya badanku kotor sekali tapi sudah ku bersihkan dengan susah payah perasaan itu masih saja sama, malam-malamnya dipenuhi mimpi buruk, dan siang hari merasa cemas tanpa sebab yang jelas.
Aku menatap lantai yang penuh dengan kertas-kertas yang berserakan aroma menyengat dari tumpukan sampah di pojok kamar yang dihinggapi lalat, aku beranjak dari kasur membuka jendela, udara segar dari luar mengenai tubuhku, aku berbalik dan berjalan menuju kasur dan tak sengaja melihat pantulan dicermin, rambut acak-acakan kulit pucat yang penuh bekas luka.
Kenapa hidupku sangat sulit, kesalahan apa yang sudah kubuat, bukankah aku juga sama seperti mereka, tapi kenapa hanya kau yang selalu menjadi bahan olok-olokan tempat pelampiasan amarah? aku juga berhak dihargai, aku ingin keadilan.
Akhirnya, dengan sisa keberanian yang tersisa, aku pergi ke kantor polisi.
Polisi di meja depan melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ada apa, Dek?"
“Aku… mau lapor. Aku… dilecehkan…”
Si polisi menoleh ke temannya. Lalu mereka tertawa pelan.
“Dilecehkan?” ulangnya dengan nada menggoda. “Sama siapa? Pacar?”
“Enggak… serius, aku… aku dijebak, sama teman-teman di sekolah…”
“Kalau nggak bisa buktiin ya susah, Dek. Kamu bawa bukti? Saksi? CCTV?”
Aku menggeleng.
“Ya udah, gini aja,” katanya mencondongkan tubuh, “kamu ada uang? Biar kasusmu kita perhatikan lebih serius.”
Mataku membelalak. Suaraku tercekat. "Tapi... ini serius..."
“Serius juga butuh biaya, Dek. Dunia nyata, bukan sinetron.”
Mereka tertawa lagi. Suaranya menggema persis seperti suara orang orang itu. Aku pulang. Dunia ternyata lebih dingin dari yang kuduga. Tak ada satu pun tempat yang aman. Aku menuangkan semua yang kurasakan dalam tulisan, bukan harapan tapi ketidakadilan yang ku terima, mengirimkannya ke media. Lalu aku menunggu. Dan terus menunggu. Tapi luka tak bisa sembuh hanya karena kau menuangkannya dalam kata.
Dadaku masih sesak¸ memori itu datang seperti pencuri. Menyusup ke dalam tubuh, meraba luka yang belum kering, lalu menyayatnya kembali. Aku bener- benar sudah lelah, semuanya terasa begitu menyakitkan rasanya tidak ada orang bisa dipercaya, tidak ada tempat aman untuk berlindung.
Ayo sudahi semuanya, mari istirahat, Raka
Air mataku terus mengalir, aku menatap cutter yeng tergeletak di lantai kamarku. Cutter kecil yang biasa kugunakan untuk memotong kertas puisi. Aku menatap tubuhku. Cutter itu bergerak perlahan, mengiris dan memotong bagian tubuh yang telah dijamah oleh mereka. Kasurku mulai becek, cairan merah itu mengalir dan tercecer di lantai. Badanku lemas dan roboh di lantai, pandanganku mulai kabur dan perlahan menghitam.