Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
One - Cinta vs Obsesi
Laura mengambil napas dalam-dalam, fokus pada tujuannya. Dia menatap mata Daniel yang fokus padanya. Di dalam apartemennya yang sunyi, Laura memulai proses hipnosis dengan suara lembut dan terarah.
"Dengarlah suaraku, Daniel. Biarkan pikiranmu tenang dan terbuka untuk apa yang akan aku katakan," ucap Laura dengan lembut.
Daniel mengikuti instruksinya dengan patuh, membiarkan pikirannya terbawa oleh suara Laura yang menenangkan.
Laura tersenyum, "Inget gak, Iel, pertemuan pertama kita?" Laura berkata dengan suara rendah, "Kita bisa langsung nyambung banget ngobrolnya, padahal kita gak tau kalau kita pernah ketemu sebelumnya."
Daniel terdiam, mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir Laura. Dia merasakan kehadiran masa lalu yang terbayang di kepalanya.
Laura terus melanjutkan ceritanya, dengan setiap kata yang mengalir seperti aliran sungai yang menenangkan. "Lalu, inget gak pas Bu Anita minta kita jadi partner proyek penelitian untuk Program Kreativitas Mahasiswa padahal kita dari jurusan dan fakultas yang beda? Kita kompak banget, Iel. Apalagi pas kita bareng-bareng cari solusi buat masalah di Craftify dan pengrajinnya, banyak banget yang muji kita, Iel."
Pada saat itu, Laura merasakan energi yang kuat mengalir di sekitar mereka. Dia mengarahkan pikiran Daniel untuk mengenang semua yang diucapkannya.
Laura melanjutkan dengan penuh perasaan, "Dan sekarang, Iel. Kita tau kalau sebenarnya kita adalah sahabat kecil. Kamu Ielnya Lola. Kita udah bikin janji pas kecil dulu loh."
Daniel terperangah, mencoba mengingat setiap momen berharga yang Laura gambarkan. Emosinya tercampur aduk, pikirannya mulai terbawa oleh kehangatan dan kenangan masa lalu yang Laura ciptakan.
Setelah proses hipnosisnya selesai, Laura memegang lembut tangan Daniel, "Iel, aku penasaran gimana perasaan kamu setelah semuanya ini," kata Laura dengan suara lembut. "Udah ada keputusan kamu tentang hubungan kita?"
Daniel mengangguk perlahan. "Aku pengen kasih kesempatan buat hubungan kita berkembang. Aku pengen ngalamin lebih banyak momen manis bareng kamu, bikin kenangan, dan hadapin tantangan bersama. Aku gak mau lepas kesempatan ini."
Laura tersenyum senang. Ini yang dia harapkan. Membangun sebuah hubungan erat dengan Daniel. Buat dia semakin terikat dengannya, dan kemudian mereka bisa terus bersama hingga mereka bisa menepati janji masa kecil mereka. Hidup bahagia selamanya.
Semuanya berjalan dengan lancar, bahkan Laura merasa sangat bahagia dengan status dan kebersamaannya dengan Daniel.
Namun...
Ethan Aditama, kakak kandung dari Laura, yang menaruh curiga terhadap hubungan Laura dan Daniel. Dia yang memiliki kemampuan membaca pikiran, merasa aneh ketika setiap bertemu Laura dan Daniel, dia selalu tidak bisa menembus pikiran mereka akibat pelindung pikiran yang dipasang oleh Laura. Ditambah lagi Daniel yang mengalami kecelakaan dan dinyatakan koma.
Brakkk
Semua orang terkejut saat Ethan memukul meja dengan keras.
"Kamu dengar kata dokter, Lau? Daniel tuh merasa nyaman di mimpinya karena dia nemu kebenaran di situ. Bukan sama bayangan yang kamu bikin selama ini." Ujar Ethan dengan tatapan tajamnya menatap Laura.
Jantung Laura berdebar keras, dadanya sesak. Dia tidak pernah bermaksud untuk membuat Daniel terperangkap dalam dunia imajinernya. Air mata mulai mengalir di matanya, dan dia merasa bersalah atas segala hal yang telah terjadi. Tidak hanya itu, dia juga merasa semakin cemas dengan kemungkinan bahwa apa yang dia lakukan mungkin telah memperpanjang kondisi Daniel.
Bunda Erna memejamkan matanya. Dia memahami semuanya setelah Ethan dengan jelas mengatakan alasan Daniel yang tidak juga bangun dari komanya. Dia juga tahu dengan kemampuan special yang dimiliki oleh ketiga putra-putri keluarga Aditama.
Freya mengusap dada Ethan untuk menenangkannya.
Ethan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Mari kita hentikan semua ini, Laura. Kasian Daniel. Dia nggak cinta sama kamu, tapi sama orang lain. Sadarlah, kita harus menghormati perasaan dia dan bebasin dia."
Laura mencoba menghentikan tangisannya, mencerna kata-kata Ethan. "Tapi, kak, aku mencintainya... Aku mau dia liat dan rasain perasaan aku."
Ethan menghela napasnya, dia memeluk Laura dengan penuh kasih sayang, "Kakak ngerti perasaan kamu, sayang. Tapi bukan begini caranya. Kamu udah ngerebut kebebasan Daniel. Udah waktunya kamu lepasin Daniel.. Ya?"
Laura terdiam sejenak. Masih tersisa sedikit isakan yang keluar dari mulutnya. Akhirnya, dia mengangguk setelah memikirkan semuanya.
Ethan melepaskan pelukannya dan menatapnya. Dia membiarkan kedua tangannya masih bertengger di bahu Laura.
"Kita hubungi kakek, yah?" Tanya Ethan dengan nada lembut.
Laura mengangguk sambil menunduk.
Bunda Erna tetap diam. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi, dia sangat menyayangi Laura. Namun, dia juga tidak bisa membenarkan apa yang dilakukannya. Meskipun dia juga sangat menginginkan kalau Laura dan Daniel bersama.
Bunda Erna membawa Laura duduk di sofa dan memeluknya. Dia mengelus kepala Laura dengan lembut.
Sementara itu, Laura ikut memeluknya erat dan menumpahkan tangisnya dipelukan Bunda Erna. Dia merasa bersalah pada bundanya. "Maaf bunda..."
Akhirnya, Ethan berhasil membawa kakeknya ke rumah sakit. Saat itu semua orang yang berkumpul di kamar Daniel, disuruh keluar dan menyisakan Laura dan kakeknya di ruangan itu. Kakeknya memulai proses hipnoterapi dan masuk ke dalam alam bawah sadar Daniel, dibantu dengan kemampuan spesial oleh Laura.
Bayangan semu Daniel pada akhirnya berhasil dihilangkan. Kini, Daniel tidak lagi dibuat bingung dengan pikiran dan hatinya. Kakek Laura berhasil membuat semuanya jelas.
Sebagai konsekuensinya...
Laura menatap Daniel yang memalingkan wajahnya ke arah jendela. Dia sangat merindukan pria itu. sangat menyakitkan saat beberapa bulan yang lalu mereka masih bersikap manis, tapi sekarang bahkan menatapnya pun, Daniel tidak sudi.
Laura menghembuskan napas lelah. "Bisa liat aku sebentar?"
"Kita lagi berdua disini. Siapa yang jamin kalau kamu mau hipnotis lagi?" Ujar Daniel dengan sinis.
Laura memejamkan matanya saat merasakan dadanya ditusuk oleh benda tajam tak kasat mata. "Kamu gimana keadaannya?" Tanya Laura dengan suara parau.
Daniel mendecak. "Kamu itu buta atau gimana? Bisa liat sendiri, kan?" Ketusnya.
Laura merasa hatinya semakin sakit saat mendengar nada bicara Daniel yang penuh dengan kekesalan dan amarah. Berbeda jauh dengan kelembutan yang selalu dia dapatkan dari Daniel selama ini.
"Iel.. aku tau kesalahan aku besar banget. Bahkan untuk minta maaf aja, bakal keliatan kalau aku cuma nyari pembenaran aja. Tapi Iel.. ini bukan aja tentang aku. Ada keluarga aku juga yang bakal kena dampaknya." Ujar Laura sambil menghela napas panjang. Dia merasa sangat tidak tau diri sekarang.
Laura mendesah pelan. "Kamu ingat bakal penuhin permintaanku? Aku mau kalau kamu gak nuntut aku sebagai permintaan kedua."
"Hah.." Dengus Daniel dengan sinis. Kini perhatiannya fokus pada Laura. Tatapannya sangat tajam. "Dasar Wanita licik.." Geram Daniel. "Jadi ini maksud kamu bakal manfaatin kondisi, huh?"
"Iel, please.." Mohon Laura. Dia tidak mungkin membiarkan masalah ini bocor ke telinga orang tuanya. Terlebih lagi jantung Papa Darmawan yang saat ini tidak terlalu sehat.
"Sebagai gantinya aku gak bakal ganggu kamu lagi. Aku bakal menjauh dari kamu.. dari Craftify... aku janji.." Lanjut Laura sambil menahan segala rasa sesak di dadanya.
Daniel terdiam sambil menatap Laura. Ada kilatan aneh disana. "Bagaimana kamu menjamin janji kamu itu?" Tanyanya dengan datar.
"Aku gak akan lari lagi untuk kedua kalinya. Bahkan kalau kamu mau penjarain aku," Ujar Laura dengan yakin.
Daniel terkekeh sinis. "Okey.. kali ini kamu aku lepasin. Tapi sampai suatu saat kejadian ini berulang, kemana pun kamu pergi, aku bakal cari dan hukum kamu dengan tangan aku sendiri."
Laura terlonjak mendengar ancaman Daniel. Terlihat kebencian yang sangat besar di matanya. Dan Laura merasa sangat takut. Mimpi terburuknya menjadi kenyataan. Dia tidak akan bisa meraih Daniel kembali. Ielnya tidak akan kembali ke pelukannya.
"Kenapa gak pergi?" Tanya Daniel dengan nada dingin, tatapannya yang tajam menghujam Laura seperti pisau.
Laura merasa kakinya gemetar, tapi dia bersikeras untuk tetap tegar di hadapan Daniel. Dia menatap Daniel, matanya berkaca-kaca. "I'm really deeply in love with you, Iel. Aku tau apa yang aku lakuin salah dan bodoh. Aku juga tau masa lalu gak bisa aku ubah. Maafin aku karena perasaan aku yang tak terkontrol ini bikin kamu menderita."
Usai mengatakan itu, Laura berlari keluar dari ruangan itu meninggalkan Daniel yang secara tiba-tiba merasakan kekosongan di hatinya.
Waktu berlalu, keadaan Daniel membaik. Dia juga sudah mulai kembali bekerja di Craftify dan melanjutkan kuliahnya. Dan sepertinya mulai membangun kembali hubungannya dengan Gabriella. Namun tidak dengan Laura. Daniel masih sangat membenci Laura.
Laura memiliki niat tulus untuk meminta maaf pada Daniel. Dia sangat berharap Daniel bisa memaafkannya. Dia juga ingin meminta maaf atas segala sikap buruknya pada sahabatnya, Gabriella.
Karena Laura mendapatkan karmanya…
~~~
Two - Hilang Kepercayaan
"Kamu apain Gabby, Hah?" Tanya Daniel dengan mata dan wajah yang menakutkan.
Laura tergagap. "Aku.. aku.." Dia tergagap dan susah menjelaskan. Kejadian tadi begitu cepat dan dia juga bingung pada apa yang terjadi. Dia hendak menghampiri Gabriella namun membeku saat gadis itu dipukul dari belakang. Belum lagi rasa perih tiba-tiba dirasakannya di lengan bagian belakangnya, yang diabaikannya dan memilih untuk menghampiri Gabriella yang sudah pingsan.
Daniel menatap Laura dengan tajam. Dia kemudian mengikuti petugas Unit Gawat Darurat yang segera membawa Gabriella untuk masuk dan dirawat.
Laura, masih dengan rasa terkejutnya, mengikuti mereka. Dia berjalan tepat dibelakang Daniel.
"Temennya gak apa-apa, Mas, Mbak. Cuma kena pukulan ringan yang buat dia pingsan. Gak ada hal serius kok.." Ujar seorang dokter jaga yang telah selesai memeriksa Gabriella.
Daniel dan Laura mendesah lega. "Makasih, dok.." Ujar Daniel sambil tersenyum tipis.
Dokter itu tersenyum dan mengangguk.
Setelah dokter itu meninggalkan mereka dan seorang perawat yang tengah mengurus Gabriella, tatapan tajam Daniel mengarah pada Laura.
"Ikut aku..!!" Ujar Daniel sambil menarik tangan Laura dan membawanya ke sebuah koridor yang sepi.
Laura mengelus pergelangan tangannya yang dihempaskan oleh Daniel. "Kamu yang mukul Gabby?" Tanyanya langsung dengan amarah yang terlihat jelas di matanya.
Laura terkejut mendengar pertanyaan Daniel yang penuh kecurigaan. Dia menggeleng tegas. "Iel, aku juga gak tau. Tiba-tiba aja tadi ada orang di belakang Ella dan mukul dia. Aku Cuma berusaha nolongin dia aja." Laura menjelaskan dengan suara lembut, berusaha menjelaskan semuanya pada Daniel.
Tatapan tajam Daniel tetap tertuju pada Laura. Dia sangat tidak mempercayai gadis ini setelah apa yang sudah dia lakukan. Bisa saja Laura berbohong dan memanipulasi segalanya.
Daniel terkekeh sinis. "Orang lain?" ujarnya dengan tatapan tajam. "Gak ada orang lain selain kamu dan Gabby yang pingsan. Jadi gak usah pura-pura, Laura. Aku tau apa yang udah kamu lakuin,"
Laura terkejut dengan respon Daniel atas penjelasannya. Dia menatap Daniel dengan sedih. "Aku gak bohong, Iel.." Ujarnya lirih.
Namun, Daniel tetap skeptis. "Jangan bohongin aku! Aku kenal kamu, Laura. Kamu manipulatif. Aku tahu kamu sengaja lakuin itu."
Air mata Laura meluruh. Dadanya sesak. Bibirnya tidak bisa berkata-kata lagi untuk membela dirinya. Daniel tidak mempercayainya lagi.
"Pergi kamu sekarang..! Aku udah muak dengan kamu.." ujar Daniel dengan ketus. "Aku gak mau liat kamu lagi, dan aku gak mau kamu muncul di depan aku dan Gabriella. Kamu bener-bener gak bisa dipercaya, dan aku gak sudi punya hubungan apapun lagi dengan kamu."
Laura menatap Daniel dengan wajah yang berlinangan air mata. Dia kemudian mengangguk dan berbalik. Pergi dari sana dan membawa beban berat dalam hatinya. Hatinya hancur.
Daniel menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia kembali ke bilik Gabriella dan menarik tirai untuk menutupi Gabriella dan dirinya yang sedang duduk disamping ranjang Gabriella, menunggunya untuk sadar.
Sementara itu, saat Laura mencapai pintu lobby rumah sakit, seorang pria yang tengah melintas melihat kondisi lengan bagian belakang Laura yang terluka dan darah yang terus mengalir. Dengan cepat, dia mendekati Laura dan menepuk lembut pundaknya, berusaha memberi tahu bahwa lengan Laura perlu perhatian medis segera.
Namun, sebelum Laura sempat merespons, rasa lemah yang mendalam merasuki tubuhnya. Pusing yang tak tertahankan menghampirinya, dan pandangannya mulai memudar. Dalam sekejap, Laura pingsan dan terjatuh ke lantai, kehilangan kesadaran.
Orang-orang yang berada di sekitar segera berhamburan membantu dan membawa Laura ke ruang gawat darurat.
Rama yang baru saja sampai di rumah sakit, hendak menelfon Laura untuk menanyakan keberadaannya. Namun saat kakinya mencapai lobby, dia seorang Wanita yang diangkat. Matanya melotot saat melihat sahabat sekaligus sepupunya lah yang sedang berada disana.
Tanpa berpikir panjang, dia segera mengikuti petugas rumah sakit yang membawa Laura ke ruang gawat darurat.
~~~
"Udah sadar, Lau? Gimana perasaan kamu?" tanya Rama penuh perhatian.
Laura memandang Rama dengan tatapan lemah. "Aku ngerasa pusing, Ram."
Rama mengangguk. "Kamu kenapa tiba-tiba punya luka segede itu sih?" Tanyanya cemas.
Laura menggeleng. "Gak tau.. tiba-tiba aja aku dan Ella kek gini."
"Gabriella? Tapi kok kamu sendiri?"
Laura mengerutkan keningnya, "Eh bukannya dia masih di UGD sama Daniel?"
Rama menggeleng, "Aku daritadi disini nemenin kamu dan gak liat mereka sama sekali."
Laura mengangguk, "Mungkin Ella udah dipindahin ke ruang inap." Dia kemudian tersenyum lemah, "Syukurlah, setidaknya Daniel gak liat aku disini, nanti aku dikirain 'caper' lagi." Dia terkekeh kecil sambil menatap lengannya yang diperban.
"Caper apaan sih? Kamu itu udah dapet tiga belas jahitan yah. Masa iyya dibilang caper." Cibir Rama.
Laura terkekeh, "Daniel ngira aku yang ngerencanain penyerangan Ella, Ram. Padahalkan ada yang nyoba nyelakain kita."
"Siapa yang ngelakuin itu?" Tanya Rama dengan marah.
Laura menggeleng. "Gak tau. Aku gak sempat liat mukanya."
Rama mengepalkan tangannya. "Aku bakal cek CCTV kalau gitu.."
Laura mengangguk. "Iya tapi nanti aja. Temenin aku dulu.. aku galau.." Ujar Laura dengan parau. Air matanya menetes. Dia meletakkan tangan kananya melingkar menutupi wajahnya. "Daniel benar-benar benci sama aku, Ram. Gak ada rasa percaya sama sekali dengan apa yang aku bilang. Dia bahkan nyuruh aku pergi dan nggak muncul dihadapan dia lagi."
Rama menatapnya dengan pandangan sedih, "Sabar, Lau. Kamu masih punya keluarga dan aku pastinya yang selalu ada disamping kamu. Sekarang kamu harus berusaha lupain semuanya dan fokus sama Kesehatan kamu."
Laura mengangguk, "Kalau inget penyakitku, Ram. Aku kadang kepikiran kalau itu memang pembalasan terpuas buat antagonis kayak aku, yah. Para penonton kisah aku dan Daniel pasti puas banget liat aku yang sakit begini." Laura terkekeh.
DEG
Daniel yang masih berada di sebelah Gabriella, mendengar semua itu. Awalnya dia tak peduli dengan siapapun yang berada disebelah ranjang Gabriella. Namun, saat menyadari bahwa itu Laura dan Rama, dia segera menajamkan pendengarannya, dan kata-kata Laura entah mengapa membuatnya sesak.
"Jangan mikir yang aneh-aneh deh, Laura." Ujar Rama mengingatkan Laura.
"Kalau aku pergi, Daniel bakal nangisin aku gak, yah?"
Rama kesal mendengar itu, "jangan kek orang pesimis gitu, Laura. Kamu memang mau pergi, tapi untuk sembuh. Bukan menyerah sama penyakit kamu."
Laura hanya mengangguk, dia lalu duduk bersiap untuk turun dari ranjangnya. "Udah ah, yuk pulang!"
Rama menatapnya bingung, "Ngapain? Kamu itu masih sakit loh. Udah tinggal aja lagi disini. lagian kan orang tua kamu, kak Ethan, dan Eta mau kesini." Sebelum sadar, Rama memang sempat menghubungi keluarga Laura.
"Udah aku dirawat di rumah aja. Banyak yang mau aku urus, Ram. Keberangkatan aku besok loh. Masa iya nginap di rumah sakit." Ujar Laura keras kepala. "Kabarin mereka aja lagi, bilang pulang aja karena aku baik-baik aja. Dan Aku nyusul pulang."
Rama berdecak kesal melihat kekeraskepalaan Laura, "Yaudah iya. Ayo aku anterin pulang."
Dan beberapa saat kemudian, tidak terdengar lagi suara Laura dan Rama. Daniel kemudian menyibak tirai pembatas mereka. Ternyata benar, mereka sudah pulang.
Daniel mengamati ranjang yang tadinya ditiduri Laura. Perasaannya campur aduk. Rasa percaya dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Laura membuatnya dilema.
Karena larut dengan pikirannya sendiri, Daniel tidak menyadari kalau Gabriella mengeluh dan sudah sadar. Gabriella mengamati sekitar dan menyadari kalau dia sedang berada di Rumah Sakit.
Gabriella melihat seseorang yang berdiri membelakanginya. Setelah beberapa saat mengamati, dia akhirnya tau kalau orang itu adalah Daniel. "Dan..." Panggilnya lemah.
Daniel yang tersadar dari lamunannya karena suara lirih, segera membalikkan tubuhnya menghadap Gabriella. "Akhirnya kamu sadar Gab. Gimana perasaan kamu?"
"Aku baik-baik aja kok, Dan." Dia merasa aneh sejenak. "Laura kemana, Dan? Ada orang yang nodongin pisau ke dia tadi." Ujar Gabriella mengkhawatirkan Laura.
"Laura udah pulang." Ujar Daniel dengan muka masam.
"Dia baik-baik aja, kan? Gak luka, kan?."
Daniel mengangguk, matanya tidak sengaja memperhatikan petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai. Terlihat tetesan darah disana. Matanya membulat saat sebuah pikiran memenuhi kepalanya.
'Jadi Laura gak bohong?'
~~~
Three - Rindu dalam Kebencian (END)
"Saya baru dengar tentang Chronic Fatigue Syndrome, Dok." Ujar Ethan pada dokter yang telah selesai memberikan diagnosanya pada Laura. Ethan merasa bingung. Adiknya itu tiba-tiba saja pingsan di kantornya saat dirinya dan Rama akan menginterogasinya. Mereka langsung membawa Laura ke rumah sakit. dan selama beberapa hari, hasil observasi dokter adalah Chronic Fatigue Syndrome yang baru di telinga Ethan dan keluarganya.
Dokter mengangguk paham. "Iya, Chronic Fatigue Syndrome (CFS) ini adalah kondisi yang mungkin belum banyak dikenal orang. Ini adalah gangguan yang ditandai dengan kelelahan yang berat, stress, dan penurunan kualitas imun."
"Tapi gak bahaya, kan, dok?"
Dokter menggeleng. "Sayangnya, karena sindrom ini melemahkan sistem kekebalan tubuh, pasien menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk yang bisa berakibat fatal." Dokter menghela napas pelan. "Dan dalam kasus Laura, kita terlambat mendeteksinya. Sepertinya sudah ada tumor jinak yang mulai tumbuh di kelenjar adrenalnya, yang bisa menjadi salah satu faktor pemicu munculnya CFS ini."
Wajah-wajah di ruangan itu penuh dengan kekhawatiran. Mama Yuliana memegang erat tangan Laura, sedangkan Ethan, Papa Darmawan, dan Greta tampak sangat khawatir.
"Pihak keluarga Laura jangan terlalu khawatir," kata dokter dengan penuh empati. "Kami akan merencanakan penanganan yang tepat untuk Laura. Pertama, kami akan memulai dengan terapi untuk mengatasi gejala CFS ini. Kemudian, kami akan memantau perkembangan tumor jinak di kelenjar adrenal Laura. Sekarang yang perlu diperhatikan adalah dengan tidak melakukan aktivitas berat dan stress berat juga perlu dihindari." Kata dokter itu sambil memberikan tablet pada dokter residen dibelakangnya.
Laura menunduk dan menggenggam tangan Mama Yuliana lebih erat.
"Mmm, Dok.." Panggil Mama Yuliana dengan ragu. "Saya bukannya meragukan kualitas rumah sakit disini. tapi karena Papanya Laura sudah terlanjur kontrol di Singapura. Bisa gak yah.. kalau perawatan Laura dipindahkan kesana? Jadi kami gak usah bolak-balik lagi."
Dokter mengangguk paham. "Baik. Nanti saya coba diskusikan lagi yah, bu.."
Akhirnya, Laura dibawa ke Singapura untuk berobat. Dan juga untuk belajar melupakan perasaan dan obsesinya pada Daniel.
Laura stress berat tentu saja. Daniel membencinya dan bahkan tidak akan pernah percaya lagi padanya. Laura bahkan hampir depresi.
Untungnya kakeknya membantunya untuk lepas dari itu semua. Belajar untuk mengakui kesalahan dan menerima konsekuensinya.
Laura sedikit demi sedikit bisa mengatasi itu. Kakeknya benar. Dia yang salah. Dan harus menerima kalau cinta tak harus memiliki.
Namun...
Takdir mempertemukan mereka kembali. Laura yang pelan-pelan menyelesaikan studinya dan sudah hampir setahun dia berkarir di Renewal Mental Health Center, tak sengaja bertemu dengan Daniel kembali. Setelah hampir tiga tahun tak bertemu.
Ada yang beda dengan Daniel. Tatapannya tak sehangat dulu. Ekspresinya selalu kaku. Dan.. makin menawan.
Laura duduk di ruang seminar. Tempat para dokter, psikiater, dan psikolog melakukan rapat. Di depan sana, ada Daniel dan kepala manajemen Renewal Mental Health Center, Prof. Irfan Hasan, sedang berbincang. Laura sedikit bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Pak Daniel sampai repot kesini. Saya merasa tidak enak." Ujar Prof. Irfan.
Daniel memasukkan tangannya ke saku celananya, "Saya cuma mau lihat keadan Rumah Sakit ini, Prof. Irfan." Matanya menatap ke sekitar ruangan.
Laura menundukkan kepalanya, hingga rambutnya yang medium menutupi wajahnya. Dia merasa tidak siap kalau kehadirannya disini diketahui Daniel. Semuanya tak lagi sama. Kecuali perasaannya. Yah. Hanya perasaan Laura terhadap Daniel yang tak berubah sedikitpun.
Prof. Irfan tersenyum, "Baik kalau begitu. Saya akan antar Pak Daniel untuk berkeliling sekalian memberikan laporan,"
Daniel mengangguk. Daniel, Prof. Irfan, dan beberapa orang lain yang sepertinya adalah asisten Daniel keluar dari ruangan.
"Pak Daniel keren, yah." Ujar sebuah suara mengagetkan Laura. Tiara, seorang psikiater yang sudah bekerja selama tiga tahun di Renewal Mental Health Center.
"Kamu kenal?" Tanya Laura yang memilih pura-pura tidak tahu.
Tiara mengangguk. "Siapa yang tidak kenal pemilik baru Renewal Mental Health Center?"
Laura terkejut, "Pemilik baru?"
Tiara mengangguk, "Katanya udah lama dia ngincar RS ini. Dan baru dia dapet pas pemilik yang dulu lagi ada masalah dan dipaksa untuk lepasin RS ini."
"Masalah apa?" Tanya Laura penasaran. Sungguh hampir satu tahun dia bekerja disini tapi tidak tahu menahu informasi itu.
Tiara mengangkat bahunya, "Aku gak tau masalahnya apa. Kayaknya rahasia pejabat RS deh." Tiara menghentikan ucapannya sebelum melanjutkan, "Tapi yang keren itu karena Pak Daniel yang berhasil dapetin RS ini. Padahal dia masih muda banget. Kayaknya seumuran kamu deh."
Laura mengangguk, "Lebih tua setahun aku daripada dia,"
Mata Tiara memicing menatap Laura, "Hah? Tau darimana?"
Laura gelagapan, "Eh abaikan aja. Aku ngawur kayaknya tadi,"
Tiara terdiam sambil menatap Laura yang membuat Laura semakin gugup. "Kayaknya kamu masih ngantuk deh. Makanya bicara ngelantur begitu." Ujar Tiara yang membuat Laura mendesah lega.
Laura terkekeh, "Iya nih kayaknya."
Tiara tersenyum mengerti. Dia menepuk pelan pundak Laura. "Aku balik ke ruangan, yah."
Laura mengangguk dan tersenyum. Dia kemudian membereskan catatan serta barang bawaannya yang lain.
Di perjalanan menuju ruangannya, dia melihat Prof. Irfan dan Daniel yang sepertinya masih sedang berkeliling. Laura dengan segera masuk ke ruangannya. Berdoa agar Daniel tidak melihatnya.
Laura bersandar di daun pintu. Matanya terpejam. Dia sangat tidak ingin kalau Daniel tau dia bekerja disini. Laura tau kalau Daniel pasti masih sangat membencinya. Laura tidak ingin melihat tatapan kebencian Daniel lagi. Sudah cukup tujuh tahun ini dia menderita karena tatapan kebencian Daniel terus hadir di mimpi buruknya.
Satu tahun masa kontraknya disini. Sepertinya Laura tidak akan memperpanjang kontraknya. Dan itu tersisa dua bulan lagi.
Selama hampir dua bulan itu, Laura merasa seperti buronan. Dia selalu bersembunyi karena Daniel selalu datang. Laura sempat berpikir, apa orang sesibuk Daniel masih sempatnya datang untuk mengambil laporan? Laura tau Daniel sibuk karena yah JIL Corp, perusahaan Daniel yang sekarang bisa dibilang perusahaan besar. Sebuah startup yang dalam waktu enam tahun sudah IPO. Semua informasi itu Laura dapatkan karena dia terus memantau perkembangan Craftify, anak perusahaan JIL Corp milik Daniel. Hanya itu yang bisa mengobati rindunya yang menyiksa.
Namun sepandainya dia menyembunyikan bangkai, pasti baunya akan tercium juga. Daniel tau keberadaan Laura. Bahkan dia sendiri yang mendatangi ruang praktek Laura.
"Kenapa kamu nolak perpanjangan kontrak disini?" Tanya Daniel dengan tajam. Mereka kini duduk berdua saling berhadapan di ruangan Laura, tempat biasanya dia melayani pasiennya.
Laura terus menunduk. Tidak berani menatap Daniel, "Hanya ingin," Ujar Laura singkat. Dia sangat berusaha untuk tidak menunjukkan kerinduannya.
"Aku udah ngikutin permainan petak umpet kamu selama ini, tapi kamu malah mau resign?"
Laura spontan mendongak saat mendengar ucapan Daniel. Dia kembali menunduk saat mata mereka hampir bertatapan. Dia sudah bilang takut melihat tatapan benci Daniel kepadanya, kan?
"Aku gak ngerti maksud kamu. Aku mau resign karena udah gak nyaman lagi disini."
"Karena aku?" Ujar Daniel keras yang membuat Laura terkejut.
Daniel menghela napas berusaha meredamkan emosinya. "Laura liat aku," Ujarnya sambil menyentuh tangan Laura.
Laura menggeleng.
"Kenapa?" Bisik Daniel.
"Aku gak suka ngeliat tatapan benci kamu. gak.. aku gak mau. Aku takut..," Ujar Laura menggeleng sambil terisak. Air matanya mengalir deras.
Daniel memejamkan matanya sejenak, "Lola, please..." Ujarnya mengiba yang membuat Laura menurutinya.
Laura dengan pelan mendongakkan kepalanya. Matanya bertemu dengan Daniel. Laura menjelajahi tatapan Daniel. Dia tidak menemukan kebencian itu, tapi kerinduan? Benarkah?
"Kamu liat mata aku, apa aku benci sama kamu?" Tanya Daniel pelan.
Laura menggeleng.
Daniel tersenyum. Senyum tulus yang baru dia perlihatkan setelah tujuh tahun. Dia menyatukan dahinya dengan Laura dan memejamkan matanya.
Laura tertegun menatap senyum Daniel dari jarak sedekat ini. Laura tidak bermimpi kan?
"Aku kangen kamu, Lola. Sangat.. sangat.." Ujar Daniel penuh penekanan.
Laura ikut memejamkan matanya, "Tolong jangan bangunkan aku. Baru kali ini aku mimpi seindah ini," gumam Laura pelan.
Daniel terkekeh dan menjauhkan wajahnya.
Laura membuka matanya dan menatap Daniel kecewa.
Daniel kembali tersenyum dan menarik Laura di pelukannya. "Kamu gak mimpi, sayang. Aku disini, di depan kamu, meluk kamu."
END