Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
A Little Bird
4
Suka
5,858
Dibaca

 Kicauan burung dari luar, tidak menyurutkan kecepatanku membereskan benda-benda yang berserak di meja. Aku ada proyek memotret hari ini. Karena itu, aku harus membawa semua perlengkapan yang dibutuhkan. Kamera DSLR yang baru kubeli setahun lalu setelah kerja sampingan bertahun-tahun menjadi alat utama yang tidak boleh ketinggalan. Kemudian laptop butut yang (syukurlah) masih memadai untuk pekerjaan ini, lensa, dan tripod ikut berdesakan dalam tas berukuran sedang.

Ini adalah pekerjaan pertamaku setelah memutuskan resign dari tempat kerja sebelumnya sebagai operator mesin. Bukan tanpa alasan aku melakukannya. Aku sudah mempertimbangkannya masak-masak. Tentu ada sebab pula dibalik keputusan itu.

Beberapa waktu lalu, seorang kenalan yang mengetahui hobiku, memintaku memotret di pesta ulang tahun putrinya. Aku tidak berharap banyak waktu itu. Toh, aku belum sepenuhnya terjun di dunia digital ini. Niatku hanya sekadar membantu saja. Ternyata, imbalan yang aku terima cukup besar sehingga aku mampu membeli lensa tambahan. Pun, dia kembali memintaku memotret di acara-acara lainnya.

“Wah, gila! Kalau bisa terus dapat orderan kayak gini, aku nggak perlu lagi kerja di pabrik. Udah beresiko, gajinya kecil pula.” Begitulah awal mula aku memikirkannya.

Aku memang menyukai dunia fotografi sejak lama. Cita-citaku adalah menjadi fotografer profesional yang karya-karyanya dipajang di galeri seni atau muncul di halaman buku National Geographic. Sayangnya, cita-citaku kandas karena terbentur faktor elit, yaitu ekonomi sulit.

Baru setelah dewasa dan bekerja, aku menabung sedikit demi sedikit demi membeli kamera beresolusi tinggi untuk memuaskan hobiku. Setelah menekuninya sebagai hobi di waktu luang yang tidak banyak, aku ingin mewujudkan cita-cita lama itu. Apalagi setelah mendapat bayaran yang cukup tinggi, aku jadi semakin berambisi untuk menekuninya.

Dengan bekal kemampuan yang masih tergolong biasa saja dan tabungan yang tersisa, aku nekat keluar dari pabrik dan beralih profesi menjadi fotografer. Ternyata tidak mudah. Aku sudah mempromosikan diri di berbagai media sosial. Imbalan jasa yang kuminta juga tidak setinggi harga pasaran. Bahkan aku sudah mendaftar sebagai kontributor di sebuah layanan penyedia foto yang terkenal. Tetapi, tetap saja belum ada satu pun yang menghasilkan uang.

Aku mulai putus asa dan frustrasi. Ditambah tabungan yang makin menipis tanpa ada pemasukan. Kemudian, semalam aku dikejutkan oleh sebuah pesan yang masuk ke ponsel.

“Selamat malam. Maaf mengganggu. Apakah anda bersedia mengambil tawaran memotret besok siang? Fotografer yang kami pesan mendadak berhalangan. Kami akan bayar dua kali lipat.”

Tentu saja aku menyanggupinya. Dalam kondisi dompet sedang sekarat begini, mana boleh menolak rezeki yang datang? Dibayar dua kali lipat pula! Ini benar-benar rezeki nomplok.

“Tapi, lokasi kami cukup jauh dan model yang akan dipotret berkaki empat. Apakah anda bersedia?”

Senyumku mengembang semakin lebar. Memotret hewan adalah keahlianku. Mereka adalah makhluk unik dan penuh misteri. Tidak pernah ada yang benar-benar mengerti dan memahami hewan, bahkan pemiliknya sekalipun. Video-video yang banyak tersebar di media sosial tentang keseharian pemilik hewan peliharaan yang tampak seolah-olah mengerti, menurutku tidak sepenuhnya benar.

Sudah kukatakan, mereka itu misterius. Anjing, kucing, kelinci, hamster, kuda, sapi, bahkan serangga sekalipun. Termasuk burung-burung yang masih asyik berceloteh sejak tadi di dahan pohon dekat kamarku.

Aku meraih ponsel dan membaca ulang pesan semalam. Aku sudah menyanggupinya dan akan tiba di sana satu jam sebelum waktu perjanjian. Melihat lokasinya, aku sudah memperkirakan jam keberangkatanku. Sialnya, aku bangun kesiangan karena pesan itu masuk pukul dua dini hari.

Siapa yang tidak punya sopan santun mengirim pesan jam segini? Begitu gerutuan yang keluar dari mulutku. Apalagi aku terbangun dengan kepala pusing karena menahan lapar. Sengaja tidak makan malam tepatnya, demi menghemat pengeluaran. Namun, gerutuan itu kemudian sirna setelah membaca isinya dan membalasnya.

Aku pun kembali tidur, kali ini dengan senyuman. Lupa kalau perut sudah melilit dan sakit kepalaku mendadak hilang. Bahkan aku bermimpi indah malam itu. Akibatnya, ya … beginilah aku sekarang. Buru-buru memasukkan semua perlengkapan, sedangkan waktu yang tersisa tinggal tiga puluh menit lagi.

“Ah, sial! Sial! Sial!” Berulang kali aku melampiaskan emosi sambil menarik resleting tas hingga menutup.

Pintu menutup dengan bunyi keras ketika aku keluar dan kepakan beberapa burung terdengar. Burung-burung itu sepertinya terkejut dan kicauannya berhenti. Kini mereka berputar-putar di atas kepalaku.

Untuk sejenak aku merasa bersalah, tapi tidak ada waktu berlama-lama lagi. Aku pun segera memakai helm dan memacu motor menuju lokasi yang sudah disepakati.

“Ini kerjaan pertama. Masa telat sih?” Lagi aku mengomel dan memarahi diriku sendiri yang lalai. “Semoga aja orangnya nggak bawel karena ini dan bayarannya tetap utuh.”

Doaku rupanya terkabul. Si pengirim pesan tidak mempermasalahkan hal itu. Pria berwajah ramah itu menyambut dengan senyum lebar dan mempersilakanku masuk.

Rumahnya bergaya minimalis modern. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Hanya saja halaman belakangnya cukup luas. Halaman yang hijau subur itu dihiasi beberapa dekorasi seperti layaknya pernikahan. Ada beberapa makanan juga pernak-pernik lain yang dihias dan ditata sedemikian rupa.

Aku melongo melihatnya. Benakku berpikir, mungkin si tuan rumah sedang bercanda ketika mengatakan modelnya berkaki empat.

“Ini lebih mirip dekorasi ulang tahun atau pernikahan sih. Tapi, mana yang ultah? Yang nikah?” Aku celingukan memandang sekeliling. Di sana ada beberapa orang yang tampak sibuk berlalu-lalang. Tapi, pakaian mereka biasa saja, tidak tampak orang yang sedang berulang tahun atau menikah. Lalu ….

“Di sini, Mas.” Si pemilik rumah menunjuk ke bawah meja yang tertutup taplak putih berenda.

Di sanalah aku bertemu dengan sosok yang akan menjadi model karyaku. Seekor anjing campuran antara Rottweiler dan Doberman muncul dengan gagah setelah dipanggil pemiliknya.

“Ini …,” ujarku gugup, tapi terkesan. Bulu hitam dan cokelatnya berkilau. Postur tubuhnya tegak. Dia juga tampak cerdas dan setia.

“Ini model yang harus Mas foto. Saya sih bingung mau foto seperti apa, tapi saya sudah siapkan beberapa properti dan dekorasi yang mungkin bisa Mas pakai,” kata si pemilik.

Kepalaku mengangguk, tapi aku juga ikut bingung sehingga mengajukan tanya, “Ah, anu … maaf, Pak. Ini cuma seekor aja yang difoto?”

“Iya.” Si pemilik tampak malu-malu lalu menjelaskan, “Yaaa, saya cuma pengin ikut-ikutan aja sih, Mas. Itu lho, yang ada di Tiktok. Ada sepasang anjing yang menikah layaknya manusia. Dibikin pesta, ada foto pre-wedding-nya juga. Tapi, berhubung Joni belum ada pasangan, ya saya mau foto-foto dia aja gitu. Bisa, ‘kan, Mas?”

Aku mengangguk-angguk paham. Memang, beberapa waktu lalu beredar di media sosial sepasang anjing Siberian Husky yang menikah dan katanya menghabiskan dana sekitar 200 juta rupiah. Jumlah yang amat besar untuk pesta hewan peliharaan.

Bagiku yang hidup melarat, itu pemborosan. Tapi juga ladang penghasilan jika aku menjadi bagian dari kru yang mendokumentasikan acara itu. Sayangnya tidak. Aku harus cukup puas dengan memotret Joni dari berbagai sisi dengan properti yang ada. Bayarannya tentu tidak sebanding dengan anjing viral itu. Setidaknya aku harus mensyukurinya, bukan? Yang penting, malam ini aku bisa makan dengan kenyang dan tidur tanpa perut keroncongan.

Esoknya, aku terbangun oleh kicau burung di depan jendela kamarku. Sepertinya burung yang kemarin. Selama ini aku tidak menyadarinya, atau tidak terlalu memperhatikannya, mungkinkah mereka memang bersarang di sana? Di dekat pohon cemara yang tumbuh tinggi itu?

Untuk kali ini, aku bisa menikmati merdunya kicauan burung di pagi hari. Suara mereka bagaikan musik yang menghibur dan meningkatkan mood.

“Kalian beruntung, bebas ke mana pun, apa-apa juga tersedia. Teruslah berkicau dan memberi warna hari-hariku.” Aku tersenyum mengamati burung kecil berwarna hitam dan putih itu.

Sambil menyeruput kopi, aku mulai melihat-lihat hasil bidikan kameraku kemarin. Dari sekian ratus jepretan, aku memilih beberapa yang terbaik untuk dicetak sesuai permintaan pemilik Joni. Aku juga berniat menambahkan beberapa efek agar terlihat lebih menarik.

Tanpa terasa matahari sudah terik, tapi kicauan burung itu masih jelas terdengar. Kali ini bukan hanya dari jendela kamar, melainkan dari belakang rumah yang hanya berisi lahan kosong seluas enam meter persergi. Mereka hinggap di batang bambu yang sudah kering, berceloteh dengan riangnya.

“Ah, nggak apa-apa lah. Nggak perlu memelihara, tapi bisa menikmati suaranya. Ciptaan Tuhan itu memang yang terbaik,” ujarku lalu kembali berkutat dengan laptop.

Selama beberapa hari, aku mulai terbiasa dengan kicauan itu. Namun, entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Kicauannya semakin keras dan rasanya jumlah burung yang hinggap di dahan pohon juga meningkat. Seringkali aku nelihat tidak hanya satu dua ekor saja, melainkan lima atau lebih di satu dahan yang sama.

Keanehan juga terjadi saat aku membuka pintu rumah. Burung-burung itu tidak hanya hinggap di pepohonan, tetapi juga di atap rumah, kabel yang melintang, di jendela, juga di pagar. Sejauh mata memandang, ada burung di mana-mana. Orang yang melihat, mungkin mengira aku memelihara burung-burung itu, padahal tidak.

Aku merasa sedikit terganggu, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan selain membiarkannya. Sekali dua kali aku pernah mencoba mengusirnya, tapi mereka tetap kembali.

“Sudah biarkan saja. Mungkin halaman dan rumahmu nyaman, makanya mereka betah. Siapa tahu, mereka membawa keberuntungan buatmu.” Begitu kata seorang tetangga yang lewat saat melihatku mencoba mengusir binatang unggas itu.

Setelah aku pikirkan lagi, ucapan si tetangga itu tidak salah. Sejak aku mendapatkan pekerjaan pertamaku, orderan-orderan lain juga datang beruntun. Aku sering berangkat pagi dan pulang larut malam demi memenuhi permintaan pelanggan untuk mengabadikan momen istimewa mereka. Tidak hanya di dalam, tapi di luar kota juga.

Suatu waktu, seekor burung terbang masuk ke rumah dan bertengger di atas lemari, lalu terbang ke kursi di dekatku. Aku yang sedang memilah-milah foto di laptop berhenti sejenak dan menatapnya.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, hewan itu unik. Baik hewan darat, laut, udara, semua punya keistimewaan masing-masing yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sama halnya dengan burung yang ada di depanku ini.

Burung kecil itu tidak berkicau, tapi gelagatnya seperti sedang mengamatiku. Kepalanya meneleng ke kanan dan ke kiri, lalu matanya berkedip beberapa kali.

Aku tersenyum padanya. “Kamu kesasar, ya? Teman-temanmu di luar semua,” kataku hendak meraihnya. Tapi burung itu terbang dan hinggap di sisi meja yang lain.

Sebuah ide terbersit di kepalaku. “Tunggu sebentar, ya.” Aku tersenyum pada burung itu lalu beranjak dari situ dan kembali dengan kamera di tangan.

“Diam di situ dulu, ya. Aku mau memotretmu.” Aku sudah bersiap-siap dengan kamera di tangan. Mata memicing sambil mengatur lensa kamera, kemudian jariku menekan tombol shutter.

Kilatan cahaya lampu kamera memenuhi ruangan. Lalu terdengar suara benda jatuh di lantai. Aku melihat kameraku tergeletak di dekat kaki kursi.

“Gawat! Nanti bisa rusak!” kataku panik. Aku membungkuk hendak meraih kamera itu, tapi tidak bisa. Entah mengapa rasanya begitu jauh, padahal jaraknya tidak lebih dari satu meter.

Kucoba lagi meraihnya dan gagal. Sekarang kamera itu malah terlihat makin kecil, seolah menjauh dariku. Aku juga bisa melihat laptopku yang sedang menyala di atas meja, juga diska keras yang baru aku beli karena memori laptop tidak mencukupi.

Tak lama, aku mendengar suara berisik dari luar. Bunyi sirine yang mengaung-ngaung lalu derap langkah manusia. Aku pun terkejut ketika pintu didobrak dengan paksa dan beberapa pria berseragam menerobos masuk.

Mereka tampak bercakap-cakap dengan heboh. Wajah panik mereka terlihat jelas, saat menghampiri sosok tubuh yang tergeletak di lantai sambil memeluk kamera. Sebagian lagi memeriksa seluruh rumah dengan saksama.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang yang entah pingsan atau mati itu. Sejujurnya, aku pun tidak peduli. Aku hanya merasa ringan dan bebas. Aku bisa merasakan udara yang mengelilingi tubuh mungilku, saat aku mengepakkan sayap keluar dari pintu rumah yang terbuka.

Percakapan terakhir yang aku dengar berasal dari salah seorang pria berseragam itu, “Kami menemukan seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun di rumah kosong. Tidak ditemukannya bekas atau sisa makanan, pria ini diduga tewas karena kelaparan.” (end)

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (6)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
A Little Bird
Lirin Kartini
Skrip Film
Dendam kesumat(Skrip Film)
winda nurdiana
Cerpen
Bronze
Rembulan di Malam Purnama
Omius
Novel
Menara Pemakaman
Jie Jian
Cerpen
Bronze
MISTERI DI BALIK GUNUNG MERAPI
Aziz mubarok
Cerpen
Bronze
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Flash
Mengundang Tawa
Rifatia
Cerpen
Bronze
The Holders Of End
Miss Anonimity
Skrip Film
misteri di apartemen
susi purwaningsih
Novel
Gold
Digital Fortress
Mizan Publishing
Cerpen
Menerka Dibalik Kisah Kehidupan
dreaminghand
Skrip Film
KEMBALINYA BARA API
Agung Prasetiarso
Flash
The Room 13
Ariq Ramadhan Nugraha
Cerpen
Bronze
Kamar Pojokan
Jesslyn Kei
Cerpen
Bronze
Bertemu Setan
Omius
Rekomendasi
Cerpen
A Little Bird
Lirin Kartini
Novel
TWIN BUT NOT TWINS
Lirin Kartini
Flash
PELAJARAN BERHARGA
Lirin Kartini
Novel
Me and The Sisters
Lirin Kartini
Novel
Tetangga Lima Langkah
Lirin Kartini
Novel
Dear Random
Lirin Kartini
Flash
Pertemuan Rahasia
Lirin Kartini
Novel
Kesempatan Hidup (lagi)
Lirin Kartini
Flash
BALAPAN
Lirin Kartini
Novel
Di Antara Bintang Di Langit
Lirin Kartini
Novel
CINTA TERHALANG KRISMON
Lirin Kartini
Cerpen
INJURY TIME
Lirin Kartini
Flash
Sepatu untuk Alin
Lirin Kartini
Komik
Bronze
ME TO YOU
Lirin Kartini
Komik
Bronze
Only You
Lirin Kartini