Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi ini tidak seperti pagi yang biasanya, begitupun dengan hatiku yang sedang berbeda hari ini. Sejak kejadian wafatnya sahabatku, yaitu Ainun di Gunung Salak. Padahal itu bukan salahku sepenuhnya... Sebenarnya aku menyukai Ainun sejak lama, entah belakangan ini aku sering menghayal kalau Ainun memanggilku ke puncak Gunung Salak.
Apakah itu hanya halusinasiku atau pertanda?
"Terkadang itu bisa menjadi sebuah pertanda dari seseorang yang masih penasaran dengan kematiannya sendiri," Dr. Chen menyela lamunanku. "Perbanyaklah istirahat, Andi. Aku tahu kamu masih terpukul karena wafatnya Ainun seminggu yang lalu. Kemudian kamu belum mengungkapkan kalau kamu menyukainya sejak lama," Dr. Chen menepuk-nepuk pundakku sebagai rasa simpati. "Percayalah, Andi. Kalau itu bukan salahmu sepenuhnya. Banyak faktor kenapa Ainun bisa wafat. Yasudah, saya rasa waktu kita bertemu kali ini habis," Dr. Chen dan aku kemudian bersalaman dan beranjak meninggalkan klinik Dr. Chen.
Dr. Chen dan aku sudah berteman dari kecil, malahan dari awal masuk SD. Tapi seminggu belakangan ini aku baru berkonsultasi di klinik miliknya. Walaupun dia agak tua ketimbang diriku, kami tetap akrab seperti di masa kecil kami.
Klinik yang hebat.
Mungkin Dr. Chen ada benarnya juga soal kematian Ainun. Bukan salahku sepenuhnya, banyak faktor, salah satunya...
Apakah Ainun mau menerima cintaku ini?
Seorang wanita bersama putri kecilnya berjalan berpapasan melintasiku yang lagi melamun gegara perkataan Dr. Chen tadi. "Mah, besok di sekolah ada perayaan Hari Ibu. Ibu datang yaa?" tampaknya putri kecil sedang membujuknya agar datang ke perayaan sekolahnya besok. "Iya sayang, mama datang kok hehe." sang mama lalu mencubit kecil hidung putrinya.
Begitu beruntungnya jika ada seseorang yang mencintainya, lalu seseorang tersebut membalas cintanya.
Jarak rumah dari Dr. Chen agak lumayan jauh, namun akan menyenangkan berjalan-jalan kaki mengelilingi kota. Suasana kota yang sejuk bisa membuat siapa saja terkesima dengan kota ini, pertama kalinya begitupun aku waktu pertama kali melihat Ainun yang membuat siapa saja terpesona.
Sesampainya di teras rumah, seekor kucing terlihat menatapku dengan menjilat-jilat bulu-bulunya yang lembut. Saat akan masuk rumah, seekor burung tiba-tiba hinggap di kepalaku. Lantas aku mengambilnya, ternyata sayapnya ada yang robek, sepertinya burung ini habis diburu oleh anak-anak sekitar rumah.
Si kucing hanya menguap dan tidak tertarik melihat kejadian barusan, lalu tertidur.
Aku dengan sigap mengobati sayap burung yang robek, setelah berkutat dengan waktu akhirnya sudah selesai diperban. Dilihat-lihat, burung ini sepertinya betina tapi aku tidak yakin juga sepenuhnya, soalnya aku juga cuma menebak jenisnya.
Karena sudah sore, aku memutuskan menuju pekarangan belakang rumah yang berlatar Gunung Salak, tempat Ainun beristirahat terakhir kalinya.
Aku mengamati pekarangan sekitar rumah. "Kek ada yang aneh, aku rasa. Entahlah, mungkin banyak melamun dari tadi," ucapku melangkah masuk kembali ke rumah.
Malam akhirnya tiba.
Andi kembali memeriksa perban burung tersebut. Setelah dicek, ternyata baik-baik saja.
Andi pun merebahkan dirinya di atas sofa sembari bergumam sesuatu. "Kek aku harus lakukan sesuatu deh buat aku melamun terus. Masalahnya mau sampai kapan aku kayak gini dah?"
CTAAARRR!!!!
"HEH, Astagfirullah, ternyata petir. Untung ga mati lampu hehehe."
Karena kaget, aku memutuskan untuk mengecek situasi di luar dari jendela. Ternyata terjadi badai di puncak Gunung Salak.
"Perasaan tadi sore cerah-cerah aja, mungkin aja dah masuk musim hujan."
Karena ngantuk yang dirasa mulai merengek-rengek, aku memutuskan untuk beristirahat agar bisa kembali normal. Perlahan-lahan kesadaranku berkurang dari buram menjadi gelap gulita.
Puncak Gunung Salak.
Bingung. Itulah yang mewakili isi kepalaku saat ini. Entah mengapa aku tiba-tiba saja berada di sini. Seingatku, terakhir aku tertidur di atas sofa, lalu mengapa aku...
HEI, SIAPA DISANA!!?
Aku yakin ada seseorang yang melihatku barusan di belakang pohon. Karena kabut tipis yang semakin tebal, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Karena penasaranku, aku memutuskan mendekati pohon tersebut. Perlahan-lahan akhirnya aku berada di depan pohon tersebut. Tanpa pikir panjang, aku langsung menoleh ke belakang pohon dan...
kosong.
Saat akan berbalik, sebuah tangan mencengkeram lenganku lalu aku kemudian pingsan karena kaget akan wajahnya yang teramat kukenal, yaitu...
Ainun.
Cahaya matahari sunset menerpa wajahku. Aku terbangun sambil memegang kepalaku yang masih nyeri akibat pingsan. "Tunggu dulu, kenapa tiba-tiba aku bisa duduk di bangku ini? Perasaan tadi aku pingsannya di balik pohon deh, apa jangan-jan-
Andi.
Aku menoleh dan mendapati Ainun dengan penampilan yang berbeda sebelum kematiannya. "HEH, Jangan mendekat kamu hantu kan!!?" Wajahku seketika pucat. "Enggak, Andi. Ini aku, Ainun. Aku cuma mau pengen... ketemu sama kamu." Perlahan-lahan Ainun mendekat supaya meyakinkanku. "Mengapa kamu ingin bertemu denganku, Ainun?" Tanyaku penasaran.
"Duduklah dulu."
"Iya, makasih."
"Aku mau kasih kamu kabar baik dan buruk buat kamu," ucapnya memandang sunset dengan tatapan dingin.
"Apa itu?"
"Kabar baiknya, kematianku ini bukan penyebab utama kamu, Andi. Waktu aku sedang melewati jurang yang terjal, tiba-tiba aku terpeleset lalu jatuh ke jurang dan aku langsung meninggal di tempat. Aku sangat sedih saat aku sadar bahwa aku telah mati."
Air mata Ainun langsung meluncur membasahi pipinya yang mungil. Aku reflek ingin menghapus air matanya tapi saat ingin menyentuhnya, yang kusentuh hanyalah angin, bukan pipinya.
Ainun langsung memelukku tanpa aba-aba, namun yang kurasakan hanyalah angin yang menerpa badanku. Ainun langsung menangis sesegukan lalu mengatakan, "Kabar buruknya yaitu, aku suka sama kamu, Andi. Tapi takdir memisahkan kita. Sebenarnya selama ini aku bisa memantau kamu lewat burung yang kamu obati di rumahmu saat ini."
Aku juga sayang sama kamu, Ainun.
Wajahku dan Ainun saling beradu pandang. "Benarkah itu yang kamu katakan, Andi?" "Iya, aku benar-benar suka dan cinta sama kamu tapi waktu ingin menyatakan cintaku ini padamu tiba-tiba aku mendapat kabar kalau kamu sudah... meninggal. "Tapi, aku akan tetap mencintaimu dengan tinggal di sini untuk menemanimu selamanya."
"Kamu gak bisa, Andi. Kehidupan kita sangat berbeda." "Aku tahu kalau kita saling suka dan cinta tapi gak begitu juga caranya." Tatapannya begitu sendu menatap mataku. "Aku cuma ingin kamu ingat bahwa aku akan tetap terus ada dalam pikiran serta hatimu, Sayang." Perlahan-lahan Ainun mendekat lalu mencium pipiku yang merah merona lantas aku langsung salting parah dibuatnya.
Ainun menatapku. "Ada fakta yang harus kamu tahu sebelum kita pisah, Andi." Aku bingung, "Apa itu, Sayang?".
"Hubungan kita ini bagaikan sepasang burung. Saling melengkapi jika ada kekurangan, Namun ada masanya cinta akan pudar oleh masa dan waktu. Tapi cinta yang pernah diarungi bersama akan tetap teringat di hati yang dalam seperti burung betina yang kamu rawat di rumahmu. Burung itu saat itu sedang berkeliling dengan pasangannya namun si betina kena tangkap oleh anak-anak sekitar rumahmu. Namun nahas buat burung jantan, tiba-tiba saja datang burung elang langsung menyambar dirinya saat ingin menyelamatkan pasangannya lalu burung betina yang kamu selamatkan berusaha menolong pasangannya namun apa dikata, Sang elang telah membawa pergi pasangannya.
Namun burung tersebut ridha atas apa perbuatannya selama ini kepadanya.
Dan, seorang ibu dan anak. Yang kamu ketahui tentang mereka hanyalah sang anak meminta ibunya untuk datang ke acara sekolahnya, tapi ibu anak tersebut tidak tahu kalau acara sekolah anak yang dimaksud adalah menghadiri acara pameran karya seni lukis bersama pasangannya.
Ibu tersebut hanya diam seribu bahasa menyaksikan kebahagiaan pasangan yang lain dengan anak-anak mereka tapi ibu tetap mengingat dan ikhlas akan kebaikan suaminya semasa dirinya masih hamil. Kini dia bersama anak semata wayangnya. Dia sangat rindu akan kebersamaan dengan suaminya tapi kenangannya akan tetap membekas di hati ibu tersebut.
"Itulah faktanya, sayang. Sekarang aku mau kamu tutup mata kamu sekarang," Ainun mendekap wajahku agar tidak mengintip apa yang dilakukannya. "Ikuti apa yang aku katakan ya."
"Siap, Sayang."
"Pulanglah ke tempat dimana kamu berasal. Ingatlah kejadian hari ini kalau aku akan tetap mencintaimu selamanya hingga waktu dapat mengakhirinya."
Selesai mengatakan apa yang Ainun mengatakan lantas aku terbangun kembali di atas sofa dengan bekas danau buatan di bantalku.
"Kayak nyata padahal kan cuma mimpi. Tapi kek nyata banget padahal" aku mencoba bergurau dengan diriku padahal mimpi itulah yang membuatku dapat kembali sebagai manusia seperti biasanya.
Pagi hari...
Aku diundang oleh kepala sekolah yang kebetulan kerabat dekatku. "Ternyata yang di mimpi nyata banget persis malahan," seperti sebuah pesan yang disampaikan lewat mimpi benar adanya aku melihat banyak pasangan yang bahagia. Tapi, ada seorang ibu dan anak yang kulirik sedang membuat sebuah lukisan yang gambarnya adalah seorang pria yang sedang bergandengan mesra dengan suaminya.
"Ternyata mimpi itu bener apa adanya, Aku kirain aku lagi ngaco" seketika lamunanku terbuyar karena panggilan oleh kerabat dekat yang lain.
Owh iya, burung betina.
Saat aku bangun, burung itu sudah berpindah posisi dari atas selimut kecil ke jendela taman. Rupanya burung itu merindukan pasangannya seakan-akan mereka terbang saat ini.
Akhirnya aku paham apa arti mimpi semalam.
Tetap mencintai seseorang adalah mengikhlaskan kepergiannya dengan ridha atas perlakuannya selama ini.
-THE END-