Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Empat tahun sudah dilalui Misha tanpa partner hidup yang sudah menemaninya hampir lima belas tahun. Rasanya berat sekali bagi Misha menjalani peran sebagai orangtua sendirian. Keadaan itu bukanlah keadaan yang diharapkan Misha. Bahkan ia sering kali meminta pada Tuhan agar ia yang dipulangkan lebih dulu daripada suaminya. Namun, Tuhan berkehendak lain. Untuk satu permintaan Misha itu tak diwujudkan oleh-Nya. Dan Misha harus melewati status dan keadaan yang baru, begitu berat dan asing baginya.
Seperti biasa, di hari jum`at, Misha akan mengunjungi makam mediang suaminya. Hanya untuk menceritakan apa yang terjadi dengannya, termasuk kejadian seseorang dari masa lalu Misha yang kembali datang satu tahun terakhir ini. Ia juga menceritakan bagaimana perkembangan anak-anak mereka.
Sendiri selalu menjadi pilihan Misha setiap kali mengunjungi makam Kevin, mediang suaminya. Meskipun putra sulungnya beberapa kali menawarkan untuk menemani, tapi Misha tetap memilih berangkat sendiri dengan mio kesayangannya.
“Mas, dulu kita pernah saling sepakat, kan? Bahwa siapapun yang pergi lebih dulu, dia harus siap dan tetap melanjutkan hidup, kan?” tanya Misha pelan sambil menaburkan bunga diatas pusara sang suami. Misha sadar, pertanyaannya hanya akan dijawab oleh angin lembut yang membelai wajahnya. “Ini udah tahun ke empat tanpa kamu, mas. Kehilangan mu aku gak pernah siap. Tapi aku bisa membuktikan ke kamu kalau aku bersama anak-anak tetap bisa melanjutkan hidup.” Lanjut Misha sambil menahan air matanya untuk tidak menetes di atas pusara Kevin. “Aku ijin menjawab keseriusan dan niat baik Ricky ya, Mas. Aku rasa anak-anak masih butuh sosok seorang ayah, dan aku butuh partner hidup untuk banyak hal. Aku gak bisa sendiri, Mas. Aku rasa saat ini Ricky adalah orang yang tepat mengisi posisi itu. Seperti katamu waktu itu, jika kita melanjutkan dengan orang baru, bukan berarti kita tidak setia dengan pasangan lama, tapi kita hanya sedang berusaha untuk realistis, melanjutkan hidup dan melihat mana yang menjadi kebutuhan kita, bukankah begitu, Mas?” tutup cerita Misha dengan senyuman getir.
Setelah merapalkan doa dalam hati untuk Kevin, Misha pun bangkit dari sisi makam. Hari sudah semakin beranjak sore, tirai senja semakin turun menyelimuti langit dengan jingganya. Misha harus segera pulang. Ia yakin ketiga anak-anaknya sudah menunggu di rumah.
Baru saja Misha ingin menyalakan motor, ponselnya bergetar. Satu panggilan tak terjawab dan satu pesan dari satu nomor yang sama tertera di layar ponsel Misha.
Dimana, Mi?
(makam. Tapi ini mau pulang) jawab Misha.
Baru saja Misha ingin menggunakan helmnya, si pengirim pesan meneleponnya.
“Assalammualaikum, ada apa, Abang?” tanya Misha mengawali percakapan mereka.
“Waalaikumsalam. Kamu masih di makam? Mau aku jemput?” jawab Ricky.
Misha tersenyum mendengar pertanyaan Ricky. “Gak usah. Aku kan bawa motor. Ini juga mau pulang.”
“Oke, aku tunggu di rumah aja kalau gitu.” Jawab Ricky dengan santainya.
Misha merasa kaget dengan jawaban Ricky. “Kamu … di rumahku?”
“Iya. Abis ngobrol juga ini sama Arshad. Yaudah, kamu hati-hati ya. Gak usah ngebut, aku masih lama kok.” Jawab Ricky yang langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan sebelom mendengar jawaban dari Misha.
Misha menarik senyumannya lebih lebar. Ricky selalu begitu. Memberikan kejutan-kejutan kecil yang tak pernah ia duga. Ricky bisa kapan saja ada di rumahnya Misha tanpa kabar lebih dulu. Herannya, ketiga anaknya -Arshad, Musa, dan Farah- menerima Ricky dengan sangat baik. Misha segera bergegas menginggalkan area makam. Ia ingin segera sampai di rumah sebelum gelap. Bukan karena tidak enak dengan Ricky yang sudah menunggunya terlalu lama, tapi Misha tidak ingin membuat ketiga anaknya beserta Ricky merasa khawatir jika ia lebih lama tiba di rumah.
Sebelum sampai rumah, Misha mampir lebih dulu ke warung makan depan gang. Ia membeli seporsi sayur capcay, dan udang pedas asam manis untuk menu makan malam ia bersama Ricky dan ketiga anak-anaknya. Jika ia berada di rumah, biasanya ia yang akan masak. Namun kali ini, ia memilih beli saja, karena sudah tentu sampai rumah ia merasa sangat lelah.
“Wah, Ibu bawa apa?” tanya Farah menyambut kedatangan Misha yang membawa kantong makanan.
“Buat makan malam kita. Bisa tolong rapihkan dulu, sayang?” Tanya Misha sambil memberikan kantong makanannya kepada Farah, si gadis manis yang baru saja berusia sepuluh tahun.
“Bisa dong, Ibu.” Jawab Farah dengan senyuman manisnya.
“Om Ricky dan kedua abangmu mana?”
“Lagi ke masjid, Bu.”
“Tumben kamu gak ikut.”
“Iya, kata om Ricky aku di rumah aja, soalnya bentar lagi Ibu pasti sampe. Eh, bener gak lama mereka pergi Ibu sampe.” Jawab Farah sambil meletakkan piring dan mangkuk untuk lauk yang dibeli Misha.
“Biar Ibu aja yang pindahkan. Adek solat dulu sana.” titah Misha kepada Farah yang langsung menurut apa perintah ibunya.
Selesai memindahkan sayur serta lauk yang tadi di belinya, juga menyiapkan piring-piring untuk makan malam, Misha beralih ke kamarnya untuk bebersih dan solat magrib.
Selesai menunaikan tiga rakaat magrib, Misha mendengar suara motor Ricky berhenti di depan rumahnya. Ricky beserta Arshad dan Musa baru kembali dari masjid. Misha segera bergegas keluar kamar dengan mengenakan daster abu-abu beserta jilbab bergo berwarna hitam.
“Baru sampe?” tanya Ricky ketika melihat Misha datang menghampirinya.
“Enggak. Udah dari tadi.” Jawab Misha sambil duduk di hadapan Ricky.
“Bu, itu ada pecel ayam sama martabak dari om Ricky. Arshad taro di meja makan.” Kata Arshad setelah mencium tangan Misha.
“Kan Ibu udah beli lauk, loh! Kok malah beli pecel ayam lagi? Pasti kalian yang minta, kan?” tanya Misha sambil melirik ke Arshad dan Musa secara bergantian.
“Bukan, aku yang ajak mereka beli tadi, sekalian lewat. Tadi aku tanya mereka mau makan apa, mereka bilang mau pecel ayam. Yaudah sekalian jalan aja kita beli tadi.” Jawab Ricky memberikan penjelasan.
“Ih, tapi kan aku udah beli lauk.” Protes Misha.
“Ya gakpapa, lah! jadi banyak lauknya. Aku juga gak tau, kan kalau kamu mau beli lauk juga.”
“Aku juga beli capcay buat kamu.”
“Capcay? Serius?” tanya Ricky dengan senyum dan matanya yang terlihat berbinar. Seperti seorang anak kecil yang dibelikan permen kesukaannya.
“Iya.” jawab Misha singkat. Ia sudah mengira Ricky akan sebahagia itu dibelikan capcay. Karena memang capcay adalah sayur favoritnya. Bahkan Ricky bisa menjadikan capcay seperti cemilan baginya.
Misha pun mengajak mereka untuk makan malam bersama. Serempak mereka berempat beralih dari ruang tamu ke ruang makan. Mereka terlihat begitu menikmati santap makan malamnya. Udang yang dibeli Misha tidak habis termakan. Karena sudah ada si pecel ayam yang mengalihkannya. Sayur capcaynya sudah tentu habis ludes tak bersisa. Siapa lagi kalau bukan Ricky yang membersihkannya.
Selesai makan malam, ketiga anak Misha langsung memindahkan piring kotor ke tempat cucian piring. Dan beralih dari ruang makan ke ruang keluarga. Asik dengan hobi masing-masing. Arshad dengan baca bukunya, Musa dengan pensil dan buku gambarnya, dan Farah dengan buku latihan tugas sekolahnya. Sedangkan Misha dan Ricky memilih untuk tetap berada di ruang makan.
“Anak-anak kenapa gak kamu ajak?” tanya Misha setelah merapihkan piring-piring kotor yang tersisa di meja makan.
“Aku tadi dari kantor, langsung ke sini. Jadi gak sempat ajak mereka.”
“Hari ini pulang cepet dari kantor?”
“Iya, kerjaan beres lebih awal. Dan aku pengen ke sini aja. Ketemu kamu, ketemu anak-anak.” Jawab si duda tiga anak itu.
“Yaudah, jangan lama-lama kalau gitu.”
“Jangan lama-lama apanya nih? Ijab kabulnya?” ucap Ricky dengan tatapan dan raut wajah sedikit menggoda Misha.
“Apaan sih! Bukan itu ih!” jawab Misha dengan wajah yang sedikit tersipu.
“Terus apa?”
“Kamu jangan lama-lama di sini, kasian anak-anak di rumah sama mbah nya doang.”
“Oh, tenanglah. Aman kok mereka. Aku ke sini soalnya mau ngomongin persiapan acara kita. Udah tinggal dua bulan lagi, kamu ada kendala gak?” tanya Ricky penuh perhatian. Ia ingin memastikan segala rencanya bersama Misha berjalan dengan baik.
“Enggak sih. Aku rasa udah beres. Kemaren juga urusan ke KUA kamu udah beresin, kan?”
“Iya, udah.”
“Yaudah beres. Apalagi?” tanya Misha dengan otaknya yang berpikir mengingat-ingat apa lagi kira-kira yang belum terselesaikan.
“Paling yang belum final itu menentukan resto yang cocok untuk kumpul keluarga dan syukuran kecil-kecilan setelah akad nanti.” Lanjut Misha.
“Ah iya bener. Kemaren si Anto kirimin tuh beberapa tempat rekomen buat kita. Akhir pekan ini kita jalan lah yuk! Sekalian bawa anak-anak. Sambil jalan-jalan nyenengin mereka, sambil kita cek beberpa tempat yang Anto kasih ke aku. Gimana?” usul Ricky yang langsung diiyakan oleh Misha.
“Setelah akad nanti, jadi kan ke Jogja?” tanya Misha disusul dengan senyum termanisnya sebagai bentuk rayuan kepada Ricky agar tidak ada penolakan.
“Iya, jadi. Honeymoon aja dulu ya? Pindahannya nanti. Beres kontrak kerjaku. Gimana?”
“Oke. Gak masalah. Atur aja. Aku ikut keputusan kamu, yang pasti selama aku bareng kamu bukan jadi masalah buat aku.”
“Halah, mulai mode manjanya.” Ledek Ricky dengan mimiki wajah menyebalkan di mata Misha.
“Dih, emang baru tau kalau aku manja? Manja sama calon suami sendiri emang gak boleh?” protes Misha.
“Udah tau sih. Makanya gemes!” jawab Ricky sambil mencubit pelan hidung Misha, yang langsung mendapatkan pukulan di tangannya.
“Sakit abang ih!” Protes Misha dengan wajah yang membuat Ricky semakin senang melihatnya.
“Yaudah, aku balik ya. Ketemu lagi akhir pekan ya. Jangan kangen. Kangen itu berat, kata Dilan bukan kata aku.” Ucap Ricky yang beranjak dari kursinya dan mendaratkan usapan lembut di puncak kepala Misha sebelum ia melangkah.
“Halah, akhir pekan juga udah lusa, Bang. Kayak yang masih lama banget!” jawab Misha disusl dengan tawa kecilnya. “Yang ada tuh kamu yang kangenan mulu sama aku!” lanjut Misha dengan rasa percaya diri full level.
“Kangenan mulu soalnya gak sabar mau bikin adek ke tujuh buat mereka berenam.” Ucap Ricky setengah berbisik di telinga Misha yang langsung dibalas dengan cubitan kecil di perut Ricky.
“Ish sakit tau!” protes Ricky.
“Biarin! Udah sana pulang!”
“Dih aku diusir.”
“Udah malem, kasian anak-anak di rumah nungguin bapaknya.”
“Iya, yaudah aku pulang, kamu istirahat, ya.” Terakhir kalinya Ricky mengusap kepala Misha dengan lembut. Membuat rasa nyaman dan aman tercipta di hati Misha. “Anak-anak, om pamit pulang ya. Kita ketemu lagi nanti week end ya.” Pamit Ricky kepada ketiga anak Misha. Mereka pun langsung beranjak dan mencium tangan Ricky satu persatu.
Misha benar-benar nervous membayangkan hari pentingnya bersama Ricky yang akan terselenggara dua bulan lagi. Masih tak percaya rasanya ia bisa di titik ini. Di keadaan dimana ia dan Ricky merencanakan hari pernikahan mereka. Padahal, lima tahun lalu mereka saling mengucapkan selamat tinggal dan saling mendoakan yang terbaik untuk mereka.
~~**~~**~~**~~
Lima tahun yang lalu. Ricky dan Misha hanya berteman secara online. Dunia maya yang mempertemukan dan mengenalkan mereka. Berawal hanya dari teman cerita, mereka menjadi dekat. Saat itu, kondisinya Ricky sudah menduda. Istrinya meninggal sebulan setelah melahirkan anaknya yang ke tiga. Awalanya ia berkenalan dengan Misha hanya butuh teman cerita dan teman ngobrol. Namun seiring waktu ia semakin nyaman dengan hadirnya Misha. Begitu pula Misha. Semakin hari ia semakin menikmati kehadiran Ricky. Komunikasi mereka semakin intens. Misha yang sedang di fase jenuh dan haus perhatian dari Kevin, sedangkan Ricky yang berada di keadaan butuh teman cerita untuk mengusir rasa sepinya, membuat mereka di di hubungan gayung bersambut.
Mereka terjebak pada rasa saling nyaman, sayang, juga mencintai. Tapi Ricky cepat mengendalikan keadaan. Logikanya bekerja lebih cepat dari hatinya. Logikanya menyadarkan ia untuk tidak semakin tenggalam dalam lautan perasaan yang semakin hari semakin dasyat ombaknya. Ia sadar dan tahu bahwa apa yang ia rasakan dan ia inginkan tak semestinya hadir. Maka ia memutuskan untuk mengajak Misha bertemu. Terlebih ia tahu bahwa Kevin sedang berada di luar kota. Menurut Ricky inilah momennya. Setelah ngobrol dan saling bertukar cerita banyak hal, akhirnya obrolan mereka sampai pada kata berpamitan.
“Aku tau, aku salah karena udah membawa kamu ke dalam kehidupan aku. Aku tau ini gak seharusnya terjadi. Jika kamu pernah bilang agar ku pamit sebelum pergi, malam ini aku pamit. Aku kembalikan kehormatan dan harga dirimu kepada yang semestinya menjagamu.” Dengan berat Ricky mengucapkan itu kepada Misha yang sudah tertunduk menahan gejolak di hatinya.
Misha sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah kesalahan fatal. Ia memang harus mengakhiri semuanya dengan Ricky. Ia sadar untuk tidak boleh memelihara perasaan itu lebih lama lagi.
“Oke, aku terima keputusan kamu.”
“Are you oke, Mi?” tanya Ricky hati-hati mencoba mencari manik mata Misha.
“Aku baik-baik aja. Emang semestinya harus begini, kan?” jawab Misha sambil mengangkat perlahan wajahnya dan menatap Ricky. Ada kilat kesakitan yang diterima Ricky. Dan Ricky benci sekali melihat wanita yang dicintainya merasakan kesakitan dan kesedihan seperti itu.
“Kita gak mungkin memaksakan keadaan, Mi. Ada yang lebih berhak menjagamu, mencintaimu. Ada yang lebih berhak kamu cintai, kamu perhatikan, bukan aku. Tapi dia, yang sudah berani memintamu dari ayahmu secara langsung.” Ucap Ricky mencoba menguatkan Misha. Dengan lembut ia menggenggam tangan Misha yang berada di atas meja.
“Iya, aku paham keadaannya, Bang. Tenang aja. I`m ok. Gak usah khawatir. Apa yang kamu bilang itu bener, dan aku terima keputusan kamu ini. Maaf kalau aku selemah ini, maaf kalau aku pernah jadi beban buat kamu,” Misha mencoba mengafirmasi dirinya sendiri. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata. Senyum yang ia hadirkan bukan menandakan bahwa ia baik-baik saja. melainkan senyum kegetiran mencoba untuk kuat melangkah dari jebakan rasa itu.
“Please, jangan nangis, Mi.” Ucap Ricky yang langsung beranjak dari kursinya dan pindah ke sisi Misha. Menenggelamkan wajah Misha ke dada bidangnya. Tangis Misha pun akirnya pecah.
“Pada akhirnya kita harus kalah dengan kenyataan dan keadaan. Gak ada yang baik-baik aja setelah ucapan pamit. Gak ada yang hebat setelah menyatakan ‘aku baik-baik aja, gak perlu khawatir’ ini keputsan kita bersama tapi terlihat seolah keputusan sepihak. Dan kalimat ‘maaf aku jadi beban, maaf aku lemah’ adalah kalimat terbangsat untuk dikatakan bahkan didengar, Mi. Suka atau tidak, inilah kehidupan. Inilah ceritanya dan benar-benar gak ada yang baik-baik antara kita, Mi.”ucap Ricky begitu lirih.
Ia bisa merasakan kesakitan luar biasa yang dirasakan Misha. Hatinya pun terluka begitu parah tanpa Misha tau. Bagaimana pun, dan sebesar apapun cinta dan keinginannya untuk mempersunting Misha harus ia kubur dalam-dalam. Ia pun harus fokus pada rencana pernikahannya dengan tunangannya. Maka di satu malam pada pertengahan September lima tahun yang lalu mereka sepakat untuk saling berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.
Namun perpisahan mereka tidak benar-benar melepaskan perasaan mereka. Terutama Misha. Ia lebih memilih tetap menyimpan segala tentang Ricky dalam hati dan pikirannya, bahkan dalam setiap doanya. Nama Ricky tak pernah terlewat disebut oleh Misha pada barisan doa yang ia rapalkan pada Allah. Meski sudah tak ada lagi komunikasi yang intens seperti biasanya, sudah tidak ada lagi bertukar kabar, tapi Misha tak lelah untuk tetap menjaga Ricky dengan balutan doa diantara kerindauan dan rasa sayangnya.
Hingga akhirnya, setahun yang lalu, Ricky datang. Kembali menyapa Misha melalui pesan singkatnya. Ricky baru mendapatkan kabar tentang kepergian Kevin di saat ia iseng mencari tahu kabar Misha. Entah mengapa, hari itu Ricky tidak lagi sanggup menahan rindunya kepada Misha. Terlebih saat ia tahu kondisi Misha, ia segera memberanikan diri untuk kembali menghubungi Misha. Ia ingin menceritakan banyak hal kepada Misha. Termasuk gagalnya rencana pernikahan yang harusnya terjadi empat tahun lalu.
Komunikasi itu kembali terjalin. Semakin hari semakin intens. Mereka seperti berjalan di koridor yang sama dengan lima tahun lalu. Namun yang membedakan kali ini adalah, Ricky merasa lebih tenang karena tak harus merasa akan merebut Misha dari siapapun.
Mereka kembali bertemu. Beberapa bulan setelah pertemuan mereka berdua, Ricky memberanikan diri membawa Misha dan memperkenalkan Misha dengan ketiga putrinya. Begitu pun sebaliknya. Misha melakukan hal yang sama dua pekan setelah pertemuan ia dengan ketiga putrinya Ricky.
Siapa mengira, kehadiran Ricky maupun Misha sama-sama disambut baik dan hangat oleh anak mereka masing-masing. Meskipun butuh sedikit waktu ekstra untuk Misha benar-benar diterima oleh putri keduanya Ricky. Tapi hal itu membuat Ricky dan Misha merasa benar-benar tenang dan berani memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.
~~~~***~~~***~~~
Dua bulan setelah kedatangan Ricky ke rumah Misha, segala rencana pernikahan mereka berjalan dengan baik. Tepat 1.550 hari setelah Ricky dan Misha sepakat untuk berpisah, justru kini mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri. Seseorang yang dulu pernah Ricky lepaskan dengan keikhlasan namun penuh kesakitan kini sudah berada dalam dekapannya.
Bukit Shoka, Yogyakarta, dengan pemandangannya yang menenangkan dan panorama yang seolah tak berujung, menjadi tempat sempurna bagi Ricky dan Misha untuk merayakan kebahagiaan mereka.
Pada sore itu, langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak yang dikelilingi hamparan hijau, menuntun mereka menuju puncak bukit, tempat di mana langit senja mulai menghias cakrawala dengan semburat jingga dan ungu.
Angin lembut membawa wangi rumput basah dan nuansa kedamaian. Misha menggenggam tangan Ricky lebih erat, sementara matanya memandangi matahari yang perlahan tenggelam di balik perbukitan. Di sampingnya, Ricky tersenyum kecil, sesekali melirik Misha yang tampak terpukau oleh keindahan senja di hadapannya.
“Cantik banget, ya?” gumam Ricky.
Misha mengangguk pelan, matanya tetap terpaku pada langit. “Banget!”
“Suka?”
“Suka banget!!” jawab Misha yang sekilas menoleh kepada Ricky yang berada di sampingnya dengan tatapan serta senyum yang begitu sumringah bahagia.
“Cantik, ya.” Ucap Ricky membalas tatapan Misha. Kalimat yang dilontarkan Ricky bagi Misha bukan hanya saja sebuah pujian pada sunset yang sedang mereka nikmati bersama. Namun juga kepada dirinya.
“Bukan cuma langitnya yang cantik, tapi semua di sini terasa... sempurna.” Jawab Misha.
“Bukan cuma langitnya yang cantik, tapi wanita dihadapanku ini pun lebih cantik dari apapun yang ada di sini.” Goda Ricky disusul dengan sebuah jawilan kecil di dagu Misha. Membuat Misha merasa pipinya merona.
Mereka memilih duduk di atas selembar kain yang dibentangkan di rumput. Hening yang nyaman mengisi ruang di antara mereka, ditemani kicauan burung yang mulai kembali ke sarang dan alunan angin yang mengelus lembut wajah mereka. Saat itu, tidak ada yang lebih mereka butuhkan selain momen ini: kebersamaan, ketenangan, dan bukti nyata bahwa cinta dapat menyatu dengan harmoni alam.
Bukit Shoka, dengan senja yang memukau dan kehangatan cinta mereka yang baru tumbuh semakin besar, menjadi saksi bisu bahwa cinta sejati memiliki cara unik untuk menyatu dengan keindahan dunia. Bukit shoka menjadi saksi bahwa apa yang pernah menajdi tidak mungkin kini menjadi mungkin.
“Nyangka gak, Mi kalau kita bisa ada titik ini?” tanya Ricky yang membiarkan Misha sejak tadi menaruh kepala di pundaknya.
“Gak pernah nyangka, tapi pernah berharap. Sampai pada malam itu, yang kita sepakat untuk selesai, ya selesai juga harapan aku buat bisa hidup bareng kamu.” Jawab Misha dengan pandangan yang tak lepas dari sunset yang begitu memanjakan mata.
“Sama. Enggak pernah ngira kalau akhirnya langkahku mentok di kamu.”
Misha tertawa kecil mengingat setiap momen dan perjalanan kisahnya bersama Ricky.
“Kok bisa sih kamu nerima aku lagi? padahal waktu itu udah aku suruh pergi dan udah aku tinggalin juga.” Tanya Ricky penasaran.
“Enggak tau. Setelah Kevin gak ada lagi cowok yang bikin aku merasa jatuh begitu dalam selain kamu.”
Ya. Misha harus mengakui, hanya ada dua orang lelaki yang berhasil membuat ia merasa begitu jatuh cinta. Pertama Kevin, dan kedua adalah Ricky.
“Makasih, ya.” Ucap Ricky sambil merangkul Misha dan mendaratkan kecupan hangat di kening Misha.
“Untuk apa?” tanya Misha heran.
“Untuk bertahannya kamu setelah aku tinggalkan. Untuk kesabaran kamu menanggung perasaan itu sendirian.”
Misha tersnyum dan mendaratkan kecupan hangat di pipi kanannya Ricky.
“Bukankah cinta memang harus berani berjuang? Dan bentuk perjuanganku dari mencintai kamu adalah menunggu kamu. Perihal kamu kembali lagi atau tidak, aku serahkan urusan itu kepada Tuhan. Karena ku yakin setiap jalan yang Tuhan berikan itu yang terbaik untuk kita.” jawaban itu meluncur dengan lugasnya dari lisan Misha. Yang tanpa disadari membuat Ricky semakin jatuh cinta kepada Misha.
Senja perlahan memudar di ufuk barat, menggantikan semburat jingga dengan langit biru tua yang lembut. Satu per satu, bintang mulai bermunculan di hamparan langit di atas Bukit Shoka, memberikan sentuhan keajaiban pada momen yang mereka bagi bersama.
Ricky dan Misha masih duduk di tempat yang sama. Angin sore yang berembus lembut menggoyangkan dedaunan, menambah damai suasana. Suara jangkrik mulai terdengar, melengkapi simfoni alam yang mengiringi keberadaan mereka.
Misha merapatkan sweaternya, lalu tersenyum melihat Ricky yang mengeluarkan termos kecil dari tas. "Teh hangat untuk senja," ucap Ricky sambil menuangkan teh ke dalam dua gelas kecil yang telah mereka siapkan.
"Terima kasih," jawab Misha lembut sambil menerima gelas dari tangan Ricky. Dia menyesap teh itu pelan-pelan, membiarkan kehangatannya mengalir ke seluruh tubuh. Matanya menatap langit yang semakin gelap, penuh dengan kerlipan bintang.
"Kamu lihat itu?" Ricky menunjuk sekumpulan bintang yang bersinar terang di sisi timur. "Kita nyaris gak pernah mendapatkan momen seperti ini kalau di jakarta. Rasanya… magis."
Misha menoleh, memperhatikan wajah Ricky yang terlihat teduh dalam cahaya temaram senja yang tersisa. "Kamu tahu apa yang lebih magis?" bisik Misha.
"Apa?" Ricky memandangnya penuh rasa ingin tahu.
"Kamu." Misha tersenyum kecil, sementara pipinya merona ringan.
Ricky tertawa kecil, lalu menggenggam tangan Misha dengan lembut. "Kamu pun lebih magis dari apapun yang pernah ku temui."
Angin malam bertiup, membawa aroma tanah yang lembap. Di kejauhan, lampu-lampu kecil di perbukitan mulai menyala, memberikan pemandangan yang kontras dengan gelapnya malam.
Misha kembali menyandarkan kepalanya di bahu Ricky, menatap langit malam yang penuh bintang. "Aku ingin kamu adalah orang terakhir yang menemani perjalanan hidup aku, di saat anak-anak semakin beranjak dewasa dan mereka punya kehidupannya sendiri-sendiri," ucapnya pelan.
"Harapan kita sama. Bagiku, cukup bersamamu sampai akhir perjalanan ini.” jawab Ricky disusul dengan mencium puncak kepala Misha.
Di bawah langit malam Bukit Shoka, Ricky dan Misha berbagi keheningan penuh makna. Tak perlu banyak kata, hanya rasa yang terhubung dalam kedamaian malam. Senja telah berlalu, tetapi cinta mereka tetap memancarkan sinar—seperti bintang-bintang yang bersinar di langit Jogja. Bukit shoka, dengan langit senja berganti malam bertabur gemintang menjadi saksi atas kebahagiaan yang begitu paripurna di hati Ricky dan Misha. Perjalanan panjang yang mereka lalui setelah 1.550 hari kini berakhir bahagia penuh cinta untuk mereka.