Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
ABADI
0
Suka
107
Dibaca

Kehilangan seseorang sebab kematian adalah salah satu pengalaman paling menyakitkan di dalam hidupku. Saat kehilangan seseorang yang dicintai, apalagi pasangan tentu menimbulkan perasaan sedih dan sakit yang begitu mendalam. Hingga detik inipun, aku masih bergulat dengan kesedihan itu.

Tubuhku telah kehilangan begitu banyak berat badan, kulitku tak sehalus dulu. Kurus kering, selayaknya mayat hidup. Tak berdaya, tak ada asa, membuat siapapun iba melihatnya. Enggan pula rasanya untuk merawat diri. Bahkan kulitku yang putih mulus kini berdaki. Sungguh mengenaskan. Aku hidup, namun tanpa harapan. Hilang arah dan tujuan sejak kepergianmu. Senyumku jarang sekali mengembang. Langkahku tak setegas dulu. Duniaku runtuh, hancur tak berbentuk seperti remah-remah.

Sore itu, terasa begitu sendu. Gerimis baru saja mengguyur kota kecil ini. Menimbulkan aroma tanah yang basah karena rintiknya. Waktu telah menunjukan pukul 17.15 WIB, tak seperti biasanya suamiku telat untuk menjemputku di tempat kerja. Bahkan beberapa kali panggilan teleponku tak ia hiraukan. Aneh. Ini tak seperti biasanya. Seketika timbul rasa cemas di dalam hatiku. Tegopoh-gopoh aku berjalan menyusuri jalan raya menuju rumah ibu.Ya, sudah satu minggu ini kami memutuskan untuk tinggal bersama ibu. Karena “Aa” (panggilan sayangku pada suamiku) ingin tinggal bersama dengan ibuku. Dengan nafas yang masih kembang kempis, ku buka pintu kamar seraya memanggil suamiku.

“Aa, kenapa telat jemput ?” kataku sedikit ketus. 

Namun tak ada jawaban. Kudapati suamiku tengah tertidur. Kupanggil sekali lagi seraya melempar tas ke atas ranjang. 

“ Aaaaa” 

Tetap tidak ada jawaban dari laki-laki itu. Seketika aku lari memeluk priaku, menyandarkannya di atas dadaku. Kupanggil-panggil dia, kupeluk, kuciumi dirinya. Dan sama sekali tak ada respon. 

“Ada apa ini? Aa bangun, neng disini. Aaaaaa” teriakku histeris. 

Mengagetkan seisi rumah. Ibuku yang baru saja pulang dari pasarpun kaget, panik tak karuan. 

“Kenapa Sinta?” Tanya ibu seraya masuk ke dalam kamar. 

“Ibu, Aa Bu” 

Tangisku pecah. Tentangga berduyun-duyun datang ke rumah ibu. Kaget mendengar teriakanku. Memastikan kejadian apa yang terjadi di rumah ibu. Satu orang pria maju menghampiri. Memegang denyut nadi suamiku. 

“Innalillahi wainna illaihi rojiun. Sabar mba Sinta. Mas Asep telah berpulang”.

Seketika badanku lemas, pikiranku kacau, hatiku hancur tak berbentuk, pandanganku seketika kabur, telingaku berdenging hingga semua menjadi gelap.

“Sin, Sinta. Bangun Sin". Kata kak Lita mencoba membangunkanku seraya terisak penuh iba.

“Sinta, suamimu akan dimandikan. Bisakah kamu bangun sekarang. Mungkin kamu juga ingin memandikan suamimu untuk yang terakhir kalinya”.Tambah Kak Lita.

Pelan-pelan ku coba membuka mataku. Berharap semua itu hanyalah mimpi. Namun, harapanku salah. Seisi rumah telah sesak dengan banyak pelayat. Dan tangisku kembali pecah, tak percaya suamiku meninggalkanku begitu mendadak, tanpa keluhan, tanpa pesan, dan firasat apapun. Pasalnya, pagi tadi ia masih berdadan rapi seperti biasa,membelikan sarapan sebelum aku berangkat kerja. Dan mengantarkanku pula dengan sepeda motor matic kesayangnnya ke tempat kerja. Semua berjalan seperti hari-hari biasanya. Tak ada sikap dan ucapan yang memberikan pertanda. 

“Sinta kuat, Sinta hebat. Bahkan jika aku ada diposisimu saat ini, aku memilih untuk pergi. Ikut bersama suamiku” Kata salah satu sahabatku, mencoba menguatkanku.

“Kamu itu perempuan terpilih. Alloh memilihmu melewati cobaan seberat ini karna kamu mampu. Teruslah tegap untuk melanjutkan hidup. Tetaplah menjadi wanita kuat. Kamu bisa, suamimu tetap ada disini, di hatimu” tambahnya.

“Kamu harus ikhlas, kasian Aa. Kasian orang tuanya. Mereka jauh-jauh dari Bandung menjemput anak laki-lakinya. Kamu rela kan kalau suamimu pulang ke Bandung ?” Kata ibu seraya bertanya padaku.

“Ibu,bagaimana aku bisa hidup tanpa Aa. Menjalani hari-hari tanpa Aa rasanya begitu mustahil bu. Dia rumahku, sahabatku. Setelah Aa pergi, kemana Sinta akan pulang bu?” jawabku berurai air mata. 

Rasanya benar-benar sesak, hancur lebur tak berbentuk. Kemudian satu persatu sanak saudara, sahabat dan temanku memberi petuah, hingga pada akhirnya aku ikhlas. Ku antarkan jasadnya di peristirahatan yang terakhirnya, di tanah kelahirannya, tanah sunda.

*****

Dari balik tembok kamar, terdengar sayub-sayub lantunan ayat Al Qur’an di ruang tengah rumah ibu. Seraya merapalkan ayat yang sama, ku kirimkan do’a untuk priaku. Kekasih hatiku yang telah lebih dulu berpulang ke pangkuan Illahi. Pergi tanpa menitipkan pesan dan meninggalkan kenangan yang sangat dalam. Hari ini tepat 1 tahun setelah kepergiannya. Aku masih menangis, merana dan sepi. Aku telah kehilangan rumahku. Rumah ternyaman dan terindah yang pernah aku punya. Aku sempat marah dengan Tuhan. Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang menerima takdir seperti ini? Kenapa harus aku yang kehilangan cinta sedini ini? Rumah tangga yang baru seumur jagung dan sedang manis-manisnya, tiba-tiba menjadi kecut karena kepergian priaku untuk selamanya. Rasanya sungguh tidak adil bagiku. Kenapa Tuhan begitu pilih kasih ? Tidak kah aku diberi kebahagian sedikit lama lagi?.

Namun, keluarga, sahabat dan teman-temanku selalu memberikanku kekuatan. Selalu memeluk dan memberikan semangat. Bahwasanya, kitapun juga akan kembali menghadap kepada sang pemilik nyawa, tinggal menunggu giliran saja. Semua tidak ada yang abadi. Apa yang kita miliki adalah titipan yang suatu saat akan di ambil kembali.

Satu tahu telah terlewat begitu saja. Tanpa hadir dirimu secara raga. Namun, cintamu masih bersemayam di lubuk hatiku yang terdalam. Seluruh benda-benda peninggalanmu sesekali mengingatkanku padamu. Tak jarang, akupun menangis lagi. Aku telah ikhlas atas kepergianmu. Tapi, tak mengapa jika aku masih merinduimu, suamiku ?. Aku melalui hari-hari yang berat saat ini. Tak ada tempat bersandar secara raga memang. Namun, aku punya Tuhan Yang Maha Penyayang. Ibu, ayah dan sahabat-sahabatku yang menguatkan.

Aku berusaha merajut asaku kembali. Melanjutkan hidup, dengan skenario berbeda yang pernah kita susun bersama. Kali ini aku tidak terlalu banyak berharap. Aku hanya ingin hidup sebaik mungkin mengikuti skenario Tuhanku. Aku tetap menjadi istrimu, meski kita tak bersama secara raga. Namun, aku selalu berdo’a kita akan dibersamakan kembali. Penuh harap akulah yang terpilih menjadi bidadari surgamu kelak.

Aku tahu bahwa kehidupan akan terus berjalan, selagi Tuhan masih memberiku kesempatan. Tak ingin lagi ku sia-siakan setiap detik waktu yang ada, dan setiap tarikan nafas untuk memuji kebesaran-Nya. Aku tersadar dengan sebuah kalimat yang pernah di kutip oleh seorang teman “Di dunia ini, tidak ada yang benar-benar menjadi milikmu, bahkan udara yang sedang kau hirup akan kau hembuskan kembali”. Kalimat itu benar-benar menyadarkanku bahwa semua hanya titipan. Dan titipan, suatu saat akan diambil kembali oleh sang pemiliknya.

Hari-hariku kini di sibukkan dengan kembali bekerja. Setiap ba’da maghrib ku isi dengan mengajar anak-anak mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an di lingkungan tempat tinggalku sekarang. Ketika akhir pekan tiba, kurangkai kata-kata indah membentuk barisan kalimat. Menuliskan kenangan-kenangan indah yang pernah ku lalui bersama dirimu.

*****

Bunga-bunga bermekaran indah. Harum semerbak menembus rongga hidung. Aku masih duduk termangu di serambi rumah ibu. Swastamita terlihat begitu menawan di ufuk barat. Guratan-guratan berwarna orange kemerahan terpancar silau menusuk retina. Binatang malam mulai keluar dari sarangnya. Beterbangan kesana kemari sembari berseru merdu. Kali ini tak ada lagi air mata saat ku termangu. Hanya senyum kecil yang memperindah wajah teduhku. Secangkir teh buatan ibu tetap menjadi yang terbaik. Teman duduk yang paling setia, seraya menikmati senja yang mempesona.

“Nduk, gimana tehnya ?” Tanya ibu seraya menghampiriku

“Teh ibu tetap menjadi teh terbaik yang pernah aku nikmati.” Jawabku sambil membalas senyum ibu

“Lalu kopi buatan Aa ?” Tambah ibu

“Tetap menjadi kopi kenangan yang terindah dan sangat-sangat indah”. 

Ibupun tersenyum manis. Memeluk tubuh kecilku seraya mengelus pucuk mahkotaku.

“Ibu tidak pernah menyangka sebelumnya. Gadis kecil ibu yang manja ternyata tumbuh menjadi wanita yang jauh lebih kuat dan bersahaja dibandingkan ibunya”. Ibu memberikan kalimat pujian

“Aku bersyukur karna aku terlahir dari rahim seorang ibu yang kuat, hebat seperti ibu. Yang tetap tersenyum disaat cobaan hidup bertubi-tubi menghampiri ibu. Aku belajar dari ibu, hingga aku tumbuh menjadi wanita yang dikuatkan dengan sebab kehilangan karena kematian bukan kehilangan sebab perceraian”. Tak kalah akupun memberi pujian kepada ibu.

“Terima kasih telah menemani Sinta melewati hari-hari yang sulit Bu. Memeluk dan menghapus air mata Sinta setiap waktu”. Sambungku

“Ibu tidak pernah melakukan apapun. Kamu yang berjuang sejauh ini”. Jawab ibu

Perlahan mentari meredup. Siang telah berganti malam yang penuh dengan kehangatan. Sebuah kehangatan yang aku dapatkan dari keluarga ibu dengan adik dan ayah sambungku. Aku menemukan cinta kembali. Cinta kedua orang tuaku. Cinta dari Rabbku, yang membawaku hingga sejauh ini.

“Siap melanjutkan hidup kembali nduk?” Tanya ibu

Aku tersenyum manis, menutup percakapan kami. Memberi isyarat bahwa aku telah siap merajut kehidupanku kembali. Meskipun rasanya tidak akan pernah sama lagi. Dan menyadari sepenuhnya bahwa cinta abadi bukanlah cinta makhluk kepada makhluknya. Tapi cinta makhluk kepada Tuhannya dan sebaliknya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
ABADI
Lili Selfiana
Cerpen
Sugeng Ricuh
Siti Qoimah
Cerpen
climate[Pg 4] improved. It has been made habitable. The soil, which bore formerly only a coarse vegetation, is covered to-day with rich harvests. The rock-walls in the valleys are laid out in terraces and covered with vines. The wild plants, which yielded
Miftahudin
Cerpen
Menulis Haiku
Rafael Yanuar
Cerpen
Sesi
Dina prayudha
Cerpen
Bronze
UITDF
Hary Silvia
Cerpen
Bronze
Istirahatlah
Jamilah Prita
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Sang Penembus Dua Sisi
Janeeta Mz
Cerpen
Rindu Untuk Bapak
Aksara Senja
Cerpen
Bronze
FIRASAT EMAK
Efi supiyah
Cerpen
Api Luka Dan Kesuksesan
LISANDA
Cerpen
Bronze
Laptopku, Teman Kerjaku
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Who Let The Dog Out
Yuna Thrias
Cerpen
Bronze
Ibu dan Segala Kompleksitasnya
Siti Aminatus Solikah
Rekomendasi
Cerpen
ABADI
Lili Selfiana