Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Afeksi Sang Rasi Phoenix
0
Suka
462
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku adalah gadis kelas 2 SMA yang bisa dikatakan sedang kasmaran, ada seseorang yang berhasil membuat duniaku berantakan. Sebenarnya orang itu ada di kelas sebelah, herannya kami tak pernah bertemu saat masih kelas 1 dulu. Eh atau aku saja yang kudet ya, entahlah yang jelas si virus merah jambu ini sedang gencar menginvasi dunia kelabuku.

Selama beberapa bulan terakhir jendela di samping kananku telah menjelma jadi markas pribadi, kenapa? Sebab dari sinilah aku biasa melihatnya. Iya dia, Elio Pradipta. Sungguh kata indah tak lagi bisa mendefinisikan lelaki itu, ia terlalu gemerlap untukku yang pudar. Percis seperti arti dari namanya, Matahari. Orang tuanya sungguh pandai menamai si tampan, matahariku yang menawan.

Eh tunggu, aku tidak bisa menyatakan Elio sebagai milikku, apa-apaan aku ini. Sesaat kemudian lantas memukul pelan kepala yang telah ngawur mengutarakan kalimat tersebut, benar-benar deh bagaimana bisa orang yang bahkan tak pernah tahu keberadaanku dikatakan sebagai hak milik.

Entah aku harus menyesal atau bersyukur karena dipertemukan dengan Elio, tapi sepertinya mari pilih bersyukur saja, toh tak banyak orang sememikat dia yang bisa menarik perhatianku begini. Setelahnya aku kembali asik untuk memperhatikan Elio yang sedang serius membaca sebuah buku.

“Hei anak muda, berhenti melihat ke sana. Kau membuat bekalmu cemburu.” Sahut seseorang yang berhasil membuatku menapaki bumi lagi, aku langsung mengalihkan pandangan pada orang yang duduk di depan.

“Zar kayaknya aku beneran suka deh sama Elio, duh bagaimana dong. Sainganku bisa dikatakan satu sekolahan.” Kataku pada Zara, alih-alih menanggapi perkataan dirinya tadi, aku malah mengatakan hal lain.

“Huh, Ankaa pernyataan sukamu pada si Elio itu sudah kau nyatakan lebih dari ratusan kali. Dengar kawan, seperti yang kau tahu jika sainganmu hampir semua gadis di sekolah kita. Kau lihat jika setiap hari ada saja yang memberinya hadiah atau bahkan mengajaknya berkencan, lalu lihat apa yang sudah kau lakukan? Duduk diam di kelas sambil melihat sang pujaan melalui jendela, wow sungguh hebat Ankaa Gavensha.” Sarkas gadis tembam itu padaku, aku kemudian berdecak. Tak bisa menyangkal sebab apa yang dikatakannya memang tepat sasaran.

Sesaat sebelum aku sempat memulai sesi perdebatan, Zara sudah menjejali mulutku dengan telur dadar, bekal makan siangku. Dengan mulut penuh dan hati dongkol, aku hanya bisa memberikan tatapan paling tajam yang kupunya untuk orang yang berstatus sebagai tetangga sekaligus teman masa kecilku itu. Sedang sang pelaku malah terkekeh sambil mengancam jika dia akan mengadu pada Ibuku kalau bekal yang dibuatnya tak enak, itu sih sama saja dengan menyulut murka.

Hingga akhirnya setelah bermenit-menit waktu yang bagai seharian, bekalku tandas juga. Dengan kecepatan cahaya aku membereskan semuanya dan kembali mengalihkan atensi pada jendela yang menghubungan kelasku dan kelas sebelah. Namun apa ini yang kulihat? Sungguh menyakiti mata dan hati kecilku.

Di sana terlihat jelas dua sejoli yang sedang duduk berhadapan, Elio nampak masih duduk di kursinya, tengah bercakap seperti menerangkan sesuatu pada gadis, yang entahlah aku tak tahu siapa namanya. Sedangkan si gadis alih-alih memperhatikan apa yang sedang dijelaskan, dirinya malah memandangi Elio dengan intens. Ih kesal sekali aku, bisa-bisanya dia mengambil kesempatan seperti itu, kenapa juga Elio tak sadar jika sedang dipandangi sedemikian rupa oleh orang dihadapannya.

Di tengah rasa kesalku yang sudah menggunung, Elio tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari buku. Apa mungkin dia merasa ada yang sedang merutukinya, ya? Hingga tiba-tiba, si tampan menoleh tepat pada jendela yang menghubungkan pandangan kami. Wajahku langsung memanas, ini pertama kalinya kami saling bertatapan. Tak sampai 2 detik aku langsung mengalihkan pandangan agar tak menatapnya.

Tapi karena penasaran aku coba melihat lagi dari sudut mata, ternyata Elio masih memandangi jendela yang menghubungkan kami. Jantungku bertambah ribut, apalagi saat aku ketahuan mencuri pandang ke arahnya barusan. Maka dengan itu, aku bergegas untuk menghampiri Zara.

“Hei, hei, hei sedang apa kau ini, An. Aduh kau mencekikku, aish Gavensha yang benar saja, berhenti main-main. Tinggal 20 menit lagi sebelum bel masuk, aku baru mencatat setengahnya, minggir!” Keluh Zara sambil berusaha melepaskan pelukanku pada lehernya, dia ini tak bisa diajak bekerja sama. Iniloh temanmu sedang salah tingkah, mengertilah sedikit.

“Zar, ayo tukar tempat duduk. Tolong, aku tak sanggup untuk duduk di sana sekarang.” Lirihku yang masih menyembunyikan wajah di ceruk lehernya, mendengar hal itu Zara lantas diam, lalu kembali berujar.

Hoi apa akhirnya kau menyerah? Sungguh, hanya karena dia mengobrol dengan gadis tadi? Cih sudah kuduga kau belum dewasa untuk masalah percintaan begini.” Ejeknya, sebentar sepertinya anak ini sudah salah paham akan sesuatu. Apa katanya tadi, menyerah? Enak saja, belum! Aku masih kuat untuk sekadar mengagumi Elio dari kejauhan.

Ish menyebalkan, dasar kau ini. Bukannya menyemangati malah mengejekku, menurutmu sudah berapa lama aku melihatnya dikelilingi sekumpulan gadis. Kami- ah tidak dia tadi mendapatiku melihat kearahnya, aku... aku malu, Zar.” Rengekku setelah melepaskan pelukan dan beralih berjongkok di depan Zara.

Lama aku tak mendengar suara sahutan, hingga memutuskan mendongkak untuk melihat apa yang kiranya dilakukan temanku itu. Memang seharusnya tak usah berekspektasi pada manusia modelan Zara Naura, karena apa yang kudapati sekarang hanya kursi kosong. Ya benar sekali, dia sudah pindah ke kursiku dibelakang sana, ya Tuhan bisakah aku menukar Zara dengan seseorang yang lebih manusiawi.

Dengan jengkel aku lekas duduk dan menelungkupkan kepala pada meja, kilas balik tentang aku dan Elio yang bersirobok tadi membuat wajahku kepanasan lagi. Masa bodolah perihal Zara dan tingkah menyebalkannya itu, pokoknya hari ini aku sangat bahagia. Sekali lagi, Elio Pradipta berhasil membuat hatiku jatuh untuk kesekian kalinya.

Jam masih menunjukkan pukul 11, semua teman sekelasku sudah bubar jalan tepat setelah bel istirahat berbunyi. Zara? Tidak, dia tak ada di sini. Tadi saat kami bersiap untuk makan bekal, dari arah pintu muncul Kak Nindy yang memanggil Zara untuk segera ke ruang OSIS. Meskipun temanku itu menyebalkan luar biasa, tapi dirinya adalah sekbid Teknologi Informasi dan Komunikasi OSIS, maka dengan ogah-ogahan dia beranjak menuju lokasi yang disebutkan Kak Nindy.

Jadi sekarang aku bisa bebas melihat matahariku tanpa ada gangguan dari si usil itu, Elio memang jarang keluar kelas saat jam istirahat. Dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca atau tidur, jangan heran kenapa aku mengetahuinya.

Kali ini pilihan si tampan adalah tidur, sebab sekarang kepalanya sudah merebah pada meja. Gagal deh melihat raut seriusnya saat membaca, baiklah mari fokus makan dulu, nanti siapa tahu dia akhirnya bosan tiduran.

Sambil sesekali mencuri pandang ke arah jendela, aku mulai menghabiskan makan siangku. Tinggal suapan terakhir, sebelum dari arah pintu suara Zara menggagalkan rencanaku. Loh rapatnya sudah selesai? Kok cepat sekali, biasanya lama. Jangan bilang kalau anak ini mangkir lagi, duh kebiasaan sekali sih. Baru saja aku akan mencecarnya, tapi urung saat dia mendahuluiku untuk bicara.

“Oi Ankaa... kau, kau dipanggil Bu Seline ke perpus.” Ujar Zara dengan napas yang menderu, sepertinya temanku itu berlarian ke sini, kasihan sekali.

“Aku akan pergi sebentar lagi, kamu duluan saja. Makasih infonya Zar, kamu mau minum dulu? Wajahmu memerah.” Tawarku, tak tega juga melihat pipi tembam Zara memerah sebab berlari. Tapi si empunya hanya menggeleng dan mengacungkan jempol sebelum kembali lari menuju ruang OSIS, rapat mereka mungkin sangat penting makanya effort Zara sampai begitu.

Eh ngomong-ngomong, Elio sedang apa ya sekarang? Ayo lihat dulu sebelum memenuhi tugas, toh Bu Seline tidak akan marah jika aku datang agak lama. Perlahan aku bergeser ke arah kanan untuk melihat lebih dekat, loh kok tak ada? Elio sedang keluar? Padahalkan tadinya ingin kuperbaiki semangat ini dengan melihatnya dulu, mau bagaimana lagi jika orangnya tak ada.

Perjalanan menuju perpus diwarnai dengan banyaknya siswa/siswi yang berlalu-lalang. Ya seperti biasa, waktu istirahat adalah jam bebas. Menyebalkan, aku tak suka keramaian, apalagi jadi pusat perhatian. Tolonglah kasihani jiwa introvertku ini, lagian Bu Seline tumbenan memanggilku, sepertinya ada hal yang serius deh. Akirnya setelah 10 menit yang bagai seharian, tempat sakral bagi anggota Bibliotek ada di depan mata. Baik, ayo tarik napas dan tenangkan diri dulu. Semangat Ankaa Gavensha!

“Assalamu’alaikum, Bu Lin maaf saya terlambat.” Salamku setelah membuka pintu masuk.

Saat melihat ke depan, jantungku rasanya hampir melompat keluar begitu mengenali orang yang sekarang duduk dihadapan Bu Seline.

“Wa’alaikumussalam, ibu ngerti kok tenang aja. Maaf ya ganggu waktu istirahatnya, An kenapa diem di sana? Duduk sini.” Sambut Bu Seline, sedang yang lebih muda hanya memandangiku setelah menanggapi salam barusan. Siapapun tolong katakan padaku jika itu memang, Elio Pradipta!

Perlahan aku mulai mendekat ke arah mereka, lantas mengambil tempat di sebelah Elio. Sebab alih-alih duduk di deretan meja khusus pengunjung perpus, guru-murid itu malah duduk di meja depan tempat peminjaman buku. Tak ada pilihan lain memang, kuharap Elio tak mendengar debaran berisik ini.

“Karena kalian sudah datang maka ibu akan langsung bicara pada intinya, kalian pasti tahu setiap tahun akan selalu diadakan seleksi OSN tingkat sekolah. Nah ibu ingin tahun ini kalian berdua yang mewakili sekolah untuk olimpiade tersebut.” Ungkap Bu Seline pada kami, aku jelas saja terkejut.

Memang sih nilai-nilaiku bagus tapi kalau masalah olimpiade begini beda lagi urusannya, aku takut. Belum sempat aku berkomentar, Elio sudah mendahului.

“Maaf menyela bu, tapi bukankah sebaiknya Kak Citra dan Kak Denis saja yang diajukan? Mereka lebih berpengalaman dan menjanjikan dibanding saya.” Saran Elio, mendengar jika dia sependapat denganku langsung saja aku membantu argumennya.

“Benar bu, saya setuju dengan Elio. Saya juga merasa jika mereka lebih menjanjikan, tolong dipertimbangkan bu.” Tambahku, sungguh kuharap Bu Seline akan menyetujuinya.

“Memang benar jika kedua kakak kelas itu lebih berpengalaman dan menjanjikan, tapi tidakkah kalian ingin mencobanya juga. Mereka akan lulus tahun ini, bukankah yang harus diprioritaskan sekarang adalah belajar. Ibu sudah bertemu dengan mereka kemarin lusa dan keduanya dengan kompak menyebutkan nama kalian, baiklah ibu akan berikan waktu seminggu. Tolong pikirkan dengan matang, minggu depan di hari dan jam yang sama, akan ibu tunggu di sini untuk jawabannya.” Imbuh Bu Seline.

Lah kok Kak Citra dan Kak Denis menyebut-nyebut kami sih. Awas saja kalau ketemu akan kuomeli nanti, tenang saja Kak Denis itu sepupuku sedangkan Kak Citra sepupunya Zara, jadi aku tidak takut.

“Baik bu, saya mengerti.” Sahut kami berbarengan.

Kemudian Bu Seline mempersilahkan kami untuk keluar dan melanjutkan jam istirahat, maka dengan itu berpamitanlah aku dan Elio untuk kembali ke kelas. Perasaanku campur aduk saat ini, belum lagi jantung yang terus bertalu keras. Kepalaku pening ya Tuhan, ayo melipir dulu ke kantin untuk membeli minuman dingin. Aku tak akan bisa berkonsentrasi dengan pelajaran nanti jika terus begini, baru saja aku akan belok kiri untuk menuju kantin, suara sedalam samudra yang menenangkan itu membuat niatku urung.

“Kamu Ankaa, kan? Saya Elio dari kelas 11-2, salam kenal.” Tuturnya, aku mematung.

Loh dia tahu namaku? Dari mana? Seragam kami tak bername tag. Tunggu, tadi aku memanggil namanya saat bicara dengan Bu Seline, ayo buatlah alasan yang bagus diriku.

“Eh ah iya nama, namaku Ankaa dari 11-1. Salam kenal juga Elio, sebenarnya aku sudah kenal kamu... para, eum para gadis di kelasku sering memujimu.” Balasku, kegugupan jelas terlihat dari nada suara yang kukeluarkan.

“Sungguh? Eum baiklah kalau begitu, saya juga tahu kamu dari teman sekelas. Mereka juga memujimu, apalagi tentang puisi yang kamu buat di mading waktu itu. Tulisanmu bagus, Ankaa.” Jelas Elio seraya tersenyum padaku, dia seriusan melihatnya juga? Senangnya, tolong hentikan waktu sekarang!

“Eh iya... terimakasih. Sebenarnya itu hanya untuk hukuman karena kalah dari teman-teman sekelasku saat permainan siapa dapat dia yang kena, apa kelasmu juga melakukannya di pelajaran Pak Anggi?” kataku, guru IPS yang satu itu memang sangat usil sekali.

“Iya kelas saya juga ada, jadi itu hukuman yang diberlakukan kelasmu. Kalau di kelas saya malah lebih aneh, hukumannya nyuci motor wakepsek. Untung saja bukan saya yang kena.” Jawab Elio sambil tertawa kecil diakhir kalimatnya, duh tampan sekali ciptaanmu, ya Tuhan.

“Yang benar? Kasihan sekali yang kena hukuman.” Balasku sambil tersenyum.

Kemudian kami melanjutkan obrolan random seraya berjalan menuju kelas, lihat aku bahkan lupa jika beberapa menit lalu, kepalaku pusing sebab pernyataan Bu Seline. Ternyata Elio juga bisa menjadi obat penenang paling ampuh untukku, kegugupan yang terjadi diawal juga sirna entah kemana.

Aku sekarang mengerti kenapa Elio populer dan dijuluki Adonisnya 11-2, dia adalah definisi ekstrovert mutlak. Makin tertampar saja aku dengan kenyataan jika ia bisa membuat siapa saja nyaman untuk tinggal berlama-lama, berhenti memikirkannya! Jangan rusak mood baikku sekarang.

Tak terasa sudah 3 bulan berlalu sejak aku dan Elio memutuskan untuk mengikuti olimpiade, selama ini kegiatan kami sepulang sekolah adalah berdiam diri di perpustakaan untuk melakukan bimbingan belajar dengan Bu Seline. Hubungan kami juga makin dekat, meskipun aku kadang sebal luar biasa saat ada gadis yang mulai mendekatinya, tapi tentu saja marah bukan hal yang bijak bagiku.

Lagian manusia tampan itu sepertinya kekurangan kadar kepekaan deh, soalnya dia bahkan tidak menangkap sinyal dari para gadis yang mendekatinya. Mari ucapkan syukur untuk ketidakpekaan Elio, aku bangga padamu masa depan- eh maksudnya kawanku.

Saat ini kami sedang di rooftop, Bu Seline sudah memberikan materi dari pagi, sebab beliau akan ikut rapat setelah jam pulang sekolah. Jadi karena bosan di perpus, kami memutuskan merubah suasana, jujur saja otakku memang sedang butuh angin segar, sebab materi kali ini adalah Osilasi. Aku kurang mengerti materinya, tapi untung saja rekanku memahami dengan baik. Alhasil dia berakhir mengajariku.

“Elio, kamu mimisan lagi. Kita istirahat dulu, condongkan kepalamu sedikit ke depan. Ini akan dingin tapi darahnya akan cepat berhenti. Hei jangan tertawa dulu, jepit hidungmu dengan benar!” Ujarku dengan panik

Ayolah ini sudah ke-5 kalinya, aku melihat lelaki 170 sentimeter itu mimisan. Untung jus manggaku masih ada sisa es batunya jadi bisa kugunakan di pangkal hidungnya yang tinggi, tapi si empunya malah tertawa menyebalkan.

“Habis kamu lucu kalau panik, saya nggak apa-apa. Ini mungkin karena kecapean, bentar lagi juga berhenti. Jangan pias gitu mukanya.” Kelitnya padaku yang sedang mengompres hidungnya.

“Kamu terlalu memforsir diri, El. Itu nggak baik, dengar ya tuan Pradipta. Kamu itu manusia, kalau cape ya istirahat dulu. Dikira AI kali yang diprogram dan harus akurat, jangan konyol.” Gerundelku, memang harus diomeli dulu agar mengerti. Hingga 10 menit berlalu dalam hening.

“Hei nona Gavensha, maaf sudah membuatmu panik, tapi saya beneran nggak apa-apa. Lihat darahnya udah berhenti.” Ucap Elio tiba-tiba. sambil menunjukan hidungnya yang sudah tak mengeluarkan darah lagi. Aku lantas memberikan selembar tisu baru yang sudah dibasahi dengan air untuk membersihkan bekas darahnya.

Setelah istirahat beberapa menit lagi, kami melanjutkan sesi belajar selama 1 jam. Lalu memutuskan untuk pulang sebab langit sudah terlihat mendung, aku dan Elio berpisah sesaat setelah menuruni tangga. Lelaki itu berbelok menuju gerbang sekolah, sedangkan aku berbelok menuju ruang OSIS. Ya benar sekali, aku akan pulang dengan Zara. Para OSIS sedang gencar mempersiapkan pekan olahraga yang rencananya akan dilaksanakan minggu depan, tadi Zara bilang jika dia akan ada di ruang OSIS untuk mempersiapkan poster dan beberapa spanduk.

Begitu sampai di tempat tujuan, aku lebih memilih menunggu di luar. Duduk di selasar ruang OSIS tepat di depan kolam ikan kecil, pikiranku kembali melayang pada kejadian tadi, saat Elio mimisan. Semoga itu bukan pertanda buruk, ayolah Ankaa berhenti berlebihan!

Hari ini acara pekan olahraga yang sudah OSIS persiapkan akhirnya tiba, dan selama seminggu kebelakang aku tak bertemu Elio sebab dirinya jatuh sakit. Alhasil aku hanya bimbingan berdua dengan Bu Seline, kabar sakitnya juga kudengar dari beliau. Dan begitulah asal muasal kenapa aku selalu terlihat murung.

Zara akan jadi panitia hari ini makanya dia tak akan ikut ambil bagian untuk kegiatan kelas, saat situasi begini aku menyesal karena tak ikut mencalonkan diri sebagai anggota OSIS dulu. Aku malas berpartisipasi tapi semua orang harus dapat bagian, begitulah aturan kelas kami. Tak ada yang boleh berleha-leha saat yang lain sibuk, sejujurnya aku sangat setuju dengan aturan tersebut.

Rencananya aku akan jadi salah satu peserta lari estafet 200 meter, masing-masing tim harus beranggotakan 4 orang. Anggota timku yang lain sudah lebih dulu menuju lapangan, sedangkan aku harus melipir ke toilet, biasa panggilan alam. Setelah selesai langsung saja aku bergegas ke lapangan.

Untung tadi saat perjalanan ke sini aku agak berlari, sebab ternyata giliran tim kami yang akan maju selanjutnya. Rekan setimku segera melambaikan tangan begitu melihat batang hidungku di tengah keramaian, aku segera beranjak menuju mereka, untuk melakukan sedikit pemanasan.

Tadi itu permainan yang menyenangkan, perlombaan selalu memiliki euforia tersendiri. Dengan napas yang masih berantakan sebab baru selesai berlari, aku beranjak menuju teman-teman sekelasku. Salah seorang dari mereka langsung memberikan botol minum dan menyodorkan tisu, aku meraihnya lalu mengucapkan terima kasih setelah berhasil duduk sambil meluruskan kaki.

Meskipun kelas kami tak menuju babak berikutnya karena dari awal kami semua tidak menargetkan kemenangan, selama semuanya bersenang-senang maka itu cukup, soal memang atau kalah itu hal biasa dalam permainan. Aku sungguh bersyukur karena dipertemukan dengan teman sekelas seperti mereka, yang selalu saling support.

Cukup lama aku diam di lapangan, menonton bermacam kegiatan olahraga dan mendukung rekan sekelas yang ikut perlombaan, sampai aku memutuskan untuk pamit kebelakang. Kalian para introvert pasti juga akan merasakan hal yang sama sepertiku jika batas wajar dari bersosialisi sudah mencapai limit maksimal, energiku sudah terkuras habis. Aku perlu recharge dengan menyendiri di tempat tenang dulu, sebelum kembali berinteraksi dengan orang-orang.

Tujuanku adalah taman belakang sebab mana ada orang yang akan ke sana, semuanya sangat antusias dengan pekan olahraga kali ini. Cuacanya mendukung sekali untuk tiduran sebentar. Langitnya berawan dan sinar matahari terasa hangat, belum lagi semilir angin yang sejuk semakin membuatku yakin untuk beristirahat di bawah naungan pohon rindang.

Namun, apa kalian tahu? Begitu tiba di taman, jantungku senyap sejenak karena mendapati seogok manusia yang sedang terbaring tepat di bawah pohon. Dia terlihat berbaring dengan nyaman, aku tak bisa mengenali siapa itu tapi dilihat dari perawakan dan warna jaket yang menutupi wajahnya, dia mungkin laki-laki. Mau tak mau aku harus mengubah tujuan, tampaknya rooftop tak buruk juga atau ke kolam ikan dekat ruang OSIS saja ya.

Baru aku akan balik kanan, bunyi keras dari ponsel yang sedang kugenggam membuat sosok yang tengah berbaring itu terusik. Ingin rasanya kurutuki dering telepon di waktu yang tak tepat ini, gagal sudah rencanaku untuk pergi diam-diam. Segera saja kumatikan panggilan dari si penelepon, sebab aku sudah terlanjur jengkel, baiklah ayo minta maaf lalu segera pergi dari sini. Maka dengan itu aku mendongkak untuk melihat siapa gerangan yang ketenangannya sudah kuganggu barusan.

Tapi sekali lagi jantung ini diberi kejutan, orang yang sedang duduk itu memberiku senyuman sehangat namanya. Lelaki yang sama yang sudah membuatku kelimpungan selama seminggu ini.

“Assalamu’alaikum Ankaa, apa kabar?” sapanya dengan riang.

“Wa’alaikumussalam Elio, kabar baik. Bagaimana denganmu? Yang katanya tidak apa-apa tapi keesokan harinya tidak masuk sekolah, bahkan sampai seminggu lamanya.” Sarkasku.

“Kabar saya baik, maaf ya kamu jadi harus bimbingan sendiri. Saya juga maunya sekolah, tapi badannya bandel nggak mau diajak kerja sama. Saya nggak leha-leha loh. Bu Seline tetep ngasih materi buat dipelajari, jadi saya nggak akan ketinggalan.” Jawab Elio dengan nada jenaka, ish bukan iniloh maksudnya. Orang ini benar-benar tak peka!

Aku mendengus sebal lantas beranjak untuk duduk bersamanya, tak terlalu dekat juga tak terlalu jauh, jarak aman. Aku memutuskan akan tetap di sini seperti tujuan awalku, setelahnya tidak ada lagi percakapan untuk waktu yang cukup lama.

Elio kembali berbaring sedangkan aku memilih untuk duduk bersandar pada batang pohon, keheningan ini membuatku nyaman. Rasa gundah yang sebelumnya kurasakan entah sudah menguap kemana, setelah mendapati jika Elio baik-baik saja. Ya ampun, aku baru tahu ternyata semudah itu menyingkirkan kegundahan.

“Ankaa, apa pendapatmu tentang sebuah pohon?" Tanya Elio sembari menatap larik awan di atas sana.

Setelah keheningan yang lama dia tiba-tiba ingin membahas ini, sungguh? Sejujurnya aku agak terkejut dengan ujaran lelaki tinggi itu. Tapi ya mau bagaimana lagi, ini akan jadi topik pembicaraan kami sekarang.

“Seorang penulis kelahiran Huntington, Amerika Serikat. Pernah menulis jika pohon itu mewakili usia dan keindahan, keajaiban kehidupan dan pertumbuhan. Saat itu usiaku 10 tahun, kalimat tersebut tidak bisa kumengerti maksudnya. Hingga bertahun-tahun kemudian, setelah melalui banyak hal, nyatanya nyonya Louise benar. Pohon menyediakan tempat bernaung bagi mereka yang mencari teduh, daun-daun serta buah yang mereka hasilkan selalu bermanfaat bagi manusia.” Aku terdiam sejenak untuk mengambil napas, Elio terlihat memperhatikanku dalam hening.

“Meski begitu tak ada yang abadi, kan? Karena pada akhirnya semua akan tetap mati, sebatang pohon akan bertambah tua lalu menguning daunnya, tapi akar itu akan tetap sama, kuat dan kokoh. Regenerasi itu mutlak El, yang tua akan tergantikan dengan yang muda. Kita juga akan menua, lalu mati dan berpulang pada keabadian. Namun, kau tahu apa? Sebelum benar-benar mati, pohon akan menjadi tempat bagi para hewan dan organisme kecil untuk tinggal. Hingga kemudian tubuhnya terurai dan menyatu lagi dengan tanah, dia bahkan masih bisa memberikan kandungan nutrisinya untuk tanaman dan tunas-tunas baru yang akan menggantikannya kelak.” Tuturku sambil tersenyum, sungguh mulia sekali kehidupan pepohonan ini.

“Jadi maksudmu siklus berulang pohon sama dengan kehidupan manusia? Yang awalnya terlahir sebagai bayi, tumbuh dan terus tumbuh selama bertahun-tahun hingga akhirnya mati. Bukankah manusia tidak lagi bermanfaat saat mereka tiada?” Terang lelaki tinggi itu, untuk sesaat aku dapat melihat kilatan aneh dari binar matanya saat mengatakan pertanyaan tersebut.

“Ya kamu benar, itulah perbedaannya. Manusia memang tidak lagi bermanfaat saat telah tiada, tapi perbuatan baik yang telah dilakukan selama hidup akan selalu jadi kenangan dan keindahan tersendiri bagi mereka yang menyayangi kita. Seperti pohon yang selalu mencurahkan kehidupannya untuk memasok oksigen, manusia juga pasti akan melakukan kebajikan, meskipun hanya hal yang kecil dan sederhana.” Ujarku sambil menatapnya yang saat ini sedang memperhatikanku.

“Saya setuju, jadi begitu ya. Terima kasih karena sudah memberitahu saya hal ini, kamu baik sekali Ankaa.” Ungkap Elio, meskipun sebenarnya aku tidak terlalu mengerti kenapa dia berterima kasih.

Setelahnya kami menghabiskan waktu di sana membahas segala hal yang sekiranya ada di kepala. Hingga pesan dari Zara yang berisi ajakan untuk pulang membuatku sadar, jika kami sudah duduk di bawah pohon ini selama lebih dari 2 jam. Bersamanya selalu membuatku nyaman hingga melupakan banyak hal, entah ini baik atau buruk untukku.

Aku sangat panik sekarang sebab tinggal 15 menit lagi sebelum seleksi olimpiadenya dimulai, tapi aku tak melihat Elio di mana pun. Aku sudah bertanya pada Bu Seline tapi beliau juga tidak tahu, sebab lelaki tinggi itu tak bisa dihubungi. Hatiku sudah gugup karena seleksinya, belum lagi ditambah dia yang belum juga terlihat, makin saja aku kalut.

Bu Seline yang mulai peka dengan gelagatku berusaha menenangkan, beliau coba memberikan pengarahan dan beberapa nasihat, sembari terus berusaha menghubungi Elio.

Tapi nyatanya orang itu tak datang hingga seleksi selesai, aku jelas saja kecewa. Ayolah kami sudah menghabiskan banyak waktu untuk melakukan bimbingan bersama, aku juga tahu jika diantara kami, Elio adalah orang yang paling antusias untuk mengikuti olimpiade ini. Aku tidak menemukan korelasi apapun tentang dia yang tak datang untuk ikut seleksi, padahal kemarin lusa Elio bahkan mengajariku cara mengurangi kegugupan dengan tersenyum.

Baiklah mungkin dia punya alasannya sendiri, akan kutanyai nanti saat bertemu di sekolah. Namun kenyataan lagi-lagi menamparku, sebab yang kulihat sekarang adalah bangku Elio yang kosong. Ia juga tidak masuk sekolah hari ini, aku mulai berpikir jika Elio mungkin jatuh sakit seperti waktu itu. Padahal mulutku sudah sangat gatal untuk mengomelinya.

Aku menunggu dan terus menunggu, namun setelah 2 minggu berlalu, Elio masih tak kunjung datang ke sekolah. Teman-teman sekelasnya juga heran kemana Adonis 11-2 ini hingga tak menampakkan batang hidungnya di sekolah, tidak ada pemberitahuan atau kabar apapun darinya. Ya Tuhan, sungguh aku sangat cemas, ada apa dengan Elio? Kemana dia pergi.

Hari ini adalah hari ke-15 bangku di seberang sana kosong tak berpenghuni, aku sungguh merindukan Elio, matahariku itu entahlah ada di mana dan bagaimana keadaannya sekarang. Galau itu benar-benar menyebalkan, rasanya aku hanya ingin berdiam diri tanpa melakukan apapun.

Tapi mau bagaimana lagi aku hanyalah seorang siswi SMA, pelajaran kedua ini adalah fisika. Tentu saja Bu Seline yang akan mengajar di kelas kami tapi sudah lebih dari 30 menit, beliau tak kunjung datang, biasanya selalu tepat waktu. Tadi pagi aku lihat Bu Seline sedang mengobrol dengan Pak Anggi, kalaupun berhalangan datang staff TU pasti sudah memberikan tugas dari tadi.

Di tengah lamunanku, pintu kelas tiba-tiba terbuka. Suasana yang tadinya bising langsung berubah hening, aku lantas menegakkan badan begitu melihat Bu Seline yang sedang melangkah masuk.

“Assalamu’alaikum anak-anak, maaf ibu datang terlambat. Baiklah pertama-tama tutup buku kalian, ibu punya pengumuman penting.” Ujar Bu Seline pada kami, pengumumannya memang sepenting itu kah? Kami semua lantas mulai memfokuskan atensi pada beliau. Tunggu, firasatku kenapa mendadak tak enak begini.

“Ibu membawa kabar duka dari salah satu teman kalian, karena alasan ini pula ibu sampai terlambat datang. Elio Pradipta dari kelas 11-2 telah berpulang kemarin malam, orang tuanya barusan datang untuk memberitahukan pihak sekolah mengenai almarhum. Maka ibu minta sebelum kita memulai pelajaran, mari doa kan almarhum bersama-sama terlebih dahulu. Berdoa dimulai.” Lanjut Bu Seline.

Setelahnya hening mulai mendominasi kelas kami, hingga di menit kesekian suara tangisan mulai menggema di ruangan ini. Di tengah riuh dan kalutnya keadaan kelas, telingaku seolah tuli. Pikiranku kosong dan jantungku telak ditikam sembilu dengan keras, sakit sungguh menyesakkan. Zara yang duduk di depan segera menghampiriku, berniat menyembunyikan wajah bodohku yang tak tahu bagaimana kelihatnya barusan.

Mataku memanas, napasku sendat dan suaraku tak kunjung keluar, maka dengan itu aku balas memeluk perut Zara dengan erat. Aku menangis lagi setelah lebih dari 6 tahun semuanya seolah kering, tapi berita yang di sampaikan Bu Seline ternyata berhasil membuat kemarau panjangku berubah jadi hujan yang mengerikan.

Tentu saja kondisi kelas kami tak akan kondusif setelah mendengar kabar duka tersebut, terlebih para gadis yang masih saja sesenggukan. Aku sudah selesai menangis beberapa menit lalu, lebih tepatnya kutahan agar tak membuat yang lain terganggu. Guru fisika kami tampaknya mengerti dengan keadaan, jadi beliau hanya memberi kami tugas mencatat dan harus dikumpulkan sepulang sekolah, terlebih Bu Seline menunjuk aku dan Zara untuk mengumpulkannya nanti.

Sesuai apa yang diminta oleh Bu Seline, saat ini aku dan Zara sedang berjalan beriringan menuju perpustakaan. Padanganku kosong, bohong jika kubilang semuanya baik-baik saja. Aku bahkan menganggap ini hanyalah mimpi buruk, Zara tak banyak berkomentar, ia hanya mengawasiku dari belakang dengan jarak 3 langkah dariku. Aku tahu dia sedang memberikan ruang untuk sendiri.

Begitu sampai di perpustakaan kudapati Bu Seline yang tengah mengusap matanya, ah nampaknya beliau juga menangis ya. Segera saja kami meletakkan buku tugas di meja depan, begitu akan pamit, Bu Seline menyerahkan sebuah amplop cokelat padaku.

“Kau yakin ingin sendiri di rumah? Ibu dan Ayahmu sedang keluar, mereka akan pulang malam. Tak ingin kutemani saja? Sungguh?” berondong Zara padaku begitu kami sampai ke rumah.

“Aku tak apa, lagian kau kira jika aku ini anak umur 6 tahun yang tak berani sendirian di rumah. Tenang saja aku sudah 16 tahun, Zara Naura. Kau bisa pulang, jika ada apa-apa aku akan dengan senang hati mengungsi ke rumahmu. Sudah sana.” Jelasku pada Zara, berusaha menyakinkanya yang ngotot ingin menemaniku.

“Baiklah aku mengerti, hei Ankaa Gavensha. Dengar ini, kau boleh menangis, jangan menahannya. Hubungi aku jika butuh apa-apa, aku pulang dulu kawan.” Sarannya untukku, aku tersenyum lalu memeluknya.

Ia kemudian berjalan menuju rumahnya. Aku juga memutuskan untuk masuk ke rumah, Ibu dan Ayah sedang menghadiri pesta pernikahan anak dari rekan kerja Ayah di luar kota. Mereka sudah bilang akan pulang larut malam, kemarin aku juga diberikan banyak petuah dari mereka.

Tanpa menganti seragam aku langsung merebahkan diri ke kasur, rasanya hatiku masih sangat sesak. Matahariku, sungguhan sudah tak ada? Kalimat itu yang terus saja terlintas di otakku beberapa jam terakhir.

Hingga mata ini mulai fokus dengan amplop cokelat yang diberikan Bu Seline, aku tadi melempar tas begitu saja jadi isi di dalamnya tercecer di lantai. Aku mulai beranjak untuk meraihnya, begitu kubuka ada sebuah surat di dalam sana. Aroma ini familiar sekali dan benar saja, tulisan ini benar miliknya, Elioku.

Halo An, saya Elio dari kelas 11-2.

Apa kabar? Saya harap kamu baik-baik saja dan dalam keadaan sehat. Saya ingin mengucapkan selamat karena kamu berhasil lolos di tingkat sekolah, jangan heran begitu, Bu Seline yang ngasih tahu saya. Tinggal tingkat kabupaten/kota ya, semangat Ankaa! Saya yakin kamu pasti bakal lolos.

Kamu juga pasti kebingungan, karena saya yang tiba-tiba ngilang. Ankaa, kamu benar saat bilang kalau saya terlalu memforsir diri. Saya sakit An, kanker otak stadium 4. Kondisi saya beberapa bulan ini ternyata memburuk, puncaknya saat di hari olimpiade itu. Sebenarnya vonis tersebut udah dokter kasih pas kenaikan kelas sepuluh, jujur saja berkatnya saya jadi terpuruk untuk waktu yang lama.

Bisa bayangkan jika di ulang tahun yang ke-16, dokter justru mengatakan jika waktumu hanya tersisa paling lama setahun. Hei itu sungguh kabar buruk di hari yang baik, kan?

Setelah pernyataan itu dunia saya berubah hitam, dari luar memang terlihat jika saya menjalaninya dengan baik. Tapi jauh di dalam sana, saya hancur. Kesakitan dan keputusasaan tak pernah absen untuk menghantui saya setiap harinya.

Sampai beberapa waktu lalu puisimu yang berjudul matahariku yang berharga, berhasil membuat hati ini menghangat. Bolehkan jika saya egois dengan menganggap puisinya untuk saya? Arti nama saya juga matahari.

Hei, Ankaa Gavensha. Saya Elio Pradipta dari kelas 11-2.

Terimakasih karena kita sempat bertemu, mengenal kamu membuat saya semakin ingin hidup. Kamu seolah menjadi warna tersendiri dalam pekatnya hitam dalam dunia saya. Sungguh bersamamu adalah 4 bulan paling membahagiakan untuk saya, berkatmu... saya jadi tahu kalau berjalan diantara rerimbunan pohon dan melihat langit bisa mengurangi sedikit beban hidup.

An sebenarnya ada sesuatu yang selalu jadi rahasia kecil saya. Hati ini ternyata memilih jatuh untuk kamu. Dari sejak melihat puisimu, sampai dengan saat kita saling mengenal. Saya mulai mencintai kamu, Ankaa Gavensha.

Maaf karena hanya bisa menuliskannya di sini, saya terlalu payah untuk mengatakannya langsung. Apalagi ini adalah surat pertama dan terakhir yang saya buat untuk kamu, maaf An.

Ankaa tolong hiduplah dengan baik, jaga kesehatanmu dengan benar. Saya yakin kamu pasti akan menjadi wanita yang sangat cantik dan bijak di masa depan nanti. Huh, saya jadi iri dengan lelaki beruntung yang akan mendampingi kamu kelak.

An, bolehkan jika saya berharap kita dipertemukan lagi suatu hari nanti. Jika... hanya jika kita bertemu lagi, saya harap kita bertemu dalam situasi serta kondisi yang lebih baik. Sebab saya ingin mencintai kamu dengan benar, saya ingin mendampingi kamu sampai akhir, lalu akan saya umumkan pada seluruh dunia, jika Ankaa Gavensha adalah rasi bintangnya Elio.

Terakhir, jangan sedih terlalu lama, waktumu masih terus berjalan. Juga, jangan susul saya dengan cepat, nah sebagai penutup akan saya tuliskan sekali lagi.

Saya cinta kamu, sangat.

Ps : Menangkan olimpiadenya untuk saya juga ya. Semangat phoenix cantiknya saya!



“Dasar payah, brengsek! Katakan sendiri di depanku bodoh. Jangan menuliskannya seperti ini, kau... kau membuatku semakin mencintaimu.” Raungku dengan marah, lantas melempar amplop sekaligus surat yang baru saja selesai kubaca.

Masih dengan berlinang air mata, dapat kulihat jika sesuatu jatuh dari amplop yang terlempar. Itu adalah sebuah foto, sial!! Melihatnya makin membuatku sesenggukan. Foto yang diambil Bu Seline di hari perdana kami memulai bimbingan.

Elio terlihat merangkul bahuku sambil tersenyum cerah. Dia terlihat sehat sekali di sana, Tuhan... kenapa harus matahariku yang kau ambil? Kenapa cinta pertamaku berakhir seperti ini?

"Aku... aku juga mencintaimu, Elio Pradipta. Akan kumenangkan olimpiade sains untukmu juga, jadi beri aku senyuman terbaikmu, nanti saat kita bertemu lagi. Ayo saling menemukan dan mencintai lagi, selamat beristirahat matahariku." Kataku setelah melalui badai air mata selama lebih dari 2 jam.

-Tamat-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Afeksi Sang Rasi Phoenix
Fianaaa
Cerpen
Sang Penembus Dua Sisi
Janeeta Mz
Cerpen
Bronze
AKU PULANG, MAK
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Solitary
Ravistara
Cerpen
Bronze
Persetan
Yuli Harahap
Cerpen
Bronze
My Story
Rizqy Kurniawan
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Cerpen
Bronze
OH MY BOSS
ELI WAHYUNI
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Cerpen
MENJADI KETUA RT DAN HIKMAH-HIKMAHNYA
Agung Satriawan
Cerpen
CALON MANTU
Ani Hamida
Cerpen
Kegaduhan Apa Lagi?
arunien
Cerpen
Cari Duit Keluar Duit
NUR C
Cerpen
climate[Pg 4] improved. It has been made habitable. The soil, which bore formerly only a coarse vegetation, is covered to-day with rich harvests. The rock-walls in the valleys are laid out in terraces and covered with vines. The wild plants, which yielded
Miftahudin
Cerpen
Genggaman Makanan
Talita Shafa Arifin
Rekomendasi
Cerpen
Afeksi Sang Rasi Phoenix
Fianaaa
Novel
SEGARA
Fianaaa
Cerpen
Maaf, aku terlambat tahu.
Fianaaa