Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi hutan lebat, terdapat sebuah legenda menyeramkan tentang sosok bernama Agus. Kisahnya telah beredar dari generasi ke generasi, menciptakan ketakutan mendalam di hati penduduk desa. Tidak ada yang tahu pasti apakah Agus itu nyata atau hanya cerita untuk menakuti anak-anak, tetapi satu hal yang pasti: siapa pun yang memasuki hutan pada malam hari, jarang sekali kembali.
Risa, seorang mahasiswi antropologi, datang ke desa tersebut untuk meneliti legenda lokal. Dengan kamera dan catatan di tangan, ia mengunjungi kepala desa untuk menggali informasi. Kepala desa, Pak Salim, tampak ragu untuk bercerita.
“Kamu yakin ingin tahu tentang Agus?” tanyanya sambil melirik ke arah jendela. Matahari mulai tenggelam, dan bayangan panjang pepohonan menjalar seperti cakar.
Risa mengangguk. “Saya ingin tahu cerita lengkapnya. Mungkin ini hanya mitos, tetapi saya ingin mempelajarinya.”
Pak Salim menarik napas panjang. “Agus dulunya adalah seorang pemuda di desa ini, lahir tanpa tangan. Dia selalu diejek oleh orang-orang. Namun, bukan itu yang membuatnya terkenal.”
Risa mendekat, penasaran. “Apa yang terjadi?”
“Ada desas-desus bahwa Agus memiliki kekuatan gaib. Dia bisa melakukan hal-hal yang tak masuk akal, meski tanpa tangan. Ketika seorang gadis desa hilang secara misterius, semua orang menuduh Agus. Tak lama setelah itu, Agus ditemukan tewas di hutan. Tubuhnya tergantung di pohon, tetapi tidak ada tanda-tanda ia melakukannya sendiri.”
Pak Salim berhenti, suaranya bergetar. “Sejak itu, arwahnya gentayangan. Mereka bilang dia menunggu mangsa di hutan.”
Meski peringatan itu menakutkan, Risa merasa terpanggil untuk membuktikan bahwa cerita Agus hanyalah mitos. Malam itu, ia memutuskan untuk memasuki hutan sendirian.
Berbekal senter dan perekam suara, Risa melangkah masuk ke dalam kegelapan. Suara serangga dan hembusan angin menjadi satu-satunya teman. Ia berbicara ke perekamnya, “Hutan ini tampak biasa saja. Tidak ada tanda-tanda keberadaan supranatural.”
Namun, semakin jauh ia berjalan, suasana berubah. Udara menjadi dingin, dan suara serangga menghilang. Hanya ada keheningan yang berat, seolah-olah hutan menahan napas.
Kemudian, ia melihat sesuatu. Sebuah bayangan bergerak di antara pepohonan. Risa berhenti, menyorotkan senter ke arah itu. Tidak ada apa-apa.
“Siapa di sana?” panggilnya, berusaha terdengar tegar.
Tidak ada jawaban, tetapi ia merasakan kehadiran. Sesuatu atau seseorang mengawasinya. Tiba-tiba, sebuah suara berat berbisik dari belakangnya, “Kau tidak seharusnya di sini.”
Risa membalikkan badan dengan cepat, tetapi tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdegup kencang. Ia memutuskan untuk merekam suaranya, berharap bisa menangkap apa pun yang ia dengar tadi.
Saat ia melangkah lebih dalam, sebuah pohon besar dengan tali menggantung di salah satu dahannya menarik perhatiannya. Tali itu tampak tua, tetapi masih kuat, melambai-lambai pelan di udara tanpa angin. Tepat di bawahnya, ia melihat bekas-bekas tanah yang seperti digali baru-baru ini.
“Apa ini?” gumamnya, mendekati pohon tersebut. Begitu ia menyentuh tanah, suara jeritan menggema di seluruh hutan, membuat darahnya membeku.
Jeritan itu menggema lama, memantul di antara pepohonan, sebelum perlahan mereda. Risa mundur dengan tubuh gemetar, senter di tangannya bergetar. Udara di sekelilingnya semakin dingin, membuat bulu kuduknya meremang.
Dari sudut matanya, ia melihat bayangan itu lagi, kali ini lebih jelas. Sebuah sosok berdiri di kejauhan, tubuhnya kurus, hampir seperti bayangan itu sendiri. Wajahnya tersembunyi dalam kegelapan, tetapi ada sesuatu yang salah. Bahunya terangkat tidak wajar, seolah-olah tubuh itu tidak memiliki tangan.
“Agus?” bisiknya tanpa sadar.
Sosok itu tidak menjawab, tetapi mulai bergerak. Langkahnya pelan, menyeret kakinya di atas dedaunan kering. Setiap langkah terdengar seperti derak tulang. Risa mundur, tetapi kakinya tersandung akar pohon, membuatnya jatuh terduduk.
Sosok itu semakin mendekat. Sekarang ia bisa melihat lebih jelas. Wajahnya kosong, hanya lubang hitam di tempat mata seharusnya berada. Mulutnya menganga, mengeluarkan suara berderak seperti kayu yang terbakar.
“Kau… datang untuk apa?” suara itu terdengar, tetapi bibir sosok itu tidak bergerak.
Risa mencoba berdiri, tetapi lututnya lemas. Ia mengangkat senter, menyinari sosok itu sepenuhnya. Ternyata, tubuh itu tidak memiliki tangan. Bekas luka memutar di kedua bahunya seperti terbakar.
“Aku hanya… ingin tahu…” suaranya bergetar. “Aku tidak bermaksud mengganggu.”
Sosok itu tertawa, suara yang lebih mirip desis. “Semua orang ingin tahu, tetapi mereka semua menghilang.”
Tiba-tiba, senter Risa padam. Kegelapan melingkupinya sepenuhnya. Ia bisa mendengar suara langkah mendekat, dan napasnya menjadi tercekat.
Pagi harinya, warga desa menemukan kamera dan catatan Risa di bawah pohon besar dengan tali tergantung. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Risa. Pak Salim, yang pertama kali melihatnya, hanya bisa menggelengkan kepala.
“Aku sudah memperingatkannya,” gumamnya pelan.
Dari jauh, terdengar suara samar, jeritan yang menggema dari dalam hutan. Arwah Agus, katanya, telah mendapatkan mangsa baru.
Beberapa bulan berlalu sejak hilangnya Risa, tetapi ketegangan di desa tetap terasa. Malam-malam di desa itu lebih sunyi dari biasanya. Warga bahkan lebih enggan memasuki hutan.
Namun, Pak Salim merasa ada sesuatu yang salah. Suara-suara aneh sering terdengar di sekitar rumahnya, seperti langkah kaki pelan yang berhenti tepat di depan pintu. Suatu malam, ia memberanikan diri keluar membawa lampu minyak, hanya untuk menemukan jejak kaki di tanah yang mengarah ke hutan.
“Risa?” gumamnya, tak percaya.
Pak Salim memutuskan untuk mencari bantuan. Ia mengajak beberapa pemuda desa yang masih berani untuk menemaninya masuk ke hutan. Malam itu, dengan obor dan parang, mereka melangkah ke dalam kegelapan.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan sesuatu yang membuat mereka tertegun. Kamera Risa yang ditemukan sebelumnya kini berada di tengah jalan setapak, seolah-olah diletakkan dengan sengaja. Layar kameranya menyala, memperlihatkan video terakhir yang direkam.
Dalam video itu, Risa tampak ketakutan, terengah-engah sambil berbicara ke kamera. “Jika ada yang menemukan ini, jangan cari aku. Agus ada di sini. Dia tidak ingin kita tahu.”
Video itu tiba-tiba terhenti dengan suara jeritan yang tajam. Pak Salim menelan ludah. “Kita harus kembali sekarang juga.”
Namun, sebelum mereka sempat berbalik, suara langkah-langkah pelan terdengar di sekitar mereka. Sosok-sosok bayangan mulai bermunculan di antara pepohonan, jumlahnya lebih dari satu. Wajah-wajah kosong dengan lubang hitam menatap mereka, dan suara kayu berderak memenuhi udara.
Pak Salim memimpin kelompoknya untuk lari, tetapi satu per satu mereka terpisah. Jeritan dan suara gemuruh terdengar di mana-mana. Ketika pagi tiba, hanya Pak Salim yang berhasil kembali ke desa, namun ia tidak berbicara sepatah kata pun tentang apa yang ia lihat.
Legenda Agus semakin mencekam desa. Tidak ada yang berani memasuki hutan lagi. Warga percaya bahwa hutan itu bukan hanya tempat tinggal Agus, tetapi juga rumah bagi arwah-arwah lain yang terjebak di sana.
Kamera Risa kini tersimpan di rumah kepala desa, tetapi tidak ada yang berani menyentuhnya. Setiap malam, suara-suara jeritan samar terdengar, mengingatkan mereka bahwa Agus selalu menunggu, dan hutan tidak akan pernah melupakan siapa pun yang berani mengganggu kedamaiannya.