Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku bisa melihat apa yang mereka lihat, tapi mereka tidak bisa melihat apa yang aku lihat.
Paman selalu bilang jangan percaya dengan apa yang aku lihat. Tapi, bagaimana aku bisa mempercayai makhluk yang bentuk kepalanya lebih menyerupai persegi panjang dengan kulit berwarna keabu-abuan di depanku ini. Kenapa hanya paman yang rupanya berbeda? Kedua mata yang berwarna hitam pekat dengan hiasan spiral berwarna putih seperti vertigo. Kenapa vertigo di lambangkan dengan spiral? Entahlah. Kapan terakhir kali aku tertidur? Seminggu yang lalu mungkin.
Sejak 6 bulan yang lalu aku di urus oleh paman yang mulai pindah ke kota ini. Orang tua ku pergi entah kemana secara tiba-tiba. Rumah satu lantai yang dibanjiri oleh kolaborasi bungkus mie instan dan pakaian kotor ini di-sterilisasi olehnya. Makhluk dengan kulit kelabu berbadan besar itu selalu mengunjungi ku, setidaknya tiga kali dalam seminggu. Setiap datang berkunjung kemari, aku bisa mendengar dari balik pintu utama ia bertegur sapa dengan para tetangga. Sepertinya beberapa ibu rumah tangga disini menyukainya, ada kemungkinan juga mereka telah disihir oleh makhluk yang tampak berbeda ini. Tapi tidak ada alasan aku harus menyingkirkan makhluk baik hati ini.
Beberapa hari lalu paman merekomendasikan ku untuk bekerja di sebuah minimarket yang berada di dekat sini, mereka membutuhkan orang untuk berjaga di malam hari. Awalnya aku berpikir orang aneh yang tidak dapat mengerti tentang dirinya sendiri sepertiku hanya memiliki masa depan suram yang menanti. Tapi apa salahnya mencoba.
"Bakat tidak tidur malammu ini bisa jadi hal berguna," kata paman.
"Ah, gawat! Sebentar lagi aku terlambat!"
Aku segera bergegas, mengambil jaket dan bersiap-siap untuk pergi. Sampah kemasan dan baju-baju yang berserakan agak merepotkan di saat terburu-buru seperti ini.
Di tempat kerja, baru saja sampai aku sudah dapat teguran dari rekan kerjaku yang sedang berjaga. Karena aku terlambat, ia jadi harus berjaga 15 lebih lama dari jam kerjanya. Itu hanya 15 menit, ia terlalu berlebihan menghadapi kehidupan yang tidak berguna ini.
Jadwalku menunggu dari jam 11 malam sampai jam 7 pagi, karena ini minimarket 24 jam. Padahal, saat malam hari tidak banyak orang pergi ke minimarket, bahkan dalam kurun seminggu bisa dihitung hanya ada 3 pembeli. Itu juga hanya paman yang datang untuk mengunjungiku.
Mungkin tidak ada salahnya jika aku mengambil beberapa cemilan dengan dalih sudah kadaluarsa. Dan jika tertangkap, mungkin aku akn berakhir di balik jeruji besi.
"Hahhhhh, aku ingin kembali ke rumah," berbaring di rumah seharian sepertinya satu-satunya pekerjaan yang cocok untukku.
6.00
Pintu minimarket terbuka, itu kakek si pemilik minimarket. Aku menyapa singkat setelah itu ia pergi untuk melihat-lihat stok yang masih ada. Kakek tua itu berdiri lama di depan rak makanan ringan. Setelahnya, ia langsung berjalan menuju meja kasir dan menaruh sebungkus deterjen bubuk di atas meja.
"Aku tau kurang tidur itu mengurangi fokus. Tapi, kamu sendiri yang memilih untuk bekerja malam disini, kan. Yang serius!" ia memarahiku atas kesalahan yang tidak ku perbuat.
'Apa-apaan ini, aku tidak mengetahui tentang hal ini, aku tidak memiliki jadwal untuk menata barang sama sekali. Kenapa aku yang disalahkan?!' lagi pula, yang membuka lowongan itu orang bodoh. Atau aku hanya perlu memukulnya sekuat tenaga agar tidak mendengar ocehan berisik ini lagi.
Mana mungkin aku melakukan semua itu, kan. Aku hanya dapat tertawa canggung dan menundukan kepala sambil menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal sama sekali sembari meminta maaf. Kakek tua itu bilang aku boleh pulang lebih awal untuk istirahat. Ia akan menjaga minimarket sampai karyawan berikutnya datang. Aku kembali ke ruang staff untuk mengganti baju dan kembali mengenakan jaket yang aku gunakan saat berangkat tadi. 600 Meter menuju rumah beberapa tetangga memperhatikanku dan menghindar. Seolah aku adalah monster yang menularkan kesuraman pada mereka. Padahal mereka bisa akrab dan bersenda gurau dengan monster yang sesungguhnya. Setelah sampai dan membuka pintu, aku mencium aroma masakan yang sangat enak.
"Loh, sudah pulang? Hari ini lebih cepat dari biasanya ?" pertanyaan yang terlontar itu hanya aku tanggapi dengan anggukan. Aku berjalan menuju dapur dan merebus beberapa mili air. Setelah matang, aku menuangkannya pada benda yang mungkin termasuk bentuk tabung itu. Paman menarik kursi yang berada di hadapanku, ia meletakan makanan yang ia buat tadi.
"Nah, sudah siap," aku mengaduk makanan itu untuk menyatukan semua bumbunya. Aku mulai memakan masakan paman, menghisapnya helai demi helai. Aku mendengar paman terkekeh pelan. Ia memang selalu seperti itu setiap aku sedang makan, jika ditanya alasannya ia selalu menjawab, "Tidak ada, hanya hal bodoh ini selalu berulang."
Apa wajahku terlihat seperti orang bodoh saat sedang makan?
—
Hari ini paman memintaku untuk pergi ke rumah sakit tempat ia biasa melakukan tes kesehatan untuk mengambilkan obatnya. Ini pertama kalinya aku kembali pergi jauh dari rumah setelah 6 bulan. Rumah sakit tempat paman biasa berkonsultasi itu ada di pusat kota, jadi aku harus berangkat menaiki kereta untuk sampai ke tujuan. Sejak jam 4 sore ini aku sudah keluar rumah menuju rumah sakit. Kami semua yang ingin menggunakan fasilitas umum super cepat ini sedang berbaris di belakang garis kuning, menunggu sang pemeran utama datang.
"Apa kalau aku mendorong orang-orang ini agar tertidur lelap bersama rel, hidupku akan menjadi lebih mudah?"
Mencegah kalimat-kalimat aneh yang selalu bermain di benakku semakin liar, aku memutuskan untuk menyibukan diri dengan ponselku. Bertukar pesan dengan paman yang terus menerus memperingatkan agar aku terus berhati-hati dan pastikan agar tidak mengalihkan pandangan dari sekitar. Kalau ia memang sangat khawatir, kenapa menyuruhku untuk mengambilkan obatnya? Dasar aneh. Kereta datang, seperti segerombolan ikan teri yang akhirnya dibebaskan dari jeratan jala, mereka secara berbondong-bondong masuk kedalam kendaraan tercepat itu. Kalau di pikir, aku cukup hebat bisa masuk ke dalam kereta di tengah hebohnya kerumunan ikan teri ini dengan mata yang tetap tertuju pada ponsel.
Sesampainya di rumah sakit, si dokter menanyai kabarku lalu menjelaskan detail tentang obat yang ku ambil dengan ramah. Sok akrab sekali dokter ini. Kalau ini memang obat rutin paman, ia tidak perlu melakukan penjelasan panjang yang tidak berguna ini, kan. Apa paman selalu mendengarkan hal yang sama secara berulang setiap ia sedang mengambil obat?
Setelah keperluan dengan dokter yang memakai jam tangan terbalik itu, aku segera kembali ke rumah. Berada dalam kerumunan ikan teri itu membuat ku sangat pusing dan sulit rasanya untuk tidak memikirkan hal buruk. Sesampainya di rumah aku tidak bisa lagi menahan bobot tubuhku, segera ku jatuhkan badan yang sudah sangat lemas ini. Sepertinya, para kerumunan teri tadi menyerap semua energi ku. Dari pintu masuk aku merangkak menuju ruang tamu untuk membaringkan diri. Sepertinya spiral dalam bola mata paman perlahan masuk ke dalam kepalaku. Semuanya berputar. Aku segera membuka bungkusan kertas yang berada di sampingku dan memakan beberapa permen di dalamnya. Aku dengar makanan manis bisa meredakan sakit kepala.
"Tunggu-" aku segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semuanya ke dalam wastafel. "Ini… obat paman. Argh!" terlambat, obat-obat itu telah tertelan sempurna. Tidak ada yang bisa aku keluarkan. Aku berjongkok di lantai kamar mandi, spiral di dalam kepalaku perlahan menghilang.
"Maaf paman," lirihku.
--
Malam itu, tepat pukul 19.00 segerombolan rasa kantuk menghampiri, aku putuskan untuk tidur sejenak, lagi pula jam kerjaku di mulai 5 jam lagi. Aku berbaring di tempat tidur, berusaha untuk tertidur walau hasilnya nihil. Berguling ke kanan, berguling ke kiri sampai membungkus diri dengan selimut seperti kepompong. Semua kepompong hanya menghabiskan waktunya untuk tidur bukan. Di saat berperang untuk membuat diriku tertidur, pintu kamarku dibuka secara tiba-tiba.
"Ah, paman. Sekarang aku ini kepom- Eh?!" paman yang baru saja masuk kamar tiba-tiba menarik tanganku. Aku yang kebingungan hanya bisa mengikuti arah tarikan tangan paman yang sangat tergesa-gesa itu. Saat melewati ruang tengah, tidak lupa aku mengambil jaket oranye yang tergeletak di lantai bersama tumpukan bungkus mie instan.
Paman terus menyeretku hingga keluar dari area pemukiman tempat tinggal. Bahu kananku sudah mulai merasa pegal karena tarikan paman yang agak kasar itu. Sampailah kita di tempat yang baru saja beberapa hari lalu aku singgahi. Stasiun kereta. Untung kartuku ada dalam jaket, karena paman hanya fokus menarik tanganku tanpa peduli dengan keadaan sekitar. Ia mengarahkan kita hingga menaiki salah satu gerbong yang akan berjalan menuju pusat kota.
'Apa paman marah karena obatnya tidak sengaja aku minum? Tidak, pasti paman merasa khawatir denganku.'
Aku yakin, sekarang pasti mataku berbinar-binar menatap paman yang sedang berdiri di samping, tangan kanannya menggenggam tiang besi untuk menjaga keseimbangannya.
Pemberitahuan stasiun berikutnya terdengar, beberapa detik kemudian kereta berhenti di stasiun pusat kota. Tepat saat kereta berhenti, paman kembali menarik tanganku dengan langkah yang tergesa-gesa. Aku terus mengikuti langkahnya yang menuntun kami keluar dari stasiun, kami berjalan menuju persimpangan jalan yang dipenuhi oleh puluhan orang melintasi penyeberangan 4 sisi itu.
"Sttt!" Paman menatapku serius dengan jari telunjuk yang teracung di depan mulutnya. "Jangan menengok dan jangan bicara sedikit pun. Mereka sedang mengejarmu." jelasnya dengan nada panik.
Siapa mereka?
"Hey, kau yang mengenakan jaket oranye!" seorang yang berada di belakangku teriak.
Tunggu, apa mereka mencariku? Baru akan menoleh, paman melepaskan genggamannya, ia mendorongku hingga tenggelam dalam kerumunan orang-orang yang sedang menyebrang. Aku terus berusaha keluar dari arus yang dipenuhi kerumunan para teri ini, tapi barisan mereka terlalu padat sehingga sulit untuk melarikan diri. Aku terus berusaha sampai akhirnya berhasil keluar dari gerombolan ikan kecil itu. Aku sudah berada di seberang jalan dari tempat paman mendorongku tadi. Tidak mungkin aku bisa kembali kesana, para teri ini pasti akan membawaku kembali.
"Jangan bilang paman menjadikan dirinya umpan agar mereka tidak mengejarku?" aku terdiam, kedua tanganku menggenggam kepala erat-erat. Bagaimana kalau mereka melakukan hal buruk kepada paman.
"Aku harus kembali."
"Tunggu, tidak mungkin. Dasar teri!"
"Jalan bawah!"
Aku berlari menuju sebuah tangga dan berlari menuruninya secepat yang aku bisa. Jalanan bawah tanah ini terhubung ke stasiun tempat paman menarikku untuk turun, aku pasti bisa mengejar paman. Paman, kau harus selamat. Tubuhku terus berusaha berlari sekuat tenaga, hatiku berdo'a semoga paman baik-baik saja, kepalaku bertanya kenapa aku mengejarnya. Semua itu terjadi dalam rentan waktu yang bersamaan.
"Itu dia!" bukan paman, aku melihat tangga untuk keluar. Tangga yang sebelumnya aku lalui bersama paman.
"Tunggu, paman. Aku pasti-"
Baru dua anak tangga ku pijak, aku bisa melihatnya. Paman yang sedang tersungkur di tengah tangga dan seseorang dengan jaket kuning mengarahkan senjata api yang ada di genggamannya ke arah paman. Tanpa sadar, aku sudah berlari menuju orang asing itu, aku menggenggam tangannya berusaha merebut senjata yang akan digunakan untuk melukai paman. Orang itu mengangkat tinggi, aku yang terlalu fokus berusaha meraih senjata itu sampai tidak sadar bahwa pijakanku yang tidak seimbang membuat diriku terjatuh, aku menarik lengan orang itu hingga kami terguling bersama.
Ia tidak sadarkan diri. Kepalanya tidak mengeluarkan darah, pasti ia hanya pingsan, untuk berjaga-jaga aku mengambil senjata miliknya dan segera menghampiri paman.
"Paman?!" Ia sudah tidak ada di tempatnya tersungkur tadi. Pasti paman pergi untuk meminta bantuan dari para petugas keamanan. Aku berlari keluar untuk mencari paman. Persimpangan yang tadi di penuhi oleh para ikan teri itu kini kembali memadat.
"Yang benar saja, bagaimana aku mencari paman?"
Tuk
Aku menoleh dengan cepat saat seseorang menepuk pundakku.
Si jaket kuning!'
Ia mendekatiku dengan gestur seolah akan mencekik ku. Saat berusaha menghindar, ia berusaha menarik tanganku erat. Tanpa sadar,tanganku yang memegang senjata menarik pelatuk senjata itu kearahnya.
Gawat, paman pasti sedang dalam bahaya. "Apa dia masih memiliki teman lain?" Aku mengedarkan pandang ke sekitar. Ada beberapa jaket kuning lainnya, mereka pasti sebuah kelompok. Aku memanfaatkan keramaian untuk bersembunyi dan menembaki semua anggota jaket kuning.
Tentu saja terjadi kericuhan besar malam itu, semua orang yang ada di sekitar ku juga menghindar. Ajar saja. Tapi entah mengapa, para anggota regu berjaket kuning bertambah banyak mereka semua berlari ke arah ku.
"Payah, senjata ini langsung rusak."
Aku berlari menghindar dari jangkauan para regu jaket kuning. Seorang menyingkir seakan memberi jarak ke arahku. Aku terus berlari membelah kerumunan para ikan sambil mencari paman. Aku melihatnya. Paman ada di dalam sebuah mobil truk muatan besar dengan seorang berjaket kuning di sebelahnya.
Tidak!
Paman diculik!
Aku berlari mengejar mobil truk yang membawa paman, aku melompati pembatas jalan dan masuk ke jalur kendaraan. Karena kepanikan yang meningkat nafasku pun mulai semakin tercekik, aku berusaha mengejar paman dengan pandangan yang semakin kabur hingga akhirnya semua terlihat gelap.
Suara sirine yang sangat nyaring memekakkan telingaku. Telingaku juga menangkap suara orang yang saling berbisik, kilatan cahaya berwarna merah menyelinap masuk dari kelopak mata yang tertutup. Perlahan aku mulai mengerjapkan mata untuk mulai membiasakan diri dengan keadaan sekitar.
"Dia mulai sadar… Oksigen!! Kita butuh oksigen!!" seseorang dengan pakaian serba putih berdiri di sampingku. Aku masih mengerjapkan mata karena penglihatanku yang belum sepenuhnya fokus.
"Kau tidak apa? Apa bisa mendengarku?" saat akan menjawab, lidahku rasanya sangat kelu untuk digerakan, aku hanya sanggup menganggukan kepala dengan lemas.
Tidak lama setelahnya, aku merasakan badanku seperti terangkat dan dipindahkan ke sebuah ranjang. Salah seorang berpakain putih itu memakaikan masker yang membuatku jadi lebih lepas untuk bernapas, rasanya seperti embun pagi yang sangat sejuk dan dingin. Aku mengalihkan pandang ke sekitar, banyak orang-orang yang melihat dengan sorot mata khawatir, ada juga yang saling berbisik dengan tatapan kebingungan di lontarkan kepada ku.
'Ah, benar! Paman!'
Aku berusaha untuk berdiri namun kembali terjatuh. Tangan kiriku berusaha untuk menopang tubuh, namun rasa sakit yang luar biasa keluar dari dari dalam lengan ku, hawa panas mulai menjalar membuat rasa sakitnya jadi berkali-kali lipat.
"Bodoh, jangan bangun dulu." orang berseragam serba putih itu memarahiku.
Aku hanya dapat terbaring dengan lemas bahkan tidak mampu mendebat orang asing yang dengan percaya dirinya memanggilku bodoh. Helaan nafas kesekian kalinya ku hembuskan. Kenapa tiba-tiba diriku mengalami kejadian seperti ini. Perlahan ranjang tempatku berbaring ini didorong menuju sebuah mobil besar yang menjadi asal dari cahaya merah tadi. Aku menatap sekitar, masih tidak paham dengan apa yang terjadi. Baru setengah ranjang masuk ke bagian belakang mobil, aku melihat paman. Ia berdiri jauh di belakang kerumunan orang-orang yang tengah menatapku. Aku ingin berlari menghampirinya, tapi siluet paman semakin menghilang karena aku didorong masuk kedalam mobil berisik ini. Terakhir, sebelum benar-benar tidak melihatnya, paman mengajukan ibu jarinya ke arahku.
'Setidaknya paman selamat.'
"Lihat, ia kembali pingsan dengan wajah yang bahagia."
"Kata para saksi mata, ia tiba-tiba berlari keluar dari peron yang sepi dan mendadak melompat ke arah jalan raya."
-
Sudah seminggu sedak tragedi kami -aku dan paman- dikejar oleh segerombolan orang berjaket kuning. Sekarang aku masih menjalani masa perawatan di rumah sakit, tangan kiriku patah tapi bukan hal yang fatal. Kata dokter selama aku tidak melakukan hal yang berat dalam beberapa bulan tanganku akan pulih. Jujur aku agak risih dengan dokter sok akrab itu, saat jam kunjungan ia selalu datang dengan senyuman yang terpatri di wajah dan tidak lupa mengelus kepalaku.
‘Apa karena dia dokternya paman jadi dia sok akrab denganku?’
Dia adalah dokter yang beberapa hari lalu ku temui untuk mengambil obat paman. Bisa dibilang dokter spesialis paman. Apa dia seorang dokter tulang sampai bisa jadi dokter pendampingku? Apa paman selama ini sakit tulang? Semoga kondisi paman tidak parah.
Aku menghela nafas, ruangan yang tidak biasa, orang-orang asil yang sok akrab membuatku resah. Tapi, rasanya semakin tidak nyaman karena sampai detik ini, paman masih belum menghampiriku.
___
Hari ini aku sedang menonton TV bersama dengan paman. Tidak. Hanya aku yang menonton, paman sedang sibuk dengan puluhan panggilan masuk yang meneror ponselnya.
‘Karena adanya karnaval perayaan tugu kota yang baru. Rute di jalan 165,759,362 akan mengalami kemacetan untuk beberapa saat’
Paman yang tadinya hanya fokus dengan ponselnya kini mengalihkan atensi ke berita di TV
"Kenapa?" tanyaku.
"Oh, itu jalan yang ramai 6 tahun lalu," hanya komentar itu yang ia berikan lalu kembali sibuk dengan ponselnya lagi. Aku mengerutkan kening, "Ramai karena karnaval juga?" tanyaku.
Paman mengedikan kedua bahunya, "Kamu dulu terlalu mengagumi ku, kan. Selalu ingin bersama dan terus-terusan menempel denganku. Bahkan selalu menelpon saat paman bodohmu ini sedang bekerja, " ia tertawa setelahnya.
"Benar. Pernah ada waktu seperti itu, ya." aku mengangguk, agak malu mengingat-ingat kelakukanku dulu. Bahkan dulu aku akan menangis dengan kencang jika bukan paman yang menyuapiku.
"Kau mengejarku secara berlebihan, ini sudah melebihi batasan, loh." Paman memukul keningku pelan. "Setidaknya jangan kehilangan dirimu sendiri," aku tertawa mendengar perkataan itu. Siapa yang kehilangan apa, bahkan ia yang paling jauh dari rupa manusia di ruangan ini.
"Jangan bicara seolah aku penggemar fanatik paman," kami tertawa satu sama lain.
"Tapi aku penasaran dengan berita itu," segera ku ambil ponsel itu mencari tau tentang berita 6 tahun lalu di rute 165.
"Eh, kecelakaan truk dengan korban tunggal. Paman, lihat! Ini keren! Tidak ada korban lain kecuali si supir-" saat menunjukan berita di ponselku itu, paman yang sebelumnya duduk di sampingku sudah pergi entah ke mana. Aku menghela napas panjang, bahu ku terkulai lemas.
"Paman sudah pulang, ya. Ya Sudah lah. Dua hari lagi pasti dia akan datang berkunjung," aku mematikan TV dan berbaring di lantai yang selalu ramai tanpa celah itu.
“Lain kali aku akan lebih serius untuk mengejar mu.”
[Sebuah truk angkut dengan muatan semen membanting setir secara mendadak karena ada seorang anak kecil yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan dan berhenti di hadapannya. Pengemudi truk yang berbadan besar itu tertimbun oleh butiran-butiran pasir semen.]