Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Makam Bung Karno hilang!”
“Makam Pak Karno lenyap!”
“Makam Bung Karno raib!”
Teriakan wajah-wajah pias dari sederet orang yang selama ini bergantung hidup dari menjual souvenir di sekitar Makam Bung Karno memecah keheningan pagi. Padahal kokok ayam jantan belum lagi usai. Dalam tempo yang tak terlalu lama, teriak kehilangan itu telah membangunkan seluruh warga yang tinggal di sekitar makam Sang Proklamator. Mereka berbondong-bondong mendatangi area makam yang selama ini jadi sumber mata pencaharian.
Serta merta mata mereka membulat sempurna. Mereka terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Betapa tidak! Komplek makam yang tadi malam masih berwujud bangunan megah dan menawan, di pagi buta ini telah berubah menjadi gundukan tanah kering kerontang. Semua kemegahan yang merupakan daya tarik bagi wisatawan serta merta lenyap ditelan bumi.
Mereka saling pandang dengan dada bergemuruh dan rona kesedihan yang menghias wajah. Beberapa perempuan yang biasanya menjual bunga untuk ziarah tampak tak dapat lagi menahan jatuhnya air mata. Hari-hari yang teramat berat dan mengenaskan spontan tergambar nyata dalam benak mereka. Sungguh, mereka tak sanggup kehilangan sumber pendapatan. Terlebih bagi mereka yang masih membiayai anak-anak sekolah. Raibnya makam Bung Karno seakan menjerat leher mereka dalam kedukaan.
Tanpa dikomando mereka serentak duduk bersimpuh di atas tanah kering bekas makam. Kepala mereka tertunduk ke bumi. Pikiran sederhana mereka tak sanggup mencari jawab atas misteri hilangnya makam Bung Karno yang secara otomatis juga musnahnya sumber pendapatan.
“Pakne, bagaimana nasib jabang bayi yang masih ada di dalam perutku ini jika kita tak bisa berjualan souvenir lagi?” rintih seorang ibu muda di sela isak tangisnya. Perlahan tangannya mengelus-elus perut yang membusung karena hamil 9 bulan.
Saeni, lelaki bertubuh kurus dan berambut ikal yang saban hari jadi juru parkir di sisi selatan makam, tak mampu menjawab keluhan istrinya. Menghapus lelehan air mata di pipi sang istri menjadi satu-satunya hal yang dapat ia lakukan. Ia sendiri sedang bingung. Pikirannya berkecamuk dengan hebat. Ia yang selama ini bergantung hidup pada ramainya pengunjung makam, tak tahu harus berbuat apa setelah raibnya makam secara tiba-tiba.
“Pikirkanlah sesuatu, Pakne. Carilah sebuah solusi untuk mengatasi masalah ini.” Kembali istrinya menumpahkan keluhan.
“Tapi apa yang bisa aku perbuat Bune, keahlianku hanyalah memarkir kendaraan pengunjung,” sahutnya pasrah tanpa berani menatap wajah istrinya yang masih berurai air mata.
Saeni pilih mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Banyaknya warga yang kehilangan pendapatan sedikit meringankan beban pikirannya. Paling tidak ia merasa tak sedang sendirian dalam menghadapi masalah yang super berat ini.
“Ya Allah, apa yang sebenanrnya sedang terjadi atas makam Bung Karno ini?” batin Saeni menghiba.
Namun tentu saja pertanyaannya itu tak pernah mendapat jawaban seperti yang ia mau. Tanah area makam yang mendadak kering kerontang terasa seolah sedang mencemooh dirinya dan semua orang yang dibanjiri nestapa itu. Deretan pohon bunga Kamboja yang semula ada di sisi utara makam yang biasanya setia memberikan kesejukan, kini menyisakan hamparan tanah kosong berhias rumput berwarna coklat yang mati kekeringan.
Pandangan sayu Saeni terhenti pada sosok lelaki tua yang mengenakan baju lurik dan celana kombor hitam. Lelaki tua itu berdiri agak jauh dari kerumunan seraya mengusap-usap udeng yang menghiasi kepalanya.
“Mbah Sentul,” gumam Saeni lirih. Bahkan nyaris tak terdengar.
Serta merta timbul satu pemikiran positip di permukaan benak Saeni.
****
Di hari ketiga semenjak hilangnya makam Bung Karno secara misterius itu, kondisi warga di sekitar makam masih terlihat berkabung. Deretan lapak pedagang suvenir belum ada satu pun yang buka. Semua masih tertutup rapat seperti tertutupnya pintu rejeki yang didamba. Begitu pun deretan rumah yang menyediakan jasa parkir kendaraan, semua tertutup rapat seakan tiada lagi denyut kehidupan. Hanya nampak satu-dua orang yang berdiri di depan lapak terkunci sembari memandang bekas area makam dengan tatapan kosong.
Dari hasil rembug warga selama dua hari ini, diperoleh kata sepakat bahwa mereka hari ini akan mendatangi kantor dewan guna meminta solusi atas permasalahan yang telah mengakar dalam hati. Saeni ketiban sampur sebagai juru bicara yang harus menyampaikan uneg-uneg keresahan warga yang kehilangan sumber pendapatan akibat raibnya makam Bung Karno di hadapan para anggota dewan yang dulu mereka dukung pencalonannya.
Misi mulia itu dijalankan Saeni dengan mulus. Dengan suara bariton yang jelas dan tegas, Saeni sukses menyuarakan aspirasi warga yang jadi akar atas hilangnya salah satu icon yang membuat Blitar kawentar. Sayang pihak dewan belum berani mengambil satu tindakan seperti yang warga harapkan. Dengan alasan harus bersidang dahulu sebelum membuat satu kebijakan, dewan meminta warga untuk pulang dan bersabar sementara waktu.
“Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu semua. Kami para wakil rakyat juga merasa sangat kehilangan dan sangat bersedih atas hilangnya makam Bung Karno secara misterius itu. Sebagai akar kawentar dari kota Blitar tentu ketidakberadaan makam itu akan mempengaruhi perputaran roda ekonomi dari sektor pariwisata. Bukan hanya kalian yang kehilangan pendapatan tapi pemerintah juga merasakannya. Namun perlu diketahui bahwa kinerja dewan memiliki prosedur yang harus dilalui sebelum mengambil suatu kebijakan. Jadi berilah kami waktu untuk bersidang dulu guna menentukan tindakan yang tepat bagi semua warga. Sekarang silakan Bapak-Ibu pulang dan bersabar dulu menunggu hasil sidang yang akan secepatnya kami sampaikan,” kata Ketua Dewan.
Tak ada suatu hal yang warga lakukan selain melangkah lunglai meninggalkan kantor dewan dengan keluh-kesah yang semakin memanjang. Hati memang bisa saja bersabar tapi kebutuhan perut kian mengejar.
Saeni dan istrinya semakin gusar. Jabang bayi yang menghuni perut semakin membesar dan mendekati waktu keluar. Sementara uang yang mereka sisihkan dari hasil berjualan selama ini, kian menipis untuk menutupi kebutuhan beberapa hari ini. Padahal uang itu sedianya untuk biaya melahirkan.
Seperti angin kering yang bertiup menggoyangkan hamparan rumput kerontang di area bekas makam, pikiran Saeni kian terombang-ambing oleh ketidakpastian. Keyakinannya untuk bertahan hidup serasa hampir goyah. Hingga muncul penyesalannya, mengapa dirinya tidak ikut sirna saja bersama raibnya makam Bung Karno yang menyisakan kepedihan.
Saeni sendiri heran bagaimana ia mampu berbicara begitu lantang di dalam kantor dewan tadi siang. Padahal sekali pun ia belum pernah belajar berpidato di depan orang. Entah kekuatan dan keberanian darimana yang membuatnya mampu melakukan tindakan besar itu. Mungkinkah aura Bung Karno sebagai Singa Podium telah menitis pada dirinya?
Akh, mustahil! Makam Bung Karno sebagai akar kawentar kota Blitar kini telah lenyap. Tak mungkin arwah Bung Karno hinggap pada tubuh kotor seperti dirinya. Tanpa sadar Saeni menggeleng-gelengkan kepala di depan pintu rumahnya yang lengang.
****
Huff! Saeni menghela napas panjang sambil mengusap perutnya yang keroncongan. Kesedihan mendera dadanya saat ia tatap sejumlah suvenir yang mulai berdebu di lapak istrinya yang tertutup rapat. Ia tak tahu lagi hendak dikemanakan semua dagangan itu. Padahal sebagian dagangan itu adalah milik para pengrajin yang sudah ia pesan dan harus dibayar secara berkala. Sementara sejak raibnya makam Bung Karno, belum ada yang terjual sama sekali.
Dalam kebuntuan pikirannya Saeni tak habis mengerti mengapa makam Sang Penyambung Lidah Rakyat yang selama ini jadi magnet pendatang rejeki tiba-tiba hilang tanpa diketahui di mana rimbanya. Salah dan dosa apa yang telah dilakukan warga sekitar sehingga makam Bung Karno moksa layaknya Syodanco Supriyadi. Ia yakin pasti ada faktor penyebab di balik musibah ini. Arwah Bung Karno tak mungkin tega menyaksikan masyarakatnya menderita.
Dari buku-buku sejarah yang pernah dibacanya, Bung Karno adalah sosok yang dekat dengan rakyat. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk berjuang memerdekan rakyat dan mengabdi untuk kepentingan rakyat. Bahkan setelah wafat, makamnya masih mampu mendatangkan rejeki bagi masyarakat. Pengunjung dan peziarah yang tak pernah sepi adalah bukti nyata betapa Beliau masih jadi Penyambung Lidah Rakyat secara nyata.
“Pakne, sampai kapan kondisi mengenaskan ini harus kita jalani? Uang dari mana yang akan kita berikan pada para pengrajin suvenir bila sewaktu-waktu mereka datang meminta upahnya?” Suara sang istri membuyarkan kecamuk yang bersarang di benak Saeni.
“Entahlah, Bune. Aku sendiri juga bingung. Otakku terasa buntu,” sahut Saeni tanpa berpaling dari deretan suvenir yang diselimuti debu kering.
“Apa ndak sebaiknya Pakne tanyakan pada orang pintar begitu.”
“Maksudmu, dukun?”
“Ya semacam itu, Pakne. Siapa tahu ada yang bisa ngasih jalan keluar.”
“Tapi siapa ya Bune kira-kira orang pintar yang mumpuni?” Kali ini Saeni bertanya seraya menatap wajah istrinya dengan lekat.
Oh! Ada rasa iba yang memenuhi rongga dada Saeni. Belum genap seminggu kondisi susah melanda, wajah istrinya terlihat semakin menua. Kiranya beban pikiran yang teramat berat telah menggerogoti jiwa istrinya yang sedang hamil tua. Mungkin dua atau tiga hari lagi jabang bayinya akan segera menghirup udara kotor di dunia.
“Bagaimana kalau tanya ke Mbah Sentul, Pakne?” usul istrinya setelah berdiam diri beberapa saat.
“Mbah Sentul?” ulang Saeni.
Sang istri mengangguk pelan.
“Ya, ya, di hari lenyapnya makam Bung Karno itu sebenarnya aku sudah kepikiran akan hal itu. Tapi pikiran itu lenyap ketika aku didaulat warga untuk jadi juru bicara di kantor dewan. Untung sekarang kau ingatkan, Bune.”
“Kalau begitu bergegaslah temui dia, Pakne,” dorong istrinya.
“Ya, aku pasti akan segera menemuinya Bune. Jadi sekarang aku harus mencari kembang telon dan ubo rampe lainnya sebagai syarat.”
“Ya cepatlah Pakne, mumpung masih pagi.”
“Baik Bune, aku berangkat. Doakan membawa hasil baik, ya.”
“Tentu Pakne. Doaku menyertaimu.”
Saeni melangkah pergi, meninggalkan istrinya yang memanjatkan doa terbaik walau hanya terucap dalam hati.
****
Adzan Ashar baru saja berkumandang saat Saeni menghadap Mbah Sentul di pendopo rumah Joglo-nya. Belum sempat Saeni mengutarakan maksud kedatangannya, lelaki tua itu sudah pula menyambutnya dengan pernyataan yang membuatnya tercengang.
“Saeni, Sampeyan datang ke sini pasti hendak menanyakan perihal raibnya makam Bung Karno kan? Sampeyan dan warga lain yang selama ini bergantung hidup pada keramaian pengunjung makam pasti bertanya-tanya ada apa di balik semua peristiwa ini?”
“Iya, Mbah.” Saeni mengangguk sopan.
“Sekarang lebih baik Sampeyan pulang saja, nggak ada yang bisa Sampeyan perbuat di rumah ini.”
“Mak … maksudnya Mbah?”
“Nanti malam kumpulkan semua warga di bekas area makam. Di bawah bulan purnama nanti akan aku jelentrehkan sebab-musabab raibnya makam Bung Karno yang misterius ini,” ujar Mbah Sentul seraya memilin jenggotnya yang sudah memutih semua.
“Baik, Mbah.”
“Satu hal lagi ….”
“Apa Mbah?”
“Sampai di rumah sebungkus bunga telon yang kau bawa itu, kau rendamlah di dalam sebuah degan ijo yang dipotong bagian bawahnya. Jangan lupa tetesi dengan munyak Japaron tiga kali.”
Hah! Keyakinan Saeni untuk mendapat solusi semakin menjadi. Lagi-lagi Mbah Sentul mampu membeberkan kebenaran yang belum sempat Saeni katakan. Tak salah kiranya jika warga sekitar begitu menyegani sesepuh ini.
“Nanti tepat jam tujuh, Sampeyan harus berangkat duluan ke bekas area makam Bung Karno. Taburkanlah bunga dan air degan ijo itu ke atas gundukan tanah yang paling tinggi sambil berputar tujuh kali,” lanjut Mbah Sentul.
“Baik, Mbah. Terima kasih.”
“Ya, sekarang Sampeyan pulanglah.”
Tanpa menyahut, Saeni berdiri dengan membawa serta sebungkus kembang telon yang belum sempat ditunjukkannya pada Mbah Sentul. Sebotol kecil minyak Japaron juga masih utuh di saku celananya. Sambil membungkuk santun, Saeni menjabat tangan sesepuh itu.
Ada secercah ketenangan batin yang mulai merayap di dinding hati Saeni. Keyakinan akan mendapatkan solusi atas masalah ruwet yang sedang terjadi, membuat langkah Saeni terasa ringan ketika meninggalkan halaman rumah Joglo itu.
Mbah Sentul menatap kepergian Saeni dengan pandangan penuh arti. Wangi bunga melati bercampur dengan aroma dupa mengiringi langkah Mbah Sentul beranjak ke kamar semedinya.
****
Purnama bertahta. Menampilkan wajah cerah bulat sempurna. Binar cahaya keemasannya mencumbui wajah bumi yang begitu asri. Pucuk dedaunan jadi mengkilat karena sinar rembulan yang mesra menjilat.
Mbah Sentul dengan pakaian kebesarannya, baju lurik dan celana kombor hitam lengkap dengan udeng menghias kepala, berdiri angker di tengah kerumunan warga yang duduk bersila mengitari tanah gundukan bekas makam. Semua kepala tertunduk ke bumi. Membiarkan lidah rembulan menjilati ubun-ubun yang jengah lantaran belum mendapat satu solusi atas masalah yang sedang dihadapi.
Sesuai arahan dari Mbah Sentul, Saeni duduk di barisan depan dengan posisi menghadap kiblat. Bibir tebalnya tak henti merapal mantra yang telah diajarkan Mbah Sentul secara singkat.
“Dulur-Dulur semua, perlu kalian ketahui bahwa sebelum kalian semua berkumpul di tempat ini tadi, tepat jam tujuh lebih tujuh menit tujuh detik, Saeni sudah saya perintahkan untuk menabur bunga di tempat ini sambil berkeliling tujuh kali. Mengapa harus serba tujuh?”
Sambil bertanya Mbah Sentul mengedarkan pandangan. Tak seorang pun yang berani menjawab. Jangankan menjawab, mendongakkan kepala saja tak ada yang berani. Aroma rendaman bunga bercampur minyak wangi lebih mendominasi. Hening. Semua terdiam menunggu wejangan. Hembusan angin malam yang bertiup perlahan menambah suasana terasa kian mencekam. Hanya nyanyian jengkerik yang terdengar di sela helaan napas jiwa-jiwa yang terkapar.
“Karena dalam bahasa Jawa, tujuh itu adalah pitu dari kata pitulungan atau pertolongan. Jadi kita semua berkumpul di sini tak lain untuk meminta pertolongan dari Gusti Allah atas raibnya makam Bung Karno yang sekaligus menjadi hari raibnya sumber penghasilan kalian.
Malam ini merupakan malam ke tujuh hilangnya makam Bung Karno. Sudah tak terhitung berapa banyak kerugian yang kalian tanggung. Sementara para wakil rakyat juga tak mampu memberi solusi yang baik untuk mengatasi masalah ini. Kalian tahu mengapa?” Kembali Mbah Sentul mengedarkan pandangannya yang waskita.
Semua kepala menunduk semakin dalam. Aroma kembang telon dan minyak Japaron yang menusuk hidung, membawa angan semua warga melayang pelan. Perlahan tapi pasti, pikiran dan hati semua orang yang hadir di tempat itu terasa lebih ringan. Meski jalan keluar belum lagi ditemukan.
“Karena sebenarnya makam Bung Karno itu tidak hilang secara nyata.”
“Hah! Mak … maksud Mbah Sentul apa?” Hanya Saeni yang berani mengeluarkan kata hatinya. Serta merta semua mata terarah pada lelaki kurus itu. Tapi Saeni tak peduli. Matanya terpusat ke Mbah Sentul yang rambutnya melambai-lambai dipermainkan angin malam.
“Dalam mata batin saya makam Bung Karno itu tidaklah hilang. Makam itu tetap ada di sini. Hanya saja mata telanjang kalian yang tak mampu melihatnya. Hal itu terjadi karena mata batin kalian tertutupi oleh kepentingan-kepentingan duniawi yang hanya bersifat sesaat. Begitu makam Bung Karno hilang dan tak terlihat, kalian sedih, bingung, kecewa, bahkan berputus asa karena merasa kehilangan sumber pendapatan. Di mata kalian, keberadaan makam Bung Karno ini tak lebih hanyalah tempat mengais rejeki. Di pikiran kalian makam Bung Karno ini sebatas akar yang membuat Blitar kawentar dan ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah bahkan dari manca negara. Tak pernah sekali pun kalian sadar bahwa di mata dan hati kalian, arti penting yang sesungguhnya dari makam Bung Karno ini sudah lama hilang.”
Mendengar pernyataan kritis dari bibir Mbah Sentul yang kesehariannya bersifat pendiam itu, semua warga jadi saling pandang. Ibarat sebutir peluru, tudingan yang dilontarkan Mbah Sentul tepat membidik ke hati bagian ulu. Seperti sebilah sembilu, sentilan Mbah Sentul menyayat hati yang selama ini beku.
“Sekarang pertanyaannya, apakah kalian semua ingin makam Bung Karno kembali ke tempat ini?” Mbah Sentul bertanya seraya mengedarkan pandangannya.
Bagai paduan suara, semua kompak menjawab.
“Iyaaa Mbaaah!”
Sejenak Mbah Sentul manggut-manggut seraya mengusap kumis tebalnya. Kepalanya tengadah ke langit. Matanya menatap bulan purnama yang timbul tenggelam di balik awan yang berarak pelan.
“Baik tapi dengan satu syarat.”
“Apa pun syaratnya akan kami penuhi Mbah asalkan makam Bung Karno akan kembali ada di sini,” kata Saeni mewakili suara warga.
“Baik, syarat ini gampang-gampang susah. Gampang karena tak memerlukan biaya dan tenaga. Susah karena hanya bisa dilakukan oleh kalian yang mau berpikir secara tulus. Bukan sekadar abang-abang lambe.”
“Maksudnya bagaimana Mbah?” Kali ini sosok lelaki yang dikenal sebagai ketua juru parkir area makam memberanikan diri bersuara.
“Satu hal yang harus kalian lakukan, bahwa kalian mulai detik ini harus bisa membuka hati dari pemikiran-pemikiran yang salah. Selama ini kalian merasa kehilangan makam hanya karena kalian merasa kehilangan sumber pendapatan. Hal itu adalah salah besar. Buang jauh-jauh pemikiran semacam itu. Kalian tahu, yang menjadi akar kawentarnya kabupaten Blitar bukanlah semata karena adanya makam Bung Karno, tapi ada hal lain yang jauh lebih penting dari hal itu, yakni hasil pemikiran Bung Karno yang telah dituangkan dalam Pancasila.
Ironisnya, nilai-nilai Pancasila yang sudah semakin luntur dari kehidupan kalian justru tidak pernah kalian sesali. Jangankan bersedih, memikirkan saja kalian tak pernah. Gaya hidup orang manca telah mempengaruhi pola pikir kalian, sehingga kehidupan sehari-hari kalian semakin jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Padahal Pancasila itu adalah dasar negara kita. Pancasila sekaligus juga sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk kalian semua. Kenapa kalian tidak pernah merasa sedih atas luntur dan hilangnya nilai luhur Pancasila seperti rasa sedih yang kalian alami saat raibnya makam Bung Karno, hah?”
Ada gurat kecewa yang membayang di wajah keriput Mbah Sentul. Sesepuh itu menyadari benar bahwa ekonomi liberal yang telah menjajah warganya menjadi pemicu utama atas tumbuhnya sikap egois dan apatis yang sekarang makin menggila. Sampai kapan republik ini mampu bertahan untuk tetap berdiri jika Pancasila yang jadi pondasi dasar negara makin dirobohkan keberadaan dan fungsinya? Miris hati Mbah Sentul memikirkannya.
“Nah sekarang sanggupkah kalian semua mulai detik ini berjanji pada diri kalian sendiri untuk menggali, menanamkan, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai syarat akan kembalinya makam Bung Karno di tlatah Blitar ini?”
Serentak mereka semua berteriak.
“Sangguuup!”
“Baik, sekarang marilah kita semua bersila dan bersedekap sambil memusatkan pikiran pada Yang Maha Kuasa. Kita mohon ampunan atas segala salah dan kilaf yang selama ini telah menggadaikan Pancasila pada pengaruh-pengaruh manca, sehingga kita mudah dipecah belah dan termakan issu-issu tidak benar yang mengedepankan emosi di atas kata hati. Pejamkan mata dan fokuskan hati dengan janji untuk kembali menjadi anak-anak Pertiwi yang Pancasilais. Semoga dengan niat tulus kita semua ini, Gusti Allah akan berkenan membukakan pintu hati kita agar dapat melihat secara nyata adanya makam Bung Karno yang seminggu ini lenyap dari pandangan kita yang banyak salah. Berdoalah! Memohonlah! Memohonlaaah …!”
Layaknya kidung dari langit yang ditembangkan saat lingsir wengi, kata-kata yang meluncur dari bibir sesepuh itu mengalun terbawa embusan angin yang bertiup semilir. Mata semua warga yang semula terpejam secara dipaksakan, perlahan mengatup semakin rapat dengan sendirinya. Doa dan janji yang terucap dari dasar hati, menyatu dan membumbung tinggi menggapai rembulan yang masih setia memberi penerangan.
Bibir Mbah Sentul yang tiada henti komat-kamit merapal mantra, melipatgandakan kekuatan batinnya sehingga tanpa sadar tubuhnya yang sedang duduk bersila perlahan mulai terangkat dan berputar. Dari ubun-ubunnya mengepul asap putih yang makin lama makin memendar setelah bertiup melingkar dan menjamah semua kepala yang makin tertunduk memimpikan nirwana.
Tepat ketika posisi rembulan berada di atas ubun-ubun semua warga, tubuh Mbah Sentul yang melayang ringan mulai melesat meninggalkan tempatya berada,
Wuusss!
****
Byar! Serentak semua mata warga terbuka sewaktu terdengar kokok ayam jantan yang bersuka cita menyamput datangnya pagi. Seolah tersadar dari tidur panjangnya, semua bangun dan menatap ke sekelilingnya. Mereka heran bukan kepalang! Mereka yang semalam duduk melingkar di tanah berumput kering, kini telah mendapati dirinya duduk mengitari makam Bung Karno di atas pelataran berkeramik mengkilat.
Tak urung mereka pada mengucek-ucek matanya lantaran merasa tak percaya. Bahkan ada yang mencubiti dirinya sendiri untuk memastikan kalau apa yang ada di hadapannya bukanlah sekadar mimpi.
Makam Bung Karno beserta semua bangunan yang mengelilinginya kembali hadir nyata di hadapan mereka.
“Alhamdulillah ya Allah ….”
Serentak mereka bersujud syukur dengan kidmat. Bahkan istri Saeni dan beberapa wanita lain sempat menitikkan air mata bahagia. Tak lama berselang adzan Subuh pun berkumandang. Serempak mereka bergegas menuju musolla yang ada di pojok barat area makam.
Sambil terus mengucapkan syukur alhamdulilah, dengan tertib mereka berwudu. Hari ini mereka memulai babak baru. Mengawali hari dengan shalat Subuh berjamaah sebagai bentuk pengamalan Pancasila sila yang pertama.
Sekarang mereka sadar bahwa Pancasila yang merupakan hasil pengendapan pikiran dari Bung Karno adalah akar sejati yang membuat kota Blitar jadi kawentar di seantero negeri. Akar kawentar itu harus bisa terus menjalar ke urat nadi setiap putra-putri Pertiwi. Sebab hanya dengan pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila secara murni, keadilan dan kemakmuran yang menjadi cita-cita kemerdekaan akan dapat tercapai.
Saeni yang pagi itu untuk pertamakalinya didaulat jadi imam jamaah Subuh, selesai pelaksanaan shalat, dzikir, dan berdoa tak lupa ia sampaikan satu pesan dari Bung Karno. Jasmerah. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebab sejarahlah yang mengantar kita bisa sampai ke era sekarang ini.
Usai berjamaah shalat Subuh, saat matahari sudah mulai menampakkan senyum cerahnya, warga sepakat untuk berkunjung ke kediaman Mbah Sentul guna mengucapkan terima kasih atas wejangannya yang telah menyadarkan warga untuk nguri-nguri nilai luhur Pancasila yang telah diwariskan oleh Bung Karno.
Dengan dipandu oleh Saeni, mereka berbondong-bondong menuju ke rumah Mbah Sentul. Namun alangkah terkejutnya mereka, terutama Saeni, saat tiba di tempat yang ditujunya. Di bawah pohon beringin besar dan rindang yang diyakini Saeni sebagai lokasi rumah Mbah Sentul, sudah tak terlihat lagi adanya rumah Joglo yang tempo hari ia datangi. Yang ada tinggallah sebuah kuburan kuno berukuran besar yang dikelilingi oleh semak belukar.
“Aku yakin, di sinilah rumah Mbah Sentul yang pernah kudatangi waktu itu,” ujar Saeni coba meyakinkan warga.
Semua saling pandang. Bingung dan heran. Setelah mereka membaca nama yang tertera pada nisan tua di hadapannya barulah mereka menyadari siapa sejatinya Mbah Sentul itu. Ya, tak salah lagi. Beliau adalah sesepuh desa yang telah wafat lebih dari seratus tahun yang lalu.
Dalam pertarungan melawan kerasnya kehidupan, manusia kerap dihadapkan pada perkara-perkara yang ambigu. Terkadang, apa yang mereka yakini sebagai hitam atau putih serba tak jelas. Hidup tidak dapat dipandang hanya dari dua warna itu. Ada sisi lain yang berada di antara dan terselip dalam keduanya. Tidak sepenuhnya terang dan tidak pula kelam. Mereka menamainya: abu-abu kehidupan. Kehidupan yang kerap diwarnai oleh perilaku abang-abang lambe. Menawarkan hal yang sebenarnya tak ingin diberikan. Hanya sekadar pemanis bibir.
Dengan anugerah akal dan pikiran yang dimiliki, orang kerap melupakan tanggung jawabnya sebagai kolifah di muka bumi. Perilaku biadab bertopeng adab. Berlagak pahlawan tanpa peduli datangnya kesiangan. Kebiasaan abang-abang lambe dimanifestikan sebagai kelihaian bersilat lidah tanpa tulang.
Jasmerah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah yang pernah ditanamkan oleh Bung Karno di haribaan Pertiwi, tinggal sebatas slogan tanpa ada bukti. Manusia terlalu pandai bermuka manis di balik topeng paling sadis. Kesadaran itu baru akan tumbuh ketika hisup didera nestapa paling miris.
Akh!
Serta merta mereka bersimpuh dan memanjatkan doa untuk arwah Mbah Sentul yang telah menuntun mereka pada keterbukaan jiwa. Lantas semua sepakat akan terus menjaga akar kawentar dengan ikhlas, seperti ikhlasnya Mbah Sentul saat harus raib sebelum warga mengucapkan rasa terima kasih.
Jauh di alam lainnya, Mbah Sentul tersenyum bahagia.