Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah kota kecil yang tampaknya tenang, hiduplah seorang perempuan bernama Marlina. Kalau orang-orang bilang hidupnya biasa saja, Marlina mungkin akan tertawa terbahak-bahak, karena menurutnya, dirinya adalah perempuan paling sibuk, paling cerdas, paling penting, pokoknya paling segala-galanya.
Semua hal di dunia ini pasti Marlina yang tahu. Nggak ada yang lebih tahu dari dia. Begitulah yang selalu dia katakan, setidaknya kepada semua orang di sekitar.
Suatu pagi, Marlina sedang berjalan menuju pasar. Sebenarnya, dia tidak ada urusan khusus, hanya kebetulan lewat. Tapi Marlina, dengan gayanya yang khas, selalu punya alasan untuk membuat dirinya tampak penting.
Ketika sampai di gerbang pasar, dia melihat tetangganya, Bu Nia, sedang memilih-milih sayuran.
“Halah, Bu Nia, kok milih kangkung begitu sih? Salah banget itu. Nanti kalau dimasak, pasti cepat layu,” ujar Marlina tanpa diminta.
Bu Nia yang baru saja memegang seikat kangkung langsung mengerutkan dahi. “Oh iya? Tapi saya kira ini masih segar.”
Marlina mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Ah, ibu sih! Makanya, dengerin aku. Aku ini tahu cara milih sayur yang benar. Kangkung itu kalau daunnya terlalu hijau, pasti layu di panci. Aku tuh selalu milih yang agak pucat. Gitu.”
Tangannya segera merebut kangkung dari tangan Bu Nia. “Ini, lihat. Aku tunjukin yang benar.”
Bu Nia tersenyum tipis, antara bingung dan malas mendebat. “Oh, ya deh, terima kasih, Bu Marlina.”
“Ya, ya, santai aja, siapa lagi yang bisa kamu andelin kalau bukan aku?” Marlina tersenyum puas, merasa sudah menyelematkan tetangganya dari bencana kuliner. Padahal, Bu Nia hanya menggeleng pelan di belakangnya.
Setelah "menolong" Bu Nia, Marlina bergegas pulang. Di sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi rencana-rencana besar, seakan dunia akan hancur jika tidak ada dirinya.
Ketika hampir tiba di rumah, Marlina bertemu dengan Pak Sardi, tukang kebun tetangga.
“Eh, Pak Sardi! Jangan potong rumput kayak gitu! Salah banget!” serunya dengan penuh percaya diri.
Pak Sardi yang sedang asyik memangkas, berhenti sejenak, kebingungan. “Oh, ini saya potong biar rapi, Bu.”
Marlina mendekat, mengibas-ibaskan tangannya seperti guru taman kanak-kanak yang sabar mengajarkan murid-muridnya. “Aduh, salah besar. Kalau motong rumput terlalu pendek kayak gitu, nanti malah nggak tumbuh lagi. Kasihan tanamannya.”
Pak Sardi hanya mengangguk-angguk, tak banyak bicara. “Oh, gitu, Bu. Terima kasih ya.”
“Ya, makanya lain kali tanya dulu sama aku. Aku tuh tahu segalanya. Mau soal tanam-tanaman, soal bumbu dapur, sampai urusan bikin dunia lebih baik. Apa coba yang nggak aku tahu?” Marlina tersenyum bangga.
Setelah puas memberikan ‘pencerahan’, dia melenggang pergi dengan anggun, meninggalkan Pak Sardi yang cuma bisa mengelap keringatnya.
Hari itu, sore harinya, Marlina kembali disibukkan dengan kegiatan luar biasanya—yaitu menyibukkan diri sendiri. Dia memutuskan untuk mengadakan rapat darurat kecil-kecilan di grup arisan warga kampungnya melalui pesan singkat. Tentu saja, yang merasa darurat cuma dia.
Marlina: Ibu-ibu, ini kok ya nggak ada yang mau kasih masukan soal rencana acara arisan bulan depan?
Bu Lia: Waduh, baru kepikiran sih, Bu Marlina. Mungkin bisa kasih ide, Bu?
Marlina: Lah, kalian ini gimana sih? Aku terus yang harus mikir? Kalian ini nggak ada kerjaan lain ya? Aku tuh sibuk banget, tapi ya sudahlah, aku kasih ide deh!
Bu Dewi: Ya ampun, terima kasih ya Bu Marlina, sudah berinisiatif. Saya kira kita bisa kumpul di balai desa, gimana?
Marlina: Balai desa? Aduh, Bu Dewi, maaf ya, tapi balai desa itu udah kayak kandang ayam! Masa acara penting kayak gini mau diadakan di sana? Jangan merusak suasana deh.
Bu Dewi langsung diam. Selalu begitu kalau Marlina sudah bersuara. Orang-orang lebih suka mundur daripada berdebat dengannya. Mereka tahu, Marlina tidak mungkin kalah dalam perdebatan, setidaknya menurutnya sendiri.
Bu Siska: Hmmm, terus gimana, Bu Marlina?
Marlina: Ya di rumahku aja, lah! Udah jelas lebih bagus, lebih nyaman, dan tentu lebih cocok untuk acara penting kayak arisan.
Bu Lia: Oke, setuju. Saya bawa kue ya, Bu Marlina.
Marlina: Halah, kue? Sudahlah, aku yang bikin. Percaya deh, kue kalian pasti nggak ada apa-apanya dibanding kue bikinanku.
Ketika hari arisan tiba, Marlina menyambut para ibu-ibu dengan senyuman yang lebar, seperti ratu yang baru saja menunggu para tamunya datang ke istana.
Dia mempersilakan semuanya duduk dan mulai berbicara tanpa henti. Dari soal resep kue, cara memilih bahan masakan, sampai tips merawat rumah. Tak ada yang bisa lepas dari pengetahuannya yang tak terbantahkan.
“Jadi, ibu-ibu, kalau kalian mau tahu rahasia kulitku tetap kencang dan mulus di usia ini, ya cuma aku yang tahu. Aku tuh nggak percaya sama dokter-dokter kulit. Mereka itu cuma jualan produk mahal-mahal yang hasilnya nol besar. Aku ini pakai ramuan alami dari nenek moyang. Tau nggak, aku campur lidah buaya, daun jambu, sama sedikit minyak kelapa. Kalau kalian nggak percaya, ya silakan aja, tapi lihat kulitku!” katanya sambil menunjuk wajahnya yang memang mulus, meski agak berlebihan kalau disebut ‘kencang’.
Bu Dewi yang tadinya hanya ingin bicara soal rencana acara arisan berikutnya malah cuma bisa mengangguk. Siapa yang mau melawan Marlina? Tak ada.
Ketika para ibu sudah mulai ingin pamit, Marlina tetap saja melanjutkan ceritanya. Kali ini tentang suaminya.
“Ah, kalian tuh jangan kira punya suami yang selalu setuju sama kita itu gampang. Aku ini harus pintar lho ngerayu Pak Budi. Dia itu keras kepala! Tapi ya, siapa lagi yang bisa bikin dia nurut kalau bukan aku?”
Bu Lia yang suaminya dikenal sangat penurut, cuma tersenyum. “Wah, Bu Marlina memang hebat ya.”
“Tentu saja!” jawab Marlina tanpa ragu.
Marlina adalah orang yang tidak akan pernah merasa salah. Bahkan ketika suatu hari dia mencoba resep baru yang dia klaim ‘pasti berhasil’, dan ternyata makanannya gosong, dia tetap tak mau disalahkan.
“Ini pasti karena kualitas kompor yang jelek. Bukan salah aku. Aku tahu kok, aku udah masak dengan benar,” katanya pada Bu Nia yang kebetulan datang ke rumahnya sore itu.
Bu Nia hanya bisa tersenyum kecut. Marlina memang selalu benar. Bahkan kalau salah, pasti salah orang lain.
Seiring berjalannya waktu, orang-orang di sekitar Marlina makin enggan untuk berdebat. Mereka tahu, Marlina tidak akan berubah. Kalau ada yang mencoba mengoreksinya, Marlina pasti akan kembali dengan penjelasan panjang lebar yang membuat lawannya kehabisan energi.
Tapi, anehnya, di balik segala sifatnya yang serba tahu, serba benar, dan selalu sibuk sendiri, Marlina sebenarnya cukup disukai. Mungkin karena mereka sadar, hidup tanpa Marlina akan terasa... sepi.
Ada sesuatu yang menghibur dari keangkuhan Marlina yang justru menjadi warna dalam kehidupan mereka.
Suatu hari, ketika Marlina sedang duduk di teras rumahnya, Bu Nia datang menghampiri dengan sekotak kue.
“Bu Marlina, saya bawakan kue yang kemarin ibu bilang harus saya coba bikin. Ini hasilnya.”
Marlina memandang kue itu sejenak, lalu mencicipi dengan sedikit ekspresi berlebihan, seperti seorang kritikus makanan terkenal.
“Hmmm... ya, rasanya lumayan. Tapi, coba kamu kurangi gula sedikit, ya. Kalau nggak, kue ini bakal bikin gendut.”
Bu Nia tertawa kecil. “Baik, Bu. Terima kasih sarannya.”
Marlina mengangguk dengan penuh kemenangan. “Ya, siapa lagi yang bisa kasih saran kalau bukan aku?”
Dan begitulah Marlina. Selalu benar. Selalu serba tahu. Tapi di balik itu semua, dia tetaplah Marlina, perempuan yang entah bagaimana, meskipun bikin gemas, tetap membuat hidup di sekitarnya terasa lebih ramai.
***
Pembaca yang budiman, karena karya ini gratis, maka mohon kerelaannya untuk like, komen, dan share ya. Agar penulis semakin semangat membuat tulisannya yang menghibur pembaca. Salam hangat!!!