Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Akhir Bahagia
Oleh: Suryawan W.P
“Sudah lama kita tidak bertemu. Kapan ya kita terakhir ketemu?”
Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Seketika itu juga jantungku seolah berhenti berdetak sekian detik, kemudian berdegup lebih kencang setelahnya. Kamu dengan rambut panjang yang dicepol rapi ke belakang, mengenakan blus kerut dengan motif polkadot warna biru dan rok di atas lutut warna biru tua berdiri tepat di hadapanku. Kamu begitu berbeda. Aku atur kembali napasku sambil kucerna lagi pertanyaan yang kaulontarkan tadi.
Kapan terakhir ketemu? Pura-pura lupa. Aku yakin seyakin-yakinnya kamu masih ingat kapan terakhir kali kita bertemu seperti halnya aku tidak akan pernah lupa hari itu.
“Lima tahun yang lalu, saat hujan turun deras sekali seperti barisan tentara pada upacara kemerdekaan, saat guntur bergemuruh seperti genderang mau perang, dan saat kilat menyambar-nyambar seperti blitz tukang foto wisuda.” Aku berusaha mengucapkannya setenang mungkin.
Kamu pun tertawa kecil sebelum akhirnya melanjutkan, “Kamu tidak pernah berubah, Yus. Daya imajinasimu masih tinggi.”
“Iya, tentu saja. Aku masih Yus yang sama..” ucapku lirih.
***
Lima tahun yang lalu, aku begitu bahagia menantikan hari itu, perayaan enam tahun hubungan kami. Mala, begitu aku biasa memanggil namanya. Kami dipertemukan di kelas menulis yang diadakan oleh himpunan kemahasiswaan fakultas. Sejak saat itu kami menjadi dekat, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk mengutarakan perasaanku padanya.
Mala, dia perempuan yang tabah. Enam tahun itu dia begitu setia mendampingiku. Di saat-saat keterpurukanku, dia selalu ada bersamaku. Melihat fisik seorang Mala yang selalu mencuri perhatian siapa saja, semestinya dia bisa untuk berpacaran dengan mahasiswa lain yang memiliki banyak kelebihan, tapi dia memilih untuk menjadi kekasihku. Aku bukanlah pacar yang bisa tiap malam Minggu membawanya ke cafe atau restoran yang mewah, namun seperti yang kubilang dia perempuan yang tabah. Dia tidak pernah mengeluh. Dia mau berdingin-dingin karena embusan angin malam, duduk di lesehan menikmati wedang ronde ataupun nasi goreng pinggir jalan.
Hari itu selain merayakan hari jadi kami, ada perayaan yang lain. Tujuh tahun kuliah, akhirnya aku lulus juga. Mala menjadi pendamping wisudaku seperti yang dilakukannya selama enam tahun itu mendampingiku. Tadinya kupikir hampir mustahil. Aku sudah merasa putus asa dan ingin menyerah saja. Bersyukur aku memiliki Mala. Kekasihku itu seperti malaikat penyelamat bagiku. Dia tak bosan-bosannya memberikan semangat padaku dan meyakinkanku bahwa aku bisa menyelesaikan kuliahku. Tak jarang malam-malamnya menemaniku mengetik skripsi meskipun paginya dia harus bangun subuh untuk siaran. Mala sudah lulus tiga tahun sebelumnya. Kuliahnya tepat waktu. Kemudian dia bekerja sebagai penyiar sekaligus program director untuk sebuah radio.
Gerimis mulai turun. Kaca di dekat meja tempatku duduk mulai berembun. Mala belum datang. Aku cemas.
“Tunggu sebentar. Acara kantor baru kelar. Aku masih di jalan. Ini nebeng mobil temen kok. Jadi nggak kehujanan.”
Sebuah pesan singkat darinya. Syukurlah. Dia selalu memberi tahu kabar secara detil agar aku tidak cemas dan mengkhawatirkannya.
Karena sama-sama ada keperluan sebelumnya, kami memutuskan untuk bertemu langsung di restoran. Restoran itu adalah restoran yang biasanya sering kami lihat dari warung nasi goreng seberang jalan. Dari luar terlihat bagus karena sekelilingnya berupa kaca tembus pandang dengan lampu-lampu yang temaram di dalamnya.
Begitu banyak kebahagiaan yang ingin aku bagikan dengannya malam itu. Sebuah cincin perak dalam tempatnya yang cantik ada di tanganku. Sore sebelumnya aku mengambil cincin pesananku itu di tempat pengrajinnya. Aku sendiri yang memilih desainnya. Ada ukiran nama Mala pada cincin itu. Aku tak sabar menunjukkannya. Hari itu aku mendapatkan honor pertamaku. Seminggu yang lalu cerpen pertamaku terpampang di koran Minggu. Ini bukan cerpen yang pertama yang kukirimkan, entah sudah berapa kali, aku sampai lupa menghitungnya.
Hujan semakin deras. Mala belum juga datang. Air hujan membentuk aliran-aliran tak teratur di sisi luar kaca dekat mejaku. Derasnya hujan membuat alunan musik jazz yang diputar menjadi nyaris tak terdengar. Berkali-kali kulirik jam tanganku. Berkali-kali juga kulihat telepon genggamkuku, mengharapkan kabar darinya.
Aku lega. Seorang wanita berambut pendek di atas bahu berlari-lari kecil keluar dari mobil menuju pintu restoran untuk menghindari hujan. Mala muncul di pintu dengan kaos hitam bergambar John Lennon yang agak kedodoran, celana jeans biru, tas ransel hitam, dan sepatu converse ungunya. Gayanya setiap hari. Dia paling malas memakai rok karena membuat aktivitasnya terbatas. Padahal aku sudah bilang agar malam ini dia berdandan lebih cantik dari biasanya karena tempat makan dan perayaannya special. Tapi aku tak terlalu mempermasalahkannya. Yang terpenting Mala sudah datang. Dia cantik dengan penampilan seperti apapun.
Mala duduk di hadapanku. Dia menyeka rambutnya yang tak pernah lebih panjang dari bahu dengan tangannya. Pelayan restoran pun segera membawakan makanan pesananku. Terus terang aku tidak terlalu paham tentang makanan-makanan itu. Tadinya aku sempat bingung ketika disodorkan daftar menunya. Akhirnya kupesan saja menu today’s special untuk dua orang seperti tulisan yang ada di meja.
“Aku nggak bisa Yus..” Mala menggeleng ketika kusodorkan cincin perak itu padanya.
“Maksudnya?”
“Ini sudah cukup. Nggak bisa diteruskan lagi.”
“Aku nggak ngerti. Maksudnya gimana Mala?” Aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Aku hanya berharap aku salah mendengar. Atau mungkin dia akan berubah pikiran dan meralat ucapannya.
“Kita selesai..” tapi ternyata tidak.
“Kenapa? Kamu tahu kan aku cinta kamu?”
“Cinta saja tidak cukup Yus. Aku punya kakak perempuan yang sudah menikah. Dan cinta saja tak cukup untuk membeli susu untuk anaknya.”
“Naskahku segera selesai Mala. Novelku akan segera terbit. Aku akan punya penghasilan, untuk membeli susu dan keperluan lain-lain nantinya..”
“Kapan? Kamu selalu bilang seperti itu, naskah hampir selesai-naskah hampir selesai tapi tak pernah selesai-selesai. Oke, kalaupun naskahmu selesai apa iya ada penerbit yang menerima? Terus kalau memang diterbitkan apa kamu bisa menjamin bukumu ada yang akan beli? Akan best seller? Apa kamu bisa memastikan punya cukup penghasilan yang bisa diandalkan untuk membangun rumah tangga?”
“Belum pasti, tapi kumohon percayalah padaku. Sekarang aku sedang mencoba peruntungan lain. Kamu tahu kan, hari Minggu kemarin cerpenku akhirnya lolos masuk koran Minggu, semoga akan berlanjut ke cerpen-cerpenku yang lain. Orang-orang akan familiar dengan namaku. Mereka nantinya yang akan membeli novelku..”
“Maaf Yus. Aku sudah tidak bisa. Selamat tinggal..”
Di meja restoran dengan suasananya yang temaram ini aku melihatnya terakhir kali berlari kecil menghindari hujan yang semakin deras saja menuju mobil temannya yang masih menunggu. Musik jazz yang dimainkan menjadi benar-benar tidak terdengar karena kalah oleh suara jatuhnya hujan. Kilat sesekali menyambar. Guntur bergemuruh membuat kaca di sampingku bergetar.
***
Salah satu karyawan toko buku menghampiriku. Dia memberi tahuku kalau masih banyak orang yang mengantre untuk sesi book signing ini. Kau ambil buku dari dalam tas jinjingmu yang berwarna krem kemudian kausodorkan padaku. Kuraih buku itu.
“Untuk siapa? Nurmala Hakim?” aku bersiap menuliskan namamu. Kamu menggeleng.
“Tuliskan namanya Aldi Prasetya. Suamiku sangat mengagumi tulisan-tulisanmu. Dia penggemar berat novelmu.”
Aku baru saja menandatangani novelku. Novel yang bercerita tentangmu, Mala. Bahkan dalam novel ini pun akhir ceritanya bahagia, happy ending, kamu akan kembali padaku. Kamu benar Mala, aku tidak pernah berubah, aku masih Yus yang sama, Yus yang tukang khayal.
Yogyakarta, November 2013
Cerpen ini pernah dimuat di majalah Femina yang terbit 16 April – 24 Mei 2014