Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Adakah Bapak Tidur Malam Ini?
0
Suka
17
Dibaca

Kudapati Bapak tidak ada di kasur lepeknya. Seperti malam-malam sebelumnya, akan kutemui Bapak yang tengah mengamati langit tanpa bintang ditemani dengan sebatang rokok, asbak, dan secangkir kopinya yang mengepul.

Melihat Bapak seperti itu setiap malam, terkadang membuatku ingin mematahkan batang rokok yang tengah dihisapnya, kemudian menampar asap-asap sialan yang membuat Bapak kecanduan. Tembakau dan nikotin itu, tidak hanya merusak tubuh Bapak, tetapi merusak kepercayaan dalam keluarga.

Kulihat tatapan jauh Bapak menerawang, menembus langit malam yang mungkin bagi sebagian orang tampak mencekam. Aku hanya tidak pernah mengerti bagaimana situasi itu adalah situasi yang paling disenangi Bapak. Barangkali situasi itu menjadi yang paling nikmat, tersebab tidak ada siapa-siapa yang berani mengusik kepala Bapak yang berisik.

Namun nyatanya, itu sama sekali bukan solusi kehidupan untuk mendapatkan kedamaian. Setiap hari, harga-harga pasar tanpa henti meneror dompet Ibu. Bahkan, Ibu harus memutar otaknya berkali-kali untuk menutupi setiap kekurangan yang melubangi satu sama lain. Itulah mengapa, daster Ibu tampak selalu kusut, sebab dalam pikirannya juga ikut semrawut.

Sementara Bapak, sebagai kepala keluarga, tampaknya tenang-tenang saja dengan keadaan sempit yang kian mencekik ini. Tidak kudapati segaris pun raut wajah khawatir, gelisah, atau sekumpulannya yang hinggap di wajah keriput Bapak. Lagi-lagi, hanya kepul asap rokok yang ia keluarkan dari sela-sela giginya yang mulai ompong.

Barangkali Ibu juga sudah lelah dengan 'ritual' Bapak yang seolah tidak peduli dengan nasib keluarga yang dibawa dalam kapal layarnya. Bapak seolah lupa dengan janji-janji yang telah ia amini saat orangtua Ibu menitipkan putri kecil kesayangannya dengan hanya bermodal percaya. Hutang-hutang yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, hanya Ibu yang membereskannya. Sedang Bapak? Ia tetap dengan sebatang rokok dan secangkir kopi hitamnya yang tidak pernah peduli.

Jika sudah sangat penasaran, aku akan mengintip dari balik jendela. Melihat dengan betul apa saja yang Bapak lakukan. Barangkali ada yang tidak kuketahui dan itu menjadi kontribusi Bapak dibalik diamnya. Namun ternyata, semalaman suntuk itu hanya benar-benar dihabiskan untuk melamun, dan sesekali tertunduk atau geleng-geleng kepala.

Besoknya, akan kudapati Bapak masih tertidur di balai-balai bambu dengan wajah kelelahannya. Padahal, semalam ia tidak melakukan apa-apa. Sementara Ibu sudah beres menanak nasi, mencuci baju, menyapu, mengepel, bahkan sudah siap dengan parangnya untuk pergi menyiangi kebun. Sementara Bapak? Laki-laki itu jelas perlahan menumbuhkan rasa benci dalam aku.

Benar bahwa aku tidak pernah bisa memilih untuk lahir dari keluarga siapa dan seperti apa. Pun Ibu dan Bapak, tidak bisa memilih akan melahirkan anak yang seperti apa dan di kehidupan yang bagaimana. Keduanya, adalah orang yang sama-sama pertama kali menjadi orang tua untuk anaknya. Begitu pun aku yang pertama kali menjadi anak untuk keduanya.

Benar bahwa kemiskinan membuat apa pun terlihat menjadi memiliki batas dan rasa tak pantas.

"Kita di belakang saja tidak apa-apa ya, Nduk. Kalau duduk di depan nanti disuruh pindah juga sama Pak RT."

Bahwa orang miskin tidak memiliki kesempatan untuk berbicara.

"Oh, mau minta SKTM, kan? Sudah tahu betul saya. Dah, antrean selanjutnya!"

Benar jika dibilang bahwa sebagian besar orang miskin hanya memiliki ide dan khayal yang terkadang tidak bisa direalisasikan.

"Anakmu mau jadi Dokter? Jadi pegawai Puskesmas saja belum tentu mampu!"

"Mimpi boleh, tapi loh ya bangun hey!"

"Realistis dulu saja lah."

Sebab, yang menjadi modalnya hanya seutas semangat, yang seringnya juga mendapat cemooh orang.

Semenjak Bapak memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai koki -istilah ini mungkin terlalu keren untuk orang miskin seperti kami- atau tukang masak di sebuah hotel, kehidupan kami perlahan seperti gelombang laut yang tiba-tiba surut. Seperti kompas yang kehilangan jarum penunjuknya.

Banting stir menjadi petani tentu membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Sebab Bapak lebih sering melamun setelah itu. Bahkan, kertas pahpir yang sering bersarang di saku baju Bapak, merekam frustrasinya yang tidak sengaja. Bapak menulis, 'rumah ini seperti neraka'. Apakah itu berarti aku dan Ibu juga sebagai iblis-iblis penjaga neraka?

Malam-malam yang dingin dan mencekam itu, seakan memberi ruang untuk Bapak beristirahat. Hanya raga, tetapi tidak dengan kepala. Sebab terkadang, Bapak tiba-tiba sakit kepala dan meriang, tanpa tahu apa penyebabnya. Atau seperti halnya hari ini, yang kutemui Bapak masih tertidur dengan wajah kelelahannya, padahal Bapak tidak melakukan apa-apa.

Beberapa pertanyaan sering meringkuk dalam tengkuk pikiranku, tentang arti tertunduk dan geleng-geleng kepala yang sering Bapak lakukan. Rencana besar seperti apa yang mengitari isi kepalanya? Yang jelas, lelaki yang tidak banyak bicara dan irit suara itu adalah yang paling kelelahan dengan ribut di kepalanya.

Bapak tidak pernah bercerita atau bermusyawarah untuk apa-apa yang ditampung di tempurung kepalanya. Ia hanya tiba-tiba melakukan ini, melakukan itu, yang seharusnya bukankah tidak seperti itu dalam berkeluarga?

"Saya gadaikan dulu setengah sawah kita."

Tidak jarang aku terkejut dengan setiap keputusan Bapak. Begitu pun Ibu yang sesekali amarahnya tersulut oleh pilihan-pilihan yang Bapak ambil. Bukan apa-apa, tetapi bagi orang miskin, rencana besar yang gagal terealisasi, sangat sulit untuk dibangun kembali. Lagi-lagi benar, bahwa orang miskin bermimpinya pun harus tahu diri. Maka Bapak, mungkin sesekali tertunduk atau geleng-geleng kepala adalah sedang mengatur strategi agar rencana-rencana besar di kepalanya tidak gagal begitu saja. Bapak yang tidak tidur itu tengah merencanakan sesuatu yang besar, dan memikirkan tentang bagaimana sebisa mungkin rencana itu berhasil dalam satu bidikan.

Mungkin juga Bapak berpikir bahwa tanggung jawab seorang Bapak adalah mengarahkan dan membuka jalan yang gelap itu, mengeluarkan semua yang dipimpinnya dari labirin kehidupan yang sukar menemukan jalan keluar.

Keributan dalam tempurung kepala Bapak adalah yang paling mencekam dibanding malam-malam yang dingin dengan lolongan anjing. Garis-garis kelelahan di keriput Bapak adalah perang yang tak kunjung selesai, bahkan dalam istirahatnya. Asap rokok hanya media perantara yang mengepulkan semua abu-abu perang yang telah gugur dalam kepala Bapak. Harum yang Bapak sesap dari secangkir kopi di genggamannya adalah cadangan amunisi yang akan Bapak gunakan jika sewaktu-waktu kantuk mengalahkan pandangannya yang mulai kabur.

Bapak tidak serta merta hanya melamun. Tidak serta merta melawan kantuk untuk tidur. Sebab dalam istirahatnya pun ia masih tetap berperang. Yang ketiduran, yang kelelahan, itu hanya kebaikan Tuhan yang dititipkan untuk Bapak agar ia tertidur tenang.

Bapak tak kunjung banyak bicara, barangkali karena ia sudah lelah berbicara dengan dirinya sendiri yang tak kunjung menemukan solusi. Padahal, jika Bapak mau, aku dan Ibu juga tidak enggan untuk membantu menemukan jawaban yang hilang. Bapak mengira bahwa ia adalah penanggung jawab seluruh anggota keluarga. Sementara dirinya sendiri, tak pernah ditanggung siapa-siapa.

Aku berdoa di atas sajadah panjang.

"Semoga apa-apa yang menjadi selisih di kepala Bapak atau yang menjadi berisik di pikiran Bapak, bisa redam segera. Perang-perang yang membuat Bapak kelelahan itu semoga segera selesai. Kemiskinan yang membantai mimpi-mimpi Bapak dan kami semoga segera tergantikan dan terealisasikan tanpa perlu ada perasaan takut untuk gagal."

Adakah Bapak tidur malam ini? Kemudian Bapak terbangun dengan wajah yang segar dan badan yang bugar. Setelah semalaman itu ia menyusun rencana, ternyata lagi-lagi hanya penerimaan diri atas ketentuan Tuhanlah yang mampu membuat semuanya terasa damai. Meski belum selesai.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Adakah Bapak Tidur Malam Ini?
Trippleju
Cerpen
Bronze
Dunia Tanpa Hukum
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
UANG IURAN KELUARGA
N. HIDAYAH
Cerpen
Satu Hari di 2010
Keita Puspa
Cerpen
Bronze
Pertemuan Semesta
Vania Putri
Cerpen
Mekarnya Mahkota Anggrek Larat
Angelica Eleyda Hitjahubessy
Cerpen
Bukan Tak Cinta
Dewi Fortuna
Cerpen
Jalur Langit
lidia afrianti
Cerpen
Story Of My Life
Jessy Margaret
Cerpen
Entitas
Oscar Zkye
Cerpen
Bronze
Rungkat
artabak
Cerpen
Bronze
Sejenak Rindu Pada Sastrawan Hujan Bulan Juni
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Rindu Gaharu
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Bronze
Anto dan Sebatang Rokok
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
D 1 AM
Andriyana
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Sweet Ta'aruf
Trippleju
Cerpen
Adakah Bapak Tidur Malam Ini?
Trippleju
Novel
Bronze
MARAKAYANGAN: Yang Tertolak Dua Dunia
Trippleju
Cerpen
Seorang Bapak di Jembatan Penyeberangan
Trippleju
Flash
Sandikala
Trippleju
Novel
More
Trippleju
Cerpen
Bronze
Pinjaman
Trippleju
Flash
Ketukan
Trippleju
Cerpen
Bronze
Mendekap Surga
Trippleju
Flash
All is Over
Trippleju
Novel
Sudah Kuterima, Tuhan. Sudah Kuterima Aku sebagai Anak Pertama Perempuan
Trippleju
Cerpen
Mimpi Kolong Langit
Trippleju
Novel
Surat untuk Tito
Trippleju
Novel
CATATAN DUA PULUH
Trippleju