Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja merayap dari sudut barat, bukan membawa hangat, hanya sisa cahaya pucat yang ikut menyaksikan tubuh-tubuh letih berserakan di jalan.
Derap langkah terdengar seragam, seperti orkestra pekerja yang dipaksa memainkan nada kewajiban.
“Ayo pulang bareng,” ucap seorang teman kantor.
Aku hanya mengangguk, merapikan kertas-kertas yang penuh dengan coretan angka—angka yang lebih jujur daripada janji-janji manusia.
Kami melangkah keluar bersama, bercanda tipis tentang hidup yang terasa begitu malas membagi keadilan.
Halte sudah penuh. Wajah-wajah penat berjajar rapi, menunggu kendaraan murah yang selalu terlambat, seakan lelah pun perlu mengantri.
Tiga puluh menit kemudian, bus berhenti. Kami naik, satu per satu, mengisi kursi-kursi yang setiap hari hanya berubah penumpangnya, tapi tetap menyimpan dengus resah yang sama.
Aku bersandar, mencoba memejamkan mata, hingga temanku menyalakan obrolan dengan pemuda di sampingnya.
“Kerja di mana, Mas?”
“Di kantor seberang sana, Mas.”
“Oalah, yang di sana. Mas-nya dari mana?”
“Dari timur, Mas.”
“Owh, pantesan…”
Jawaban sederhana itu menutup wajah pemuda tadi. Kepalanya merunduk, seakan sudah terlalu sering menebak kemana arah percakapan ini.
Ia turun di halte berikutnya tanpa sedikitpun menoleh.
Dan seperti yang sudah bisa kuduga, temanku menyemburkan kalimat itu.
“Hitam banget orang tadi. Gosong kali, ya?”
Tawa pecah. Aku sempat tersenyum kaku, sebelum suara-suara lain mulai menambahkan bumbu hinaan.
Dari belakang bus, ada yang melontarkan ejekan lebih busuk, lebih jahat, lebih menjijikkan. Tiba-tiba aku tak bisa lagi ikut tertawa.
Apa ini? Candaan? Atau sekadar bukti kalau kita punya hobi merendahkan?
Seisi bus seolah serempak. Mereka memelintir warna kulit jadi bahan komedi rendahan.
Seketika aku teringat cerita lama, tentang masa di mana manusia diperdagangkan hanya karena berbeda warna, dijadikan budak hanya karena lahir di tanah yang salah.
Rupanya perbudakan itu belum mati, hanya berganti pakaian. Dari cambuk menjadi tawa. Dari rantai menjadi kata.
Kita, makhluk yang katanya berakal, ternyata lebih sering menggunakannya untuk mencari kelemahan orang lain, bukan untuk memahami.
Kita menertawakan perbedaan, seakan itu aib bawaan.
Lucunya, saat kecil kita tak peduli perbedaan. Anak-anak bermain tanpa tahu arti warna kulit atau agama.
Namun ketika dewasa, lingkungan mengajari kita bahwa berbeda berarti lebih rendah. Kita menelan ajaran itu tanpa sempat bertanya, lalu mewariskannya dengan tawa.
Bus berhenti di tujuanku. Aku turun, membawa lelah yang tidak hanya berasal dari pekerjaan, tapi juga dari kenyataan bahwa kita masih hidup di zaman perendah.
Entah sejak kapan, manusia percaya bahwa cara paling mudah merasa tinggi adalah dengan menginjak orang lain.
Dan malam itu aku pulang dengan satu keyakinan getir:
mungkin bukan otak kita yang berkembang, tapi cara kita menindas yang semakin maju.
*****
Epilog
Di jalanan yang riuh aku sadar:
kita hidup dalam budaya yang menjadikan penghinaan sebagai mata uang sosial.
Semakin tajam merendahkan, semakin keras ditertawakan, semakin tinggi pula dianggap.
Semua dibungkus kata “sekedar bercanda,” padahal setiap ejekan adalah luka baru yang diam-diam menumpuk jadi racun.
Dari situlah lahir jarak, kebencian, dan intoleransi—benih yang kita tanam sendiri sambil pura-pura terkejut saat dunia dipenuhi kekerasan.
Kita suka menyebut diri beradab, berbudaya, modern, tapi masih sibuk menguliti sesama dengan kata-kata.
Rantai besi memang sudah kita buang, tapi rantai ejekan terus kita kencangkan.
Jika hari ini seseorang jatuh karena ditertawakan, besok bisa jadi kita yang tersungkur.
Roda hinaan tak mengenal kasihan; ia hanya menunggu giliran.
Bus yang kutumpangi malam itu hanyalah potret kecil dari panggung yang lebih besar. Sebuah pengingat getir bahwa kita belum benar-benar bebas.
Dunia yang dibangun di atas hinaan hanyalah sirkus murahan, tempat kita saling menjadikan sesama badut.
Maka pertanyaannya:
adakah harga diri yang benar-benar kita punya, jika untuk merasa berharga saja kita harus merendahkan?
Sampai kita belajar menghargai perbedaan tanpa menertawakan, peradaban ini tak lebih dari topeng.
Dan kita, pemakai topeng, terus pulang membawa lelah—bukan hanya dari kerja, tapi dari kebodohan yang kita pelihara.