Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Abim dan Cita-citanya
1
Suka
32
Dibaca

"Satu-dua, satu-dua, satu-dua."

Dengan wajah tersenyum, Engkong Awi menatap Abim cucunya yang sedang main tentara-tentaraan di halaman rumah.

Abim memakai topi dari kertas koran, juga tongkat bekas gagang sapu sebagai tongkat komando.

"Kong, Abim udah gagah belum?" tanya Abim lantang.

"Cucu Engkong mah begini!" Engkong Awi mengacungkan jempol.

"Hahaha, Abim mau jadi tentara ah!" Abim bergelak tawa.

"Kemarin bilangnya mau jadi pemadam kebakaran, kok berubah lagi?"

Abim mengalihkan pandangan matanya ke arah ibunya. Ibunya keluar dari dalam rumah dengan tangan memegang gelas teh buat Engkong Awi dan sepiring pisang rebus.

"Terima kasih Tari," ucap Engkong Awi pada ibunya Abim, setelah menerima suguhan sore khusus untuknya.

Di atas meja teras kini tersaji piring pisang rebus dan gelas teh manis.

Abim yang melihat itu, berlari kecil menuju teras. Dia lapar dan pisang rebus salah satu makanan favoritnya, apalagi di hari menjelang sore ini kadang rasa lapar tak tertahankan.

"Apa masih mau jadi tentara atau mau berubah lagi?" tanya Tari, ibunya Abim yang ikut duduk di sebelah Engkong Awi.

"Iya dong Ma, kan Engkong bilang Abim itu gagah. Betul kan Kong?" tanya Abim pada Engkong Awi.

Tapi tangan Abim tak lupa untuk mengambil satu pisang rebus.

"Mana ada tentara yang pendek dan gemuk kayak kamu, Abim. Doyannya makan terus sih!" Tari tersenyum.

Abim bengong. Dia sekejap berhenti mengunyah pisang rebus yang telah masuk ke dalam mulut.

"Kalau Abim mau olahraga, bisa kok perutnya kempes." Engkong Awi memberi semangat Abim.

"Berenang saja Abim tak bisa, lari napasnya pendek. Susah, susah. Sebaiknya Abim jadi dokter aja, ya!" goda Tari.

"Memangnya kalau jadi tentara itu harus bisa berenang ya Kong?" Abim menatap Engkong Awi.

"Lah, iya. Karena tugas tentara itu banyak dan salah satunya di dalam air. Jadi harus bisa berenang. Abim mau kan belajar renang?" tanya Engkong Awi.

"Abim angkat tangan Kong. Takut tar dibilang kodok berenang lagi." Abim memasang muka lucu.

Suara tawa Engkong Awi dan Tari ibunya Abim pun meledak. Begitu juga Abim yang diam-diam sudah mengambil pisang rebus kedua, mulut tertawa tapi tangan ya siap mengambil pisang rebus dari piring.

*Kalau Abim kodok, berarti Engkong itu Engkongnya kodok dong;" goda Engkong Awi.

Kembali suara tawa terdengar ramai.

"Abim sana mandi, sudah waktunya kamu untuk siap-siap ke mesjid. Ngaji dan sholat maghrib," ucap Tari sambil berdiri dari duduknya.

Abim mengiyakan, bocah berusia sepuluh tahun itu berlari menuju ke dalam rumah. Tapi dia balik lagi karena dipanggil ibunya yang marah, sebab sebelum masuk ke rumah sempat membuang begitu saja topi kertas korannya di dekat pintu.

"Kamu jangan terlalu keras pada Abim. Kasihan dia, sudah tak punya Papa," pesan Engkong Awi.

"Tapi Kong, kalau tak dikasih tahu dan diajarkan dengan benar, takutnya Abim semakin nakal dan susah diatur," bantah Tari.

"Iya, benar juga. Tetap saja kamu harus kasih hadiah jika dia mau menurut. Hukuman tetap ada jika dia salah, hadiah harus diberikan saat dia benar," pinta Engkong Awi.

Tari tak membantah.

***

Abim baru saja memakai sandalnya ketika Sandi menepuk bahunya.

"Main yuk, Bim!" ajak Sandi

"Aku lapar tahu. Mau makan," tolak Abim.

"Wah, kamu mah makanan mulu di otakmu. Pantas gemuknya nggak hilang-hilang." Sandi berdecak.

"Habis makan enak banget. Rugi kalau nggak doyan makan." Abim tertawa sambil berjalan pergi.

Sandi menyusul Abim.

"Mama kamu masuk apa sih?" tanya Sandi.

"Bakwan jagung, sayur sop sama telur dadar kornet kesukaanku," jawab Abim.

"Kalau bakso enak nggak?" tanya Sandi lagi.

"Wuih, enak tuh. Bakso taman, aku suka sama bakso telur puyuhnya." Mata Abim bersinar terang.

"Kalau gitu, ikut aku saja. Main ke taman dan makan bakso. Aku juga mau beli sesuatu." Sandi berhenti berjalan.

Abim ikut berhenti. Dia berbalik menatap Sandi yang sedikit lebih tinggi darinya dan berbadan kurus.

Padahal Sandi termasuk anak orang berduit. Abim suka ditraktir waktu istirahat sekolah, juga saat bermain di sekitar rumah mereka.

"Gimana, mau kan ikut aku ke taman?" tawar Sandi.

"Duh, gimana ya? Aku bukan tak mau pergi, tapi aku butuh bukti," ucap Abim.

"Ah, aku tahu. Ini kan?" Sandi mengeluarkan uang selembar berwarna biru.

"Itu uang siapa? Kamu nyolong ya dari dompet Ibumu?" tebak Abim.

"Ih, enak aja! Aku akui aku badung, tapi aku bukan pencuri. Ini uang dari Pamanku yang kemarin datang ke rumah," jelas Sandi tegas.

Abim mengangguk. Dia menggoda Sandi, sebab dia tahu meski teman baiknya itu anak yang badung, tapi tak mau berbuat kejahatan. Badungnya Sandi itu sekedar malas belajar dan memilih sibuk bermain apa saja.

Tadi saja waktu mengaji, Sandi beralasan sakit perut pas jatah dia membaca Al-Qur'an.

Guru ngaji merangkap marbot masjid sudah paham akan tabiat Sandi, dia pun tak memaksa dan menunggu saat sadarnya Sandi.

Kecuali jika Sandi mengajak yang lainnya untuk malas membaca Al-Qur'an, baru deh akan marah.

"Kamu memang mau beli apa sih?" tanya Abim saat mereka mulai berjalan lagi.

"Mau beli gangsing, kamu mau juga?" Sandi balik bertanya.

"Aku nggak mau nolak kalau dibeliin." Abim tertawa.

Sandi ikut tertawa, dia sudah paham Abim.

Untuk menuju taman yang mereka tuju, dari mesjid ke sana butuh sekitar lima belas menit berjalan kaki. Terus mereka juga harus menyebrang jalan, karena taman itu berada di lingkungan komplek lain.

Namun perjalanan mereka berdua harus berakhir, taman yang dituju sama sekali tak bisa di datangi malam ini.

Karena saat mereka ingin menyeberang jalan, sebuah mobil berhenti. Dari dalam mobil turun seorang pria berbadan besar dan berwajah galak.

"Masuk, kalau tidak ini!"

Abim dan Sandi ketakutan, mereka mau berteriak tapi tak bisa, karena takut melihat tangan pria asing yang mengepal dan terlihat besar.

Apalagi keadaan jalan raya sepi dari lalu lalang kendaraan dan manusia yang berjalan kaki.

Terpaksa Abim menyeret Sandi untuk masuk ke dalam mobil. Setelah itu mobil pun melaju pergi.

***

Abim berdiri menatap ke arah luar jendela. Ternyata di kamar yang menjadi tempat penyekapan dia dan Sandi itu, bagian belakangnya itu sebuah empang.

Sambil menatap ke luar jendela yang diterangi cahaya bulan purnama, Abim teringat perkataan Engkong Awi sebelum dia berangkat mengaji.

"Abim masih mau kan jadi tentara? Jadi tentara itu harus berani menghadapi segala tantangan dan rintangan. Tapi kalau Abim memilih tak menjadi tentara saat besar nanti, tetap harus punya keberanian."

"Abim harus ingat takut tak akan menolong, tapi keberanian pun harus memakai akal. Asal berani akan celaka juga akhirnya, perlu menggunakan akal dengan baik."

"Ya, Engkong benar!" Abim mengangguk setelah dia teringat pesan Engkong Awi.

"Engkong benar apa, Bim?" tanya Sandi sambil menggaruk tangannya, gatal karena digigit nyamuk.

Kamar yang bercahaya temaram membuat nyamuk menjadi banyak.

"Kita harus kabur dari sini!" Abim menatap Sandi.

"Kabur gimana? Pintu kan dikunci." Sandi geleng-geleng kepala.

"Kita bisa terobos jendela dan kabur lewat empang." Abim menunjuk keluar jendela.

"Eh, betul itu! Tapi kamu bisa berenang?" tanya Sandi menatap Abim.

Sandi pernah mengajak Abim pergi ke kolam renang, hasilnya Abim lebih banyak berjalan atau merendam dirinya. Padahal kolam yang digunakan itu kedalamannya cuma satu meter.

"Aku coba deh, siapa tahu empangnya tak dalam. Kalau dalam, aku nanti ngumpet nunggu kamu datang bawa bantuan," terang Abim.

"Oh, aku paham. Jadi kamu ngumpet dan aku cari bapak-bapak ronda gitu, terus telepon polisi dan para penculik ditangkap. Aku setuju, ayo tos!" ajak Sandi.

Mereka melakukan tos.

Mendadak pintu kamar terbuka.

"Jangan berisik, sudah malam dan kalian cepat tidur! Besok, kita akan pergi ke luar kota dan tugas kalian mengemis."

Abim dan Sandi terdiam. Suara pria berbadan besar salah satu penculik mereka itu terdengar menyeramkan dan membuat takut.

Abim dan Sandi pun berpura-pura tidur di lantai kamar yang penuh debu.

***

"Sandi, bangun!" Abim mengguncang tubuh Sandi.

Ternyata Sandi tidur beneran, bukan pura-pura seperti Abim.

"Ada apa sih? Memangnya sudah pagi apa? Eh, kamu ngapain di kamarku?" tanya Sandi mengigau.

"Di kamarmu apa? Kita kan diculik, ayo kabur!" Abim menunjuk ke jendela.

Tadi Abim iseng membuka jendela dan ternyata mudah dibuka dari dalam, tak ada penghalang dari luar yang membuat jendela susah dibuka.

"Wah, iya kita diculik!" Sandi berteriak takut.

Beruntung Abim cepat menutup mulut Sandi dan memberi kode agar tak berisik.

Sandi pun sadar, dia mengangguk.

Lalu mereka berdua berjalan ke jendela. Setelah sempat berdebat sejenak siapa yang lebih dulu naik jendela dan melompat keluar, akhirnya diputuskan Abim lebih dahulu.

Sandi tak lupa mendorong tubuh Abim agar bisa dengan mudah melewati jendela, menyusul dirinya setelah Abim meloncat turun.

"Aduh!" pekik Abim tertahan.

Abim masih sempat sadar, dia tak mau mengaduh dengan suara keras karena takut di dengar para penculik yang berjumlah tiga orang, sesuai isi di dalam mobil waktu mereka tertangkap pertama kali.

Jika Abim mengeluarkan suara keras, dia yakin para penculik akan menangkap mereka kembali dan usaha melarikan diri gagal total. Dia tak mau berpisah dari Engkong Awi dan ibunya.

"Kenapa kamu? Ada ular ya?" tanya Sandi berbisik, dia masih di atas jendela bersiap meloncat turun.

"Bukan, tapi ada bom kucing. Bau banget!"

Sempat-sempatnya Abim mencium telapak tangan yang memegang kotoran kucing.

Sandi mau tertawa, tapi dia tahan. Karena saat ini bukan waktunya membuat keributan. Dia dan Abim sepakat, harus bisa melarikan diri dan terbebas dari para penculik.

Mereka berdua telah berada di luar kamar. Lalu Sandi turun lebih dulu ke dalam empang.

"Ayo turun, tak dalam!" ajak Sandi.

Dengan bantuan sinar bulan purnama, Abim bisa melihat kedalaman air hanya sebatas dengkul Sandi. Tanpa ragu, dia pun ikut turun ke dalam empang.

Tapi ketika mereka mulai berada di tengah empang, Abim berhenti berjalan karena kedalaman air mulai naik sampai ke leher. Ternyata ada banyak lumpur di dalam empang.

"Kamu tunggu di sini, biar aku berenang ke sana. Tadi aku sempat mendengar ada suara orang bicara." Sandi tak menunggu jawaban Abim.

Sandi terus berenang menuju asal suara yang dia dengar. Benar saja semakin dekat dia melihat ada dua orang sedang memancing. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat kedua pemancing kaget.

"Paman tolong jangan teriak, nanti para penculik tahu aku melarikan diri!" pinta Sandi cepat.

"Diculik?" kaget mereka.

Sandi pun mendapatkan pertolongan untuk segera naik dari empang. Saat dia berada di luar empang, dia baru sadar jika dilihat-lihat kamar yang dijadikan tempat dia disekap penculik merupakan gedung yang terbengkalai dan empang jauh dari perumahan.

Sandi pun menjelaskan keadaan dirinya bagaimana menjadi korban penculikan dan Abim yang masih berada di tengah empang.

Ternyata kedua orang yang sedang memancing itu seorang tentara dan polisi.

Anggota tentara segera masuk ke dalam empang untuk menolong Abim, yang polisi menelepon teman sesama polisi untuk menangkap para penculik.

***

Dalam perjalanan pulang setelah dijemput dari kantor polisi, di dalam mobil milik bapaknya Sandi, Abim tak henti-hentinya bercerita keberaniannya.

"Karena itu, Abim mau jadi tentara atau polisi saat besar, biar bisa menangkap penculik anak-anak," ucap Abim yakin.

"Iyain aja Kong. Nanti juga berubah lagi cita-cita si Abim, kan dia selalu begitu!" ucap Tari yang ikut menjemput.

Di dalam mobil itu berisi enam orang, orang tua Sandi, Engkong Awi dan ibunya Abim. Tak lupa Abim dan Sandi yang hampir saja akan berpisah besok jika tak melarikan diri dari tangan para penculik.

"Iya Tante, paling kalau lihat badut, Abim bakal bilang mau jadi badut," celetuk Sandi.

Tawa pun pecah di dalam mobil.

Abim pun tersenyum, karena hatinya tak yakin jika sudah besar apa akan jadi tentara atau tidak. Tapi yang dia tahu, saat sampai rumah dia mau nasi goreng buatan ibunya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Abim dan Cita-citanya
Anggri Saputra
Cerpen
Merah
Anggri Saputra
Cerpen
Bronze
Janji Tak Akan Ingkar
Galih Priatna
Cerpen
Bronze
Persimpangan di Stasiun Kereta
AnotherDmension
Cerpen
24 Jam
Devi Wulandari
Cerpen
Bronze
Hilang Sebelum Sampai
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Rambut Merah Ceri
Red Cherry
Cerpen
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa seorang ayah
Iyanti
Cerpen
Bronze
TRAM TO 2037
IGN Indra
Cerpen
A MAN WITH FEMALE BIRD
SIXTEARS
Cerpen
Sang Penembus Dua Sisi
Janeeta Mz
Cerpen
Bronze
Pending Apologize (Sintas Universe)
Keita Puspa
Cerpen
Bronze
Jangan takut untuk berbuat baik
Muhamad Maulana Ibrahim
Cerpen
Terra Valley Rise of The Golem Empire
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Aroma Kayu
m aziz khulaimi hasni
Rekomendasi
Cerpen
Abim dan Cita-citanya
Anggri Saputra
Cerpen
Merah
Anggri Saputra
Novel
Kembali Pulang
Anggri Saputra
Novel
Di Ujung Hujan
Anggri Saputra
Cerpen
Bronze
Baju Koko Bapak
Anggri Saputra
Cerpen
Bronze
DIA
Anggri Saputra
Cerpen
Bronze
Mawar Patah
Anggri Saputra
Flash
Kamu Jangan Pergi
Anggri Saputra
Cerpen
Bronze
Tamu Tengah Malam
Anggri Saputra