Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
AfterChat
0
Suka
26
Dibaca

Tidak ada yang benar-benar siap kehilangan seseorang.

Kematian datang tanpa mengetuk, tanpa izin, tanpa ada aba-aba.

Luna tahu itu.

Sudah dua bulan sejak kecelakaan yang merenggut kakaknya, Rendra. Kamarnya masih berantakan dengan sisa-sisa kehadirannya.

Gitar yang senarnya sudah putus.

Mug kopi yang tak pernah dicuci.

Dan selembar sticky note kuning di pintu bertuliskan:

“Jangan lupa beli kopi susu buat aku kalau keluar.”

Kopi susu itu tak pernah sempat dibeli.

Dan setiap kali Luna membacanya, ia merasa seperti ditertawakan oleh kenangan.

Sore itu, Luna sedang berbaring di kasur, menatap langit-langit tanpa ekspresi.

Di luar hujan turun pelan.

Tangannya menggenggam ponsel, hanya karena tidak tahu harus menggenggam apa lagi.

Lalu tinggg.

Sebuah notifikasi muncul di ponselnya.

Awalnya Luna kira itu hanyalah notifikasi biasa. Tapi pesan yang muncul membuat napasnya berhenti untuk sesaat.

AfterChat - Pesan dari Rendra

Hai, dek. Kalau kamu baca ini… berarti aku udah nggak di sana lagi, ya?

Luna langsung duduk.

Tangannya bergetar. Ia pikir ini semacam prank, atau spam. Tapi nama pengirim itu, foto profil dengan wajah Rendra yang sedang tersenyum bodoh di depan Pantai. Itu semua terlalu nyata.

Jangan panik dulu. Aku nggak balik dari kubur, kok. Ini cuma aplikasi konyol yang aku install waktu iseng. Namanya AfterChat.

Kamu bisa atur pesan buat dikirim setelah meninggal. Lucu kan?

Lucu?

Luna ingin marah. Ingin berteriak bahwa tidak ada yang lucu tentang kematian.

Tapi suaranya tidak keluar.

Air mata justru jatuh tanpa bisa ia cegah.

Pesan ini bukan perpisahan. Ini cuma… daftar hal yang harus kamu lakuin selama aku nggak ada.

Tugas #1: Beli bunga untuk orang asing.

Luna menatap layar itu lama.

Beli bunga? Untuk orang asing?

Apa-apaan itu?

Apakah ini cara Rendra untuk menghibur? Atau hanya keisengan terakhir yang tersisa?

Tapi pada akhirnya, keesokan paginya, ia benar-benar melakukannya.

Pagi itu langit mendung, dan udara terasa berat.

Luna mengenakan jaket abu-abu Rendra yang kebesaran, berjalan pelan.

Langkahnya berhenti di depan toko bunga kecil di ujung jalan. Toko yang dulu sering mereka lewati saat Rendra bercanda ingin jadi “pembuat karangan bunga profesional.”

Bau mawar dan melati menyapa dari balik kaca.

Ia masuk, menatap deretan bunga yang berwarna-warni seperti potongan kebahagiaan kecil.

Jari-jarinya berhenti di satu tangkai mawar putih.

Sederhana. Tenang.

Seperti sesuatu yang pantas untuk tugas pertama dari kakaknya yang kini hanya hidup dalam pesan digital.

Ia membayar bunga itu, lalu berjalan keluar tanpa tahu kepada siapa bunga itu akan diberikan.

Hingga pandangannya tertuju pada seorang nenek yang duduk sendirian di bangku taman, menatap kolam air mancur tanpa ekspresi.

Entah dorongan dari mana, Luna menghampirinya begitu saja.

“Permisi, Nek,” katanya pelan, menyerahkan bunga itu dengan senyum gugup.

“Nenek suka bunga?”

Sang nenek menatapnya lama, lalu tersenyum. Senyum yang lembut tapi menyimpan banyak kehilangan.

“Sudah lama sekali,” katanya lirih, “sejak terakhir kali seseorang memberiku bunga.”

Luna tidak tahu kenapa, tapi dadanya tiba-tiba terasa sedikit lebih ringan.

Dan malamnya, notifikasi lain muncul.

Bagus. Tugas #2: Peluk seseorang yang kamu rindukan.

Luna menatap pesan itu lama.

Kedengarannya sederhana, tapi justru itu yang paling sulit.

Sudah lama ia tidak benar-benar memeluk siapa pun.

Sejak Rendra pergi, rasanya setiap pelukan hanya akan membuat dadanya semakin kosong.

Namun malam itu, setelah menatap layar cukup lama, Luna beranjak dari kasur.

Ia berjalan pelan ke kamar ibunya.

Lampu kamar masih menyala, dan ibunya tertidur di kursi sambil memeluk bantal. Mata yang lelah, bahu yang turun karena terlalu sering menahan tangis diam-diam.

Luna mendekat, lalu berlutut.

Tangannya gemetar, tapi ia akhirnya memeluk ibunya dari belakang.

Hangat. Rapuh. Nyata.

Ibunya terbangun dan menatapnya heran, sebelum akhirnya menangis tanpa kata.

Luna ikut menangis.

Air mata mereka bercampur seperti dua sungai kecil yang akhirnya bertemu di satu titik. Tempat di mana kehilangan tak lagi sendirian.

Semakin hari, tugas-tugas itu makin aneh.

Tapi setiap kali Luna melakukannya, ada bagian dari dirinya yang terasa sedikit lebih utuh.

Tugas #3: Pergi ke tempat yang ingin kita kunjungi dulu.

Tugas #4: Kirim pesan ke dirimu lima tahun lalu.

Tugas #5: Berani bilang “aku baik-baik aja,” meski belum tentu benar.

Luna mulai menandai setiap pesan itu di buku catatan kecilnya.

Setiap tugas yang ia selesaikan, ia menuliskan tanggal dan perasaan yang ia rasakan hari itu.

Di salah satu halaman, ia menulis:

“Hari ini aku peluk mama. Dia nangis. Aku juga.”

Pelan-pelan, catatan itu dipenuhi coretan.

Luna mulai sadar, setiap tugas bukan sekadar permainan. Tapi seperti potongan puzzle yang membantu dirinya membangun kembali sesuatu yang dulu hancur bersama Rendra.

Hari-hari berlalu.

Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian kakaknya, Luna bisa tertawa kecil. Bahkan kalau itu hanya karena hal sepele seperti tersesat di halte bus saat menuju pantai yang mereka rencanakan dulu.

Namun suatu malam, notifikasi lain muncul.

Tapi kali ini, pesannya terasa berbeda.

Tidak ada emoji. Tidak ada tanda tanya atau canda khas Rendra.

Tugas #6: Kunjungi rumah sakit tempat aku terakhir kali dirawat.

Luna terpaku.

Matanya membesar.

Jari-jarinya kaku di atas layar.

Udara kamar tiba-tiba terasa lebih dingin.

Hujan di luar makin deras.

Tempat itu, rumah sakit itu, adalah titik di mana semuanya berhenti.

Tempat ia terakhir melihat Rendra, terbaring dengan mata tertutup, dan suara mesin monitor jantung yang terdengar seperti jam pasir terakhir milik mereka.

Ia belum pernah kembali ke sana.

Tidak sejak hari itu.

Luna menatap layar ponselnya lama sekali, antara ingin menutup aplikasinya atau membuang ponsel itu jauh-jauh.

Namun ada sesuatu di dalam dirinya. Suara kecil yang lirih tapi jelas, yang mendorongnya untuk melangkah.

Dan malam itu, Luna mengambil jaket abu-abu Rendra dari gantungan.

Ia menatap cermin, mengusap air matanya pelan, lalu berbisik pada pantulan dirinya sendiri:

“Iya, Kak. Aku datang.”

Lorong rumah sakit itu masih sama. Berbau antiseptik. Seperti cara kenangan buruk menusuk balik tanpa peringatan.

Luna berjalan pelan, menyusuri jalur yang pernah ia lalui sambil menangis.

Ketika sampai di depan ruangan 304, kamar terakhir Rendra, langkahnya berhenti.

Pintu itu masih sama.

Catnya sedikit terkelupas di ujung, dan pegangan logamnya terasa sedingin dulu. Dingin yang dulu menempel di tangannya saat ia menolak melepaskan genggaman terakhir Rendra.

Ia berdiri lama di depan pintu itu.

Menarik napas.

Akhirnya, ia dorong perlahan.

Kamar itu kosong.

Hening, hanya diisi suara detak jam dinding dan desir pendingin ruangan yang lembut.

Tapi di meja kecil di sebelah tempat tidur. Di tempat yang dulu penuh dengan botol infus dan gelas plastik berisi air putih, tertempel secarik kertas lusuh.

Itu berisi tulisan tangan Rendra.

Tulisan yang ia kenal betul.

“Kalau Luna baca ini… berarti aku benar-benar nggak sempat ngelakuin apa-apa lagi.”

Tangannya gemetar. Air mata yang sudah ia tahan sejak memasuki lorong depan akhirnya jatuh juga.

“Maaf aku nggak bisa ngucapin apa-apa waktu itu. Aku cuma mau kamu tahu, kalau aku bukan takut mati. Aku cuma takut ninggalin kamu sebelum sempat ngebuktiin kalau kamu bisa bahagia tanpa aku.”

Luna menutup matanya. Suaranya pecah.

“Kak… aku nggak pernah minta bahagia tanpa kamu.”

Namun, seolah menjawab doanya, ponsel di tangannya kembali bergetar.

Satu pesan baru.

Tugas #7: Tolong maafkan aku, bahkan kalau kamu nggak tahu apa yang harus dimaafkan.

Luna menatap layar itu lama sekali.

Sampai huruf-hurufnya kabur karena air matanya sendiri.

Kalimat itu begitu sederhana, tapi terasa seperti tombak kecil yang menembus pertahanan yang selama ini ia bangun dengan tangis dan kemarahan.

Ia duduk di kursi kosong di sebelah tempat tidur, lalu menatap sekeliling.

Bayangan Rendra seolah masih ada di sana. Duduk di tepi ranjang sambil memainkan gitar tanpa senar, seperti dulu.

Beberapa minggu berlalu.

Tugas-tugas dari Rendra mulai berkurang, tapi setiap pesannya makin personal, seolah aplikasi itu tahu persis kapan Luna siap menerima sesuatu yang lebih berat.

Tugas #8: Cari seseorang baru untuk diajak berbagi hari-harimu.

Tugas #9: Ceritakan tentang aku tanpa menangis.

Luna mencoba. Ia mulai membuka diri, berteman dengan barista di kafe langganan Rendra, ikut kegiatan kampus, bahkan tertawa bersama orang-orang baru.

Tapi setiap kali ponselnya bergetar, jantungnya tetap berdegup cepat.

Bagian dari dirinya takut… bahwa pesan berikutnya akan jadi yang terakhir.

Dan ketakutannya terbukti.

Satu malam, pesan terakhir itu datang.

Tugas #10: Kalau kamu sudah siap, kirim pesan pertamamu untukku.

Luna menatap layar itu lama.

Cahaya biru dari ponsel memantul di wajahnya yang penuh air mata.

Tangannya gemetar. Ia mengetik… lalu menghapusnya.

Mengetik lagi… lalu berhenti.

Bagaimana caranya mengirim pesan untuk seseorang yang sudah tiada?

Bagaimana cara menulis “aku merindukanmu” pada ruang kosong yang tak bisa menjawab?

Ia menatap foto profil Rendra di aplikasi itu. Foto lama dari pantai, di mana ia tersenyum dengan mata menyipit karena matahari terlalu terang.

Di belakangnya, Luna kecil sedang tertawa, sebagian wajahnya buram oleh pantulan ombak.

Mereka tampak bahagia.

Begitulah seharusnya kenangan diingat. Tidak sempurna, tapi hangat.

Luna menarik napas dalam-dalam.

Lalu ia mengetik perlahan, huruf demi huruf, dengan air mata yang jatuh membasahi layar.

“Aku masih di sini, Kak. Tapi sekarang aku sudah kembali hidup. Kak Ren baik-baik di sana ya.”

Ia menekan kirim.

Dan setelah itu, tidak ada notifikasi lagi.

Tidak ada pesan balasan.

Tidak ada apa-apa.

Hanya layar hitam, dan pantulan wajahnya sendiri yang tampak tenang untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan.

Beberapa bulan kemudian, Luna duduk di taman yang sama tempat ia dulu memberi bunga untuk nenek asing itu.

Langit sore berwarna jingga lembut, dan angin membawa aroma kopi susu dari kafe seberang.

Luna duduk di bangku tua yang mulai berkarat di ujung taman.

Bangku yang diam-diam telah menjadi saksi perubahan dalam dirinya.

Dulu ia duduk di sana dengan mata bengkak, dada sesak, dan tangan gemetar karena masih menolak kenyataan bahwa dunia bisa terus berputar tanpa Rendra.

Sekarang, ia duduk dengan napas tenang, menatap langit yang sama, tapi dengan hati yang berbeda.

Ia mengeluarkan ponselnya dari tas.

Layar menyala, menampilkan ikon aplikasi yang sudah lama tidak dibukanya. AfterChat.

Entah kenapa, hari itu jari-jarinya terasa ringan untuk menyentuhnya lagi.

Aplikasi itu terbuka dengan suara notifikasi lembut.

Namun kali ini, bukan pesan dari Rendra.

Hanya satu tampilan baru di layar, dengan huruf putih sederhana di tengah latar hitam:

Buat pesan pertamamu untuk seseorang.

Ia tersenyum kecil.

Mengetik perlahan.

“Untuk siapa pun yang suatu hari kehilangan seseorang. Kamu nggak akan pernah benar-benar sendirian. Mereka tidak pergi. Mereka hanya tinggal di dalam hal-hal kecil yang kamu lakukan, di tawa yang kamu lepaskan, di kopi yang kamu minum, di langkah yang kamu ambil setiap pagi. Jadi, jangan takut hidup lagi. Karena setiap kali kamu bahagia, seseorang di tempat lain sedang ikut tersenyum.”

Ia menekan kirim, lalu menutup mata. Membiarkan angin sore menyapu pipinya

Seekor burung kecil hinggap di ranting pohon di atasnya, mengepakkan sayapnya pelan, lalu terbang ke arah langit yang semakin gelap.

Luna mengikuti arah terbangnya dengan pandangan lembut.

Dan dalam diam itu, ia tahu, ia tak akan menunggu pesan apa pun lagi.

Karena Rendra bukan lagi suara dari masa lalu. Ia sudah menjadi bagian dari napasnya, langkahnya, senyumnya… dari kehidupannya yang terus berjalan.

Luna menarik napas pelan, lalu berbisik ke udara,

suara yang terdengar seperti doa sekaligus perpisahan:

“Selamat tinggal, Kak. Dan… terima kasih, untuk semua pesan yang membuatku berani hidup lagi.”

Di kejauhan, angin berhembus membawa aroma melati dan kopi susu bercampur jadi satu. Dan entah kenapa, di antara semua itu, Luna merasa seseorang sedang tersenyum bersamanya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Surya Kembar
Tinta Emas
Skrip Film
Derai Lara
Dhia Amjad
Flash
Sakit
Dwi Kurnialis
Cerpen
AfterChat
Fredhi Lavelle
Flash
Bronze
Daun di Atas Bantal: Cemburu Ketika Angin Mencocoli Daun
Ari S. Effendy
Cerpen
Bronze
Persahabatan Melampaui Batas
Yekti W. Widanti
Novel
Alfameria
kumiku
Novel
Aku Impoten
aas asmelia
Flash
Hormat Bendera Grak !!!
Sulistiyo Suparno
Flash
MEDIA TIDAK SOSIAL
Hazalia Zahra
Flash
Mereka Bilang Aku Setan
Jasma Ryadi
Flash
Abu
A. R. Tawira
Cerpen
Bronze
Air Mata di Pangkuan Ibu
Kim Sabu
Cerpen
Di Balik Jendela yang Tak Pernah Dibuka
A. R. Tawira
Novel
Bronze
Di Atas Atap
izul rahman
Rekomendasi
Cerpen
AfterChat
Fredhi Lavelle
Cerpen
Taman di Atap Sekolah
Fredhi Lavelle
Cerpen
Perpustakaan Bayangan - Perpustakaan yang Menyimpan Hari-Hari yang Tidak Pernah Terjadi
Fredhi Lavelle
Cerpen
Kalender Terbalik
Fredhi Lavelle
Cerpen
Hujan yang Tak Pernah Turun di Hari Selasa
Fredhi Lavelle
Novel
Benang Takdir
Fredhi Lavelle