Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Bapak... mau nikah lagi.”
Suaranya bahkan sudah tidak lantang saat menyampaikan informasi krusial itu. Usianya sudah enam puluh empat tahun—dua hari lagi setidaknya sudah bertambah satu. Meski begitu, ada senyuman tulus di bibirnya. Sudah lama juga tak kulihat matanya yang menyala begitu.
Perempuan di sampingnya justru merapatkan kedua lututnya seraya melempar senyum salah tingkah. “Dan ini...,” tangan Bapak lembut menyentuh punggung perempuan itu, “... ini calon Ibu baru kalian.”
Aku hanya diam, kurasakan kedua alisku saling berpacu untuk bertemu, saling beradu pendapat perihal jenis reaksi apa yang harus aku keluarkan.
Tira sedari tadi tak berhenti menopang kepala bagian kanannya, mencoba mengurut-urut pelan urat-urat yang muncul mengganggu.
“Bagaimana menurutmu, Tora?” Bapak bertanya dengan nada yang sedikit ambigu. Ada dua kemungkinan: yang pertama ia bertanya pendapatku tentang menikah lagi, atau boleh jadi ia bertanya bagaimana menurutku perihal calon Ibu baruku itu.
Aku berhati-hati menjawab sebab tak ingin melukai perasaan pria setengah abad itu. “Bapak yakin? Aku aja baru tahu kalau Bapak lagi... dekat? sama perempuan,” jawabku yang setengah nyawa masih sementara mencari kesadaran, “... perempuan muda lagi.” Dari perawakannya mungkin di awal dua puluh. Perbedaan usia mereka berdua setidaknya lebih tua dari usiaku saat ini.
“Bapak tuh bercanda, ya? Tanah di kuburan Ibu belum kering, Pak. Sekarang Bapak udah mau nikah lagi?” Kakak-ku akhirnya buka mulut. Tira memang begitu orangnya. Tiap kata yang keluar dari mulutnya selalu tajam dan langsung pada intinya. Namun yang diungkapnya memang fakta.
Aku meraih pelan tangan Tira ketika kulihat ia menegakkan badannya seraya melempar sinis kepada wanita muda di samping Bapak. Tapi Tira tak bisa dihentikan jika ia punya keluh kesah untuk disuarakan. “Kamu tuh nyari apa di sini? Keluarga kami ini bukan orang kaya yang bisa kamu porotin hartanya. Kalau pun misal kamu tipikal perempuan muda yang kehilangan figur dan kasih sayang seorang Bapak, jadi milih nikah sama yang jauh lebih tua supaya tahu rasanya semua itu, kamu salah tempat. Bapak saya—dia itu udah gak tahu cara menyayangi seseorang. Istrinya baru meninggal seminggu lalu. Meninggal dalam tidur, gak ada tanda-tanda. Mau berduka aja tuh dia gak sempet. Yang dia tahu, cuman kebahagiaannya to.” Suara Tira sedikit meninggi, namun postur tubuhnya masih terbilang tenang.
Senyum Bapak pudar seketika. Aku lihat ia tertunduk. Aku yakin dia punya banyak kalimat di kepalanya, namun berusaha ditahannya. Sudah bukan pertama kali ia tunduk jika sedang ditentang Tira. Aku pikir ini bentuk sayangnya ia kepada anak sulung perempuannya.
“Orang tuamu sudah tahu, kamu pacaran sama aki-aki?” tanya Tira menajam kepada wanita itu lagi.
“Saya udah gak punya orang tua, Mbak.”
Sekarang Tira yang terdiam sebentar, syok mungkin. “Oh. Jadi betul, karena kehilangan father figure, makanya kamu milih mau nikah sama kakek-kakek?”
Perempuan itu tertunduk muram. Kulihat tangannya gemetar, sesekali ia mengupas pelan kulit-kulit mati di ujung jari tangannya. Dahinya bercucuran keringat—ia seka seadanya dengan baju lengan panjang yang ia kenakan. Kayaknya rambutnya yang terurai itu menambah gerah di sekelilingnya.
Perempuan itu menoleh ke Bapak, tipis tapi tatapannya seakan tengah berteriak meminta tolong akibat dera pertanyaan menyudutkan dari anak sulung Bapak. “Saya... sayang sama Pak Mukhlis.”
Tanpa sempat membiarkan waktu berjalan, Tira menyambut pernyataan barusan dengan tawa yang bisa dengan mudah merusak mental anak muda zaman sekarang. “Tora! Kamu denger gak sih?” Tira masih tertawa, separuh dirinya juga terlihat kebingungan harus bereaksi apa. “Kamu ngomong dong, Tora! Jangan diem aja.”
Di kepalaku seperti ada yang jalan, gatal sekali, atau mungkin hanya reaksi tak habis pikirku. Aku membuka sesi tanya jawab, “Siapa nama kamu?”
“Vidya.” Ia menjawab singkat sembari terus menundukkan kepalanya.
“Kamu udah berapa lama kenal sama Bapak saya, Vidya?”
“Sudah tiga hari,” jawabnya ragu-ragu setelah berpikir cukup lama, membuat pernyataannya itu jadi lebih lantang karena semua sedang terdiam.
Pernyataan itu makin disambut gelak tawa yang lebih menggelegar dari Tira. Napas Tira begitu berat diembuskan. Pasti dia tengah meredam kobaran api di dadanya. “Orang-orang kenapa pada gila kawin sih? Gak muda, gak tua. Semua sama aja.” Tira tak selesai-selesai mengeluh.
Lalu Bapak akhirnya angkat bicara, “Kalau kalian gak mau biayain nikahan Bapak, Bapak bakal pakai uang pensiunan. Toh Ibu kalian juga udah gak di sini. Bapak bingung mau digunain buat apa.”
Tira bangkit dari sofa, bergegas keluar rumah. Aku pikir amarahnya sudah tidak bisa diredam jika tak segera angkat kaki.
“Jangan gitu, Pak. Kalau pun Bapak beneran mau nikah, kan bisa di KUA, pak. Gak ngehamburin uang terlalu banyak. Lagi pula ini bukan nikahan pertama Bapak,” usulku.
“Gak mau. Bapak pengennya ngundang. Ada akad. Ada resepsi!” Bapak bersikeras. Ketika berbicara padaku, memang Bapak lebih sering mengangkat kepala. Mungkin ia merasa lebih bebas berpendapat karena aku jarang menyudutkannya. Aku kasihan saja, umurnya sudah tua, takut jantungan. “Ini memang bukan pernikahan Bapak yang pertama, tapi ini yang pertama untuk Vidya,” lanjut Bapak sembari menyentuh pelan punggung tangan Vidya.
“Bapak harusnya jangan egois. Bapak gak kasihan sama perempuan itu? Pernikahan pertamanya harus sama orang yang jauh lebih tua. Bapak udah gak bisa ngasih dia keturunan! Dia bisa dapat orang yang lebih muda, lebih mapan dari Bapak,” sahut Tira dari luar rumah. Lalu kepalannya muncul dari balik pintu, “Dan apa? Kalian kenal selama tiga hari? Pak kita gak kenal sama ini perempuan! Bisa aja dia penjahat, penipu,” tuduhnya padahal dia baru saja membela perempuan itu.
“Saya gak peduli kalau dia penjahat,” kata Bapak sambil tersenyum sumringah memperhatikan wajah Vidya. “Saya cuman pengen nikah lagi.”
“Intinya ya..,” suara Tira mendekat, ia muncul kembali dengan langkah cepat menghampiri kami yang duduk di ruang tamu, “gak bakalan ada nikahan. Saya tuh belum selesai nangisin kematian Ibu saya,” ujar Tira seraya mengangkat jari telunjuknya ke hadapan Vidya, “Dan kamu... saya gak tahu ya, yang pasti saya yakin kamu punya niatan tersembunyi, dan apapun itu, niatmu itu gak bakalan terwujud. Saya gak peduli apakah itu cerita menyedihkan atau apalah. Kamu, mengganggu ketenangan keluarga saya.” Setelah itu Tira bergegas menuju kamarnya.
“Ibu kamu tuh udah gak ada! Jangan dibahas terus!!” sahut Vidya yang membuatku tertegun. Kurasakan ada panas yang menjalar di dadaku. Sementara langkah kaki Tira berhenti seketika di depan kamarnya.
Aku tersinggung bukan main. Tak bisa kutahan marah yang pelan-pelan bangun di dalam diriku, “Kamu pulang! Itu udah keterlaluan.” Mungkin suaraku tidak akan membuatnya merasa bersalah atau ketakutan, tapi setidaknya jika dia manusia biasa, harusnya ia bisa paham seberapa sakit hatinya aku lewat sorot mataku yang mulai basah.
Mulut Vidya gemetar, sementara kepalanya mungkin berusaha mencari jalan keluar dari salah bicara yang tak bisa ditarik ulang, “Maaf—saya... saya gak maksud menyinggung.”
“Pulang,” pintaku.
Lalu Tira mendekat lagi, “Saya bakal ngelupain Ibu saya, kalau saya udah puas nangisin kematiannya. Misal memang sudah setahun terus saya masih aja berkutat dengan duka yang saya alami, kamu boleh ngomongin tentang saya berduka berlebihan. Tapi ini... baru seminggu. Yang aneh itu justru Pacarmu itu!” Amarah Tira sudah keluar dari sangkarnya. “Dia nyeritain ke anak-anaknya seberapa dalam dan tulus cintanya ke Almarhumah Istrinya, tapi sekarang—malaikat di dalam kubur aja belum kelar sama tugasnya, pacarmu udah mau nikah lagi!”
Bukan cuman Vidya, Bapak juga jadi sasaran kemarahan Tira, “Pak. Omong kosong berarti ya, Pak? Aku udah berdoa, supaya bisa dapat jodoh kayak Bapak. Pengen ngerasain gimana jadi Ibu, disayang sebegitunya.”
Yang lebih menjengkelkannya lagi, bukannya memarahi perempuan itu karena menganggap mendiang istrinya tak pantas ditangisi terlalu lama, Bapak justru dengan lemah lembut mengajaknya pulang. Situasi ini sudah tidak bisa diselamatkan.
“Maaf.” Hanya satu kata itu yang terus ia ulang sembari melangkahkan kakinya menjemput motornya yang ia parkir di halaman rumah. “Saya cuman mau berusaha yang terbaik.”
Ada apa sebenarnya dengan pria tua itu? Jatuh cinta sampai sebuta itu sepertinya tidak mungkin terjadi pada usianya saat ini. Ada yang salah di sini.
***
“Apa menurutmu?”
“Gak tahu. Yang aku tahu, aku nyesel gak mukul atau nampar perempuan itu tadi malam.” Mulut Tira memaki, tapi tangannya fokus menggambar garis matanya dengan pensil tipis itu. “Dan aku juga kesel sama kamu—kamu tuh... kayak... kosong gitu. Reaksi kamu tuh gak manusiawi. Bukan begitu cara bereaksi ketika tahu Bapakmu yang udah lanjut usia, yang baru ditinggal mati sama Istrinya, pengen nikah lagi sama perempuan yang jauh lebih muda dari anak-anaknya setelah berkenalan selama tiga hari. Aku tahu aku yang lebih tua dari kamu, tapi umurmu juga sudah tiga puluh, laki-laki pula, harusnya kamu yang lebih tegas!” Dahinya yang tadi berkerut, sekarang datar untuk sebentar, supaya lebih jelas melihat seimbang atau tidaknya kedua garis mata yang dia usahakan sebegitunya.
Aku rebahkan badanku di ranjang Tira untuk sebentar, memikirkan bagaimana sebenarnya kita harus bereaksi melihat keunikan orang tua yang disebabkan umur mereka. Semalaman juga aku merasa demikian. Reaksiku kurang ‘Pria’. Apa yang terjadi tadi malam itu tidak masuk akal. Semua informasi absurd, ditumpuk dalam satu kali percakapan sebelum kita semua sempat makan malam.
“Terus kita harus gimana?” tanyaku.
“Ya cari cara supaya Bapak berubah pikiran.” Tira bergegas memasukkan barang-barangnya ke tas selempang kecil berwarna merah muda pudar itu; Handphone dan charger-nya; lipstik dan semua alat hias sejenis untuk bibir; parfum dan tisu basah. “Tapi nanti aja nyarinya. Sekarang yang perlu dicari itu uang, supaya kita bisa ada tabungan buat beli rumah sendiri.”
Aku bangkit dari rebahku, kusandarkan punggungku rapat ke dinding kamar, “Nah itu yang aku pikirin juga dari semalam. Kita tuh, gak ridho Bapak nikah lagi, tapi ya kalau Bapak gak punya pasangan, siapa yang bakal jagain? Mungkin kesannya agak durhaka ya, tapi aku sama kamu, ra, kita berdua kan bakal punya pasangan suatu hari nanti. Kita bakal fokus sama keluarga kita masing-masing. Jadi memang Bapak tuh harus punya pasangan lagi.”
“Ya emang. Tapi jangan sekarang. Dari awal, anak harusnya gak bisa dijadiin investasi masa tua buat jagain orang tuanya. Harusnya semua orang tua paham itu kalau beneran sayang sama anaknya. Tor, aku tuh bukannya gak ikhlas Bapak nikah lagi. Aku justru seneng sebenarnya—mikirin seperti katamu—Bapak harus ada yang jaga. Misal Bapak nge-bawa perempuan itu setelah berbulan-bulan kita hidup tanpa Ibu, aku jabani, Tor. Bapak mau ngundang ribuan orang juga, aku usahain, asal perempuan itu beneran tulus sama Bapak. Cuman yang sekarang jadi masalah adalah... Timing-nya itu lho, Tor. Ibu baru seminggu dikubur, gak jauh pula dari rumah. Dan sekali lagi—Bapak mau nikah sama perempuan muda yang dikenalnya selama tiga hari. Orang dewasa mana yang bisa nelen ini dengan gampang?”
Aku diam mendengarkan tiap curahan hati yang keluar dari mulut perempuan berusia tiga puluh tujuh tahun yang duduk di hadapanku. Siapa tahu keluh-kesahnya bisa menjadi bahan pertimbanganku di masa yang lebih matang nanti.
Semakin bertambahnya usia, urgensi untuk hidup mandiri rasanya semakin kuat. Perbedaan pola pikir, dan lain hal yang dahulu sederhana, tapi karena masing-masing dari kita kini punya ego yang sekeras mungkin kita pertahankan, membuat semuanya menjadi lebih rumit. Bagaimana masing-masing dari kita punya kehidupan impian, namun tak bisa melupakan bahwa dalam keluarga ada perannya masing-masing, antara lain: Bapak, Ibu, dan yang beruntung bisa punya dan menjadi anak. Sehingga kehidupan impian tersebut, selalu sebisanya, seharusnya, sewajarnya, memikirkan masa depan anggota-anggota keluarga lainnya.
“Kita pasti bakal nyariin pasangan buat Bapak. Justru lebih bagus kalau lebih muda. Tapi gak sekarang. Aku pribadi juga masih kepingin jagain Bapak—apalagi dengan keadaan kita akhir-akhir ini. Jadi kita perlu jagain Bapak dari segala macam bentuk ancaman. Ngebiarin dia nikah sama orang yang gak kita kenal, ngebahayain hidupnya buat satu rumah sama orang asing, itu juga durhaka, ya gak?” ujar Tira seraya memperbaiki jilbabnya dengan semua bentuk pelengkap yang dibutuhkan.
Aku iyakan saja, mungkin bisa mendukung hati layu Tira yang terpancar lewat kedua bola matanya yang sayup.
“Udah ah. Kerja dulu. Lagian besok ‘kan minggu tuh, banyaklah waktu buat mikirin jalan keluar.”
Aku ikuti Tira bergegas keluar kamar. Aku baru menyadari langkahnya begitu lebar dan cepat. “Aku nebeng ya!”
“Hah? Motormu mana?”
“Dipinjem Bapak.”
“Kamu kalau motormu mau dipinjem, jangan dikasih. Apalagi sekarang kita udah tahu dia keluar buat ngapain. Pacaran tor! Pacaran!”
“Ya aku beli motor itu setengahnya pakai uang Bapak. Itu motor bersamalah. Motormu juga sama kan? Setidaknya lebih mending lah, daripada harus kumpul uang lagi buat benerin motornya yang penyakitnya udah parah sekali,” dalihku.
“Kamu yang isi bensin.” Tira mengambil kesempatannya menghemat. “Nebeng sama orang tua di usia kek gini tuh emang susah. Mau perhitungan dikit dikatain durhaka.”
Setidaknya dalam perjalanan menuju tempat kerja yang berbeda arah, kami berdua bisa sedikit terhibur dengan banyaknya manusia yang sedang mengusahakan kehidupan masing-masing di pagi hari. Artinya kita semua menderita di level-nya masing-masing.
Tira melanjutkan perjanalannya menuju toko kosmetik tempatnya menadah pundi-pundi rezeki setelah menurunkanku di depan kafe pinggir jalan. Kafe ini sudah sekitar tujuh tahun membantuku membiayai hidupku sendiri. Meskipun tak banyak, setidaknya hal-hal yang benar kuperlukan bisa tersedia menggunakan upah dari mereka. Lagi pula cukup menyenangkan bekerja sebagai pelayan, seperti sedang bermain-main sewaktu kecil. Bedanya kali ini ada tanggung jawabnya. Dan setidaknya aku bisa punya pekerjaan untuk memberi Bapak sedikit uang karena tinggal di rumahnya.
Berpuluh tahun kami berempat hidup bersama di rumah peninggalan kakek-nenek dari sisi Bapak. Tapi sudah dirombak habis-habisan—sebab dulunya kayu. Kebetulan dulu Bapak seorang PNS, sampai sekarang pun gaji pensiunnya tetap berjalan, tapi lebih banyak ditabung untuk rencana-rencananya bersama Ibu.
***
Bohong kalau dia tidak berduka. Istrinya yang sudah bersamanya selama kurang lebih empat puluh tahun itu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Diceritakan oleh Bapak dan Ibu, mereka dulunya bertemu di puncak. Keduanya tak punya teman, masing-masing cuman bawa diri. Ibu bilang dulu ia pikir Bapak itu penjahat, raut wajahnya mirip orang mesum. Namun seolah alam memberinya tanda, ada saja momen-momen mereka bertemu.
Sementara Ibu ketakutan, Bapak justru berbunga-bunga. Ia tahu perihal tanda alam. Dia merasa sudah menemukan jodohnya. Dan memang benar, meskipun dianggap pria mesum selama dua hari mereka camping, akhirnya Ibu luluh juga melihat perlakuan Bapak. Kalau orang sekarang bilang, love languange-nya Bapak itu Act of Service, Ibu jatuh cinta terlalu dalam. Barangnya dibawakan, capek sedikit dikasih minum dan ditanyai perasaannya bagaimana, padahal baru kenal selama beberapa jam.
Aku tahu seberapa dalam kisah romansa mereka bahkan ketika hanya dalam bentuk lisan saja. Tak bisa aku bayangkan seberapa dalam Bapak jatuh ketika membisikkan kalimat talqin di telinga Ibu di masa-masa sakratul mautnya.
Aku percaya bahwa tiap orang punya caranya masing-masing untuk berduka. Semalaman Bapak bahkan tak tidur untuk menemani jenazah sang Istri. Bahkan ketika Istrinya hendak dikebumikan, aku perhatikan ia hanya berdiri menatap jenazah dengan badannya yang agak bungkuk, dengan baju lusuhnya, dengan matanya yang kosong.
Lalu kemarin malam, ketika ia mengejutkanku dengan perkembangan kisah asmaranya yang tak kandas dimakan usia, matanya berbinar lagi. Senyumnya saat menatap wajah Vidya bisa kurasakan sangat dalam.
“Kita harus tahu di mana perempuan itu tinggal. Dengan begitu kita bisa menggali masa lalunya. Kita butuh ketemu sama orang-orang yang hidup di sekelilingnya,” jelas Tira samar-samar karena duduk di bangku penumpang. Padahal suasana akhir sore hari ini sangat indah, namun tak bisa dinikmati karena pikiran terganggu kisah cinta absurd Bapak.
Aku sedikit berteriak namun tetap fokus berkendara, “Menurutmu dia gak bakalan bohong tinggal di mana?”
“Maksudmu? Buat apa juga bohong?”
“Misal dia beneran penjahat dan mau memalsukan identitasnya. Dia bisa aja nyebut sembarang tempat.”
Lalu melewati setapak ke arah rumah kami, dari jauh perasaanku sudah tak enak ketika melihat motor Vidya ada di depan rumah. Apa yang dia lakukan lagi di rumah kami setelah yang dia akibatkan semalam?
Kami berdua buru-buru masuk mengecek benar-tidaknya itu Vidya. Perhatian kami teralih pada suara seseorang tengah memukul-mukul kasur yang datang dari arah kamar tamu, berhadapan dengan dapur. Kakiku belum sampai di muka kamar, Vidya keluar dari sana membawa sendok sampah dengan banyak debu dan kayu-kayu lapuk dari rangka ranjang yang sudah lama tak terpakai.
Tira menajam, “Kamu ngapain di sini!”
Vidya mematung, ketakutan sepertinya, “Pak Mukhlis... bantuin saya!!” Begini sekarang cara Vidya meminta tolong.
Bapak datang dari arah kamarnya, disambut pertanyaan penuh marah dari Tira, “Ini maksudnya apaan dia ngebersihin kamar tamu? Dia mau tinggal di sini?”
Bapak menjawab, “Iya. Mulai hari ini, dia tinggal sama kita.”
“Bapak berani tinggal sama orang yang gak Bapak kenal? Gimana kalau dia beneran penjahat!?” Tira masih keras pada tuduhnya.
“Gak! Bapak pengen dia tinggal di sini. Daripada dia di luar, ngekos, ngabisin gajinya, mending dia tinggal di sini. Dia itu tukang sapu jalanan. Gajinya gak besar. Lagi pula Vidya juga bakal nikah sama Bapak. Ujung-ujungnya bakal tinggal di sini kan? Cuman gak etis aja kalau dia sekamar sama Bapak.”
Aku berusaha ikut dalam debat, “Tapi harusnya Bapak nanya dulu ke kita.”
“Buat apa?! Ini rumah saya, terserah saya.”
Tira mencengkeram tangan Vidya—saking emosinya. Namun tangan Tira justru dipukul Bapak, “Lepas gak!” ujar Bapak.
“Apasih alasan Bapak, sampe ngebelain ini perempuan sebegitunya?!”
“Bapak cinta sama Vidya!” jawab Bapak dengan tegas.
“YA ALLAH, PAK!” Air mata Tira keluar saking kesalnya, “Bapak itu bukan anak muda lagi main cinta-cintaan. Ingat umur, Pak!"
“Emang apa salahnya sih orang tua jatuh cinta? Toh kalian berdua juga gak bakalan bisa jagain Bapak seterusnya kan? Bapak tuh pengen ngelihat kamu berdua punya keluarga masing-masing. Bukannya berakhir ngurusin Bapak.”
“Iya tahu, Pak. Tapi ini tuh terlalu buru-buru. Kita berdua gak tahu mem-proses semua ini kayak gimana. Belum sehari lho, Pak, kami tahu Bapak lagi pacaran sama perempuan muda. Bapak ngertiin kita lah, Pak.” Aku juga sudah tak tahan saking kesalnya.
Bapak diam sebentar. Aku yakin dia sedang memikirkan pilihan-pilihan yang akan diberi ke anaknya mengenai permasalahan ini.“Kalau kalian gak suka, kalian aja yang pergi dari sini. Ini rumah saya, saya nentuin siapa yang berhak tinggal.”
Seperti sebuah pengkhianatan. Saking kuatnya reaksi yang diakibatkan, hanya ada suara angin yang menyertai kami berempat.
“Gak harus kayak gini kok, aku bisa pulang lagi. Aku pikir kamu sudah tanya sama anakmu soal kepindahanku,” ujar Vidya lalu masuk mengambil tas kain yang sepertinya berisi pakaiannya—hanya sedikit bawaannya.
Tira tiba-tiba bergegas pergi dengan wajah sedihnya. Aku ikuti dia, “Tira jangan kayak gini dong. Masa kita yang harus pergi sih?!” Tira tak menjawab, ia sibuk memasukkan beberapa lembar pakaiannya ke dalam koper.
Aku meraih tangan Tira untuk menghentikannya. Lalu aku sejajarkan mata kami berdua, “Kamu mau ngebiarin Bapak tinggal sama orang asing itu sendirian? Gak usah drama deh. Bongkar lagi bajumu! Kamu udah kerja seharian, istirahat! Jangan marah-marah mulu!” Aku bergegas keluar dari kamarnya, menutup pintu sepelan mungkin. Dalam keadaan seperti, terpecah dan saling berpencar cuman bakal buat semuanya makin runyam.
***
Meskipun rasanya aneh ada orang asing di rumah, tapi tak bisa aku pungkiri rumah ini akhirnya terasa hidup lagi. Ruang keluarga yang televisinya sudah lama tak dinyalakan itu, akhirnya dihiasi tawa oleh kedua manusia yang ‘apa iya?’ sedang jatuh cinta itu. Dan aku akui masakan yang Vidya hidangkan—yang butuh berjam-jam itu—rasanya cukup masuk di lidahku. Tidak mungkin kan ‘orang gila’ bisa memasak?
“Aku yakin Bapak dipelet!” ujar Tira dengan serius sementara mengunyah mie kuah buatannya di sudut kamarku. Dia enggan memakan masakan Vidya, mungkin ditaruh racun katanya.
“Jangan sembarangan deh! Jaman modern kayak begini... di kota pula.” Aku 5 tak ingin terjerumus ke dalam pemikiran kolot yang sama. “Tapi bisa gak sih, kamu makannya di luar aja. Ini bau mie-nya bakal nyebar semalaman.”
Entah kenapa Tira jadi begitu kesal. Ia menyimpan mangkok mienya di lantai, bergegas membuka jendela kamar. Lalu kembali menyantap mienya. “Aku serius. Bapak gak mungkin sampai jadi begini kalau masih waras. Kita harus ngelakuin sesuatu buat ngeluarin sihirnya!”
“Wah. Kamu nih yang se-tres kayaknya. Yang butuh diruqyah tuh kamu.”
Tira masih diam mencari solusi. “Besok minggu. Bisa kita pake buat nyari tahu asal-usul perempuan itu secepatnya supaya Bapak berubah pikiran. Kalau misal itu perempuan betulan gak bener, pasti Bapak bakal mengurungkan niatnya sih. Sekalipun dia bilang gak masalah kalau perempuan penjahat. Omong kosong itu.”
“Tapi gimana kalau ternyata dia perempuan baik-baik?”
“Gak ada perempuan baik-baik yang mau nikah sama orang yang baru dikenal. Orang ta’aruf aja, meskipun pasangannya gak ada, tapi orang-orang yang mempasangkan tuh udah kenal satu sama lain. Sudah tahu bibit-bebet-bobotnya. Lah ini, kocak!”
Tapi Tira ada benarnya. Fakta itu tidak bisa dilewati begitu saja.
Tira bangkit dari duduknya membawa mangkok kosong bekas makannya. Bertepatan ia membuka pintu kamarku yang berhadapan dengan sofa di ruang keluarga, Vidya terduduk sendirian di sana. Ini kesempatan, dan Tira tahu itu.
“Kamu tinggal di mana sebelumnya?” Pertanyaanku sudah terwakilkan Tira. Aku hanya memperhatikan dari atas ranjang. Sementara Tira masih berdiri bersandar di kusen pintu kamar.
Vidya berdiri dari sofa. Dia tidak langsung menjawab, seperti tengah memikirkan sesuatu. “Jalan Pelanduk, Nomor tiga belas. Gak begitu jauh kok, sekitar lima kilo dari sini,” jawabnya agak terbata-bata.
“Kenapa jawabnya lama? Bohong ya kamu ya?! KTP-mu mana? Coba saya lihat!”
“Saya belum punya KTP.”
Suara Tira mulai meninggi, “Umur kamu berapa emangnya?”
“Saya gak inget mbak. Mestinya sih dua puluh dua apa dua tiga... ragu saya.”
Bukan cuman Tira, aku sama terkejutnya. Semakin lama mengenalnya, semakin aneh juga apa-apa yang ada pada Vidya.
Vidya melanjutkan, “Tapi itu beneran alamat saya. Mbak bisa cari tahu saya siapa mulai dari situ. Pengen tahu kan? Tapi saya kasih tahu aja ya Mbak, apapun yang akan Mbak temukan, itu semua cuman akan mengubur impian Pak Mukhlis. Jadi pilihannya cuman dua: cari tahu atau diam sampai semuanya selesai.”
“Maksud kamu apa kayak begitu ngasih pilihan?! Kamu pikir kamu siapa hah?!” Boleh jadi harga diri Tira terluka ditantang anak kecil. “Bapak saya kamu pelet ya? Dukun ya kamu?” Pertanyaan Tira terdengar semakin konyol. Benar saja, disambut senyum tipis oleh Vidya. Aku yakin dia berusaha meredam tawanya.
“Agama saja saya masih ikut-ikut, Mbak. Saya gak punya ketertarikan buat mengenal hal-hal gaib. Lagi pula saya gak ada alasan kuat buat ngelakuin itu ke Pak Mukhlis. Seperti yang Mbak bilang, Pak Mukhlis itu bukan orang kaya, jadi buat apa saya pelet? Toh gak ada yang bisa diambil. Eh...,” dia memotong ucapannya sampai di situ.
“Terus kenapa kamu ada di sini!” Tira mulai memanas lagi.
“Karena saya yang minta!” Bapak tiba-tiba muncul dari arah dapur membawa dua gelas teh hangat. Ia berikan satu untuk Vidya. “Gak usah gangguin Vidya. Tidur sana! Kalau gak nyaman ya pergi dari sini!”
Tira bergegas ke kamarnya. Kentara ia marah besar sebab pintu kamarnya terdengar terbanting keras. Yang aku penasaran, ia kemanakan mangkok bekas makannya itu.
Perihal kemungkinan wanita itu ahli sihir tidak bisa dihiraukan begitu saja. Selama belum diketahui asalnya, semua kecurigaan boleh dibenarkan. Apalagi sudah sejak tadi semua orang tidur, suasana rumah menjadi agak menyeramkan. Entah benar hawa negatif, atau hanya perasaanku saja. Tapi terasa seperti ada kesibukan di luar kamarku. Seperti beberapa orang tengah berjalan. Awalnya aku berusaha positif, tapi kemudian aku mendengar suara Bapak menangis.
Dengan langkah hati-hati, aku keluar kamar. Di sudut dinding aku melihat cahaya yang ketika aku dekati, rupanya berasal dari celah pintu kamar tamu—cahaya lampu. Dari sana pula aku mendengar suara tangis Bapak.
“Sabar Pak. Tenang,” samar-samar aku mendengar Vidya berbicara.
“Maaf ya. Tapi jangan khawatir. Janji saya bakal saya tetap tepati. Kamu gak masalah, kan?” Suara Bapak gemetar sekali.
“Justru saya yang harus bertanya, begitu aja sudah cukup kah? Kata Bapak butuh seminggu?”
Apa yang sebenarnya mereka bahas? Aku buru-buru mengetuk pintu kamar sebab sudah tak tenang mendengar Bapak menangis. “Bapak?” Ketika kubuka pintu kamar yang tak terkunci itu, kudapati Bapak dan Vidya duduk di atas ranjang. Bapak menyeka air matanya, sementara Vidya masih mengelus lembut pundak Bapak. “Bapak kenapa, Pak?” tanyaku.
Alih-alih dijawab, Bapak langsung bergegas keluar tanpa sepatah kata. “Bapakku kenapa?” tanyaku ke Vidya.
“Saya gak berani bilang sebelum semuanya selesai. Tapi Bapakmu punya keinginan baru.”
Terserah. Sulit sekali untuk langsung jawab. Aku cepat-cepat menuju kamar Bapak. Namun meski sudah aku ketuk berkali-kali, Bapak hanya bilang, “Bapak gak apa-apa. Cuman pengen tidur lagi. Jangan ribut.”
Tidak adanya jawaban membuat pikiranku terus melayang di sepanjang malam. Tapi apa boleh buat, sepertinya konsep overthingking kurang selaras dengan usiaku saat ini. Hanya sekitar beberapa menit aku terjaga, tiba-tiba aku dapati basah sudah menguasai pipi dan bantalku—khas sekali baunya. Matahari juga sudah muncul lagi.
Hari minggu yang sibuk padahal baru jam sembilan pagi. Sudah tidak ada yang peduli bahwa hari ini Bapak sudah beranjak enam puluh lima tahun. Tira mungkin masih tidur, Vidya terdengar sibuk di dalam kamarnya, sementara Bapak sibuk bercermin menimbang penampilannya sudah cocok atau belum.
“Mau ke mana, Pak?”
“Jalan-jalan,” jawab Bapak.
Aku ragu-ragu membahasnya, “Bapak semalam kenapa?”
“Bapak gak apa-apa.” Setelah menjawab pertanyaanku dengan senyum, ia memelukku sangat erat. Entah kapan terakhir aku rasakan pelukannya.
Lalu Vidya datang menenteng tas kain miliknya, “Sudah semua.”
“Kalian mau ke mana?”
Vidya seperti mau menjawab, tapi Bapak segera mengajaknya keluar.
Aku panik, buru-buru aku ketuk berkali-kali kamar Tira. Tiba-tiba Tira membuka pintu dengan wajah panik, ia sudah berdandan dan memakai kerudung. “Mereka udah pergi?” tanyanya.
“Baru mau jalan,” jawabku bingung dengan segala kesiapan penampilan Tira.
Tira menatapku dengan wajah masam, “Bau banget sih! Cuci muka sana! Kita ikutin mereka.”
“Untuk apa? Bukannya kita bakal ke Jalan Pelanduk?”
“Kamu denger kan semalam Bapak nangis? Gak aneh apa, paginya dia berpakaian bagus, jalan-jalan. Aku penasaran aja mereka ke mana. Habis itu kita ke Pelanduk.”
Hanya terbalut dalam hoodie dan celana pendek, aku bergegas mengendarai motor, mengikuti pelan-pelan dari belakang ke arah mana pun motor Vidya yang dikendarai Bapak bertuju. Kata-kata Vidya semalam juga, perihal keinginan baru, aku penasaran maksudnya.
***
Bapak pernah bercerita bagaimana ia merasakan patah hati yang begitu dalam ketika camping dua harinya bersama pendaki lainnya berakhir. Kala itu belum ada telepon seluler. Sementara selama interaksi, Bapak lupa untuk menanyakan nama dan nomor telepon rumah. Hanya senyuman Ibu yang dia ingat—yang membuatnya tak bisa sedikit pun terlelap. Jantungnya tak bisa berhenti berdebar tak karuan. Keadaannya seperti habis ditinggal pergi oleh kekasih yang sudah lama dicintainya. Ia tak mau makan, sampai-sampai teman-teman kosnya harus menelepon kakek-nenekku agar mau membujuknya makan. Sejujurnya, jika saja sebelum mendengar cerita ini aku menyantap semangkok bubur kacang hijau, pasti aku sudah muntah. Cringe mampus, gila, gak habis pikir!
Lalu sebelum ia mati kelaparan, orang tuanya menggunakan kekuatan terakhirnya untuk membujuk dengan mengingatkannya tentang warung makan yang sewaktu kecil ia sering kunjungi untuk menyantap gado-gado. Sampai sekarang ia belum mendapat tempat yang tepat takaran untuk gado-gado favoritnya di seluruh dunia. Dari manis, asin, kekentalan, dan semua yang ia pentingkan dalam seporsi gado-gado, hanya di tempat itu ia temukan.
Bergegaslah mereka ke kota kelahiran Bapak yang berjarak empat jam dari indekosnya untuk menempuh perkuliahan bisnis yang sampai sekarang sayangnya belum terpakai ilmunya. Lalu betapa kagetnya, gado-gado yang dicintainya kehilangan daya tarik lantaran melihat wanita yang membuatnya menunda makan, berdiri di depan kasir menggunakan sepatu datarnya; dengan baju terusan polkadot di atas lutut; juga sebuah bando yang mempercantik kepalanya. Bukan cuman gado-gado, Ibu-Bapaknya saja Mukhlis lupa ada di sana.
“Hai,” sapa Bapak kepada perempuan yang meninggal dalam tidur itu.
“Oh. Hai.” Katanya ketika Ibu menjawab dengan ‘oh’, hati Bapak bocor sedikit saking senangnya. Ibu ternyata mengingat Bapak. Ia menyimpulkan bahwa bukan hanya dia yang diterpa gundah gulana berkepanjangan.
Bapak buru-buru menyeka tangannya yang basah, lalu mengajak bersalaman, “Aku Mukhlis.”
Ibu membalas jabat tangan, “Aku Megawati.”
“Hai Megawati.” Saking gugupnya, Bapak tak bisa mencari topik.
“Hai Mukhlis.” Dari sudut pandang Ibu, katanya waktu itu ia gemas melihat ekspresi gugupnya Bapak. Kentara sekali Bapak jarang mendekati wanita.
Sayangnya keindahan cerita itu dinodai ketika kulihat motor Vidya yang dikendarai Bapak memboncengnya, berbelok ke warung makan itu. “Bapak ngapain ke sana bawa perempuan itu?” responku pelan-pelan kesal.
Aku dan Tira hanya terdiam. Tempat yang mempertemukan kembali kedua orang tua kami, didatangi oleh perempuan lain. Rasanya meskipun Ibu sudah tiada, seperti Bapak sedang berselingkuh. Ada kekecewaan yang terbentuk di hatiku. Bapak dengan gestur semangat sedang memperkenalkan makanan kesukaannya ke pacar mudanya.
Tak sampai di situ, ada sebuah tempat di ujung kota yang bertemu dengan pantai. Di mana sebuah warung es kelapa muda berdiri dengan ketabahannya hingga kini. Di tempat itu, Bapak akhirnya tahu bahwa benar bukan hanya dia yang dirundung resah hati setelah camping berakhir. Ibu juga mengalami. Semua bantuan Bapak ketika di puncak, berhasil meninggalkan bentuk cinta yang sulit Ibu terjemahkan. Bapak, mengajak Vidya juga ke tempat itu.
Kemudian pada tahun pertama mereka berkencan, Bapak bilang karena perbedaan tempat tinggal, ia dan Ibu akan bertemu di taman ujung kota. Sama-sama menimbang jarak yang perlu ditempuh untuk bertemu. Tempat yang entah sudah berapa banyak mereka kunjungi untuk saling menghilangkan haus jumpa. Taman itu juga dinodai dengan kedatangan Vidya. Aku mulai berpikir bahwa ia memang ahli sihir.
“Bapak tuh kenapa, sih? Semua tempat yang harusnya cuman jadi kisahnya sama Ibu, malah ngajak perempuan lain,” kata Tira yang kini kelihatan lemah lesu. Kami berdua duduk di atas motor menghadap ke Vidya dan Bapak yang duduk di bangku taman. Jarak yang kami ambil cukup jauh untuk membuat keberadaan kami diketahui. Tapi dari posturnya, mereka seperti sedang tertawa dan bersenang-senang.
“Bapak tuh... kayaknya nyoba ngulang gak sih, semua yang pernah dia lakuin sama Ibu? Tapi kenapa ya harus dengan perempuan itu?” Aku pun sama lesunya. Kalau Ibu tahu, dia pasti kecewa berat. “Kita gak usah ngikutin lagi lah. Pasti mereka bakal ke tempat-tempat lain yang pernah dikunjungi Ibu. Bikin tambah sakit hati aja.”
Dengan perasaan yang tiba-tiba jadi kosong, kami berdua memutuskan pulang. Rasanya sudah tak ada yang bisa kami lakukan. Mungkin memang Bapak betulan jatuh cinta kepada wanita muda itu. Mungkin memang betul bahwa jatuh cinta itu tidak pandang umur. Aku hanya kecewa, sebab semua kisah romansa indah yang disuarakan mengiringi tumbuh besarnya kami rupanya memang telah sampai di akhir ceritanya. Dan mungkin sebagai seorang anak, harusnya kami bisa melepaskan fakta bahwa kisah cinta kedua orang tua kami telah berakhir, apa pun alasannya, seindah apa pun kisahnya.
Lalu perhatianku teralih pada plang di tepi jalan bertuliskan ‘Jalan Pelanduk’, tertera dengan tulisan berwarna putih dan berlatar belakang hijau tua. Padahal tulisannya kecil—tak bergerak pula—tapi saat melintas, aku spontan menghentikan motorku. “Kenapa berhenti?” tanya Tira seraya aku putar balik motorku untuk masuk ke area jalan itu.
Lama kami berputar mencari rumah bernomor tiga belas. Beberapa rumah menyimpan nomornya di sudut-sudut yang sulit ditangkap mata. Meski begitu, akhirnya angka itu kami temukan—rupanya sempat kami lewati. Sebuah rumah semi kayu. Halamannya ditumbuhi banyak rumput liar—beruntung mereka tertahan dengan pagar agar tak tumbuh di jalanan umum. Rumah ini jelas tak berpenghuni.
“Jadi dia bohong, gitu? Dia baru pindah kemarin, sekarang rumahnya udah terbengkalai begini? Bukan tempat nge-kosnya ini pasti.” Aku kesal, perihal kemungkinan berbohong memang terjadi.
“Cari siapa, Mas?” tanya Ibu-ibu yang mungkin penasaran melihat kami pulang-balik di depan rumah kosong ini.
“Rumah ini udah lama gak ditinggali ya, Bu?”
“Udah lama, Mas. Sekitar sepuluh tahunan. Tapi orangnya masih sering kok datang ke sini. Mau bagaimana pun ini tetep rumahnya, atas namanya juga.”
“Namanya Vidya?” tanya Tira.
Ibu-ibu itu mengangguk, “Iya.”
“Kalau boleh tahu kenapa ditinggalkan begini, ya, Bu?”
“Mas sama Mbak ini siapanya Vidya? Karena setahu saya, udah gak ada keluarganya yang mau nampung dia setelah kejadian itu.”
“Bapak saya bakal nikah sama Vidya,” ungkap Tira yang disambut gembira oleh Ibu-ibu itu. Ia bahkan mengajak kami bersalaman sambil melempar senyum bahagia dan mengucapkan selamat.
Ibu-ibu itu menjelaskan, “Vidya itu korban kekerasan orang tua. Orang tuanya dulu normal-normal aja, cuman karena usaha tambak lelenya bangkrut, dan butuh sesuatu buat melampiaskan, jadilah Vidya sebagai targetnya. Kami para tetangga di sini gak ada sehari bisa tenang tanpa denger suara nangis Vidya. Udah sering dipanggil polisi—tapi ya namanya penjahat, entah bagaimana mereka mengelabui polisi. Entah karena mereka jago bohong atau karena petugasnya aja yang rada gak becus." Kemudian ia berhenti berkata seraya melempar ragu lewat matanya.
"Namanya manusia ya, mas-mbak, punya batas sabar. Vidya ngelawan dan orang tuanya meninggal dunia. Kita semua di sini jujur awalnya takut, dan sempat heboh karena ada pembunuhan. Tapi lama kelamaan ngerasa lega. Anak itu akhirnya bebas. Anak sekecil itu berdiri buat mempertahankan hidupnya sendiri. Beruntungnya waktu itu dia masih di bawah umur, dinyatakan punya gangguan jiwa akibat kekerasan yang menimpanya. Baru sekitar tiga tahun belakangan dia muncul lagi, kami sambut," tatapan Ibu itu jatuh mengiringi akhir kisah tersebut.
Kemudian ia melangkah mendekati Tira, mengambil tangannya dengan pelan, “Meskipun dia punya masa lalu yang kelam, dia tetap anak yang baik. Kalau kamu mau ngasih dia kesempatan kedua, percaya sama saya, Bapakmu pasti akan dirawat baik. Vidya udah lama hidup sendirian. Dia bukan anak muda manja, justru dia punya kemampuan buat bertahan hidup. Dan yang terpenting, dia bukan orang gila. Jangan percaya sama semua yang orang-orang bilang. Gak ada orang gila yang inget sama rumahnya.”
Memang sulit untuk ditelan, bagaimana Ibu-ibu ini tak mempermasalahkan atau bahkan bertanya perihal perbedaan umur Vidya dan Bapakku. Tira melepas tangannya tanpa meninggalkan sepatah kata pun—entah mau ke mana ia dengan kakinya.
Aku sempatkan berterima kasih ke Ibu-ibu tadi. Mau bagaimanapun, informasi darinya adalah semua yang kami inginkan. Jantungku berdegup kencang, mengingat bahwa Bapak tengah melakukan perjalanan ke banyak tempat bersama seorang pembunuh yang dinyatakan mengidap gangguan jiwa.
Saat tiba di tempat terakhir Bapak terlihat, kami tak mendapatinya. Ditelepon juga tidak digubris. Kami coba untuk mengingat tempat-tempat yang sering dikunjungi Ibu—menyusun kemungkinan yang ada jika memang pola kencan mereka demikian. Restoran, taman-taman lain, area persawahan, sudut-sudut bukit, sampai kami harus berhenti mengisi bensin sebentar, Bapak tak kunjung kami temukan. Terik matahari juga sudah mulai mereda. Entah di mana lagi harus kami kunjungi. Atau mungkin ada tempat favorit Bapak dan Ibu yang tak sempat diceritakan.
Tapi tiba-tiba... teleponku berdering.
“Halo? Tora... jemput Bapak. Bapak lagi di pelabuhan.”
***
Orang tua berkepala enam itu terduduk di bangku-bangku kecil menghadap kapal penumpang yang tengah sibuk menampung semua beban yang disanggupinya.
Aku menyentuh pundak Bapak yang sedari tadi mendongakkan kepalanya ke arah salah satu sudut kapal. “Bapak lihat apa?”
“Tunggu. Duduk dulu.”
Aku dan Tira pun duduk di samping Bapak, kita biarkan Bapak di tengah, membuatnya lebih aman. Ditemani suara ombak dan bunyi mesin motor yang tengah berlomba naik ke dalam kapal. Lalu di sudut yang sejak tadi Bapak perhatikan dengan sumringah, muncul Vidya—berdiri seolah memang punya tujuan di posisi itu.
“Dia ngapain di situ? Pak... dia itu pembunuh,” ujar Tira dengan emosi.
Bapak mengalihkan pembicaraan, “Kalian tahu tidak, hari ini ulang tahun saya?”
“Tahu lah, Pak. Cuman apalah arti umur, kalau ujung-ujungnya Bapak masih berlagak kayak anak muda. Main cinta-cintaan,” ucapanku ini disambut tawa oleh Bapak.
“Selama ini Bapak sama Ibumu nabung uang pensiunan untuk banyak sekali rencana. Tiap tahun kita berdua selalu ngerayain entah itu ulang tahun saya, atau Ibumu, pasti kita akan pergi menghabiskan waktu—dan uang—untuk saling mengingat bahwa kita sudah bersama-sama sejak masih muda.” Bapak mengambil napas panjang di sela-sela ceritanya. “Terus Ibu tiba-tiba pergi ninggalin Bapak sendirian.”
Setelah mengambil beberapa detik untuk mengatur napas, Bapak melanjutkan ceritanya, “Tahun ini Bapak yang dapat giliran untuk dipenuhi impiannya. Di ulang tahun Bapak, Bapak pengen nikah lagi dengan Ibumu. Hari paling bahagia dalam hidup Bapak itu ya pas berhasil nikahin Ibumu. Orang sekaku Bapak kalau bicara tentang cinta, bisa nikahin perempuan secantik Mega.” Bapak tertawa, ia tenggelam dalam memori bahagia di kepalanya. “Bapak cuman pengen ngulangin momen itu. Tapi Ibu gak nepatin janjinya.”
“Tapi gak harus sampai nikahin perempuan yang lebih muda.” Tira masih saja batu dengan emosi di hatinya.
Bapak merapatkan badannya ke Tira, setengah membelakangiku, “Coba kamu singkirkan semua amarah dan rasa kesalmu. Buang jauh curiga dan prasangka burukmu terhadap Vidya. Lalu kamu fokus perhatiin dia... siapa yang kamu lihat berdiri di sudut kapal itu?” Bapak membawa pandangan Tira memperhatikan Vidya.
Jujur aku bingung dengan maksud Bapak. Lalu semakin bingung melihat respon Tira setelah bermenit-menit lebih diam memperhatikan Vidya, “Astaga!” Lalu ia berdiri untuk mengambil jarak yang lebih dekat. Dada Tira memompa dengan cepat, “Kok bisa?” herannya.
Bapak mengeluarkan selembar foto dari saku kemejanya dan memberikannya padaku. Aku perhatikan perempuan dalam foto lawas itu, “Itu Ibumu waktu muda.” Sekarang aku paham. Tidak heran Tira lebih cepat tahu, sebab dia lahir tujuh tahun lebih dulu dariku, ia lebih mengenal wajah muda Ibu. Foto-foto muda Ibu kebanyakan sudah habis dimakan usia. Sewaktu Ibu mengandungku juga berat badannya jadi bertambah banyak, wajahnya sedikit berubah dari dahulu—Ibu sendiri yang bilang.
Aku berdiri dari bangku, mengambil jarak pandang yang lebih dekat ke Vidya. Pakaian Vidya hari ini adalah pakaian Ibu yang di foto. “Bapak ngasih baju kesukaan Ibumu ke Vidya. Baju itu Bapak simpan waktu Ibumu marah karena udah gak bisa makenya, badannya udah terlalu gemuk. Sekarang dia seperti bisa pake lagi baju itu.”
“Tapi ini salah, Pak.” Aku tak ingin jatuh ke emosi palsu. Yang di atas kapal itu bukan Ibuku. Ibuku sudah tidak ada. Meskipun di diriku, aku akui Vidya begitu serupa dengan Ibu. Seperti kata orang, bagai pinang dibelah dua. Bedanya Vidya jauh lebih kurus.
“Bapak tahu kalian bakal ngelarang. Makanya Bapak gak kasih tahu. Sewaktu gak sengaja ketemu sama Vidya, Bapak ngerasa dikasih kesempatan lagi buat berinteraksi sama Ibu kalian. Bapak jadi gelap mata. Bapak tuh masih belum bisa ikhlas sama kepergian Ibumu.” Mata Bapak berembun sekali. “Makanya Bapak minta tolong ke Vidya setelah cerita tentang kemiripannya dengan Ibumu. Akhirnya Vidya jujur juga sama masa lalu kelamnya, jujur tentang dia butuh uang untuk pergi dari tempat ini karena setiap pagi dia bangun, dia kebayang di saat dia melakukan itu ke orang tuanya. Bapak janji bakal ngasih semua uang pensiunan ke Vidya untuk modalnya pergi, kalau dia bersedia nikah sama Bapak. Kami berdua itu cuman saling bantu.”
Aku berupaya menenangkan Bapak yang semakin emosional. Sementara kuperhatikan Tira, ia sedang dalam persimpangan tak ingin mendalami kesenangan palsu itu atau tak ingin menyia-nyiakan kesempatan menyapa Ibu yang seolah masih hidup dalam raga Vidya.
“Bapak cuman pengen ngelakuin rencana Bapak sama Ibumu untuk ulang tahun kali ini. Seminggu... saja. Bapak gak bakalan sentuh Vidya, Bapak cuman pengen ngelihat dia selama beberapa waktu. Bapak tahu, hal ini gak bener, dan berencana kasih tahu kalian alasannya setelah Vidya pergi. Pernikahan tuh hal sakral, gak boleh dibecandain. Terus Ibumu...,” Kalimat Bapak terpotong, napasnya tersesak. “Akhirnya Ibumu datang buat menyadarkan Bapak. Tadi malam Bapak mimpi. Ibumu cuman duduk di atas ranjang, gak ngomong, gak ngapain-ngapain. Bapak berusaha buat berkomunikasi, tapi gak direspon. Akhirnya Bapak nyerah, Bapak cuman meluk Ibumu sampai Bapak kebangun sendiri.” Semakin bercerita, Bapak semakin emosional. Ia mulai menangis sesenggukan. Sementara orang-orang di sekitar mulai memperhatikan kami. Tira pun mulai sadar dari lamunannya.
“Bapak tahu Vidya itu bukan Ibumu. Ta—tapi Bapak juga gak mau menyia-nyiakan kesempatan seolah-olah Ibumu hidup lagi. Kalau gak bisa nikah lagi dengan Ibumu lewat Vidya, setidaknya ngelakuin hal-hal yang pernah Bapak dan Ibumu lakuin bisa mengobati rindu Bapak. Bapak cuman butuh bantuan kemiripan Vidya untuk ngerasain itu.. Tapi Bapak gak bisa bohong, yang Bapak butuh itu orangnya, bukan mukanya,” Bapak berusaha mengendalikan emosinya, “Ibu kalian itu meninggal dalam tidurnya,” ucap Bapak diiringi tarikan napas yang dalam, “Bapak gak sempet ngucapin selamat tinggal.” Tanganku dan Tira saling bergantian menepuk pundak Bapak.
Aku penasaran dengan bentuk duka yang dialami tiap anggota keluarga ketika salah satunya meninggal duluan. Duka yang aku alami sebagai anak laki-laki setelah kematian Ibu, pasti tidak sama dengan yang dialami Tira sebagai anak perempuan yang lebih lama hidup bersamanya. Lalu bagaimana dengan pasangan? Seremuk apa mereka hancur ketika orang yang berjalan bersamanya memutari dunia yang berantakan ini, dipanggil Tuhan tanpa pertanda apa pun?
“Bapak tetap ngasih uang pensiunan Bapak ke Vidya. Mau bagaimanapun Bapak sangat berterima kasih atas kemurahan hatinya. Jangan sebut dia pembunuh. Dia cuman anak kecil yang berusaha memperjuangkan hidupnya.”
Aku baru sadar seluruh penumpang sudah masuk ke kapal. Pemberitahuan bahwa kapal akan berangkat telah berkumandang.
Dihiasi matahari terbenam, kapal akhirnya berangkat ke tempat tujuannya. Seperti melepas kepergian perempuan yang kita kenal lama. “Ibumu sudah pergi lagi,” kata Bapak.
“Kita berdoa aja, Pak. Emang cuman itu yang bisa kita lakukan.” Aku berusaha tegar.
Sebagai manusia biasa, kita itu bisa mendorong diri kita sampai sejauh mana untuk menghindari semua yang takut untuk kita hadapi? Sekeras apa usaha kita buat menolak menyadari ketika semua ketakutan itu sedang atau sudah terjadi? Apa iya rasa sakit itu perlu ditelan supaya keadaan bisa jadi baik-baik saja? Menelan kenyataan tapi pahit, lebih baik daripada kebohongan yang manis?
Aku jadi bertanya ke diriku sendiri, apa aku juga sudah menghadapi dukaku dengan benar, atau selama ini aku tak sadar sudah melarikan diri, tapi tidak ada yang memberitahuku?
Banyaknya hal yang tidak terduga dalam beberapa hari ini, membuat kami luput dari kewajiban untuk mengiringi perjalanan Ibu dengan berbagai macam bentuk doa dan amin yang paling serius. Bahwa semoga ia diberikan balasan paling indah atas semua keringat dan luka kasar yang ia sembunyikan dari semua yang dicintainya.
Tuhan, sebab engkau adalah maha baik, ampunilah segala bentuk kelam di masa lalunya. Sebab kini yang kami tahu, Ibu telah bersusah payah dan terus berusaha hingga akhir hayatnya untuk cukup di mata semua yang dicintainya.
Dan juga bahwa kamu, Ibu, sedikit pun tidak akan pernah terganti—entah ada ataupun telah tiada. Dibanding dunia, surga adalah tempat yang lebih pantas bagimu. Ini adalah doa dari semua yang mencintaimu.
Selesai.
ADA APA DENGAN PRIA SETENGAH ABAD? By Esde Em.