Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ada Apa di Balik Itu?
Aku tertegun dengan perasaan keheranan. Ada cerita fiksi berjudul. “Agar Kamu Tidak Sombong “. Judul yang ambigu karena mirip dengan judul teks nonfiksi. Judul yang kukira malah mengesankan kesombongan. Mengapa menunjukkan kesombongan? Pemilihan kata ganti “kamu” itulah penyebabnya. Mengapa harus menggunakan kata “kamu”? Kata yang seolah diarahkan kepada pembaca. Mengapa tidak menggunakan kata ganti “aku”? Pemilihan kata ganti dari orang pertama tunggal menjadi kata ganti orang kedua tunggal terasa sangat janggal dan mengganjal.
Ganjalan yang menyulut ketidaknyamanan. Sesuatu itu akhirnya malah menumbuhkan keengganan untuk membacanya. Sangat disayangkan, bukan? Akan tetapi, bagaimana dengan pendapat penulisnya? Ia tentunya harus mempertanggungjawabkan rasa penasaran ini karena tulisan tersebut telah dipublikasikan yang berarti telah direlakan menjadi konsumsi publik.
“Mengapa judulmu begitu sih?” tanyaku suatu ketika.
“Mengapa ya?” ia tertawa membuatku kian kesal merasa dibelitkan kemudian diikat dengan tali agar tak bisa lepas dari bunyi judul itu
“Agar Kamu tidak sombong merupakan saran yang pernah ditujukan kepadaku ketika aku dianggap telah melakukan kesalahan.”
“Bagus itu. Jarang lho ada saran terus terang begitu. Biasanya saran itu mengandung makna ganda. Mengapa mereka cemas Kamu menjadi sombong? Itu belum tentu demi kepentingan Kamu, kan?”
“Mereka peduli katanya. Peduli bahwa ada kecemasan aku bakal sombong jika dibiarkan.”
“Jawab saja, ‘Masalah buat Loe!?’ tentu ia akan menjawab dengan jujur.”
“Belum tentu juga. Bagaimana jika jawabannya malah cemas aku masuk neraka karena sombong.”
“Kecemasan yang tidak bisa disalahkan, bukan? Suatu kepentingan luar biasa terhadap masa depanmu kelak di akhirat. Mengapa tidak disikapi dengan simpatik dan empatik?”
“Iya sih. Tapi mengapa aku juga malah berprasangka ganda sih?”
“Maksudmu?”
“Mereka bersikeras mengupayakan agar aku tidak sombong, bukan semata demi kebaikanku. Bukan semata kelak agar aku tidak masuk neraka. Bayangkan. Sejauh itukah kepedulian mereka terhadap masa depanku? Mau masuk neraka atau tidak, betulkan mereka sedemikian tidak tega?”
“Anggapanmu adalagikah selain mereka nggak tega Kamu bakal masuk neraka?”
“Jangan-jangan mereka bermaksud melindungi diri sendri. Mereka berharap aku menulis yang aman-aman sajalah. Tulisan yang tidak melukai hati mereka. Janganlah menulis hal yang bikin malu misalnya bualan Ajo Sidi itu. Bualan Ajo Sidi kepada kakek penjaga surau dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Bualan yang membuat tokoh kakek bunuh diri “
“Hm... Bisa jadi. Padahal bagiku, lelucon paling lucu adalah menertawai diri sendiri.’
“Itu bagimu. Bagi orang lain belum tentu begitu. Mereka bahkan sangat protektif menutupi aib misalnya enggan digelari perawan tua, enggan dianggap mandul, enggan dianggap tidak laku atau pilih-pilih lelaki. Aib tersebut sebisa mungkin harus ditutupi, sehingga mereka pun berupaya segera menikah demi enggan tampil beda dengan sekitar. Demi enggan menertawai diri sendiri.”
“Hehe. Iya juga sih. Aku saja yang sok nyentrik ya. Sok cuek terhadap pendapat tersebut, sehingga sangat tak acuh dengan gelar tersebut.”
“Mereka paham Kamu memang tidak malu untuk hal ketidakseragaman selagi tidak merepotkan orang lain. Oleh karena itu, mereka sangat cemas Kamu menulis kalimat sindiran atau kisah lelucon yang berkaitan dengan kesalahan mereka. Mereka tidak suka itu “
“Bukankah mereka manusia yang tidak luput dari kesalahan? Bukankah manusia yang baik itu bukan yang tidak pernah bersalah, melainkan yang menyadari kesalahannya kemudian meminimalisasinya,”
“Itu kan menurutmu. Bisa saja bagi mereka, urat malumu telah putus karena Kamu tidak malu ketika tampil tidak seragam seperti sekitar.”
“Tapi aku lahir sendirian dan mati sendirian serta harus mempertanggungjawabkan jalan hidupku sendirian. Dalam hal ini, aku tidak akan memilih jalan ikut-ikutan saja semata demi keseragaman. Aku dihidupkan untuk berbuat baik. Bukan untuk menjalani keseragaman yang belum tentu baik bagi masing-masing orang.”
“Semakin dewasa, circle pergaulan memang semakin menyempit. Kita tidak lagi bergantung kepada apa kata teman-teman dalam mengambil keputusan.”
“Mengapa demi merasa tidak tersinggung harus memaksa orang lain mengikuti kemauannya?”
“Tentu bukan semata agar tidak tersinggung. Tentu tujuannya ingin lebih dari itu.”
“Tentang apa misalnya?”
“Mereka memang harus nomor satu di mata orang sekitar. Ulahmu yang sok berani tampil beda itu melanggar aturan sekitar. Misalnya nih, mereka mana berani diperankan sebagai perawan tua? “
“Tapi begitu melihatmu berperan sebagai perawan tua, dan demi menebus rasa malumu sebagai perawan tua itu Kautebus dengan hobimu dan sok hemat pula, mereka tidak bisa menerima, kan?”
“Apa tujuannya?”
“Banyak sih. Kamu terkesan ingin sok lebih baik. Mungkin mereka ingin menghukum Kamu karena tidak patuh kepada keseragaman yaitu berani berperan sebagai perawan tua. Ada pun rasa sakit hatimu karena merasa diejek sebagai perawan tua, lalu Kamu mencoba bersibuk di hobimu, atau kamu menabung agar tampak berada, hal itu bagi mereka dianggap terlarang. Hal yang akan mencoreng muka mereka. Kamu dianggap sebagai manusia yang tak lagi berguna karena melakukan pelanggaran. Selain itu Kamu pun sok tidak mencari privilege sehingga dosamu pun bertumpuk. Paham?”
“Paham sih. Tapi salahkah berbeda? Bukankah Tuhan pun mencipta perbedaan? Mangga pun berbagai jenis ada mangga golek, manalagi, gadung, dan sebagainya.”
“Adakalanya ego bisa menutupi potensi manusia dalam memahami sesamanya.”
“Lalu apa yang harus Kulakukan?”
“Kamu masih hidup kan? Jalani kewajiban Kamu sebagai manusia. Itu saja.”
“Bagaimana cara menghadapi gangguan mereka?”
“Mereka berhak tidak ingin diusik aibnya. Mereka berhak mengusik mereka yang tampil beda yang dianggap bakal mengusik ketenangan mereka. Siapakah yang salah dan benar dalam hal ini? Itu tugas hati nurani. Untuk apa dipikirin? Untuk apa? Biarkan saja mereka melakukan apa saja asalkan tidak malu. Mengapa tidak?”
“Bahkan janganlah memamerkan pencapaianmu. Mereka tidak akan suka. Kamu haruslah berperan sebagai manusia rendah. Sedemikian rendah sehingga mereka tetap merasa bisa menginjakmu. Itu karena Kamu tidak patuhi aturan sekitar. Itu karena Kamu berani berperan sebagai perawan tua lalu sok bisa menabung dan memiliki aset pula. Itulah kesombongan bagi mereka padahal gajimu kecil. Maka, mereka berhak memantau hidupmu karena Kamu bukan lagi dianggap manusia. Mereka ingin Kamu hidup demi memperoleh siksaan mereka, sedikit demi sedikit, seiris demi seiris. Mereka sangat menikmati potongan hatimu yang terluka dengan dalih agar Kamu tidak sombong.”
“Tapi untuk apa?”
“Agar Kamu menjadi sebaik mereka. Ulahmu dianggap mengusik ketenangan mereka. Mereka adalah orang-orang baik.Kamu harus dilatih menjadi tidak sombong seperti mereka.”
“Tepi belum tentu mereka bahagia ketika mematuhi aturan yang tidak merugikan sesama.”
“Iya sih. Tapi manusia dihidupkan untuk beribadah. Berbuat baik. Dan sebaik -baik manusia itu yang paling bermanfaat.”
“Bermanfaat bagi sesama. Sebelum berjuang bermanfaat bagi sesama, manusia harus berjuang untuk bermanfaat bagi dirinya sendiri. Itu agar ia selalu happy. Jika happy, energi tak terhingga pun akan menghampiri. Itulah manusia merdeka. Yang mengupayakan bahagia untuk diri sendiri sebelum menuruti aturan jangan mau dicap perawan tualah, sedangkan Tuhan sudah memberi fakta bahwa manusia mati bukan karena jumlah usia. Maka, adilkah melabeli gadis patriarki tak segera menikah dengan label perawan tua? Padahal hidup mati tidak bergantung usia?”
“Lalu demi patuhi aturan manusia yang terasakan lebih ketat daripada aturan Tuhan, wanita harus menikah lalu melahirkan anak-anak dalam kondisi belum sanggup berbagi? Lalu generasi apakah yang akan mereka persembahkan untuk kemajuan dunia?”
“Ah, Kamu terlalu mencemaskan hal yang belum terjadi, padahal mereka biasa saja.”
“Konon, Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan kurva normal. Ada yang jenius dan idiot masing-masing 25%. Adapula manusia normal dengan komposisi persentase terbanyak yaitu 50%,”sanggahnya.
“Lalu, Kamu merasa sebagai idiot atau jenius? Bukankah masing-masing persentasenya 25%!?”
Ia tidak segera menjawab. Hal itu membuatku melanjutkan ucapanku,
“Kamu tentu merasa sebagai kelompok jenius yang hanya memiliki persentase 25% kan? Mana mungkin Kamu memposisikan diri sebagai kaum idiot. Itulah yang membuat mereka berkeinginan kuat agar Kamu tidak sombong.”
“Betul juga ya.”
Ia tertawa dan aku juga. Kami pun terbahak pagi itu menertawai diri sendiri karena tak ada hal lebih lucu selain menertawai diri sendiri. Sesungguhnya ketika orang melihat ekspresiku yang seolah riang tanpa beban, dalam hatiku sesungguhnya memang sedang tertawa. Aku tertawa menertawai diriku sendiri, menertawai kekonyolanku sebagai manusia biasa.