Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
A DILEMMA: Between Thought And Duty
0
Suka
10
Dibaca

Berlin, Musim Dingin 1811.

Salju tipis menempel pada jendela kecil bangunan batu kelabu yang dulunya bekas barak militer. Kini, bangunan itu dikenal sebagai Büro für Klassische Revision (Biro Revisi Klasik), sebuah kantor kecil dengan puluhan ruang, dihuni oleh masing masing pekerja di bawah Ministerium der Geistlichen, Unterrichts- und Medizinalangelegenheiten (Kementerian Urusan Rohani, Pendidikan, dan Kesehatan) Kerajaan Prusia.

Jauh di ujung lorong yang jarang dilewati, terlihat sebuah ruangan sempit dengan cahaya remang, berada di paling pojok dari barisan ruang-ruang sempit lainnya. Di balik ruangan dingin, yang hanya tercium bau tinta dan kertas tua itu, duduk seorang pria dengan postur membungkuk, sedang menelusuri kalimat demi kalimat naskah Yunani kuno dengan pena bulu yang nyaris habis ujungnya. Dia Emmerich Verholt, seorang pria muda berusia 27 tahun, berasal dari keluarga menengah intelektual, menempuh pendidikan di Collegium Fridericianum di Königsberg (Sekolah humaniora klasik dengan fokus Yunani dan Latin). Verholt menghuni ruangan tersebut, sebagai pekerja di bawah Königliche Kommission für Bildung und Moralische Zucht (Komisi Kerajaan untuk Pendidikan dan Penertiban Moral).

Sudah hampir dua musim dingin berlalu sejak Verholt pertama kali duduk di meja itu, menelusuri setiap baris filsafat Yunani kuno, menyalin, menyusun ulang, dan menyesuaikan materi pelajaran agar selaras dengan pedoman kurikulum baru yang sedang disusun oleh Kementerian.

Masa masa krisis ini bermula beberapa tahun lalu, saat Militer Prusia dikalahkan secara telak oleh Pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte dalam Pertempuran Jena-Auerstedt pada 1806. Kekalahan itu tidak hanya menyebabkan Prusia kehilangan wilayah dan tanah, tetapi juga martabat dan kepercayaan diri sebagai bangsa. Para pejabat tinggi Prusia menganggap kekalahan itu bukan semata militer Prancis lebih unggul, tetapi akibat kelemahan moral rakyat dan hilangnya semangat nasional yang sejati.

Dari puing-puing kehancuran itu, lahirlah gelombang reformasi besar besaran di Prusia. Wilhelm von Humboldt diangkat untuk merancang sistem pendidikan baru, yang bertujuan untuk membangun kembali bangsa dan membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat, khususnya anak-anak. Maka, dibentuklah kantor-kantor kecil di bawah Kementerian, salah satunya Büro für Klassische Revision, tempat Verholt bekerja. Di sinilah naskah-naskah kuno diseleksi dan disesuaikan, kemudian disusun sebagai kurikulum baru pendidikan Prusia.

Kini, 5 Tahun Setelah Perang Jena-Auerstedt.

Bel di ujung koridor berdentang sebanyak tiga kali, tepat pukul 08:00, menandakan batas waktu para pegawai harus sudah berada di dalam biro. Tidak ada toleransi untuk keterlambatan bahkan sepersekian detik.

Pada jam yang sama setiap hari, ketika matahari belum terbit, dan jalanan masih diselimuti oleh kabut dingin bercampur salju tipis, Verholt sudah berjalan menuju kantor, melewati lorong lorong sempit dan sunyi. Tidak ada suara, hanya desir angin beku yang menerpa dinding dinding bangunan tua, dan sesekali terdengar suara tapak kuda yang terendam oleh salju dari kejauhan.

Ia menyalakan lampu minyak di sudut meja, membiarkan cahaya kekuningan menerangi ruangannya yang gelap. Verholt memulai rutinitas pagi nya dengan membaca buku klasik yang berjejer rapi, memenuhi tiap baris rak buku yang terletak di sudut ruangan. Membaca merupakan tradisi keluarganya sejak generasi pendahulu, sebagai cara untuk memandang dunia dengan kritis. Verholt mewarisi kebiasaan tersebut, membaca, lalu menulis pemikiran pemikiran yang timbul ke dalam catatan pribadinya.

Matahari mulai terbit, menerangi seluruh kota Berlin. Jam dinding tua menunjukkan pukul delapan hampir tiba. Di luar ruangan, langkah tergesa dan napas terengah-engah mulai memenuhi lorong. Para pegawai berlomba tiba di ruangan masing masing sebelum jarum jam mencapai angka delapan.

Verholt sudah lebih dahulu berada di ruangannya, jauh sebelum keramaian itu dimulai. Karakter nya yang disiplin dan konsisten, membuatnya dipercaya untuk menempati posisi di Büro für Klassische Revision, sebuah tempat yang tidak hanya menuntut kecerdasan, tetapi juga presisi.

Jauh sebelum hari hari yang dilalui dalam ruangan sempit itu, Verholt adalah pengajar muda di Königsberg, tempatnya dahulu menempuh pendidikan, sebagai pengajar moralitas dan Bahasa Yunani. Seperti halnya Socrates, Verholt percaya bahwa kebajikan adalah pengetahuan, yang lahir dari kemampuan berpikir jernih dan mendalam.

Setelah reformasi pendidikan besar besaran dimulai, Verholt menerima panggilan dari Kementrian Pusat untuk menempati posisi di Büro für Klassische Revision. Meskipun, dengan berat hati, Verholt harus meninggalkan profesi nya sebagai guru, yang merupakan cita-citanya sejak kecil. Ia menerima profesi barunya dengan penuh semangat dan optimisme. Verholt begitu yakin bahwa, melalui jalan ini, reformasi besar besaran di Prusia, merupakan awal kebangkitan bangsa. Pendidikan yang akan mencetak generasi generasi pemikir kritis dan mendalam, orang orang yang mampu menimbang gagasan dengan nalar mereka sendiri.

Dalam benaknya, Verholt sudah membayangkan ruang ruang kelas yang dipenuhi perdebatan, tempat gagasan saling berbenturan tanpa kehilangan rasa hormat. Dalam pandangannya, kebebasan berpikir dan moralitas tidak pernah saling meniadakan, justru saling meneguhkan.

"Pendidikan adalah benih peradaban," ucap Verholt dengan penuh keyakinan.

"Bangsa besar tak dibangun oleh kekuatan pedang, melainkan oleh kebijaksanaan pikiran. Jika pendidikan ini berjalan, Prusia akan melahirkan lebih banyak pemikir, bukanlah ketaatan buta. Dan dari sanalah, kebajikan sejati akan lahir.” Verholt menatap surat itu, dengan kedua tangannya menggenggam kuat penuh harapan dokumen resmi bertanda elang Prusia.

Untuk pertama kali dalam hidup, Verholt melangkahkan kaki nya memasuki Biro, dengan berpakaian rapi seragam pegawai, dilengkapi pin elang di dada kirinya, menandakan bahwa ia merupakan anggota dalam mempersiapkan reformasi.

Udara Berlin masih menusuk tulang ketika ia menelusuri lorong menuju ruangan baru miliknya di bangunan itu. Di tangan kanannya, ia membawa sebuah tas kulit berwarna cokelat tua, agak kusam di beberapa sisi, tetapi masih terawat dengan baik. Di bagian dalamnya, tersimpan pena bulu, botol tinta kecil, buku catatan pribadinya, serta beberapa bacaan klasik yang selalu ia bawa ke mana pun pergi. Tas itu adalah peninggalan ayahnya, seorang guru bahasa Latin, yang dahulu selalu berkata bahwa,

“Tinta dan buku adalah dua hal yang tidak boleh ditinggalkan, karena merupakan wadah tempat manusia menumpahkan jiwanya."

Namun, bagi Verholt, tas itu bukan sekadar wadah, melainkan pengingat akan malam-malam sunyi di rumah kecilnya, ketika ia dan sang ayah duduk berdua di bawah cahaya lampu minyak, untuk membaca, menulis, dan membiarkan kata-kata menjadi jembatan antara mereka dan dunia.

Minggu pertama telah berlalu.

Langit baru mulai menampakkan sedikit cahaya oranye. Kabut tipis perlahan memudar, menyisakan butiran salju menempel pada jendela, mencair perlahan oleh hangatnya udara dari dalam ruangan.

Verholt duduk tegak di kursinya, diterangi cahaya lembut dari lampu minyak. Matanya menelusuri setiap kalimat dengan penuh kesungguhan, seolah di balik huruf-huruf itu tersembunyi denyut kehidupan yang ingin ia pahami. Jemarinya bergerak perlahan menyentuh tepian halaman buku Les Ruines, ou Méditations sur les révolutions des empires karya Constantin-François de Volney (1791), membaliknya dengan hati-hati, seakan takut merusak sejarah yang tersimpan di dalamnya.

Tatapannya tak beranjak dari baris-baris yang baru saja ia baca, seolah setiap kata meninggalkan gema di benaknya. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap jendela berembun di mana butiran salju menempel seperti titik-titik waktu yang membeku. Dalam sekejap, pikirannya melayang jauh ke masa-masa yang digambarkan dalam teks, tentang kebangkitan dan kejatuhan bangsa, tentang manusia yang mencari arti kebijaksanaan di tengah kehancuran yang mereka ciptakan sendiri.

Dan tepat saat pikirannya tenggelam dalam renungan, bel di ujung koridor berdentang, menggemakan bunyi logam yang nyaring mengisi seluruh bangunan. Verholt tersadar. Bunyi itu menyeretnya kembali dari dunia lain.

Dari kejauhan, terdengar langkah-langkah pegawai berlari, teratur, tanpa suara percakapan. Hanya derap sepatu yang seirama. Beberapa detik kemudian, semua pintu di sepanjang lorong tertutup bersamaan, menimbulkan bunyi besi yang serempak. Setelah itu, sepi kembali mengambil tempatnya.

Verholt menutup bukunya pelan, menghembuskan napas karena harus meninggalkan dunia yang sedang ia jelajahi. Pria muda itu berdiri dari tempat duduknya, berjalan keluar, melewati barisan ruang pegawai, dan menuju ke ruang arsip.

Di sana, seorang pegawai muda sudah menunduk di depan meja panjang, membuka kotak kayu berisi dokumen baru yang dikirim langsung dari Kementerian. Verholt berhenti di dekatnya.

"Apakah ini kiriman dari pusat?" tanyanya dengan suara sedikit berbisik.

Pegawai itu mengangkat wajahnya sebentar, tatapan matanya waspada, dengan raut wajah seperti ketakutan akan hukuman. Ia hanya mengangguk cepat, lalu menunduk lagi. Verholt mencoba tersenyum, separuh gugup.

“Aku hanya ingin memastikan ada naskah yang harus segera direvisi.”

Namun, belum sempat ia menambah kata lain, suara berat dari ujung lorong terdengar, seperti langkah pengawas yang sedang berkeliling. Pegawai muda itu menutup kotak kayu dengan tergesa dan berbisik lirih, hampir tak terdengar,

“Tidak boleh berbicara selama jam kerja, Tuan.”

Keduanya lalu berpura-pura sibuk, satu membuka lembar dokumen, satu lagi menulis catatan singkat, sementara suara langkah pengawas lewat di belakang mereka, teratur, tanpa berhenti sedetik pun.

Malam itu, salju turun lebih lebat. Dari balik jendela kamar kecilnya, Verholt memandangi butiran putih yang berjatuhan. Lampu minyak di atas mejanya menjadi penerang, memberikan cahaya hangat melawan gelapnya ruang tidur itu.

Di depannya terbentang buku catatan dengan halaman yang mulai penuh. Ia mencelupkan pena ke dalam tinta, lalu lanjut menulis:

"Hari ini, sesuatu terasa berbeda. Aku ingin menyapa, tapi kata-kata itu seperti tertahan di udara yang membeku. Mereka bekerja dengan wajah tanpa raut, begitu datar hingga seolah tak memiliki pikiran sendiri. Aku mencoba berbicara, hanya sebentar, satu pertanyaan ku lontarkan. Tapi pegawai itu, yang tadinya seperti tak memiliki emosi, tiba-tiba menatapku dengan ketakutan.

Dan lagi... soal tidak boleh berbicara selama jam kerja. Betapa anehnya peraturan itu."

Verholt melewati malam itu penuh kebingungan, dengan beribu pertanyaan di kepalanya.

Pagi berikutnya datang dengan langit kelabu, meski matahari mulai menampakkan diri di balik kabut putih. Verholt memegang tumpukan naskah yang telah ia susun semalam. Tulisan tangannya masih tampak rapi meski tinta sudah mulai pudar. Ia memasukkannya ke dalam map kulit cokelat, lalu melangkah keluar dari ruangannya menuju lorong utama, tempat kotak kayu besar berada, tempat setiap pegawai menyerahkan hasil kerja mereka setiap pagi. Lorong itu masih sama seperti biasanya, dipenuhi langkah langkah yang teratur, tanpa percakapan.

Tetapi pagi ini, sesuatu berbeda. Tepat di depan kotak kayu, Verholt melihat seorang pegawai baru yang belum pernah ia temui sebelumnya, pria muda dengan wajah lembut dan senyum yang, entah mengapa, terasa lebih manusiawi dibandingkan wajah kaku lainnya.

Saat mereka sama-sama hendak menaruh dokumen ke dalam kotak, Verholt memberanikan diri membuka percakapan kecil.

"Aku selalu mengagumi keberanian Socrates. Bagaimana seseorang hanya menunduk pada kebenaran bahkan di hadapan kematian?"

Pegawai muda itu menoleh ke arahnya, menatapnya dengan tatapan yang sama seperti pegawai sebelumnya, ketakutan, dan senyum ramah di wajah itu memudar. Dan dengan gerakan hampir tak terlihat, menempelkan telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat menyuruh untuk diam.

"Patuhi aturan, Tuan."

Verholt terpaku. Pegawai itu segera menunduk dan pergi tanpa menoleh lagi, langkahnya kembali teratur seperti lainnya. Lorong pun kembali sunyi, hanya suara detak jam dinding tua yang terdengar dari kejauhan, berdetak dengan lembut, ritmis, dan dingin.

Verholt menatap map di tangannya yang kini terasa lebih berat. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bahwa keheningan di tempat ini bukan sekadar kebiasaan, tapi perintah.

Verholt kembali ke ruangannya dengan langkah perlahan. Di dalam kepalanya, sesuatu terus berputar. Ia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi, namun setiap kesimpulan yang hampir terbentuk seperti dihancurkan oleh ketidakpastian berikutnya.

"Apakah benar berbicara dianggap kesalahan?"

"Apa sebenarnya maksud dari semua aturan ini?"

Begitu tiba di ruangannya, Verholt menutup pintu dengan perlahan. Ia kembali duduk di meja kayu yang penuh dengan tumpukan naskah, pena, dan laporan yang harus segera diserahkan sore nanti.

Namun, pikirannya berantakan. Ia berusaha bekerja, menyalin laporan, memeriksa halaman, tetapi setiap baris tulisan yang dibacanya terasa hampa. Kata “ketaatan”, “disiplin”, “aturan”, semuanya memenuhi seluruh isi kepalanya, pikirannya melayang entah kemana, menghancurkan fokus yang seharusnya ia miliki untuk menyelesaikan tugas.

Musim dingin telah berlalu.

Salju yang dulu menempel di jendela kini telah menghilang. Salju di atap-atap bangunan tua telah mencair. Udara masih dingin, namun aroma tanah basah mulai menggantikan bau besi dari musim beku yang panjang. Langit berwarna kelabu muda, seolah menunggu matahari kembali bersinar utuh setelah berbulan-bulan tertahan kabut. Jalan-jalan mulai ramai lagi oleh kereta kuda dan anak-anak yang berlari membawa buku.

Sudah hampir enam bulan Verholt bekerja di Büro für Klassische Revision. Segalanya berjalan dengan pola yang sama, langkah serempak, raut wajah kaku, jam berdentang pada waktu yang tepat. Tak ada yang berubah, kecuali sesuatu yang tumbuh di dalam diri Verholt.

Di dalam ruangan dingin itu, tepat di atas meja kayu, tergeletak sebuah amplop cokelat besar bertanda stempel resmi: “Materi Pembelajaran Moral Semester Musim Semi.” Verholt membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya tersusun naskah-naskah yang ia kenal, ajaran moral dasar dari para filsuf besar, seperti Socrates, Plato, Kant, hingga Confucius. Verholt membaca semua naskah naskah itu dengan seksama, meskipun ia sudah berulang-ulang membacanya. Verholt sangat mencintai bacaan klasik, sama seperti ayahnya. Namun saat ia mulai membaca, sesuatu terasa berbeda. Kalimat yang diambil selalu sepenggal. Tidak ada konteks, tidak ada penjelasan lanjutan.

Dari Plato, mereka mengutip: “Keadilan adalah ketika setiap orang melakukan bagiannya dan tidak mencampuri urusan orang lain.” Tapi tidak ada yang menjelaskan bahwa Plato berbicara tentang keseimbangan jiwa dan negara, bukan ketaatan tanpa suara.

Dari Kant, mereka menulis di papan besar: “Patuhilah perintah moral seolah-olah ia hukum universal.” Namun mereka tidak menyebut bahwa Kant juga menekankan kebebasan berpikir dan niat baik sebagai dasar moralitas, bukan sekadar tunduk.

Verholt mencoba mengabaikan itu, dan mengalihkan fokusnya untuk menulis dan menyusun kurikulum sesuai dengan tanggung jawabnya.

Musim terus berganti, dari musim dingin ke musim semi, dan kini musim panas yang lembab melapisi kota Berlin. Langit tampak lebih terang, tapi cahaya itu tak pernah benar-benar sampai ke dalam ruangan, kaca-kaca buram masih menahan matahari seperti menolak kehidupan dari luar.

Para pegawai kini bekerja dengan kemeja tipis, namun wajah mereka tetap dingin seperti musim lalu. Hanya jam di dinding yang menandai waktu telah berganti.

Di luar, pepohonan berdaun lebat dan burung-burung bernyanyi, tapi di dalam gedung, bunyi pena dan langkah kaki masih terdengar seperti detak mesin, teratur, kaku, dan seirama.

Setiap pagi, Verholt masih melihat hal yang sama. Orang-orang berjalan dengan ritme yang sama, menunduk dengan sudut kepala yang sama, bahkan berhenti pada waktu yang sama. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang tertawa. Tidak ada yang bertanya.

Verholt duduk di meja kecilnya. Di hadapannya tergeletak buku catatan yang hampir penuh. Tinta di tangannya mulai menipis, tapi pikirannya justru semakin deras.

“Hari-hari di biro berjalan seperti biasa. Semua tampak tenang, teratur, dan sesuai aturan. Namun entah mengapa, ketenangan ini terasa seperti gema yang tak berujung, seolah sesuatu telah diatur begitu sempurna hingga tidak menyisakan ruang untuk sekedar membebaskan diri.”

Tangannya berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan:

“Mungkin memang begitulah seharusnya keteraturan bekerja, tak memerlukan pertanyaan, hanya kepatuhan. Tetapi aku terus bertanya dalam hati, apakah kebajikan hanya bisa tumbuh dari kepatuhan? Bukankah pemikiran juga bagian dari moral?”

Tidak ada amarah di wajahnya, hanya semacam kesedihan, seperti seseorang yang perlahan kehilangan keyakinan.

“Aku tidak menentang aturan,” tulisnya lagi, “Aku hanya belum mengerti mengapa setiap langkah kami harus diatur begitu ketat. Mengapa setiap gerak harus memiliki batas yang ditentukan orang lain. Mengapa kami harus tunduk pada sesuatu yang bahkan tidak kami pahami asalnya. Bukankah manusia diberi akal agar dapat memahami, bukan sekadar mematuhi?"

Sore itu, ketika lonceng kota berdentang menandakan waktu pulang, Verholt tidak langsung kembali ke kamarnya seperti biasa.

Ia menatap jendela yang berembun, lalu berdiri perlahan. Udara di luar memanggilnya, atau mungkin pikirannya sendiri yang menolak diam di ruangan ini lebih lama.

Ia berjalan tanpa arah, menyusuri jalan-jalan batu Berlin yang masih basah oleh sisa hujan siang tadi. Di setiap tikungan, ia melihat dunia yang seolah kembali hidup. Anak-anak berlari di trotoar, seorang penjual bunga menata kembali pot yang sempat basah oleh hujan, dan seorang perempuan tua menarik keranjang belanja di belakang mereka. Udara sore terasa lebih ringan dibanding udara pengap di dalam biro.

Verholt berhenti di depan sebuah toko buku tua. Etalasenya berdebu, tapi di sana masih terpajang buku-buku lama, karya para pemikir yang dulu menjadi pelita bagi jiwanya. Socrates, Kant, Volney, Plato. Semua diam di balik kaca, seolah menatap balik dirinya yang kini menjadi bagian dari sistem yang menyingkirkan suara mereka.

Pintu toko terbuka dengan bunyi lonceng kecil. Seorang pria tua di balik meja, berambut putih, segera memakai kacamata tuanya untuk memperjelas pandangan.

“Ah, Tuan Verholt... masih suka datang tanpa membeli?” Nada suaranya ringan, tapi menembus sesuatu di dalam diri Verholt.

Verholt tersenyum tipis. “Aku hanya ingin menghirup bau kertas, Pak. Itu sudah cukup menenangkan.”

Pria tua itu tertawa pelan. “Bau kertas? Di zaman ini, bahkan bau pun bisa dianggap pengacau kalau bisa membangunkan sesuatu yang seharusnya tidur.”

Kalimat itu menggantung. Verholt tak tahu harus menanggapinya dengan apa.

Ia menatap rak buku yang berjejer rapat, tulisan-tulisan yang kini dilarang untuk dipelajari di sekolah. Socrates, yang dulu ia ajarkan dengan semangat, kini dikutip setengah oleh Kementerian, tanpa jiwa.

“Dulu aku percaya,” katanya lirih, “bahwa pendidikan bisa membebaskan. Sekarang aku hanya menyalin kata-kata agar orang lain tak perlu berpikir.”

Kakek tua itu menatapnya lama. “Kau tahu, Verholt... mungkin masalahnya bukan pada pendidikan, tapi pada siapa yang diberi hak untuk menulisnya.”

Hening.

Verholt menunduk. Matanya memaksa untuk tetap kering, tapi air matanya menolak perintah itu. Untuk sesaat, dunia di sekelilingnya terasa berputar pelan.

Matahari sudah tenggelam, ketika ia meninggalkan toko buku tua itu. Udara malam Berlin kembali dingin, menyusup di antara lapisan mantel. Ia berjalan tanpa arah, menelusuri jalanan yang mulai sepi.

Di kejauhan, suara anak-anak menyanyikan lagu nasional baru yang diwajibkan di sekolah. Nada-nadanya indah. Anak anak bernyanyi dengan rapi dan teratur. Verholt berhenti. Ia mendengarkan bait itu perlahan-lahan, hingga kata-kata terakhirnya menggema di dalam dirinya.

“Disiplin adalah kebajikan tertinggi.”

Sebuah kalimat yang pernah ia tulis sendiri. Namun, kini terasa seperti belenggu yang menyiksa dirinya.

"Apa yang akan terjadi dengan masa depan biro, dan bahkan sistem pendidikan yang baru ini?"

Verholt melangkah perlahan, setiap tapak kakinya terasa berat, seperti menapak di atas naskah-naskah yang tak pernah selesai ia pahami. Angin malam Berlin terasa mengoyak mantel tipisnya. Tapi, bukan dingin yang membuatnya menggigil. Melainkan kesadaran yang menyakitkan. Setiap hari, setiap naskah yang ia tulis, setiap pena yang ia celupkan ke tinta, hanyalah salinan dari kata-kata yang telah disaring, dipotong, disesuaikan, hingga kehilangan nyawa mereka sendiri.

Ia berhenti di jembatan kecil di atas kanal. Air hitam di bawahnya berkilau samar, memantulkan lampu-lampu jalan seperti bintang yang jatuh. Verholt menunduk, mengeluarkan buku catatannya, dan menulis. Matanya memaksa untuk tetap kering, tapi air matanya menetes juga, perlahan, diam-diam, hingga jatuh menciptakan noda tetesan air di catatannya.

"Apa yang kulakukan ini? Apakah ini benar pendidikan, atau hanya seni menundukkan pikiran orang lain?"

Suara hati itu bergaung lebih keras daripada dentang lonceng biro yang menandai jam kerja, lebih keras dari langkah kaki pegawai yang taat, lebih keras dari ketukan pena di atas kertas.

Ia menutup matanya sejenak, membiarkan ingatan masa lalu menyusup. Kelas-kelas di Königsberg, tawa siswa yang penasaran, perdebatan yang memantik semangat, sorot mata anak-anak yang melihatnya bukan sebagai pembawa aturan, tapi sebagai pemantik api berpikir mereka sendiri. Api itu kini terasa redup, terbenam di bawah aturan dan ketaatan yang tak terlihat tapi membekap setiap anak anak di Prusia.

Hujan mulai turun, membasahi kemeja dan rambutnya. Tapi Verholt tak peduli. Setiap tetesnya seolah menampar kesadarannya, membangunkan kembali api yang hampir padam. Ia menulis, bukan lagi menyalin. Ia ingin bicara, bukan lagi diam. Ia ingin menyalakan kembali percikan yang pernah membuatnya mencintai filsafat dan pendidikan.

Verholt menatap langit yang sudah gelap, hujan yang jatuh, lampu kota yang menerangi jalan. Dan untuk pertama kalinya dalam enam bulan, ia merasa sesuatu dalam dirinya bergerak. Tidak dalam kata-kata orang lain, tapi dalam bisikan hatinya sendiri.

Verholt tetap duduk di tepi jembatan kecil itu, punggungnya menolak untuk beranjak. Rambut dan bajunya basah oleh hujan. Angin malam Berlin menyusup ke tulang, tapi rasa dingin itu tak mampu menggerakan dirinya untuk pulang. Verholt ditahan oleh beratnya pergumulan yang menekan dada.

Malam itu sunyi. Hanya suara hujan yang menetes di jembatan dan genangan air yang beriak oleh angin yang sesekali menderu.

Saat fajar mulai menyelinap di balik gedung-gedung tua Berlin, cahaya lembut pagi mengintip melalui kabut. Jalanan basah memantulkan langit kelabu, dan suara kota mulai terbangun. Gerobak berderak di jalanan, langkah anak-anak yang berangkat sekolah, burung yang terbang rendah. Tapi Verholt masih duduk di jembatan, tubuh setengah basah, mata memandang ke arah kota yang perlahan bangun dari tenangnya malam.

Semua pertanyaan yang menumpuk semalam, semua rasa frustrasi, semua rasa sakit karena sistem pendidikan yang membunuh semangat berpikir. Semuanya menuntut tindakan.

Verholt berdiri, kemejanya masih setengah basah, rambutnya menempel di dahi akibat hujan semalam. Ia melangkah cepat melalui jalanan Berlin yang basah oleh sisa hujan, tangannya menggenggam tas dan buku catatan yang kini terasa seperti senjata. Ia menatap jalan di depan, mata memerah karena tidur yang tak sempurna, tetapi penuh tekad.

Saat ia mendekati kantor, pandangannya tak sengaja tertuju ke sekolah kecil di dekatnya. Anak-anak berbaris rapi, menyalin teks dari papan tulis tanpa bertanya, tanpa suara, tanpa tanda ingin memahami. Guru berdiri di depan mereka, wajah tegas, suara lantang, menegur setiap gerakan yang dianggap salah. Tak satu pun anak itu mengeluarkan suara, entah itu sekedar bertanya maupun berdiskusi.

"Aku tak mengerti. Bagaimana bisa sebuah tempat yang dibangun atas nama 'pendidikan' justru melarang percakapan?"

"Bukankah pengetahuan tumbuh dari dialog? Bukankah pikiran manusia baru hidup saat bersentuhan dengan pikiran lain?"

Hati Verholt bergejolak. Setiap langkahnya terasa lebih cepat, napasnya semakin berat. Dunia yang ia bayangkan, kelas yang penuh diskusi, tawa, pertanyaan, dan semangat berpikir, telah berubah menjadi barisan murid yang kaku dan patuh, menelan kata-kata tanpa mempertanyakan.

Ia memasuki lorong kantor. Suara langkahnya terdengar lebih keras dari biasanya. Verholt menunduk sejenak di depan pintu ruang kepala biro, menarik napas panjang, menenangkan detak jantung yang berlari. Ia menatap lorong yang panjang, langkah-langkah kaku pegawai, dan suara jam dinding tua yang berdetak ritmis.

"Ini bukan pendidikan. Ini penjara bagi pikiran. Anak-anak ini dilatih untuk menunduk, bukan untuk memahami. Mereka belajar menyalin, bukan berpikir. Semua yang kita perjuangkan, telah diubah menjadi ketaatan tanpa suara."

Verholt menatap kembali pintu ruang kepala biro, tangannya masih menggenggam tas dan buku catatan. Napasnya berat, kemejanya setengah basah, rambut menempel di dahi. Ia mengetuk pintu sekali, dua kali, sebelum masuk dengan langkah tegas.

Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah kaku dan mata tajam, menatap Verholt dengan ekspresi netral. Tak ada senyum, tak ada sapaan hangat. Lampu pagi menyorot dinding penuh dokumen dan stempel resmi, menegaskan aura kekuasaan yang menekan setiap sudut ruang.

“Ah, Verholt,” suara kepala biro terdengar datar.

“Apa yang membawamu datang pagi-pagi begini?”

Verholt meletakkan map di meja, menatap mata pria itu tanpa menunduk. Kata-kata yang menumpuk semalam dan kemarahan pagi tadi meluap.

“Pak, saya tidak bisa lagi menahan ini! Sistem ini, pendidikan yang kita ajarkan, anak-anak, mereka menelan kata-kata tanpa mempertanyakan, tanpa berpikir, tanpa jiwa! Apa ini yang kita sebut kebajikan? Apa ini yang kita sebut moralitas?”

Kepala biro mengerutkan dahi, menatapnya dingin.

“Aturan ada untuk diikuti, Verholt. Pendidikan ini bukan tentang perasaan, tapi tentang ketaatan. Ini cara kita membentuk rakyat yang disiplin dan patuh. Tidak ada yang salah dengan itu.”

Verholt menggeleng cepat, suaranya meninggi tapi tetap terkendali.

“Disiplin tanpa pemahaman adalah kebohongan! Anak-anak ini diajari menunduk, bukan memahami. Mereka tidak diberi ruang untuk bertanya, untuk berpikir kritis, untuk menemukan kebenaran sendiri. Apa yang kita lakukan ini membunuh jiwa mereka!”

Kepala biro berdiri.

“Verholt, kau terlalu idealis. Dunia tidak sesederhana pemikiranmu. Kita bekerja untuk negara, bukan untuk mimpi-mimpi tak tercapai. Kita membentuk generasi yang patuh. Itulah kebijakan kerajaan.”

“Tidak!” teriak Verholt, suaranya memecah hening ruangan.

“Aku tidak bisa diam! Aku tidak akan menyalin kata-kata orang lain tanpa makna! Pendidikan adalah kebebasan berpikir, bukan mesin menundukkan pikiran!"

Verholt menatap wajah kepala biro, sebelum benar benar meninggalkan ruangan itu. Napasnya masih berat. Ia mengambil tas dan buku catatannya, hendak berjalan menuju pintu. Namun, begitu ia memutarkan badannya, langkahnya terhenti. Dua pengawas berdiri di ujung lorong, wajah mereka dingin, mata mereka menatap Verholt tanpa berkedip. Tanpa peringatan, mereka menahan lengan Verholt dengan kekuatan yang tegas tapi terkontrol.

“Verholt, keberanianmu untuk menentang sistem tidak bisa ditoleransi. Efektivitas biro lebih penting daripada idealisme. Hari ini, engkau dipecat dari jabatanmu di Berlin. Dan demi ketertiban, kau akan dipindahkan—diasingkan ke Joachimsthal, lokasi yang jauh dari pusat, jauh dari pengaruh yang biasa kau klaim pertahankan. Ingatlah. Bukan pemikiran bebas yang kami bangun, tetapi disiplin yang akan membangun bangsa."

Perjalanan ke Joachimsthal ditempuh dengan kereta kuda, melewati ladang-ladang luas yang menguning di bawah terik matahari, dan hutan-hutan pinus yang menawarkan bayangan sempit di sisi jalan. Suara kuda berderap, ranting patah di bawah roda kereta, dan desau angin di daun-daun pohon menjadi teman perjalanan yang sepi. Kota-kota kecil yang dilewati semakin jarang, bangunan-bangunan semakin sederhana, udara semakin segar namun asing.

Kereta kuda bergerak perlahan, menapaki jalanan berbatu yang membentang di antara ladang musim panas yang terik. Angin hangat membawa aroma tanah dan rerumputan, sekaligus mengusap wajah Verholt yang duduk tegak, pena bulu di tangan, buku catatannya terbuka di pangkuan.

Ia menulis dengan gerakan lambat tapi pasti, menumpahkan semua yang tersisa dalam pikirannya.

“Malam itu aku tidak bisa tidur. Setiap detik terasa seperti tirai gelap menekan pikiranku. Amarah, frustrasi, dan rasa kecewa menumpuk begitu deras, hingga aku merasa paru-paruku sesak hanya karena menahan kata-kata yang ingin keluar. Aku menunggu pagi bukan karena harapan, tapi karena aku tahu bahwa jika menahan diri lebih lama, aku akan meledak tanpa kendali.

Di jembatan itu, aku menatap air yang bergerak pelan di bawah kaki, berharap bisa menemukan ketenangan, tapi hanya kesunyian yang menyapa. Kesunyian ini bukan damai. Ia menekan, menindas, menuntut aku menelan semua perasaan sendiri. Kata-kata yang menari di pikiranku terhenti, tertahan di tenggorokan. Aku ingin menjerit, ingin menampar dinding keheningan yang membungkam semuanya, tapi aku menahan diri.

Hatiku bergolak antara kemarahan dan kesedihan. Kemarahan karena sistem yang mengekang, yang menghancurkan semua idealisme yang kupegang. Kesedihan karena melihat dunia yang seharusnya penuh pemikiran dan diskusi kini dibungkam oleh kepatuhan semu. Aku menulis di buku ini, menumpahkan setiap rasa yang tak bisa kulontarkan ke orang lain, agar setidaknya pikiranku tetap merdeka, meski tubuhku dikekang.

Malam berubah menjadi subuh, udara dingin tetap menusuk, tapi aku sudah tak peduli. Aku memikirkan langkahku ke depan, konfrontasi yang harus kujalani dengan kepala biro. Tubuhku lelah, tapi pikiranku tak berhenti. Setiap lembar kertas yang kugoresi adalah ledakan batin yang tak bisa ditahan lagi. Kata-kata penuh amarah, pertanyaan yang menuntut jawaban, dan keyakinan yang tidak bisa mereka hancurkan.

Ketika pagi tiba, aku melangkah menuju biro dengan baju setengah kering karena hujan semalam. Jalanan Berlin masih basah, tapi setiap langkahku dipenuhi tekad yang membara. Aku melihat dunia di sekitarku. Anak-anak dan siswa yang patuh tanpa pertanyaan, guru yang mengulang kata-kata tanpa jiwa. Semakin aku melihat, semakin cepat langkahku. Marahku tak bisa ditahan lagi. Keadilan dan kebenaran harus diperjuangkan.

Konfrontasi menunggu, dan aku tahu, apapun yang terjadi, aku harus tetap berdiri dengan keyakinan itu. Kata-kata mereka mungkin mencoba menekan, tubuhku mungkin akan dibawa pergi, tapi pikiranku tetap bebas. Mereka tidak bisa menahan api yang menyala di dalam diriku.

Kini aku duduk di kereta kuda, ladang musim panas terbentang di jendela, hutan pinus berjejer di sepanjang jalan, dan udara lembap menyapa wajahku. Pena tetap di tangan, buku tetap di pangkuan. Aku menulis semua yang kurasakan sejak malam tadi. Kemarahan, kesedihan, frustrasi, ketakutan, tapi juga keyakinan yang tak tergoyahkan.

Mereka ingin aku diam. Mereka ingin aku menyesal. Tapi semangatku untuk menuntut kebenaran, untuk berpikir bebas, untuk menulis dan merasakan, tetap membara. Aku tidak menyesal. Aku tidak akan menyesal. Bahkan di tempat terpencil sekalipun, kebenaran tetap hidup dalam diriku."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
A DILEMMA: Between Thought And Duty
Nathalie
Novel
Jejak sang Petarung: Warisan Macan Hitam
yooajh
Novel
Bronze
Misteri Di Balik Tirai
Eko Hadisusilo
Novel
Gold
Indonesia Poenja Tjerita
Bentang Pustaka
Novel
Akar Randu, Debu dan Kisah-Kisah Pilu
Ferry Herlambang
Novel
Gold
Gulag
Bentang Pustaka
Novel
Dahlia Merah di Penghujung Abad
tuhu
Cerpen
Bronze
Selepas Hujan
Anisha Dayu
Novel
Gold
Kolecer & Hari Raya Hantu
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Keanggunan Dipeluk Takdir
Temu Sunyi
Novel
PELANGI SENJA ARZINARA
Kandil Sukma Ayu
Novel
Gold
Mencari Buah Simalakama
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Di Balik Gerbang
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
One Time
PANA
Novel
Hujung Tanah
Nikodemus Yudho Sulistyo
Rekomendasi
Cerpen
A DILEMMA: Between Thought And Duty
Nathalie