Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun sangat deras. Petir menyambar ke sana kemari, menimbulkan bunyi nyaring yang menakutkan. Angin berhembus kencang, membawa air hujan masuk ke dalam halte bus.
Seorang gadis duduk sendiri di halte tersebut, menggesek-gesekkan telapak tangannya, berharap bisa mendapatkan sedikit kehangatan. Namanya Putri Maudy, salah satu siswi SMA Sanjaya yang memiliki sejuta impian.
Sudah satu jam ia menunggu bus datang, tetapi bus yang ditunggunya tak kunjung tiba. Mungkin sedang macet, pikir gadis itu dengan optimis.
Dan sekarang, seorang pria bernama Artha duduk di sampingnya. Hujan yang masih turun membuat suasana terasa begitu romantis, bukan? Ah, pasti sekarang Maudy sedang berkhayal tentang beberapa adegan romantis yang pernah ia lihat di drama Korea yang selama ini ia tonton.
Maudy berharap bisa merasakan satu saja dari banyak adegan romantis yang ada di drama-drama itu. Namun, harapan itu segera ia urungkan, mengingat Artha adalah sosok cowok yang dingin.
Ia pun sadar diri bahwa tak mungkin Artha mengenal seorang Maudy. Maudy tidak yakin, hanya dengan sekali mengobrol, pria itu akan langsung mengingatnya. Untuk menghilangkan rasa gugup dan kehaluannya, Maudy meremas ujung bajunya pelan-pelan.
Sebuah tangan kekar mengulurkan hoodie hitam di hadapannya. Maudy mendongak, menatap Artha dengan wajah penuh tanda tanya.
“Pakai aja!” pinta Artha.
Maudy masih terpaku. Ini seperti mimpi. Artha mengenalnya dan dia tau namanya. Maudy rasanya ingin berteriak kegirangan.
“Maudy, pakai aja, ya, hoodienya. Kamu kedinginan, kan?” ucap Artha, karena perkataannya tadi belum mendapat respons sama sekali dari gadis di sampingnya itu.
“Oh iya, terus kamu gimana?” tanya Maudy tak enak hati.
“Aku nggak apa-apa, pakai aja,” jawab Artha dengan senyum tulusnya.
“Baik, aku pinjam dulu, ya,” kata Maudy sambil mengambil alih hoodie milik Artha. Tak butuh waktu lama, Maudy mengenakannya. Hoodie milik Artha terlihat kebesaran setelah digunakan Maudy. Artha tersenyum memandangi gadis di sampingnya—lucu, batinnya.
“Makasih, ya, buat hoodienya,” ucap Maudy sambil membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman.
“Sama-sama,” jawab Artha tulus.
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Maudy sibuk menata perasaan yang tak jelas di dalam dirinya, sedangkan Artha tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Udah dari tadi nunggunya?” Artha memecah keheningan di antara mereka.
Maudy menghela napas.
“Udah dari lama, kayaknya kena macet deh.”
“Semoga segera datang, deh, soalnya cuaca udah nggak kondusif,” timpal Artha, yang langsung diangguki setuju oleh Maudy.
Sambil menunggu bus Transjakarta datang, Artha dan Maudy sibuk mengobrol. Mereka membahas hal-hal kecil—bahkan hal-hal random pun tak luput dari obrolan mereka.
Tak butuh waktu lama, akhirnya bus yang mereka nantikan datang.
Sebenarnya, bus yang datang bukan rute menuju halte rumah Maudy. Tapi karena ingin mengobrol lebih lama dengan Artha, gadis itu nekat menaiki bus tersebut.
Tangan Maudy sibuk mengobrak-abrik isi tasnya, mencari sesuatu. Mimik wajahnya mulai terlihat panik; sepertinya, apa yang ia cari tidak juga ketemu.
“Kenapa?” tanya Artha.
“Kayaknya kartu TJ-ku ketinggalan deh,” ucap Maudy yang masih sibuk menggeledah isi tasnya itu.
“Pakai kartuku dulu aja, gimana?” tawar Artha.
Maudy pun langsung mengangguk setuju. Kepalanya sudah terasa pening mencari barang itu. Artha kemudian men-tap kartunya dua kali. Setelah membayar, mereka mencari tempat duduk yang nyaman—tempat duduk paling belakang yang mereka pilih, karena posisinya luas dan memungkinkan mereka leluasa melihat pemandangan lewat pintu. Mereka menyesuaikan posisi duduk masing-masing.
“Artha,” panggil gadis itu lirih.
Artha pun langsung menoleh ke sumber suara itu. Ia menatap Maudy, menunggu gadis itu berbicara.
“Makasih,” ucap Maudy pelan.
“Lagi-lagi aku merepotkanmu. Besok aku ganti, ya, uangnya,” sambungnya.
Maudy benar-benar merasa tidak enak. Ia merasa telah merepotkan Artha, padahal mereka belum terlalu dekat.
“Gak usah diganti, ya, Dy. Santai aja kali, kayak sama siapa aja,” balas Artha.
“Artha, aku ganti, yaaa,” bujuk Maudy.
“Gak usah, ya, Dy. Itung-itung ini traktiranku.”
“Baiklah, makasih banyak, ya.”
“Sama-sama, Maudy,” ucap Artha dengan senyum manisnya.
Maudy masih merasa tidak enak. Ia merasa merepotkan Artha, apalagi mereka baru sebatas saling mengenal.
Maudy mengenal Artha melalui Tisa, sahabatnya. Tisa dan Artha adalah teman semasa SMP. Selain teman sekelas, mereka juga tinggal di kompleks yang sama. Biasanya, Maudy menunggu bus bersama Tisa. Namun, karena gadis itu sedang sakit dan tidak berangkat, akhirnya Maudy pulang sendirian—dan kini, ia ditemani Artha yang duduk di sampingnya.
Pria itu membuka ransel hitamnya, mengambil earphone-nya. Artha membuka ponselnya dan memutar lagu favoritnya. Tanpa sadar, ia bersenandung lirih, mengikuti irama lagu yang sedang diputar.
Lagu Heather yang dinyanyikan Conan Gray perlahan menggema di telinga Artha. Suara lembut penyanyi itu berpadu dengan rintik hujan di luar jendela, menciptakan suasana sendu yang begitu pas untuk lagu galau.
Maudy menoleh sekilas, merasa tak asing dengan alunan yang terdengar dari earphone Artha. Ia hafal betul lagu itu. Senandung lirih yang dulu juga pernah ia dengar saat hatinya patah.
“Galau banget, Tha?” godanya pelan.
“Lo tahu lagunya?” Artha malah balik bertanya tanpa menjawab.
“Tahu lah. Heather—Conan Gray, kan? Lagunya memang cocok buat galau,” jawab Maudy, tersenyum simpul.
“Emang lagi galauin siapa, kamu? Cie, Artha galau,” cibirnya dengan nada jahil.
“Enggak galau, ya. Lagunya cuma pas aja buat suasana kayak gini,” elak Artha datar.
“Alah, paling juga lagi galauin cewek,” Maudy mencibir sambil menatap ke luar jendela.
“Aku enggak punya cewek, ya,” bantah Artha cepat.
Maudy menoleh, alisnya terangkat. “Apa iya sih? Seorang Artha, kakak OSIS idaman dedek-dedek gemas, enggak punya cewek?”
Artha terkekeh. “Enggak ada yang menarik, Dy.”
“Terus, kayak gimana tipe kamu?” tanya Maudy, nada suaranya pelan tapi penuh rasa ingin tahu.
“Seperti kamu. Udah cukup,” ucap Artha tenang.
Kalimat itu meluncur begitu saja, tapi cukup untuk membuat pipi Maudy memanas. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona. Artha tertawa kecil, lalu tanpa sadar tangannya terulur, mengusap lembut rambut gadis di sebelahnya.
“Aku beneran enggak punya cewek, Maudy. Lagunya cuma... pas aja buat suasana kayak gini,” ujar Artha lagi, berusaha mengalihkan topik.
Maudy tersenyum tipis. “Iya sih, hujan dan lagu galau itu memang udah sepaket.”
“Mau ikut dengerin?” tanya Artha, melepaskan sebelah earphone-nya dan mengulurkannya pada Maudy.
“Boleh,” jawab Maudy, menerima earphone putih itu. Ia memasangnya di telinga, lalu keheningan berubah jadi nada-nada lembut yang menyatu dengan ritme hujan.
Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Beberapa lagu sudah terputar, hingga suara dengkuran halus terdengar di samping Maudy. Ia menoleh—dan menemukan Artha tertidur pulas.
Tanpa sadar, jemarinya terulur membelai rambut Artha. Lembut. Hati kecilnya berdesir. Ia tak menyangka bisa sedekat ini dengan seseorang yang dulu ia pikir dingin dan tak peduli. Nyatanya, Artha begitu hangat, bahkan tanpa banyak bicara.
Matanya mulai terasa berat. Udara dingin dan suara hujan membuat kantuk perlahan menyerang. Ia berusaha bertahan, tapi kalah juga. Perlahan, kepala Maudy bersandar di bahu Artha.
Dua hati yang sama-sama lelah, terlelap dalam harmoni hujan dan lagu yang terus berputar pelan.
Artha perlahan terbangun dari tidurnya. Bahunya terasa pegal dan berat, seolah ada sesuatu yang menahan. Saat matanya terbuka, pandangannya langsung tertuju pada Maudy yang tertidur pulas di bahunya. Gadis itu tampak tenang, napasnya teratur, dan sesekali bibirnya bergerak kecil seolah sedang bermimpi.
Pantas saja bahunya pegal, ternyata dijadikan sandaran oleh gadis itu. Namun, bukannya menyingkir atau membangunkannya, Artha justru terdiam. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan setiap kali melihat wajah Maudy dari jarak sedekat itu. Ia membiarkan Maudy terus bersandar, meski bahunya mulai terasa mati rasa.
Di luar jendela, hujan perlahan mereda. Tetes-tetes terakhirnya menempel di kaca, membentuk garis tipis yang menambah suasana tenang. Artha baru menyadari bahwa halte pemberhentiannya sudah semakin dekat. Dengan sedikit ragu, ia akhirnya menepuk pipi Maudy pelan.
“Dy... Maudy, bangun,” ucapnya lembut.
Maudy mengerjap pelan. Matanya yang sayu tampak berusaha fokus. Ia mengucek matanya perlahan, lalu menatap Artha dengan wajah setengah sadar.
“Udah sampai?” tanyanya setengah berbisik.
“Ini udah sampai di halteku. Kamu turun di mana?” Artha balik bertanya.
Maudy menarik napas sebentar sebelum menjawab, “Aku turun bareng kamu aja, soalnya mau transit ganti bus juga.”
Artha mengangguk kecil. Mereka berdua pun bergegas membereskan barang masing-masing. Tak lama kemudian, bus berhenti di halte. Udara lembap bekas hujan menyambut mereka begitu turun.
Maudy melepas earphone dari telinganya, lalu mengulurkannya pada Artha. “Ini, makasih ya,” ucapnya lembut, menatap Artha dengan senyum samar.
“Sama-sama, Maudy. Aku pamit dulu ya, udah dijemput soalnya,” kata Artha, sedikit enggan beranjak.
Maudy mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati!” serunya sambil melambaikan tangan.
Artha membalas lambaian itu sebelum melangkah pergi. Hujan memang sudah berhenti, tapi entah kenapa, hatinya justru terasa semakin hangat.
Tak perlu menunggu lama, bus dengan rute tujuan Maudy akhirnya tiba. Untuk sampai ke rumah, Maudy harus transit dua kali. Perjalanannya memang lebih panjang, apalagi arah rumahnya berlawanan dengan rumah Artha. Namun, entah mengapa, ia tidak merasa keberatan sedikit pun.
Baginya, menempuh jarak sejauh apa pun terasa ringan — asal ada momen yang bisa ia simpan bersama Artha. Toh, kesempatan seperti ini tak datang setiap hari. Kadang, kebahagiaan sederhana memang sesederhana duduk berdua dalam bus yang melaju di bawah sisa gerimis sore.
_____🚌🚌🚌_____
Keesokan harinya, Maudy berjalan sambil membawa dua kantong paper bag. Paper bag pertama berisi hoodie milik Artha, sedangkan paper bag lainnya berisi bekal untuk Artha. Pagi tadi Maudy memang sengaja membuatkan bekal itu sebagai tanda terima kasih karena Artha telah membantunya membayar ongkos TJ. Pria itu menolak ketika Maudy ingin menggantinya dengan uang, jadi karena merasa tidak enak hati, Maudy pun berinisiatif membuatkan bekal sebagai gantinya.
Langkah Maudy terhenti ketika ia tiba di depan kelas XI IPA 2. Ia menoleh ke kanan dan kiri, seperti mencari seseorang. Tak lama kemudian, seorang gadis berbando merah menghampirinya.
“Cari siapa?” tanyanya.
“Artha, ada?” jawab Maudy singkat.
“Ada. Bentar ya, aku panggilin,” ucap gadis berbando merah itu sambil tersenyum.
“Iya, makasih ya.”
Gadis berbando merah itu pun masuk ke dalam kelas. Dengan suara lantang, ia berteriak,
“Artha, kamu dicariin sama cewek sebelah!”
Seketika Artha menoleh ke arah pintu kelas. Matanya langsung menangkap sosok Maudy yang berdiri dengan dua kantong paper bag di tangannya. Artha segera berdiri dan melangkah menghampiri Maudy.
“Cie, Artha diapelin cewek!” goda gadis berbando merah itu.
Teman-teman sekelas lainnya langsung ikut bersahutan, menambah riuh suasana kelas. Tawa dan ejekan menggema di ruangan itu, membuat Maudy menunduk malu dengan pipi yang mulai bersemu merah.
“Abaikan aja, anak-anak sini emang suka rusuh,” kata Artha setelah sampai di hadapan Maudy.
“Kenapa?” tanyanya kemudian.
“Ini mau ngembaliin hoodie kamu, sekalian ngasih bekal sebagai tanda terima kasih,” jelas Maudy sambil menyerahkan salah satu paper bag.
Artha menerima uluran tangan Maudy dan tersenyum. “Makasih ya.”
“Iya, sama-sama. Aku balik ke kelas dulu ya,” pamit Maudy, tak sanggup menahan rasa malu akibat godaan teman-teman Artha.
“Iya, hati-hati ya,” balas Artha sambil melambaikan tangan. Ia baru kembali ke dalam kelas setelah Maudy benar-benar menghilang dari pandangannya.
“Apaan tuh?” tanya Sasmita, gadis berbando merah tadi, dengan nada penasaran.
“Kepo,” jawab Artha santai sambil duduk di bangkunya.
“Idih,” Sasmita berdecak pelan. “Dasar sok cool,” batinnya.
Artha lalu membuka paper bag berisi bekal pemberian Maudy. Ia terkekeh kecil melihat isinya — nasi goreng berbentuk hati dengan lauk yang disusun rapi mengelilinginya. Tanpa berpikir lama, Artha mulai menyantap bekal itu. Baginya, masakan Maudy lumayan enak juga. Hingga tak terasa, bekal itu habis tanpa sisa.
Sepertinya takdir memang gemar mempertemukan keduanya. Lagi-lagi, Artha melihat Maudy duduk di halte, menunggu bus seperti biasa. Rambutnya tergerai lembut tertiup angin sore, dan ada ketenangan yang entah kenapa selalu menarik perhatian Artha setiap kali menatapnya.
Tanpa berpikir panjang, Artha melangkah mendekat.
“Hai, udah lama ya?” sapa Artha sambil tersenyum.
“Belum, kok. Baru aja keluar kelas,” jawab Maudy pelan, suaranya lembut seperti biasa.
“Gimana nasi gorengnya?” tanya Maudy, menatap Artha dengan sedikit rasa penasaran.
“Enak, soalnya bentuknya hati,” jawab Artha jujur, tanpa canggung. Ujung bibir Maudy langsung melengkung, senyum malu-malu muncul di wajahnya.
“Besok-besok buatin lagi, ya?” pinta Artha sambil terkekeh kecil. Maudy hanya mengangguk, pipinya bersemu merah.
Artha kemudian membuka ranselnya dan mengeluarkan kotak bekal yang kemarin diberikan Maudy.
“Ini udah aku cuci tadi,” ucapnya sambil menyerahkan kotak itu. “Jangan lupa, besok kasih ke aku lagi. Aku pengin coba masakanmu lagi.”
“Ketagihan, ya?” goda Maudy, mencoba menutupi rasa malunya.
“Iya,” jawab Artha santai, tapi tulus. “Enak banget. Kalau kamu buka PO bekal sekolah, pasti langsung laris.”
“Ngaco kamu,” balas Maudy, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
“Beneran,” ucap Artha dengan nada serius, membuat Maudy hanya bisa menunduk sambil menahan senyum.
Sejak hari itu, entah sejak kapan tepatnya, kedekatan mereka tumbuh semakin hangat. Mereka sering pulang bersama, duduk berdampingan di bus, atau makan siang bareng di kantin dengan alasan sederhana: mencoba bekal buatan Maudy.
Teman-teman di sekolah mulai berbisik, mengira mereka sudah berpacaran. Tapi keduanya hanya tersenyum setiap kali ditanya.
Mereka bilang, “Kami cuma teman.”
Namun diam-diam, di antara tawa dan obrolan ringan, ada sesuatu yang tumbuh pelan—hangat, tulus, dan mungkin… cinta yang masih malu-malu.
________🚌🚌🚌________
Hujan deras turun disertai suara petir yang bersahutan. Maudy, gadis yang duduk di sampingnya, hanya diam. Beberapa hari ini sikapnya berubah—dingin dan tak tersentuh. Hidup Artha pun dibuat kacau oleh perubahan sikapnya itu. Baru Artha ketahui bahwa sikap dingin Maudy tidak hanya ditujukan kepada dirinya, tetapi juga kepada Tisa, sahabat mereka. Maudy berubah, mengasingkan mereka berdua tanpa ada yang tahu apa penyebabnya. Berbagai pertanyaan muncul di kepala mereka. Ada apa dengan Maudy? Kenapa dia seperti itu?
Artha menatap gadis itu dengan lembut, takut sikapnya justru membuat Maudy semakin menjauh. Ia ingin bertanya, tetapi rasanya bukan waktu yang tepat. Bus yang biasa mereka naiki berhenti. Maudy pun naik ke dalam bus itu, mengabaikan Artha yang masih sibuk dengan pikirannya.
Kali ini bus yang mereka tumpangi agak padat. Karena hujan, banyak orang yang memilih naik bus. Maudy duduk tenang di bangku depan, sedangkan Artha tidak mendapatkan tempat duduk. Ia memilih berdiri di samping Maudy. Biasanya selama perjalanan mereka sibuk bertukar cerita, tapi hari ini mereka hanya diam. Mulut mereka seolah terbungkam, tak ada satu pun yang bisa memulai percakapan.
Bus perlahan melambat dan berhenti di halte depan. Seorang nenek tua naik membawa tas berisi aneka kue dagangan. Maudy dengan cepat beranjak dari kursinya.
“Duduk di sini saja, Nek!” pinta Maudy, karena semua kursi bus sudah terisi penuh.
“Makasih ya, anak baik,” ucap nenek itu tulus. Dengan perlahan, nenek itu duduk di kursi yang telah diberikan Maudy. Maudy pun terpaksa berdiri di dekat Artha.
“Itu bawa apa, Nek?” tanya Maudy sambil menatap tas di pangkuan nenek itu.
“Oh, ini dagangan. Mau dijual,” jawab sang nenek.
“Wah, jualan apa, Nek?” tanya Maudy penasaran.
“Ada kue ku, lapis, lupis, kue lumpur,” ujar sang nenek sambil mengeluarkan dagangannya dari tas.
“Aku mau beli dong, Nek.”
“Iya, boleh-boleh. Mau yang mana?” jawab sang nenek antusias.
“Mau lapis dua, kue ku dua, kue lumpur tiga. Itu saja, Nek,” ucap Maudy sambil tersenyum. Nenek itu langsung membungkus pesanan Maudy dengan senang hati.
Artha memperhatikan interaksi itu. Lagi-lagi ia dibuat jatuh cinta pada Maudy. Ia teringat pertama kali jatuh cinta padanya saat masa orientasi sekolah. Waktu itu, Maudy turun dari bus untuk membantu seorang tunanetra menyeberang jalan. Awalnya Artha hanya kagum pada kebaikan hatinya, tapi lama-lama ia sadar, perasaan itu bukan sekadar kagum. Ia benar-benar jatuh cinta pada Maudy.
“Totalnya berapa, Nek?” tanya Maudy, membuyarkan lamunan Artha.
“Lima belas ribu ya, Nak,” jawab sang nenek. Maudy pun segera mencari dompetnya. Namun, sebuah tangan tiba-tiba menyodorkan selembar uang berwarna biru.
“Pakai ini saja, Nek. Nggak usah dikembalikan,” ucap Artha sambil mengulurkan uang tersebut kepada sang nenek.
“Jangan diterima, Nek. Biar aku saja yang bayar,” sahut Maudy tak terima.
“Ambil saja, Nek. Dia pacar saya, cuma lagi merajuk. Doakan ya, Nek, semoga cepat baikan,” kata Artha masih bersikeras menyodorkan uangnya.
Nenek itu pun akhirnya mengambil uang yang diberikan Artha.
“Makasih ya, Nak. Semoga kalian berdua langgeng dan selalu bersama. Yang satu cantik, yang satu ganteng, cocok,” doa nenek itu tulus.
“Semoga masalah kalian cepat selesai, ya,” tambahnya.
“Aamiin,” jawab Artha.
“Makasih ya, Nek,” ucap Maudy tulus kepada sang nenek.
Maudy terdiam. Ia semakin kesal pada Artha. Masih saja bilang pacarnya, padahal hubungan mereka tidak jelas. Maudy juga tak menyangka bisa terbawa dalam hubungan tanpa status seperti ini. Rasanya ia mulai muak dengan hubungan semacam itu.
Tak lama, halte tempat Maudy transit pun tiba. Maudy segera bersiap turun dan berpamitan dengan sang nenek. Artha dibuat panik ketika Maudy turun di halte tersebut. Dengan tergesa-gesa, Artha ikut turun menyusul Maudy.
Hujan deras masih mengguyur. Sepertinya cuaca kali ini sangat mendukung suasana hati Maudy.
“Kamu kenapa turun di sini?” tanya Artha sedikit berteriak karena suara hujan yang begitu lebat.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Maudy.
“Kalau ada yang nanya, tolong dijawab!” ucap Artha muak. Ia sudah tidak tahan dengan sikap Maudy kali ini.
“Aku mau pulang. Memang ini ruteku,” jawab Maudy tak kalah sewot.
“Jadi selama ini…?”
“Iya, kenapa? Aku selama ini bohong sama kamu. Mau marah? Silakan marah aja! Kamu tahu nggak sih, aku capek harus berjuang sendiri. Pulang selalu muter-muter, aku tahu itu bikin capek, tapi aku senang ngelakuin itu. Aku senang karena bareng kamu. Tapi ternyata semua ini sia-sia. Semua itu cuma anganku aja. Aku yang salah, terlalu berharap sama kamu!” Maudy mengeluarkan semua unek-unek di kepalanya sambil menangis.
Artha tertegun. Ternyata selama ini Maudy harus berjuang demi bisa bersamanya. Ia tidak bisa marah karena kebohongan Maudy. Kalau Maudy tidak berbohong, mana mungkin mereka bisa selalu bersama. Artha menghela napas kasar, lalu perlahan melangkah mendekati Maudy dan memeluknya.
“Oke, aku minta maaf kalau aku nggak peka. Tapi kalau kamu nggak bilang, mana aku tahu, Dy?”
“Aku kalau kayak gini terus bisa gila, Dy. Selama ini kamu diem karena itu?” tanya Artha frustrasi.
Maudy menggeleng. “Nggak, bukan karena itu. Ini salah, Tha.” Maudy melepaskan pelukan mereka.
“Lantas karena apa?” cerca Artha.
“Aku tahu kamu punya hubungan sama Tisa,” ucap Maudy pelan.
“Kamu tahu sendiri kan, Dy, aku dan Tisa itu cuma sahabat. Kayak kamu sama dia.”
“Sahabat? Sahabat tapi pacaran, kan?”
“Ngaco kamu, Dy. Siapa yang bilang begitu?”
“Aku! Kenapa? Aku tahu kok kalian kemarin jalan bareng. Mesra lagi! Mana kalian bohong sama aku. Katanya ada acara, maksudnya acara itu pacaran ya, Tha?”
“Maudy, kamu salah paham. Aku sama Tisa nggak ada hubungan lebih dari seorang sahabat. Percaya sama aku.”
“Aku mau percaya, tapi nggak bisa, Tha! Aku lihat sendiri dengan mata kepalaku sendiri—kalian ciuman!” teriak Maudy.
“Itu nggak seperti yang kamu lihat, Dy. Itu kecelakaan. Aku nggak sengaja nyium Tisa.”
“Ciuman bisa karena kecelakaan? Nggak usah ngaco kamu, Tha!”
“Bisa! Nyatanya aku sama Tisa memang murni kecelakaan,” jelas Artha.
“Aku masih nggak percaya. Setelah kamu dan dia bohongin aku—kalian itu orang yang aku percaya, aku sayang. Tapi aku nggak nyangka kalian bisa setega itu sama aku.”
“Dy, please... Oke, aku minta maaf. Kemarin aku memang ada acara—acara keluarga bareng keluarganya Tisa. Aku bingung harus bilang gimana, karena aku nggak mau bikin kamu sakit, Dy.”
“Justru karena kamu nggak bilang, itu yang salah. Oh iya, aku ini siapa sih? Teman juga baru kenal. Orang asing ya? Maaf ya, aku yang salah, sudah ganggu urusan orang lain,” sindir Maudy.
“Dy…”
“Itu bus aku datang. Udah cukup, kan?” potong Maudy. Ia pun beranjak maju agar bisa langsung naik ketika bus berhenti. Dengan sigap, Artha mencengkeram tangan Maudy.
“Aku antar kamu pulang, ya,” kata Artha mengalah, karena perdebatan tadi belum juga usai.
“Kalau mau debat, nggak usah deh. Aku lagi males, Tha.”
“Enggak, aku nggak bakal ngajak kamu debat. Tapi aku harap nanti kamu mau dengar penjelasanku, ya. Tunggu suasana hatimu membaik dulu,” ucap Artha tulus. Ia tahu Maudy sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu butuh waktu untuk menenangkan diri dan mendinginkan kepalanya. Sekarang Artha paham kenapa sikap Maudy berubah. Tragedi ciuman itu memang tak sengaja, karena hatinya hanya untuk Maudy.
“Terserah,” jawab Maudy cuek.
Pria itu menepati janjinya. Selama perjalanan, ia hanya diam, menatap perempuannya yang sedang marah. Salah paham memang hal kecil, tapi berbahaya. Berbahaya karena bisa merusak hubungan. Hubungan? Benar kata Maudy, mereka tidak memiliki hubungan sama sekali. Artha pikir, Maudy sudah cukup dengan hubungan mereka yang sekarang. Ternyata memang benar bahwa perempuan butuh kepastian.
Hujan mulai reda, tapi meninggalkan jejak. Meninggalkan tetesan di daun, meninggalkan genangan, dan meninggalkan suasana yang syahdu. Namun, suasana syahdu itu belum mampu memperbaiki keadaan Maudy dan Artha. Mereka telah turun dari bus terakhir.
“Kamu dijemput?” tanya Artha memecah keheningan.
“Enggak, biasanya jalan sendiri,” jawab Maudy.
Maudy pun melanjutkan langkahnya menuju rumah. Jarak halte dengan rumah Maudy sekitar satu kilometer — cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Di belakang, Artha mengikuti langkah Maudy.
“Maudy, tolong dengerin penjelasanku kali ini aja, ya…” Artha masih mencoba membujuk Maudy.
“Aku nggak mau kesalahpahaman ini bikin kamu semakin sakit,” imbuhnya.
Maudy menarik napas dalam, lalu menatap manik mata Artha yang terlihat tulus. Ia memejamkan matanya, menikmati sepoi angin yang menerpa wajahnya.
“Baiklah,” jawab Maudy pelan.
Kini mereka duduk di sebuah taman yang berada di dekat rumah Maudy.
“Aku sama Tisa kemarin memang pergi, tapi aku dan Tisa nggak cuma berdua — ada keluarga kami juga. Waktu itu Tisa tanya, gimana hubunganku sama kamu. Aku cuma bisa jawab, masih temenan, karena memang kita masih temenan. Tisa tanya lagi tentang perasaanku ke kamu, hubungan ini mau dibawa ke mana. Pertanyaan Tisa itu bikin aku sadar, Dy, kalau aku nggak mau cuma sekadar temenan sama kamu. Kamu itu spesial, dan aku mau lebih dari sekadar teman.”
“Karena ucapan Tisa waktu itu, aku langsung ngajak dia pergi ke mal. Aku cuma mau beli hadiah buat kamu, karena aku pengin punya hubungan lebih dari seorang teman. Aku minta tolong sama Tisa buat bantuin cari hadiah yang cocok buat kamu.”
“Untuk ciuman itu… aku nggak sengaja. Aku cuma refleks bantu Tisa karena dia hampir jatuh. Tapi entah kenapa, tiba-tiba bibirku bisa nyium pipi Tisa. Itu semua di luar kendaliku, Dy,” jelas Artha.
Maudy hanya diam setelah mendengarkan penjelasan Artha. Lalu Artha membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah.
“Maudy, kamu perempuan yang istimewa. Aku nggak mau cuma jadi sekadar teman. Aku mau kamu jadi pacar aku!” ucap Artha sambil menyerahkan kotak kecil itu.
“Dy, aku selalu jatuh cinta sama kamu. Bahkan sejak awal masa orientasi, aku sudah jatuh cinta — sama sifatmu, caramu bicara, dan apapun tentang kamu. Aku selalu jatuh cinta.”
“Jadi, sekali lagi… maukah kamu jadi pacarku?” tanya Artha lembut.
Setelah mendengarkan penjelasan Artha, ada perasaan lega di lubuk hati Maudy. Tapi perasaan itu perlahan berubah. Ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Pipinya merah merona menahan salah tingkah. Ia tak menyangka kalau Artha juga memiliki perasaan yang sama dengannya — bahkan Artha yang jatuh cinta duluan. Dengan malu-malu, Maudy mengangguk.
“Aku mau, Tha,” kata Maudy pelan.
Artha langsung memeluk erat perempuan kesayangannya itu.
“Kamu pakai, ya,” pinta Artha sambil membuka kotak kecil itu. Ia mengeluarkan sebuah kalung indah dengan liontin berbentuk bus — unik dan cantik. Dengan perlahan, Artha mengalungkannya ke leher Maudy sambil tersenyum lembut.
“Terima kasih ya, Maudy, sudah memaafkanku dan menerima cintaku,” ucapnya tulus.
Lagi-lagi Maudy hanya mengangguk malu-malu.
“Jadi selama ini kamu udah cinta sama aku?” tanya Maudy.
“Iya, sejak masa orientasi sekolah,” jawab Artha.
“Kenapa bisa?”
“Kenapa nggak?”
“Ih, jawab dong! Padahal banyak, lho, cewek cantik yang ngefans sama kamu.”
“Kamu cemburu?”
“Enggak. Soalnya aku yang menang dapetin kamu.”
Artha terkekeh, tangannya mengelus rambut Maudy.
“Pasti kalau mereka tahu kita pacaran, fans aku bakal heboh.”
“Biarin aja mereka heboh, yang penting sekarang kamu punya aku.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku, lho. Kenapa bisa suka sama aku waktu itu?” tanya Maudy lagi.
“Waktu itu aku lihat kamu bantu orang buta nyebrang di dekat halte. Kamu keren banget waktu itu. Jarang ada orang yang peduli sama hal-hal kecil kayak gitu,” jawab Artha.
“Awalnya aku cuma kagum, tapi ternyata aku jatuh cinta sama kamu,” lanjut Artha.
“Maudy, kamu itu perempuan cantik. Kecantikanmu nggak dimiliki wanita lain, karena kecantikanmu itu istimewa,” jelas Artha.
Artha memeluk tubuh mungil Maudy, menyalurkan cinta dan kasih sayangnya untuk perempuan itu.
“Udah mau malam, kamu pulang ya,” pinta Maudy.
“Iya, aku pulang. Tapi aku mau lihat kamu sampai masuk rumah dulu, boleh?” pinta Artha, yang langsung disetujui oleh Maudy.
Maudy melepaskan genggaman tangan mereka dengan berat hati. Ia masih ingin bersama Artha, meski tadi sempat ingin mengusir pria itu. Rasanya berat untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Maudy seperti tak rela jika Artha pulang, tapi mau bagaimana lagi — ia harus merelakan Artha pergi.
Sungguh, pasangan baru yang sangat dramatis. Padahal besok pagi mereka juga akan bertemu lagi.
Artha berpamitan dan melangkah pergi menjauh, meninggalkan rumah Maudy.
Maudy merebahkan diri di atas kasur. Hari ini terasa sangat panjang — penuh perasaan yang bercampur aduk: kecewa, marah, dan bahagia. Ia tak menyangka bisa memenangkan hati Artha, dan lebih tak menyangka lagi bahwa Artha ternyata sudah menyukainya sejak awal.
Maudy menatap kalung yang diberikan Artha. Karena kalung inilah semua kesalahpahaman bermula. Mungkin kalau bukan karena kejadian itu, mereka tidak akan pernah tahu perasaan satu sama lain.
Ternyata kunci hidup yang bahagia dan nyaman adalah komunikasi yang terjalin dengan baik. Komunikasi sekecil apa pun itu sangat berarti, karena komunikasi juga menunjukkan cinta dan kepedulian di antara dua hati.
End.