Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Akhsara
0
Suka
106
Dibaca

Akhsara.

-antara riuh batin dan kesunyian tanpa suara.

Aku lupa kapan kebiasaan ini dimulai. Mungkin sejak aku mulai merasa tak nyaman dengan keheningan. Atau mungkin sejak suara di dalam kepalaku terlalu gaduh untuk diabaikan.

Setiap pagi, aku selalu berdiri di depan cermin yang kuletakkan jauh di pojok kamar. Bukan karena tempatnya bagus, hanya saja lembar motivasi yang kutempelkan di dinding terlalu banyak sehingga tak ada ruang tersisa untuknya. Cermin itu nyaris tersembunyi, seperti aku yang perlahan-lahan menyembunyikan diri dari pantulannya. Kadang aku berdiri lama, hanya untuk memastikan bahwa wajah yang kulihat masih milikku, meski tak jarang terasa asing. Di balik mata yang terbuka, aku tersenyum, menyisir rambut, menegakkan bahu diiringi suara-suara sunyi yang berbisik, pertanyaan-pertanyaan kecil yang tak pernah benar-benar kujawab.

Kadang aku berdiri lama. Hanya untuk memastikan bahwa wajah itu masih milikku, walau kerap terasa asing. Di balik mata yang terbuka, aku menyunggingkan senyum, menyisir rambut, menegakkan bahu semua sambil mendengarkan bisikan-bisikan sunyi dari dalam diri. Pertanyaan-pertanyaan kecil yang belum pernah benar-benar kujawab.

Mungkin itulah alasan aku masih berdiri di sana tiap pagi. Bukan sekadar untuk memeriksa penampilan, tapi untuk menanti saat ketika bayangan itu bicara. Saat aku bisa benar-benar mendengar diriku sendiri.

..dan pada suatu pagi yang tampak biasa, aku tersadar, sosok di cermin itu bukan sekadar pantulan. Bukan bayangan acak dari cahaya dan kaca. Sosok itu adalah aku.

Kamar ini sunyi. Tumpukan buku kotor dan hiasan dinding remaja menjadi saksi dari pagi yang pelan. Cahaya matahari menyusup lewat celah jendela, menyorot debu-debu kecil yang menari di udara.

“Muak dan memuakkan,” bisikku.

Hari-hariku mengalir seperti naskah yang diputar ulang. Setiap langkah terasa seperti gema dari rutinitas yang tak berubah. Aku hafal semua geraknya, tapi tak pernah bisa benar-benar lepas darinya. Seolah waktu hanya mengulang namaku dalam keheningan, dan aku adalah aktor bisu yang menanti aba-aba di panggung yang sunyi.

Pertanyaan itu datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai bagian dari narasi

“Apakah keberadaanku nyata, atau hanya hasil reka?”.

Aku tahu apa yang kuinginkan. Aku tahu apa yang kutakutkan. Bahkan aku tahu apa yang sedang kuabaikan. Tapi pertanyaan itu terus memburuku.

Aku mulai muak dengan pura-pura.

Muak dengan senyum yang tak sampai ke hati.

Tawa yang hanya pantulan dari kehampaan.

Kepuasan yang tak benar-benar kurasakan.

Langit mendung hari itu, dan entah kenapa, aku menyukainya. Tidak terik, tidak ramai. Seperti suasana hati yang tak perlu dipaksa cerah cukup tenang, cukup jujur.

Aku menyusuri jalan setapak menuju pantai. Angin laut menerpa wajahku, membawa aroma asin dan debur ombak. Aku melepas sepatu, membiarkan kakiku bersentuhan dengan pasir yang dingin. Langkahku pelan, seakan sedang menyusuri pikiranku sendiri.

Di hadapan laut yang luas dan jujur, untuk pertama kalinya aku merasa nyata. Tak perlu berpura-pura. Tak perlu menjadi apa pun. Hanya aku, dengan debur ombak yang seolah menghapus kebisingan di dalam kepala.

Setiba di rumah, aku menatap cermin seperti biasa.

Namun kali ini, pantulan itu bergerak lebih dulu dariku.

Ia menunduk, lalu menatapku dalam tatapan yang belum pernah kulihat pada wajahku sendiri.

“Kau lelah, bukan? Tapi tak pernah kau izinkan dirimu sendiri berhenti,” katanya. Suaranya lembut, tapi tajam.

Aku tercekat.

“Setiap hari kau berdiri di depanku, menunggu aku bicara. Tapi kau tak pernah mau benar-benar mendengarku. Karena kau takut. Jika kau mendengar, semua yang kau pertahankan akan runtuh.”

Aku ingin menyangkal, tapi bibirku hanya gemetar.

“Kau mencintai orang lain lebih dari dirimu sendiri. Kau merawat semua luka, kecuali lukamu sendiri.”

Bayangan itu bukan lagi pantulan. Ia adalah aku yang pernah aku singkirkan, karena takut terlihat rapuh.

"Kau ingin sembuh. Tapi bahkan belum mengakui bahwa kau sedang terluka.”

Dan saat itulah, aku merasakan semua emosi yang kutahan pecah serempak. Marah, kecewa, hampa, dan rindu rindu pada hidup yang terasa milik sendiri.

Hari-hari berikutnya berjalan perlahan, seperti aliran sungai yang menemukan jalannya sendiri setelah lama terhenti oleh batu-batu besar. Aku belajar bahwa diam bukan berarti hilang; diam adalah ruang untuk mendengar bukan hanya suara dari luar, tapi suara-suara kecil di dalam.

Pagi itu, aku membuka buku catatan yang lama terabaikan. Pena yang dulu pernah menjadi sahabat, kini terasa kaku di tanganku. Aku mencoba menulis tanpa tekanan, tanpa tujuan pasti. Hanya mengalirkan apa yang terpendam, tanpa takut ditertawakan oleh pikiran-pikiran gelisah yang selama ini menjadi musuh terbesar.

Seiring waktu, aku mulai melihat cermin tidak lagi sebagai musuh, melainkan sebagai teman yang diam-diam sabar menunggu aku bangkit. Wajah yang dulu terasa asing kini perlahan menjadi rumah. Aku belajar untuk mencintai kerutan kecil yang muncul, bekas luka yang tersimpan, dan mata yang tak selalu cerah, tapi penuh cerita.

Dalam kesunyian itulah aku menemukan keberanian untuk berkata jujur pada diri sendiri. Bahwa aku tak selalu harus sempurna. Bahwa rapuh adalah bagian dari kekuatan. Bahwa luka bukan aib, tapi saksi perjalanan.

Suatu sore, aku berjalan kembali ke pantai. Angin laut yang dulu terasa menampar kini mengusap lembut wajahku. Ombak yang bergulung-gulung mengajarkan aku tentang siklus; tentang naik dan turunnya hidup yang harus diterima, bukan dilawan.

Aku duduk di pasir, menghirup udara asin yang menyegarkan. Di bawah langit yang berawan, aku merasa lega seperti beban yang lama tertahan akhirnya terlepas sedikit demi sedikit. Aku mulai menata kembali harapan-harapan yang sempat pudar, tapi kali ini dengan cara yang berbeda. Tidak lagi dengan tuntutan atau paksaan, tapi dengan kelembutan dan pengertian.

Kembali ke rumah, aku menatap cermin sekali lagi. Bayangan di sana tak lagi menuntut atau menghakimi. Ia tersenyum, bukan sekadar sebagai pantulan, tapi sebagai cermin jiwa yang mulai pulih.

Aku sadar, perjalanan ini belum selesai. Akan ada hari-hari ketika kesunyian kembali menakutkan, ketika suara batin terlalu gaduh. Tapi sekarang aku punya alat baru keberanian untuk berhenti sejenak, mendengarkan, dan menerima.

Aku tidak akan lagi menyembunyikan diri di balik senyum palsu atau kata-kata kosong. Aku memilih untuk hadir, utuh dengan segala ketidaksempurnaan.

Setiap pagi kini adalah awal yang baru. Saat aku berdiri di depan cermin, aku tak lagi menunggu bayangan itu bicara, karena aku sudah mulai berbicara pada diri sendiri dengan kasih, pengertian, dan harapan.

Aku menulis, bukan untuk membuktikan sesuatu pada dunia, tapi untuk merayakan keberadaan diriku. Untuk mengabadikan setiap langkah kecil yang kuambil dalam proses mengenal dan mencintai diri sendiri.

Dan aku tahu, meski jalan ini tidak mudah, aku tidak akan berjalan sendiri. Aku membawa diriku dengan segala luka, kekuatan, dan keinginan untuk menjadi lebih baik.

Dalam kesunyian yang dulu menakutkan, kini aku menemukan rumah. Dan aku akan tinggal di sana, dengan penuh rasa syukur dan cinta.

Pagi yang berbeda pun datang. Bukan karena langit cerah, tapi karena aku berhenti.

Berhenti menyusun senyum. Berhenti merapikan rambut. Berhenti pura-pura.

Aku hanya menatap cermin. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat manusia yang lelah tapi ingin mengerti. Ingin hadir.

Aku ambil cuti. Bukan untuk kabur, tapi untuk diam. Menjauh dari kebisingan luar agar bisa mendengar ulang suaraku sendiri. Aku berjalan tanpa tujuan, duduk di taman yang dulu tak kupedulikan, dan menyadari satu hal

Dunia tak butuh aku jadi siapa-siapa. Ia hanya butuh aku hadir.

Keputusan itu sederhana, tapi memberontak.

Dan pagi itu, saat menatap cermin, aku tak lagi melihat pantulan yang berusaha sempurna.

Aku hanya melihat diriku.

Dan ketika bayangan itu berkata

“Kau bukan aku. Akulah kau yang dulu yang mencinta tanpa takut, bermimpi tanpa batas.”

Aku tahu, saatnya telah tiba.

Bukan untuk mencari siapa aku seutuhnya, tapi untuk berani jadi rapuh.

Untuk mulai, perlahan, menerima diriku apa adanya.

Dan sejak hari itu, aku mulai menulis.

Bukan untuk dibaca orang lain, tapi untuk menyusun kembali diriku

Bagian demi bagian,

Hari demi hari.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Akhsara
Riyan Iyan
Cerpen
TERPERANGKAP JEJAK KELABU
Yuni Aderiyanti
Cerpen
Bayangan yang Tumbuh di Bawah Terik
Alfina karimatul atia
Novel
Bronze
JANDA & THE TABLE
glowedy
Flash
Dia Yang Bernafas
lidia afrianti
Flash
Karma Datang sebagai Sebuah Hukuman (surat 3)
Lail Arahma
Cerpen
Bronze
APA ITU CINTA?
Retchaan
Cerpen
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
Yovinus
Flash
Kuasa Uang
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Pemuda Di Kamar 17
Sucayono
Cerpen
Neraka bagi Sang Munafik
Yovinus
Cerpen
Langit Tak Pernah Menutup Jalan
Muhammad Hairul Umam
Novel
Yang tersembunyi dalam luka
Asepsaepuloh
Cerpen
Bronze
Kampus Impian
T. Filla
Novel
Percakapan yang tak pernah selesai
Asepsaepuloh
Rekomendasi
Cerpen
Akhsara
Riyan Iyan