Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Akasia dalam diriku
1
Suka
19
Dibaca

Pernahkah mendengar tentang pohon akasia?

Pohon kecil yang tak banyak orang tahu tentangnya.

Dia memang tak segagah pohon beringin, pun tak setinggi pohon jati. Namun pohon akasia tak pernah berkecil hati.

Ketika badai datang, kencangnya angin membuat pohon beringin takut kemegahannya akan hancur.

Dan pohon jati kehilangan keyakinan akankah tubuhnya bisa berdiri tegak kembali.

Di situlah pohon akasia tetap tenang dan tak pernah khawatir akan badai.

Mengapa?

Karena ia tahu, yang akarnya dalam tak akan mudah tumbang.

Batang dan ranting akasia terbentuk lentur dan fleksibel, membuatnya bisa bertahan hidup di tengah badai.

Bahkan akasia bisa tumbuh di tanah manapun. Karena ia tahu, untuk tumbuh menjadi yang terbaik tak perlu di atas tanah terbaik.

“Nominasi, penulis muda terbaik genre mental health diraih oleh ..., Akasia Putri!!”

Dan namaku, Akasia. Nama yang diharapkan selalu menjadi doa untukku. Karena orangtuaku tahu, dunia tidak akan pernah sepi tanpa badai, dan aku harus tetap berdiri tegak dengan akarku yang dalam.

Hari ini aku menghadiri acara seminar dan festival menulis yang membuatku mendapatkan penghargaan sebagai penulis muda terbaik genre mental health. Aku melangkah ke atas podium sembari tersenyum menatap banyaknya sorotan kamera yang mengarah kepadaku.

“Terima kasih semuanya ... Terima kasih untuk orang tua yang selalu mendukung tekad dan semua keputusan anaknya, keberhasilanku sekarang tak akan pernah ada tanpa jasa besar yang kalian berikan. Terima kasih untuk teman-teman yang mendoakan saya dan selalu mensupport saya sampai karya saya terbit dan bisa kalian peluk.” Kutatap keramaian orang-orang yang selalu mendukungku dan menganggapku idola meskipun mereka banyak yang lebih baik dariku.

“Dan terakhir ... Terima kasih untuk orang-orang di masalalu, yang telah memberikan saya pelajaran hidup dan semangat baru dari setiap kesakitan yang kalian torehkan. Saya Akasia, dan saya telah berhasil berkat kalian. Terima kasih.”

Kudengar MC bersorak terkejut dengan perkataanku, para penonton menatapku penuh tanda tanya namun aku tetap melanjutkan langkah turun dari podium.

Aku meluruskan pandangan, dan melihat gerombolan pemuda yang sangat kukenali berdiri di samping pintu masuk ruangan acara. Mereka berjalan menghampiriku.

“Yoi, Aka. Kamu keren banget deh.” Salah satu dari mereka, Viona, perempuan berambut pendek berucap semangat ketika sampai di hadapanku.

“Udah jadi penulis terkenal, nih. Bangga gue liatnya.” Yang menyahut adalah Jefri, lelaki bertato paus kecil di leher yang dulu pernah dekat denganku.

Aku hanya menatap datar, tanpa ada niatan membalas apresiasi mereka.

Andai sedari kecil aku tak pernah belajar menjadi manusia rendah hati, mungkin aku sudah menyuruh satpam agar melarang mereka masuk ke ruangan ini.

“Ngomong dong, diem aja lo.”

Aku hanya menanggapi dengan tersenyum tipis.

“Harusnya makan-makan nggak sih setelah ini ... Udah lama kita nggak kumpul bareng,” ucap Ken, lelaki bertubuh gempal yang tak pernah akrab denganku namun selalu ada di manapun Viona dan Jefri berada.

“Kak Aka! Minta tanda tangannya, dong!” Kudengar teriakan teman-teman di belakangku. Aku menoleh dan tanpa membalas lagi, aku beranjak meninggalkan mereka.

“Hei, mau kemana lo? Mau nongkrong kemana nanti?”

“Sorry, aku sibuk,” balasku singkat dan menghampiri keramaian orang yang ingin menyapa dan meminta tanda tanganku.

“Gitu sekarang? Udah terkenal, jadi sombong? Sok sibuk, nggak butuh lagi nongkrong bareng kita-kita?”

Aku menghela napas kasar mendengar ucapan Viona yang begitu tak tahu malu di tengah keramaian orang-orang.

“Punya mata, kan?” Aku kembali menatap mereka, dengan tatapan muak yang tak kusembunyikan.

“Kalian terlalu gabut ya, sampai harus banget mencampuri urusan orang lain?” Mereka terdiam, masih memandangku dengan tatapan tajam.

“Urusan aku, itu hak aku. Aku mau pergi ya terserah aku. Lagipula, apa pentingnya aku buat kalian? Toh aku pergi nggak disaat kalian menderita, kan? Nggak disaat kalian butuh aku, kan?” Aku kembali mendekati mereka, menjauhi keramaian yang mulai melihat perseteruan kami.

Aku menatap Viona dengan senyum miris.

Dia seseorang yang selalu bersamaku sedari SMA, selalu satu kelas dan kami sama-sama berprestasi.

Hal yang berbeda dari kami hanyalah status sosial, dia kaya sedangkan aku hanyalah anak miskin dari keluarga petani. Namun tekad kami sama, yaitu bisa kuliah sastra di universitas terbaik. Dan kami bisa merealisasikannya bersama, dia bisa masuk lewat Jalur Mandiri Prestasi sedangkan aku lewat Jalur SNBT dengan dukungan penuh dari KIP kuliah.

Hubungan yang kuanggap selalu baik itu ternyata hanya perasaanku sepihak.

Disaat ulangan semester awal, Viona sengaja menyabotase jawabanku agar tak mendapat nilai sempurna, dan itu ia lakukan berkali-kali sampai membuat beasiswaku harus dicabut karena nilaiku yang tak bisa dipertahankan.

Sekarang, kutatap mereka dengan mata memanas.

“Kalian kemana selama ini? Harus banget datangnya waktu aku udah terkenal? Waktu aku udah jadi ‘orang'? Bukan mahasiswa miskin lagi?” Kutatap wajah Jefri dengan tatapan lelah.

Masih tersimpan jelas di ingatanku. Hari-hari penuh perjuangan yang kulalui tanpa ada yang peduli dengan penderitaanku.

Di saat beasiswaku dicabut, otomatis aku dilarang menggunakan fasilitas beasiswa apapun termasuk asrama tempat tinggalku selama kuliah.

Aku terusir karena kesalahan yang tak pernah kulakukan.

Saat itulah aku mendatangi Jefri, lelaki yang sangat aku harapkan bisa menjadi rumahku disaat aku jauh dari tempat asalku. Aku hanya ingin meminjam sedikit uang untuk mencari tempat kost dan akan kuganti setelah aku berhasil mendapatkan pekerjaan.

Namun apa yang kudapatkan? Dia justru menghilang. Pintu rumahnya terkunci rapat tanpa mengijinkan diriku masuk, dia tak bisa kuhubungi bahkan sampai memblokir nomor kontakku.

Dan setelahnya, aku justru melihat story WhatsApp Viona di hari yang sama sedang berpesta dengan Jefri, Ken dan teman seangkatan yang lainnya.

Sahabat yang kuanggap seperti saudara sendiri, justru menjadi orang terjahat yang menusuk terang-terangan hanya karena perasaan iri, tak ingin terkalahkan.

Dan sekarang, mereka kembali mendatangiku hanya karena aku telah berhasil tanpa bantuan mereka.

Memang, seni terbaik orang dewasa untuk bertahan hidup adalah perasaan bodo amat.

Tetapi sekarang, aku tak bisa untuk mengabaikan mereka yang sudah cukup membuatku sakit berkali-kali.

“Viona ... Jefri ... Aku nggak akan pernah lupa sama luka yang udah kalian beri. Disaat aku jatuh, kalian menghilang tanpa kabar. Sekarang, disaat aku berhasil tumbuh, kalian datang tanpa ada yang meminta. Kalian anggap apa aku selama ini?”

Dulu, aku kerja sana sini demi menghidupi diri sendiri dan membayar biaya kuliah tanpa bantuan orang tua, karena aku tak berani memberitahu mereka. Dimana mereka berdua? Adakah di sampingku di saat tersulitku?

Aku bahkan sampai menghutang di bank, membuka bimbel setiap dua hari sekali, kerja di kafe dan restoran sampai larut malam. Adakah mereka peduli?

Aku masih ingat pesan kedua orang tuaku sebelum aku pergi merantau untuk menuntut ilmu.

“Manusia itu ya kayak bunga melati, waktu harum wangi di dekati, disukai banyak orang. Kalau udah kering, hilang baunya yaudah, dibuang gitu aja.” Pesan ibu beberapa hari sebelum keberangkatanku.

“Jadi ya, Nak. Ndak usah berharap lebih sama orang-orang yang deket sama kamu karena mereka pun ada potensi buang kamu kalau merasa kamu udah nggak layak lagi. Nanti kamu di tanah rantauan, percaya sama orang seperlunya aja. Berpegang teguh itu sama diri sendiri, jangan sampai bergantung sama orang lain.”

Nasehat ibu yang tak akan aku lupakan karena semua ucapannya selalu menjadi kenyataan.

“Kalau ada orang yang benci kamu, sakitin kamu. Ya ndak papa, manusia kan tempatnya iri sama dengki. Ingat, namamu Akasia. Kamu tetap bisa tumbuh lama meskipun tanahnya nggak baik. Jadi semangat ya, Nak. Kalau ada yang jahat, ndak usah peduli. Anggap aja itu salah satu dorongan biar kamu cepet sukses.”

Ya, selama itu aku tak ambil pusing, fokus menuntut ilmu dan mencari uang.

Aku mulai mengembangkan bakat menulisku dan tak lagi memperdulikan keberadaan mereka. Karena keberhasilanku tak butuh bantuan dari mereka.

“Jadi sekarang, aku mohon sama kalian. Lupakan semuanya, termasuk hubungan pertemanan kita selama ini. Biarkan aku tumbuh di tanahku sendiri. Dan silahkan kalian tumbuh di tempat manapun. Nggak usah datang di kehidupanku lagi.” Aku mengucapkan kata pamungkas dan bergegas meninggalkan panggung acara.

Tak mengijinkan mereka berucap lagi. Tak memperdulikan apapun yang mereka rasakan.

Biarkan aku mempertahankan keberhasilanku sendiri, tanpa ada mereka didalamnya.

Karena menganggap seseorang yang tak pernah menganggap keberadaan kita, hanya akan berakhir sia-sia sampai kapanpun.

Aku Akasia, pohon kecil yang berhasil tumbuh anggun meskipun di tanah yang buruk.

Dari semuanya, aku belajar. Untuk terlihat gagah tak perlu menjadi besar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Akasia dalam diriku
Rain Dandelion
Cerpen
Hadiah Dari Nirwana
Sucayono
Flash
JANGAN JADI GURU!
Hans Wysiwyg
Cerpen
Bronze
Dunia Orang Dewasa itu, Keseriusan dan Kesenangan seolah Melebur
Nuel Lubis
Cerpen
Bronze
Gembel di Tanah Asing
Bang Jay
Flash
Seplastik Anggur Merah yang Dioplos Keinginan Insaf
Ryan Esa
Flash
Musim Hazelnut
lidia afrianti
Flash
Uang Panas
Hans Wysiwyg
Flash
Hidupku
winda aprillia
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Cerpen
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
Yovinus
Novel
Talking To The Moon
Asrina Lestari
Cerpen
Blue Life
Adam Nazar Yasin
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Novel
Yang tersembunyi dalam luka
Asep Saepuloh
Rekomendasi
Cerpen
Akasia dalam diriku
Rain Dandelion
Cerpen
Bronze
Teman online
Rain Dandelion
Cerpen
Bronze
TEMAN KATANYA, CINTA RASANYA
Rain Dandelion
Novel
Kak, ayo pulang
Rain Dandelion
Cerpen
Ayah, maafkan Sea
Rain Dandelion
Novel
Aero school
Rain Dandelion
Cerpen
Bronze
Tawa Yang Hilang
Rain Dandelion