Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
A Confession at A Dinner
1
Suka
25
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Leta belum pernah menginjakkan kaki di restoran itu sebelumnya. Dengan interior klasik modern bercahaya kuning serta tata letak restoran yang bernuansa Eropa, Leta tahu bahwa hidangan yang akan disajikan akan bercita rasa menjanjikan--tentu dengan harga yang tidak murah. Ada banyak sekali tamu pada malam itu dan pramusaji mengarahkan Ayah pada sebuah meja cukup untuk dua orang yang berada sedikit di tengah restoran. Setidaknya dibutuhkan waktu lima menit untuk Leta membolak-balik halaman dan memilih dua menu paling familiar di antara nama-nama asing yang terlihat menggiurkan. Pramusaji pun datang dan mencatat pesanan mereka sebelum pergi setelah mengatakan berapa lama estimasi.

Leta tidak ingat kapan terakhir kali duduk berhadapan dengan sang Ayah. Dahulu, keluarga mereka selalu makan malam bersama pada meja makan besar hitam di tengah-tengah dapur. Setidaknya, pada waktu itulah mereka bisa mendengar cerita masing-masing sebelum kembali pada kesibukan. Setelahnya, anak-anak akan belajar dan orang tua pun mungkin melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda. Jadi, waktu makan malam yang kurang lebih berlangsung tiga puluh menit hingga satu jam menjadi momen pengikat mereka kembali sebagai kesatuan keluarga. 

Namun, rasanya terakhir kali mereka makan malam telah berlangsung sangat lama. Mungkin, saat adik Leta satu-satunya, Radit, masih duduk di bangku SD kelas lima. Kini, Radit telah menjadi remaja kelas tiga SMP. 

"Bagaimana tesnya?" tanya Ayah memotong atmosfer canggung di antara mereka. "Gampang?"

Leta tertawa canggung. Ia menautkan jari jemarinya di bawah meja. "Gitu, deh."

Hari ini, Ayah menjemput Leta yang mengikuti ujian perguruan tinggi. Lokasi tempatnya ujian berjarak jauh dari rumah sehingga Bunda melarang Leta untuk berangkat sendirian. Namun, karena Bunda perlu menjemput Radit, akhirnya Leta menyanggupi untuk dijemput oleh sang ayah. 

"Memang pilihan pertama akhirnya jurusan apa sih?" tanya Ayah lagi. 

"Bahasa Korea," ucap Leta. Ia sudah bersiap melontarkan berbagai sanggahan. Hampir setiap orang yang mendengar jawabannya akan menunjukkan raut wajah keheranan dan menanyakan alasannya. Lalu, tidak puas dengan berbagai jawaban yang Leta lontarkan, mereka hanya akan memandangnya penuh simpati seolah ia telah melakukan pilihan yang salah. Begitulah tanggapan kebanyakan orang mendengar kata 'sastra' sebagai pilihannya. 

Akan tetapi, Ayah hanya menanggapi dengan gumaman singkat dan tak berkomentar apapun. Ayah justru sibuk mematikan ponsel lalu menyimpannya kembali pada saku dalam jaket yang sudah sejak lama dilepaskan dan kini tersampir di kursi. Sebuah kebiasaan yang kini telah mendarah daging di keluarga mereka–mematikan ponsel saat makan bersama. Itu adalah bagian dari tata krama untuk menghormati lawan bicara. 

Begitulah, keheningan kembali menyelimuti mereka. Jadi, sekali lagi Leta kembali menyibukkan diri mengamati interior kafe yang menurutnya cocok untuk dijadikan sebagai latar salah satu adegan cerita. 

"Sekolah aman?" tanya Ayah lagi setelah jeda lama. Sudah dua bulan sejak kami memilih untuk tidak lagi tinggal bersama. Leta hanya mengangguk dan tersenyum tipis. 

"Baik," jawabnya singkat. 

"Radit sekarang lagi sibuk, ya? Ayah agak sulit menghubunginya," 

"Ada acara serah terima jabatan OSIS. Ada tambahan materi juga untuk persiapan ujian," kata Leta akhirnya setelah mengingat-ingat keseharian sang adik beberapa hari terakhir yang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah hingga malam. Ia pun tak mungkin berkata bahwa Radit sedang berusaha menjaga suasana hatinya dengan menghindari sang ayah. Bagi adiknya, mungkin keabsenan sosok ayah pun menjadi pukulan yang lebih berat apalagi di masa genting seperti saat ini. Ketika saatnya ia memiliki seseorang yang dapat menjadi tempat berdiskusi akan pendewasaan. 

Namun, dengan segala sanggahan yang Leta lontarkan, agaknya Ayah pun memahami apa yang sebenarnya membuat hubungannya dengan sang anak laki-laki merenggang. Jadi, Ayah tak lagi membahas Radit. Pandangan Leta tak lagi menelisik sepenjuru kafe dan kini terpusat pada jari-jemarinya yang tertaut di atas meja, bergerak gugup.

"Bunda..." Ayah menggantung perkataannya. Leta pun sekali lagi mendongak mendapati sang ayah yang tak lagi memandangnya. Mungkin, sejak tadi pertanyaan itu lah yang ingin sang ayah katakan padanya. 

"Bunda sehat," ucap Leta tak tahu apalagi yang harus dikatakan. Ia pun tak tahu apakah tepat mendefinisikannya sebagai 'sehat'.

Sekalipun Bunda terlihat kuat, nyatanya pada satu titik tetap tak dapat menyembunyikan kerapuhannya. Pada malam-malam dimana Leta tak dapat tertidur nyenyak karena memikirkan ujian, terkadang ia dapat mendengar isak tangis tertahan dari kamar sang bunda. Namun, pagi harinya Bunda akan bersikap seolah tak terjadi apapun. 

Tidak, Bunda bukan menangis karena cemburu. Ia tahu betul bahwa Bunda menangis karena marah. Nelangsa akan ketidakpastian. 

Mengapa keluarganya akhirnya berada di titik seperti ini?

Ayah tampak akan melanjutkan pertanyaannya, tetapi kehadiran pramusaji menginterupsi pembicaraan mereka. Sejujurnya, Leta merasa bersyukur karena sejenak perhatiannya teralihkan oleh berbagai masakan yang begitu menggugah selera di atas piring. Jika tidak, mungkin Leta yang hatinya telah bergejolak tak dapat lagi menahan diri. Entah sejak kapan, matanya telah terasa panas menahan tangis.

Begitulah, setelah mengucapkan terima kasih pada pramusaji, Ayah pun mempersilahkan untuk menikmati makan malam. Namun, meskipun Leta yakin dapat menghabiskan seluruhnya, ia tak dapat menikmati citarasa masakan tersebut dengan suasana dingin di antara mereka. Bahkan, di banding meja-meja lain yang sesekali terdengar riuh dengan suara tawa, meja mereka yang terletak di tengah justru tampak suram.

Sesekali Ayah menceritakan kesibukannya sejak meninggalkan rumah mereka. Tidak banyak yang berubah dari kegiatan sang ayah yang masih menjalankan kesibukannya sebagai seorang arsitek, jadi Thea hanya sesekali mengangguk di sela-sela makan. Hal lain justru menarik perhatiannya. Ayah masih sosok yang sama–berperawakan jangkung dengan sorot mata mengintimidasi, selalu berpenampilan stylish dengan kemeja dan celana jeans sebagai paduan favoritnya. Namun, bagaimana wajah sang ayah yang tampak lebih lelah, mata yang terlihat sayu karena waktu tidur terbatas, dan hal lainnya. Ada perasaan tak nyaman yang muncul di hati Leta–mungkin naluri sebagai seorang anak. Namun, Leta tak dapat mendefinisikannya sebagai simpati, apalagi dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. 

Dari cerita yang ia dengar dari Bunda, sang ayah tak lagi berhubungan dengan perempuan itu. Namun, Leta masih mengingat saat pertama melihat bagaimana sang ayah tersenyum ketika bercakap-cakap dengan perempuan itu. Kehadirannya membuat Leta dan Radit harus merasakan dinginnya bangunan yang mereka sebut sebagai rumah selama bertahun-tahun. Bunda yang tak ingin berbicara dengan Ayah. Ayah yang tak ingin meminta maaf. 

Selama bertahun-tahun, Leta harus menyiapkan diri dengan berbagai kemungkinan terburuk sebelum tiba di rumah setelah bepergian. Apakah hari ini akan ada pertengkaran? Apakah hari ini ia akan menjadi penyampai pesan lagi? Apakah akan terdengar teriakan lagi?

Begitulah, hingga dua bulan lalu Ayah pun memutuskan untuk melangkah keluar. Sebelum Bunda meledak–sebelum sama-sama menjadi gila. 

Entah sejak kapan, makanan di atas piring Ayah telah tandas tak bersisa. Kini, Ayah tampak menunggu dengan mengamati sekitar, bersandar pada kursi dan melipat kedua tangannya. Sesekali mencuri pandang pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya–suatu kebiasaan yang sejak dulu Ayah lakukan saat cemas. 

Leta sengaja berlama-lama menikmati makan malamnya. Ia kembali tenggelam dalam berbagai tanda tanya.

Ayah dan Bunda–jika mereka memang telah berbeda tujuan sejak awal, mengapa memaksakan diri untuk bertahan? Bukankah begitu menyiksa untuk tidak saling berbicara tanpa tersulut selama bertahun-tahun? Bahkan, untuk melihat wajah orang yang telah mengusik hidup mereka setiap waktu. 

Namun, sebenarnya Leta pun telah menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Bahkan, mungkin sejak lama ia telah mengetahuinya.

Tidak lain dan tidak bukan adalah anak-anak. Mereka masih berharap dapat bertahan untuk Leta dan adiknya. Tanpa sadar, Leta menghembuskan napas berat.

"Ayah, seandainya kita sudah berbeda keluarga di atas kertas, kita tetap keluarga, kok," kata Leta akhirnya menyuarakan kalimat pertama. Ia akhirnya menatap lurus ke arah mata sang ayah yang kini tampak membulat terkejut. Sang ayah mungkin tak menduga Leta akan melontarkan kalimat itu pada makan malam kali ini. 

Namun, Leta telah memikirkannya sejak lama. Leta bahkan telah merangkai berbagai hal yang ingin disampaikan jika memiliki kesempatan. Cepat atau lambat, Leta tahu harus menghadapinya. Bukan Bunda ataupun Radit, tetapi Leta-lah yang harus mengatakannya. Isi hati Leta dan Reno, sebagai seorang anak. 

Leta pun meletakkan alat makan dan sekali lagi menarik napas dalam-dalam.

"Ayah tetap bisa menghubungi Leta dan Reno. Walaupun mungkin butuh waktu biar bisa dekat lagi seperti dulu,” ucap Leta berhati-hati. Akhirnya, ia dapat menyunggingkan senyuman lebar. 

“Leta…” 

"Ayah dan Bunda, mungkin akan lebih bahagia kalau punya kesempatan baru," 

Tak ada balasan. Sejenak, Leta merasa riuh di sekitar teredam dan meja mereka seolah dilingkupi oleh kubah tak kasat mata. Waktu pun seolah berhenti dan menjadi hening. Ayah masih tak bergeming.

Leta pun mengambil alat makannya kembali. 

"Leta dan Radit nggak apa-apa," begitulah kalimat final yang terucap dari bibirnya menutup pembicaraan mereka. Leta pun menyelesaikan makan malamnya. 

Beberapa detik berlalu, terdengar helaan napas berat. Sekali, Leta melirik mendapati sang ayah yang memalingkan wajah berusaha menyembunyikan tangisnya. Ia pun tak berkomentar apapun dan memilih untuk diam membiarkan sang ayah bereaksi. Begitulah, selama perjalanan pulang berlangsung hingga Ayah berpamitan dengan senyuman, mereka tak lagi berbicara. 

Setelahnya, Leta menyapa sang bunda yang menyambutnya dengan senyum, berkata bahwa ujiannya cukup lancar. Bunda pun tak berkomentar banyak ketika Leta segera berpamitan untuk tidur setelah mandi, menyangka sang anak sulung terlalu lelah.

Begitulah Leta banyak menampilkan senyuman hingga akhirnya berbaring di kasurnya dengan lampu kamar yang telah dipadamkan. Begitulah akhirnya Leta tak lagi dapat menahan lelehan air mata yang terbendung, menyembunyikan wajah pada bantal yang meredam tangisnya. 

Beberapa tahun berikutnya, terkadang Leta masih mempertanyakan apakah keputusannya untuk berbicara pada hari itu adalah benar. Beberapa orang memberikan cap padanya tak tahu malu, durhaka, dan berbagai kecaman lain yang sempat membuatnya terluka. Namun, pada akhirnya Leta tak menyesalinya. Bahkan kini, ia bersyukur melihat Radit yang tumbuh dengan baik, Bunda yang dapat tertawa lepas, dan Ayah yang juga bahagia dengan jalan masing-masing.

Mungkin, sejak awal perjalanan keluarga mereka untuk bersama tidak lah mencapai garis akhir.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
RelationSHIP
Gusty Ayu Puspagathy
Flash
Percakapan Tepi Jalan
Tia Sulaksono
Cerpen
A Confession at A Dinner
Thea Alesha
Novel
The Secret Of Snowflakes
Dyah Arum
Novel
Atas Nama Cinta, Aku Bangga
Lia Dwi Seftarini
Novel
Back to 16
Lina A. Karolin
Novel
Gold
KKPK The Melody of Twin
Mizan Publishing
Novel
Garis Tangan
Ilfi Rahmadani
Novel
X Class 007
Adinda Amalia
Novel
Abuelita
Tasyavira Indifatma
Novel
- REDLINE -
Sf_Anastasia
Novel
Letters of a Liar
Yoga Arif Rahmansyah
Novel
MetaMorphoo
Zaeni Dwi Octa Pitaloka
Novel
Bronze
TUK-TUK
Herman Trisuhandi
Novel
Bronze
Laron Jakarta
Muram Batu
Rekomendasi
Cerpen
A Confession at A Dinner
Thea Alesha