Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah dua bulan aku dan suami menempati rumah baru kami. Setelah banyak pertimbangan, kami memutuskan untuk pindah ke rumah yang terdapat di pinggiran kota Jenang ini.
Rumahnya cukup bagus dan bersih. Sengaja kami membeli rumah siap huni, karena tak ingin menunggu lama jika harus membangun dari awal.
Dengan dua kamar tidur, ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, dan bagian dapur yang cukup luas, hingga aku bisa menempatkan mesin jahitku. Sayangnya, ada yang aneh ketika aku pertama kali pindah ke rumah ini.
Hingga minggu kedua, aku dan suami masih tidur di ruang tamu. Awalnya, karena angkutan yang membawa barang kami belum datang, dan baru bisa datang lima hari setelahnya, kami menyewa pihak ketiga untuk mengurus perabotan rumah lama kami.
Itulah yang membuat aku dan suami memutuskan tidur di ruang tamu yang kosong itu. Hanya beralaskan tikar yang kami beli di sebuah toserba saat itu. Malam itu cukup membuatku gelisah, seakan penghuni tetap rumah ini tak menyukai kami datang menginap.
Kembali, aku merasakan sesak nafas, itu pertanda ada makhluk lain selain kami di rumah ini. Aku bukan indigo yang dapat melihat hal tak kasat mata, tapi aku bisa merasakan sesuatu hal janggal di dekatku, lain kali akan aku ceritakan.
Hingga genap sebulan, aku dan suami semakin menyesuaikan diri di rumah ini. Meski dua minggu awal rasa sesak nafasku kembali kambuh, namun di minggu ketiga aku bisa kembali bernafas lega. Aku mulai bisa tidur dengan nyenyak lagi, dan kami memberanikan diri tidur di kamar utama.
Karena kami masih berdua, kamar anak, kami sulap untuk menjadi tempat ibadah pribadi dan wardrobe sederhana. Aku dan suami memiliki prinsip manusia adalah makhluk terkuat yang pernah Allah ciptakan. Meski, banyak sekali kejadian di luar nalar yang kami alami selama menikah.
Aku, Acha dan suamiku, Ardi, kami adalah pasangan muda yang baru menikah selama 5 tahun. Iya, menurutku 5 tahun adalah usia yang baru untuk pernikahan. Namun, dalam lima tahun ini kami mengalami banyak sekali keanehan yang akhirnya ingin aku ceritakan kepada kalian.
Lanjut ke cerita, rumah baru kami memang aneh. Tapi, ada yang lebih aneh dari rumah yang baru kami tempati. Rumah itu adalah rumah tetangga kami, tepat di depan rumah kami.
Mereka juga pasangan muda seperti kami dengan tiga anak yang masih kecil. Anak pertama mereka masih kelas 1 SD, lalu yang kedua mungkin berusia 2,5 tahun, dan bungsu masih 1 tahun 4 bulan.
Jika, hari pertama kami gelisah karena aku yang merasa sesak nafas ketika ingin tidur. Namun, ada yang membuatku kembali tak bisa istirahat dengan tenang, yaitu ketika jam menunjukan pukul 1 pagi, karena suara tangisan anak kedua tetangga depan rumah kami.
Hampir setiap malam jumat, suara tangisan anak kedua mereka terdengar. Lebih parahnya, hal itu akan berlangsung hingga berjam-jam, dan berhenti ketika adzan subuh berkumandang, meskipun hanya satu minggu sekali, itu cukup mengganggu kami istirahat.
Pernah, sekali aku bertanya pada sang ibu saat berbelanja di pedagang sayur keliling, “Kai, tadi malam nangis lagi ya mbak?” tanyaku, Kai adalah panggilan dari anak tetanggaku yang tangisannya terdengar.
“Iya, mbak Acha, nggak tahu itu, tak suruh tidur ke kamarnya malah nangis.” jawab sang ibu-tetangga rumahku- aku memang tidak tahu siapa namanya, kami hanya bertegur sapa dengan nama panggilan, kadang aku memanggilnya mama Kai atau sekedar ‘mbak’ saja.
Bertepatan saat itu Kai menarik gamisku, anak itu ternyata ikut berdiri di antara kami. Aku hanya tersenyum dan mengelus rambutnya. Tapi, saat aku selesai berbelanja dan ingin pulang tangan anak itu tak ingin melepaskanku.
Genggamannya malah semakin erat, aku pun berjongkok untuk mengajak anak itu berbicara, “Ada apa Kai?” tanyaku. Bukan menjawab, Kai malah semakin erat meremas ujung gamisku. Kurasa sikap anak itu sangat aneh.
“Lepasin Kai, Tante Acha mau pulang jangan dipegangin gamisnya.” Ibunya menarik tangan Kai dari gamisku. Aku hanya tersenyum, dan melanjutkan jalanku ke rumah.
Minggu setelahnya, kembali terdengar tangisan Kai, yang lagi-lagi dimulai pukul 1 dini hari. Kuberanikan untuk membangunkan suamiku yang memang sudah lelap sejak tadi pukul 10 malam.
“Ada apa sih dek?” ucapnya dengan malas karena masih ngantuk.
“Denger nggak mas, Kai nangis lagi. Kok aku lama-lama kasihan ya sama anak itu,” aku masih penasaran, “Sebenarnya ada apa ya mas? kenapa Kai selalu menangis di malam jumat pukul 1 lagi.”
“Udah jangan ngurusin orang, mending kamu tidur.” ucap suamiku tidur kembali dan menarik selimutnya.
Aku masih penasaran, karena ini bukan pertama kali atau kedua kalinya aku mendengar tangisan Kai di malam Jumat, waktunya pun sama.
Kuberanikan melangkah ke ruang tamu rumah kami, dan mengintip dari gorden jendela, menatap ke arah depan rumah tetanggaku. Sikapku ini, jujur saja tidak sopan. Tapi, rasa penasaranku yang membuatku seperti ini.
Benar saja, saat aku melihat ke arah rumah itu, ada yang aneh disana. Ada yang bergerak di bagian bawah pagar rumah itu. Awalnya kupikir itu adalah tikus yang lewat, karena aku melihat seperti bentuk ekor.
Akan tetapi semakin ku perhatikan, itu bukanlah tikus karena ekornya sangat tebal, semakin diperhatikan aku melihat dengan jelas bahwa itu adalah seekor ular. Badannya semakin terlihat jelas ketika naik ke teras rumah tetanggaku. Di saat bersamaan tangis Kai semakin kencang.
Ular itu masuk melalui celah bawah pintu, sungguh aku ingin buru-buru mengambil ponselku, ingin memberitahu mama Kai soal ular itu. Baru saja aku berbalik, aku terperanjat kaget! karena suamiku sudah berada di belakangku, dia berdiri, namun matanya tertutup, mas Ardi sleepwalking.
Baru saja aku ingin mengantarkan dia kembali ke ranjang, tangan suamiku memegang tanganku dengan erat. “Jangan kasih tahu!” katanya dengan mata terpejam. Jujur saja, aku tak mengerti dengan kata-kata mas Ardi. Aku menganggap itu hanya ucapan ngelindur saja, lantas kutuntun suamiku kembali ke kamar kami.
Karena keadaan mas Ardi seperti itu, aku jadi lupa untuk memberitahukan mama Kai soal ular yang kulihat, aku malah menemani tidur suamiku hingga pagi.
Keesokan paginya, rutinitas seperti biasa setelah suamiku berangkat kerja adalah menunggu pedagang sayur di teras rumah. Dengan secangkir teh yang diseduh untuk merilekskan badan, aku kembali teringat dengan niatku semalam. Hari ini aku akan mengatakannya langsung ke mama Kai apa yang kulihat semalam.
Baru saja, aku ingin mengambil ponselku kedalam rumah tiba-tiba cangkir teh yang kupakai minum pecah, airnya meluber kemana-mana, membuatku sibuk untuk mengelap air yang menetes dari meja teras dan membereskan gelas yang sudah terbelah menjadi dua. Aku tak begitu heran. Kupikir gelas itu pecah karena tidak tahan dengan panas dari tehnya.
Setelah aku selesai mengelap air dan membersihkan pecahan gelas kaca, aku membuangnya di tempat sampah depan rumah. Tepat setelah itu aku menyapa mama Kai yang membuka pintu pagar rumahnya, wanita itu memang ramah. Kami akhirnya berbincang bersama sambil menunggu pedagang sayur lewat.
Kesempatan itu membuatku mengatakan langsung kepada mama Kai tentang ular yang masuk ke dalam rumahnya tadi malam. Tapi, mama Kai malah terlihat kebingungan, karena dia tidak melihat ular di rumahnya. “Ular? mungkin tikus, mbak Acha, kalau tikus di rumah saya ada, tapi kalau ular, masa sih mbak? mbak Acha nggak salah lihat.” jelas mama Kai meragukan apa yang aku katakan.
Aku jadi tak melanjutkan lagi, melihat mama Kai yang keheranan denganku. Aku takut dia menganggapku aneh, akhirnya aku membenarkan apa perkataannya dengan bilang, “Iya mungkin aku salah lihat ya mbak.”
Tapi, sejak itu teror hal janggal mulai aku rasakan, kali ini bukan cuma sesak nafas lagi seperti yang sebelum-sebelumnya. Namun, ada hal aneh lainnya. Aku sering bangun dalam keadaan kuyup karena keringat, entah itu tidur siang atau saat malam.
Kakiku sering sekali terasa berat ketika pagi hari, bahkan beberapa kali terlihat membiru. Setiap malam aku susah tidur karena sesak nafas dan jika tidur aku selalu merasa kelelahan. Suamiku merasa khawatir dengan keadaanku. Sudah 3 minggu aku seperti ini sejak terakhir mengobrol dengan mama Kai.
Akhirnya suamiku membawaku berobat ke rumah sakit untuk sekedar memeriksakan keadaanku. Selain itu dia melakukan tirakat semalam suntuk tidak tidur pada malam jumat. Mas Ardhi memang suka begitu, dia akan melakukan shalat sunnah dan membaca Alquran jika kami sedang ada masalah atau saat aku sakit.
Saat itu malam jumat, malam mencekam bagiku adalah malam itu. Aku beranjak tidur pukul 10 malam seperti biasa, namun rasanya aneh ketika kamarku terasa cukup panas dan sesak. Kupaksakan untuk tetap naik ke ranjang, mas Ardhi masih mengaji di ruangan sebelah.
Jujur saja, makin lama aku semakin gelisah, namun setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Selain aku melihat diriku di depan kaca dengan kebaya berwarna hijau dan kuning. Aku sadar ini adalah mimpi.
Tapi, jika ini mimpi kenapa mimpinya aku memakai kebaya, dan aku baru sadar ini adalah kebaya pernikahan. Riasan ini seperti pengantin Jawa, aku bermimpi sedang menikah.
Aku berusaha untuk sadar dengan menepuk-nepuk dadaku. Namun, nihil, usahaku sia-sia, aku berjalan ke luar ruangan dan melihat betapa meriahnya dekorasi, dan yang membuatku kembali kaget adalah rumah yang didekorasi adalah rumah baru yang kami tempati.
Entahlah, aku merasa sangat takut saat itu, kembali mencoba menyadarkan diri dari mimpi. Bacaan-bacaan ayat suci Alquran aku coba ucapkan sekeras mungkin, berbagai dzikir juga aku rapalkan, berharap aku kembali terbangun dari mimpi ini.
Namun, bukannya sadar, tanganku malah dicengkeram keras oleh seorang nenek tua, “Wes tak kandani, ojo diomongke!” (sudah tak kasih tau, jangan diberitahu!) Aku masih berdiri menahan tanganku yang dipegang oleh nenek itu, tetap berdzikir. Aku sadar yang di depanku saat ini bukanlah manusia.
Aku memejamkan mata! sungguh perasaan itu membuatku takut. Hingga akhirnya aku kembali tersadar di atas ranjang dan menemukan suamiku sudah memegang pundakku.
“Mas,” ucapku lemah.
“Kenapa nggak bilang kalau ada yang mengganggumu?” Mas Ardhi terlihat khawatir.
Aku yang bingung dengan ucapan mas Ardhi hanya menatapnya.
“Ular yang kamu lihat itu bukan ular asli, dek, itu ular jadi-jadian,” katanya, “Untung kamu masih bisa sadar,” Mas Ardhi memberikan aku air putih, kuteguk dan mencoba mengendalikan diri.
“Mas udah tahu?” kalimat pertama yang aku katakan adalah rasa penasaranku kepada mas Ardhi yang sudah tahu tentang ular itu. Suamiku pun mengangguk. Dia menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Boleh percaya atau tidak, ternyata ular yang aku lihat di rumah tetanggaku itu bukanlah hewan, namun penunggu rumah tersebut.
Hal itu juga yang menjadi penyebab, Kai menangis setiap malam Jumat. Ular tersebut melilit kaki anak kecil itu membuatnya menangis.
Dan, ular itu juga yang membuat kakiku terasa berat dan membiru akhir-akhir ini. Kata suamiku, dia sudah merasakannya beberapa hari lalu, itu juga menjadi alasannya melakukan tirakat setiap malam jumat dengan berdzikir semalam suntuk.
Bahkan, yang membuatku terkejut adalah beberapa hari sebelumnya aku pernah terjaga dalam tidurku dan membentak suamiku, “Kowe durung lahir aku wes neng kene! Rasah kemaki!” (kamu belum lahir aku sudah tinggal disini, tidak usah belagu!)
Mulai hari itu, apapun yang aku lihat di rumah tetanggaku, aku hanya diam dan hanya menceritakan kepada Mas Ardhi saja, suamiku. Entahlah, apa yang membuat ular itu marah hingga mengganggu anak kecil yang tanpa dosa seperti Kai.
Benar, ular itu masih ada, dan tangisan Kai masih terdengar setiap malam Jumat, di jam yang sama.